KEKERASAN TERHADAP KULI KONTRAK DALAM NOVEL BERJUTA-JUTA DARI DELI SATOE HIKAJAT KOELI CONTRACT KARYA
EMIL W. AULIA
SKRIPSI
Oleh
Dwi Febvianora NIM O40701022
DEPARTEMEN SASTRA INDONESIA FAKULTAS SASTRA
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN
Lembar Persetujuan
KEKERASAN TERHADAP KULI KONTRAK DALAM NOVEL BERJUTA-JUTA DARI DELI SATOE HIKAJAT KOELI CONTRACT KARYA
EMIL W. AULIA
Oleh
Dwi Febvianora
NIM 040701022
Skripsi ini diajukan untuk melengkapi persyaratan memperoleh gelar sarjana sastra
dan telah disetujui oleh
Pembimbing I, Pembimbing II,
Drs. Pertampilan S. Brahmana, M.Si. Drs. Haris Sutan Lubis, M.S.P.
NIP 131570493 NIP 131659305
Departemen Sastra Indonesia
Ketua,
Dra. Nurhayati Harahap, M. Hum.
KEKERASAN TERHADAP KULI KONTRAK DALAM NOVEL BERJUTA-JUTA DARI DELI SATOE HIKAJAT KOELI CONTRACT KARYA
EMIL W. AULIA
Abstrak
Penelitian ini membahas kekerasan terhadap kuli kontrak dalam novel
Berjuta-juta dari Deli Satoe Hikajat Koeli Contract karya Emil W. Aulia. Tujuan penelitian ini adalah mengetahui gambaran tinjauan sosial politik perkebunan tembakau di Sumatera Timur dan mendeskripsikan kekerasan terhadap kuli kontrak dalam novel Berjuta-juta dari Deli Satoe Hikajat Koeli Contract. Penelitian ini diharapkan bermanfaat memperkaya referensi ilmu pengetahuan khususnya ilmu sastra sebagai cermin kehidupan masyarakat dalam novel Berjuta-juta dari Deli Satoe Hikajat Koeli Contract. Teknik pengkajian dilakukan dengan analisis deskriptif dan pengklasifikasian data. Analisis dilakukan dengan pendekatan sosiologi sastra dan teori kekerasan Galtung.
PRAKATA
Skripsi ini berjudul “Kekerasan Terhadap Kuli Kontrak dalam Novel
Berjuta-juta dari Deli Satoe Hikajat Koeli Contract karya Emil W. Aulia." Skripsi ini ditulis
untuk memenuhi salah satu syarat memperoleh gelar sarjana di Fakultas Sastra
Universitas Sumatera Utara.
Dalam menyelesaikan skripsi ini, penulis banyak mengalami kesulitan dan
hambatan, tetapi karena kuatnya dorongan dan bantuan dari berbagai pihak, penulis
akhirnya dapat menyelesaikan skripsi ini. Untuk itu penulis mengucapkan terima
kasih kepada :
1. Allah SWT, atas berkat dan rahmatNya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.
2. Bapak Drs. Syaifuddin, M.A., Ph.D. selaku Dekan Fakultas Sastra Universitas
Sumatera Utara, PD I Bapak Drs. Aminullah, M.A., Ph.D, PD II Bapak Drs.
Samsul Tarigan, dan PD III Bapak Drs. Parlaungan Ritonga, M.Hum.
3. Ibu Dra. Nurhayati Harahap, M.Hum selaku Ketua Departemen dan Ibu Dra.
Mascahaya, M.Hum selaku Sekretaris Departemen Sastra Indonesia Universitas
Sumatera Utara.
4. Bapak Drs. Pertampilan S. Brahmana, M.Si sebagai Pembimbing I dan Bapak
Drs. Haris Sutan Lubis, M.S.P sebagai Pembimbing II.
5. Bapak Dr. Ikhwanuddin Nasution, M.Si, Pembimbing Akademik yang selalu
6. Staf pengajar di Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara khususnya
Departemen Sastra Indonesia, dan Kak Fitri, petugas administrasi di Departemen
Sastra Indonesia.
7. Kedua orangtua tercinta yang selalu berusaha mengerti dan terus memberikan
perhatian dan kasih sayang kepada penulis.
8. Kak Nuning, Bang Sawal, Putra, dan Uki yang selalu mendukung penulis baik
dalam doa dan perhatiannya.
9. Seluruh keluarga besar di Pematang Bandar yang selalu bangga kepada penulis.
10.Teman-teman satu angkatan, Ramayulis, Julia, Rita, Ratu, Prinsi, Vanny, Tari,
dan yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu, yang terus mendukung dan
memotivasi penulis untuk segera menyelesaikan skripsi ini.
11.Adik-adik di Departemen Sastra Indonesia, terutama Tika yang selalu cerewet.
12.Teman terdekat penulis, Erwin yang selalu sibuk dan Joko S. yang sekarang jauh
di Ambon manise.
13.Khusus buat Mas Hendri yang tidak pernah bosan memotivasi dan memberikan
perhatian, doa, dan dukungannya selama ini kepada penulis.
Akhirnya dengan kebesaran hati penulis menyadari bahwa penelitian ini
masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu, kritik dan saran senantiasa penulis
harapkan. Mudah-mudahan bermanfaat bagi pembaca.
DAFTAR ISI
PERNYATAAN
ABSTRAK
PRAKATA ... i
DAFTAR ISI ... iii
BAB I : PENDAHULUAN 1.1Latar Belakang dan Masalah ... 1
1.1.1 Latar Belakang ... 1
1.1.2 Masalah ... 5
1.2Batasan Masalah ... 6
1.3Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 6
1.3.1 Tujuan Penelitian ... 6
1.3.2 Manfaat Penelitian ... 6
1.4Metode Penelitian ... 7
1.4.1 Data Penelitian ... 7
1.4.2 Metode dan Teknik Pengklasifikasian Data ... 8
1.4.3 Metode dan Teknik Penyajian Data ... 8
BAB II : TINJAUAN SOSIAL POLITIK PERKEBUNAN TEMBAKAU DI
SUMATERA TIMUR
2.1 Sejarah Penjajahan Kolonial Belanda Di Indonesia ... 13
2.2 Sejarah Perkebunan Tembakau Di Deli ... 15
2.3 Tembakau Deli sebagai Komoditas Ekspor ... 18
2.4 Perkebunan Tembakau sebagai Sarana Perbudakan ... 21
BAB III : KEKERASAN DALAM NOVEL BERJUTA-JUTA DARI DELI SATOE HIKAJAT KOELI CONTRACT 3.1 Perkebunan Deli dan Kekerasan Versi BDSHKC... 27
3.2 Bentuk-bentuk Kekerasan dalam perkebunan Versi BDSHKC ... 27
3.2.1 Kekerasan Langsung ... 28
3.2.1.1 Awal Mendaftar Jadi Kuli ... 31
3.2.1.2 Dalam Perjalanan Menuju Tanah Deli ... 34
3.2.1.4 Setelah Menjadi Kuli ... 36
3.2.2 Kekerasan Tidak Langsung ... 42
3.2.2.1 Awal Mendaftar Jadi Kuli ... 44
3.2.2.2 Setelah Menjadi kuli ... 45
3.2.3 Kekerasan Represif ... 53
3.2.3.1 Dalam Perjalanan menuju Tanah Deli ... 54
3.2.3.2 Setelah Menjadi Kuli ... 57
BAB IV : SIMPULAN DAN SARAN
3.1 Simpulan ... 68
3.2 Saran ... 69
DAFTAR PUSTAKA
KEKERASAN TERHADAP KULI KONTRAK DALAM NOVEL BERJUTA-JUTA DARI DELI SATOE HIKAJAT KOELI CONTRACT KARYA
EMIL W. AULIA
Abstrak
Penelitian ini membahas kekerasan terhadap kuli kontrak dalam novel
Berjuta-juta dari Deli Satoe Hikajat Koeli Contract karya Emil W. Aulia. Tujuan penelitian ini adalah mengetahui gambaran tinjauan sosial politik perkebunan tembakau di Sumatera Timur dan mendeskripsikan kekerasan terhadap kuli kontrak dalam novel Berjuta-juta dari Deli Satoe Hikajat Koeli Contract. Penelitian ini diharapkan bermanfaat memperkaya referensi ilmu pengetahuan khususnya ilmu sastra sebagai cermin kehidupan masyarakat dalam novel Berjuta-juta dari Deli Satoe Hikajat Koeli Contract. Teknik pengkajian dilakukan dengan analisis deskriptif dan pengklasifikasian data. Analisis dilakukan dengan pendekatan sosiologi sastra dan teori kekerasan Galtung.
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang dan Masalah
1.1.1 Latar Belakang
Sastra adalah roh kebudayaan. Ia merupakan bagian yang tidak terpisahkan
dari dinamika kebudayaan sebuah bangsa yang lahir, tumbuh, dan bergerak mengikut i
dinamika yang terjadi dalam masyarakatnya. Karya sastra tidak lahir dari peristiwa
sesaat yang sekali jadi. Ia lahir dari proses kegelisahan sastrawan yang panjang yang
menyangkut problem sosial, kultural, bahkan politik-ideologi, dan ketidakpuasan rasa
intelektual. Proses itu menggelinding, meloncat, bahkan menjadi sebuah ledakan,
mengikuti gerak dan dinamika yang terjadi di tengah masyarakatnya (Mahayana,
2007:5).
Hubungan sastra dan masyarakatnya tidak jarang memberi pengaruh timbal
balik. Greibstein mengatakan bahwa karya sastra tidak dapat dipahami secara lengkap
apabila dipisahkan dari lingkungan atau kebudayaan atau peradaban yang
menghasilkan. Ia harus dipelajari dalam konteks yang seluas-luasnya dan tidak hanya
tersendiri. Hal ini dikarenakan setiap karya sastra adalah hasil dari timbal balik dari
faktor-faktor sosial budaya (Damono, 1984:4) . Karya sastra sebagai salah satu
bentuk karya seni merupakan cermin dari masyarakat tempat karya sastra tersebut
dilahirkan. Ungkapan Abrams (Dardiri, 2007:153) yang menyatakan “art is like a
Karya sastra merupakan imitasi dari semesta dan disebut sebagai refleksi
masyarakat. Karya sastra lahir dari seorang sastrawan untuk dinikmati, dipahami, dan
dimanfaatkan masyarakat. Sastrawan itu sendiri adalah anggota masyarakat, ia terikat
oleh status sosial tertentu. Sastra adalah lembaga sosial yang menggunakan bahasa
sebagai medium; bahasa itu sendiri merupakan ciptaan sosial (Damono, 2002:1).
Maka tidak dapat diingkari bahwa pada hakekatnya karya sastra adalah potret sosial
yang di dalamnya tergambar sebuah entitas masyarakat yang bergerak, baik yang
berkaitan dengan pola struktur, fungsi , maupun aktivitas dan kondisi sosial
budayanya sebagai latar belakang kehidupan masyarakat pada masa tertentu. Dari
sanalah, sastra memberi pemahaman yang khas atas situasi sosial, kepercayaan,
ideologi, dan harapan-harapan individu yang sesungguhnya menyerupai pantulan
perkembangan pemikiran dan kebudayaan masyarakatnya.
Wellek dan Waren (1989:276) mengatakan bahwa karya sastra adalah hasil
ciptaan pengarang yang menggambarkan segala peristiwa yang dialami masyarakat
dalam kehidupan sehari-hari. Karya sastra seorang pengarang mengandung kebenaran
yang mendramatisasikan hubungan-hubungan antarmasyarakat berdasarkan
pengalaman dan pengamatannya terhadap kehidupan. Namun, hal itu dilakukan
secara selektif dan dibentuk sesuai dengan tujuannya sekaligus memasukkan unsur
hiburan dan penerangan terhadap pengalaman manusia. Hal ini menjelaskan bahwa
sebagai dokumen sosial, sastra dapat dipakai untuk menguraikan sejarah sosial.
kontemporer sebagai bahan. Peristiwa sejarah kontemporer itu barangkali di zaman
pengarangnya hanya dianggap sebagai peristiwa sosial, tetapi bagi generasi
sesudahnya dapat diangkat sebagai peristiwa sejarah. Dalam hubungan ini, novel
sosial dan peristiwa sejarah dapat mempunyai hubungan timbal balik. Karya sastra
menjadi saksi dan diilhami oleh zamannya, dan sebaliknya karya sastra itu dapat
mempengaruhi peristiwa-peristiwa sejarah zamannya dengan membentuk sebuah
pendapat publik (Dardiri, 2007:153).
Oleh karena itu, hubungan karya sastra dengan masyarakat, jelas merupakan
hubungan yang hakiki. Sebab karya sastra mempunyai tugas penting, baik dalam
usahanya untuk menjadi pelopor pembaharuan, maupun memberikan pengakuan
terhadap suatu gejala kemasyarakatan. Kebebasan sekaligus kemampuan karya sastra
untuk memasukkan hampir seluruh aspek kehidupan manusia inilah yang menjadikan
karya sastra sangat dekat dengan masyarakat.
Berdasarkan beberapa uraian di atas maka dapat ditarik kesimpulan bahwa
sastra merupakan refleksi perenungan kultural sastrawan. Sebagai perenungan
kultural, ia dapat menjadi potret budaya dan dokumen sosial yang di dalamnya
terdapat fakta historis dan gambaran kondisi sosial.
Salah satu hasil perenungan kultural tersebut adalah novel Berjuta-juta dari
Deli Satoe Hikajat Koeli Contract (selanjutnya disingkat BDSHKC) karya Emil W.
Aulia. Pada sekitar pertengahan kedua abad kesembilan belas terjadi perubahan
dalam kebijakan kolonial di Hindia Belanda. Pemerintah kolonial Belanda kian
hanya menciptakan berbagai fasilitas untuk mendorong inisiatif swasta (Breman,
1997:15). Ketika sistem paksa (cultuurstelsel) akhirnya dihapuskan, pihak swasta
justru mendapat kesempatan luas untuk berkiprah. Jadi, peran dominan pertanian
dalam kegiatan ekonomi terus berlangsung. Praktek usaha kapitalis dengan kebijakan
kolonial pada waktu itu membentuk sebuah masyarakat perkebunan tembakau di
Sumatera Timur yang banyak mempekerjakan kuli kontrak dari Cina dan pulau Jawa.
Menurut Nienhuys,di Deli segalanya harus diimpor, baik para majikan
maupun para kuli-kulinya. Staf datang langsung dari Eropa, kulinya dari Jawa. Hal ini
dikarenakan Sultan Deli hanya dapat memberikan tanah, bukan tenaga buruh karena
penduduk pribumi seperti Batak dan Melayu tidak dapat dibujuk atau dipaksa oleh
para pejabat lokal atau asing agar mau bekerja untuk perkebunan. Oleh karena itu,
para pengusaha perkebunan terpaksa mencari tenaga kerja dari tempat lain seperti
Malaya, Singapura, dan Cina, kemudian dari desa-desa miskin di Jawa Tengah.
Perekrutan buruh tersebut dilakukan melalui calo-calo (Stoler, 2005:23).
Bersamaan dengan meluasnya usaha perekrutan buruh di Jawa, maka
badan-badan imigrasi liar juga banyak bermunculan. Namun, yang tampak bukan seperti
usaha perekrutan buruh, melainkan pasar perdagangan besar yang ditujukan kepada
penjualan buruh. Di Sumatera, paksaan tetap menjadi dasar sistem perburuhan.
Diberlakukannya sanksi pidana (poenale sanctie) secara keras, membuat kuli yang
melarikan diri atau menolak bekerja akan dijatuhi hukuman yang berat. Hubungan
Novel BDSHKC merupakan contoh nyata bahwa karya sastra merupakan
cerminan kehidupan masyarakat pada zamannya (kolonial Belanda). Kisah tentang
kekuasaan pemerintah Belanda, khususnya tuan kebun di Sumatera Timur (sekarang
Sumatera Utara) yang menyiksa para kuli kontrak dengan berbagai bentuk kekerasan
melalui praktek ordonansi kuli tertuang dalam novel ini secara gamblang.
Melalui argumen di atas, penulis merasa tertarik untuk menganalisis novel ini,
khususnya untuk melihat tinjauan sosial politik perkebunan tembakau di Sumatera
Timur, khususnya tentang kekerasan yang dilakukan oleh tuan kebun terhadap kuli
kontrak.
1.1.2 Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, masalah yang akan dibahas dalam
penelitian ini adalah:
1. Bagaimanakah tinjauan sosial politik perkebunan tembakau di Sumatera
Timur?
2. Bagaimanakah bentuk kekerasan terhadap kuli kontrak dalam novel BDSHKC
1.2 Batasan Masalah
Kompleksitas dalam kehidupan manusia sering digambarkan dalam karya
sastra. Sebuah karya sastra dapat berupa kumpulan dari permasalahan kehidupan
yang begitu kompleks. Karena itu, karya sastra mampu memberikan suatu gambaran
dan pemahaman yang mendalam kepada pembaca tentang kehidupan manusia.
Batasan masalah dalam penelitian ini adalah tinjauan sosial politik
perkebunan tembakau di Sumatera Timur, khususnya tentang bentuk-bentuk
kekerasan terhadap kuli kontrak yang digambarkan dalam novel BDSHKC ini.
1.3Tujuan dan Manfaat Penelitian 1.3.1 Tujuan Penelitian
Tujuan yang ingin dicapai dari penelitian ini adalah:
1. Untuk mendeskripsikan tinjauan sosial politik perkebunan tembakau di
Sumatera Timur.
2. Untuk mendeskripsikan bentuk kekerasan terhadap kuli kontrak versi novel
BDSHKC.
1.3.2 Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini akan bermanfaat nantinya untuk:
2. Memberikan gambaran keadaan sosial politik perkebunan tembakau di
Sumatera Timur dan bentuk-bentuk kekerasan terhadap kuli kontrak dalam
novel BDSHKC ini.
3. Memberikan pemahaman kepada masyarakat bahwa karya sastra merupakan
cermin kehidupan masyarakat yang diambil dari kenyataan sosial yang terjadi.
1.4Metode Penelitian 1.4.1 Data Penelitian
Data penelitian ini adalah novel:
Judul : Berjuta-juta dari Deli Satoe Hikajat Koeli Contract
Pengarang : Emil W. Aulia
Tebal : 261 halaman
Penerbit : PT Gramedia Pustaka Utama
Tahun Terbit : 2006
Ukuran : 20 x 15 cm
Kulit Depan : Warna sampul putih dengan motif gambar tuan kebun
dan sepasang kuli kontrak di ladang tembakau.
Kulit Belakang : Warna sampul putih dengan motif gambar ladang
tembakau.
1.4.2 Metode dan Teknik Pengklasifikasian Data
Penelitian ini termasuk penelitian perpustakaan. Untuk mengumpulkan data,
metode yang digunakan adalah dengan membaca novel yang diteliti sekaligus
mengklasifikasikannya berdasarkan permasalahan. Pengklasifikasian data dilakukan
dengan memilih kasus kekerasan, bentuk kekerasan yang sejenis dikelompokkan
menjadi satu.
1.4.3 Metode dan Tenik Penyajian Data
Dalam menganalisis data, objek yang akan dianalisis dibaca terlebih dahulu
kemudian dikelompokkan berdasarkan masalah dan diadakan studi perpustakaan.
Selanjutnya dilakukan penyusunan dan penganalisisan data serta penafsiran data.
Setelah melewati tahap-tahap tersebut maka kesimpulan merupakan langkah akhir
dalam menyusun laporan penelitian.
1.4 Landasan Teori
Landasan teori merupakan kerangka dasar dalam suatu penelitian dan mutlak
diperlukan. Untuk sahihnya suatu penelitian, tentunya ada teori yang mendasari
penelitian tersebut.
Objek karya sastra adalah realitas kehidupan. Apabila realitas itu adalah
sebuah peristiwa sejarah, karya sastra mencoba merekonstruksikan peristiwa itu ke
adalah realitas kehidupan dan realitas yang ada di dalam novel BDSHKC merupakan
sebuah peristiwa sejarah, maka pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini
adalah pendekatan sosiologi sastra.
Untuk mengetahui suatu masyarakat berdasarkan karya sastranya dapat
dilakukan pengkajian terhadap sebuah karya dengan memfokuskan perhatian pada
segi-segi sosial kemasyarakatannya. Dalam ilmu sastra, pendekatan ini disebut
sosiologi sastra. Sosiologi sastra adalah suatu pendekatan sastra dengan
mempertimbangkan aspek-aspek kemasyarakatannya. Sesuai dengan tujuan sosiologi
sastra yang dikeukakan oleh Ratna (2003:11), yaitu meningkatkan pemahaman
terhadap sastra dalam kaitannya dengan masyarakat, menjelaskan bahwa rekaan tidak
berlawanan dengan kenyataan. Karya sastra jelas didekonstruksikan secara imajinatif,
tetapi kerangka imajinatifnya tidak bisa dipahami di luar kerangka empirisnya. Karya
sastra bukan semata-mata gejala individual, tetapi juga gejala sosial.
Pendapat lain dikemukakan oleh Zerafta. Menurut Zerafta,bentuk dan isi
karya sastra sebenarnya lebih banyak diambil dari fenomena sosial dibandingkan seni
lain (Fananie, 2001:194). Karenanya, karya sastra seringkali tampak terikat dengan
momentum khusus dalam sejarah masyarakat. Pandangan ini didukung pula oleh
Mahayana (2007:311) yang mengemukakan bahwa sastra sejatinya bukanlah sekedar
menampilkan sebuah dunia rekaan, bukan pula semata-mata menghadirkan
peristiwa-peristiwa imajinatif. Ia dapat diperlakukan sebagai potret sosial jika di dalamnya
terungkap problem dan kegelisahan yang terjadi dalam kehidupan kemasyarakatan.
masyarakat atau pantulan hasrat terpendam dan semangat individu atau komunitas
yang (mungkin) menjadi harapan sastrawannya.
Novel BDSHKC merupakan novel yang menggambarkan kejadian mengenai
kuli kontrak di Sumatera Timur pada masa pemerintahan kolonial Belanda tersebut.
Situasi yang digambarkan penulis dalam novel ini merupakan gambaran kekerasan
yang dialami oleh buruh kuli kontrak. Walaupun novel ini seolah-olah fakta sejarah
yang dapat dijadikan bahan studi sejarah, namun novel ini tetap fiksi. Hal ini
dikarenakan sifat karya sastra itu bersifat imajinasi. Realitas yang sesungguhnya
kerapkali sudah dimanipulasi, direkontruksi pengarang untuk tujuan tertentu.
Dari sisi lain, digunakan juga teori kekerasan untuk memaknai novel ini.
Kekerasan (KBBI, 2003:550) adalah paksaan, perbuatan seseorang atau kelompok
orang yang menyebabkan cedera atau matinya orang lain atau menyebabkan
kerusakan fisik atau barang orang lain. Memang istilah kekerasan memiliki
pengertian yang sangat luas. Kebanyakan orang menganggap kekerasan hanya dalam
konteks yang sempit, yakni seperti perang, pembunuhan, atau kekacauan saja,
padahal kekerasan itu bentuknya bermacam-macam. Fenomena yang dapat
dikategorikan dalam kekerasan seperti ini banyak sekali jumlahnya. Jika orang
beranggapan bahwa setiap tindakan yang mengganggu fisik atau kondisi psikologis
seseorang adalah satu bentuk kekerasan, maka rasisme dan kemiskinan dapat juga
Menurut Windhu, kekerasan berarti mengandung tekanan dan desakan yang
keras. Kekerasan ini membawa paksaan dan tekanan (Fananie, 2001:194). Tidak jauh
berbeda dengan pendapat Poerwandari yang mengemukakan bahwa:
Kekerasan adalah semua bentuk tindakan, intensional dan ataupun karena pembiaran dan kemasabodohan yang menyebabkan manusia lain mengalami luka, sakit, penghancuran, bukan cuma dalam artian fisik. Kekerasan yang dimaksudkan dapat dilakukan oleh individu, oleh kelompok, mungkin oleh negara (baik oleh aparatnya, maupun sebagai suatu sistem), dapat dilakukan oleh orang-orang yang dekat dengan korban maupun yang tidak dikenal korban, dapat merupakan suatu bentuk penyelesaian masalah personal, bentuk rekayasa kelompok, produk kebencian suku dan agama, dan sebagainya. Termasuk di dalamnya kekerasan laki-laki terhadap lain, individu atau kelompok, kekerasan laki-laki (masyarakat) terhadap perempuan, mungkin pula kekerasan perempuan terhadap manusia lain, tidak mustahil pula kekerasan manusia terhadap dirinya sendiri melalui mutilasi, masokisme, atau pembunuhan diri. (Pitaloka, 2004:11)
Oleh karena itu, kekerasan dalam hal ini, bukanlah dalam pengertian yang
sempit saja, melainkan pengertian yang lebih luas sebagaimana yang dipaparkan oleh
Galtung. Menurut Galtung, kekerasan terjadi bila manusia dipengaruhi sedemikian
rupa sehingga realisasi jasmani dan mental aktualnya berada di bawah realisasi
potensialnnya (Windhu, 1992:64). Kekerasan di sini didefiniskan sebagai penyebab
perbedaan antara yang potensial dan yang aktual.
Oleh karena itu, kekerasan dalam hal ini, bukanlah dalam pengertian yang sempit
saja, melainkan pengertian yang lebih luas sebagaimana yang dipaparkan oleh
Galtung (Salmi, 2003:31). Kekerasan menurut Galtung ada empat kategori. Pertama,
kekerasan langsung (direct violence) yaitu kekerasan yang mengacu kepada tindakan
kategori ini adalah semua bentuk pembunuhan (homocide) dan juga semua bentuk
tindakan paksa atau brutal yang menyebabkan penderitaan fisik dan psikologis
seseorang, misalnya pengusiran paksa, penculikan, penyiksaan, dan pemerkosaan.
Kedua, kekerasan tidak langsung (indirect violence) yaitu tindakan yang
membahayakan manusia, bahkan kadang-kadang sampai membunuh, namun tidak
melibatkan hubungan langsung antara korban dan pihak yang bertanggungjawab atas
tindakan kekerasan tersebut. Ketiga, kekerasan represif (repressive violence) yaitu
kekerasan yang walaupun tidak membahayakan kehidupan manusia, namun
merupakan pelanggaran berat dalam mengekang kebebasan, martabat manusia, dan
kesamaan hak bagi setiap manusia. Kekerasan represif ini terkait dengan hak sipil,
seperti kebebasan berpikir, kebebasan bergerak,dan kesamaan di depan hukum.
Keempat, kekerasan alienatif (alienating violence) yaitu merujuk pada pencabutan
hak-hak individu yang lebih tinggi, misalnya hak perkembangan emosional, budaya,
dan intelektual. Salah satu bentuk kekerasan alienatif adalah ethnocide, yakni
kebijakan atau tindakan yang mengubah kondisi material atau sosial menjadi di
bawah satu identitas kultural kelompok tertentu, misalnya masalah rasisme.
Untuk menjelaskan, mengungkapkan kekerasan yang terdapat pada novel
BDSHKC karya Emil W. Aulia digunakan pandangan Galtung tersebut di atas tentang
BAB II
TINJAUAN SOSIAL POLITIK PERKEBUNAN TEMBAKAU DI SUMATERA TIMUR
2.1 Sejarah Penjajahan Kolonial Belanda di Indonesia
Praktek kolonial Belanda di Indonesia dimulai pada tahun 1596 ketika armada
dagang mereka tiba untuk pertama kalinya di daerah Banten. Semula kedatangan
armada dagang yang dipimpin oleh Cornelis de Houtman tersebut disambut baik oleh
para penguasa setempat. Namun, lama-kelamaan Belanda memperlihatkan
keserakahan dan ingin mengejar keuntungan sendiri. Akibatnya, mereka menyingkir
karena dimusuhi oleh orang-orang Banten.
Dari daerah Banten, pedagang-pedagang Belanda melanjutkan pelayarannya
sampai ke Maluku yang saat itu dikenal sebagai daerah pusat rempah-rempah.
Mereka membentuk suatu gabungan perseroan sindikat dagang Belanda yang disebut
dengan VOC (Vereenigde Oost Indische Compagnie) yang oleh pemerintah Belanda
diberi hak eksklusif untuk berdagang, berlayar, dan memegang kekuasaan di kawasan
antara Tanjung Harapan dan Kepulauan Salomon (Badrika, 2006:152-153).
Armada VOC datang ke Indonesia untuk melakukan pembelian
rempah-rempah dengan mengadakan kontrak jual beli dengan pihak penguasa pribumi. Tetapi
pada perkembangan selanjutnya, VOC bertujuan menguasai dan memonopoli
perdagangan di Indonesia. Dengan melakukan penaklukan dan penguasaan secara
memaksa penguasa pribumi untuk mengadakan perjanjian jual beli hanya kepada
mereka (Fauzi, 1999:21).
Selama lebih kurang 200 tahun lamanya VOC berusaha merebut dan
menguasai kerajaan-kerajaan di Indonesia. Selama kurun waktu itu pula VOC
berhasil menguasai sebagian daerah di pulau Jawa, Sumatera, Sulawesi Selatan, dan
Maluku Selatan. Namun, pada akhir abad ke-18, karena banyaknya pegawai yang
korupsi dan ingin memperkaya diri mengakibatkan VOC bangkrut dan tidak dapat
dipertahankan lagi. Setelah VOC dibubarkan, segala hak dan kewajibannya diambil
alih oleh pemerintah Belanda. Maka sejak awal abad ke-19 Indonesia diperintah oleh
kolonial Belanda.
Bagi bangsa Indonesia adanya pergantian dari VOC ke tangan pemerintah
Belanda tidak mengalami perubahan. Bangsa yang menjajahnya tetap sama, yaitu
bangsa Belanda. Semuanya hanya ingin mengeruk kekayaan bumi Indonesia tanpa
memperhatikan rakyat yang memiliknya. Oleh karena itu, kedua-duanya hanya
membawa dampak buruk terhadap bangsa Indonesia. Hidup rakyat semakin sengsara
dan menderita (Waridah, 2003:21).
Sejak VOC dibubarkan tahun 1799, perkembangan perekonomian bangsa
Belanda mengalami masa yang sangat suram. Mundurnya kegiatan perekonomian
Belanda pada masa itu disebabkan karena negeri Belanda menjadi anggota koalisi
untuk menghadapi pemerintahan Napoleon Bonaparte dari Perancis. Walaupun pada
namun ekonomi negaranya merosot tajam, karena kas negeri Belanda telah kosong
dan ditambah lagi adanya hutang luar negeri yang jumlahnya tidak sedikit.
Untuk mengatasi ekonomi negara seperti ini, pemerintah kolonial mencoba
untuk menggali potensi Indonesia melalui pelaksanaan sistem tanam paksa. Sistem
tanam paksa ini memang telah membawa hasil yang sangat besar dalam memperbaiki
perekonomian negara dan pemerintah Belanda, sehingga mereka terhindar dari krisis
ekonomi yang berkepanjangan. Namun dibalik itu, rakyat Indonesia justru semakin
tertindas dan miskin (Waridah, 2003:21).
Setelah tanam paksa dihapuskan, sistem ekonomi yang diterapkan oleh
kolonial Belanda pada saat itu adalah sistem ekonomi kapitalisme, yang ditandai
dengan dikeluarkannya Undang-Undang Agraria pada tahun 1870. hal ini membuka
peluang kepada pengusaha swasta asing yang terjun langsung dalam kegiatan
perekonomian di Indonesia, diantaranya adalah membentuk perkebunan-perkebunan
dengan tanaman yang laku di pasaran Eropa, seperti perkebunan tembakau di
Sumatera Timur.
2.2 Sejarah Perkebunan Tembakau di Deli
Sumatera Timur (Deli) sejak dahulu merupakan wilayah yang sangat kaya
akan hasil perkebunan seperti lada, karet dan tembakau. Karena hasil perkebunan ini
Sumatera Timur terkenal sampai ke benua Eropa. Faktor wilayah yang sangat
strategis, tanah yang subur, dan iklim yang sangat mendukung dalam segi bercocok
Sumatera Timur. Ketika pulau Jawa telah menjadi pusat penanaman tebu, para
pengusaha justru mencoba mendirikan perkebunan tembakau di Sumatera Timur.
Sejarah perkebunan Deli dimulai ketika kapal Josephine yang merapat di
Belawan pada tanggal 7 Juli 1863 yang membawa orang-orang dari perkebunan
tembakau dari Jawa Timur, salah satunya Jacobus Nienhuys dari firma Van den
Arend Surabaya. Rombongan yang dibawa Said Abdullah bin Umar Bilsagih ini
diterima dengan sangat baik oleh Sultan Deli dan diberi tanah seluas 4.000 bahu (1
bahu = 8.000 m) untuk kebun tembakau yang terletak di Labuhan Deli dengan
konsesi 20 tahu
Usaha penanaman tembakau ini awalnya gagal dan mengalami kerugian yang
cukup besar. Namun Nienhuys tetap bersikukuh bahwa tanah Deli akan
mendatangkan keuntungan yang besar jauh melebihi kerugian yang pernah
dikeluarkan. Kegigihannya ini terbukti ketika bulan Maret tahun 1864 sampailah
contoh daun tembakau Deli yang pertama kali ke Rotterdam, Belanda. Sambutan para
pedagang terhadap daun tembakau Deli ini sangat memuaskan. Bahkan, tembakau
Deli dinilai berkualitas tinggi untuk dijadikan bahan pembungkus cerutu.
Keberhasilan ini mendorong P Van den Arend sebagai penanam modal
memerintahkan Nienhuys untuk memperluas usahanya. Nienhuys pada saat itu telah
berhasil membuktikan bahwa tembakau yang dihasilkan di Deli merupakan produk
yang sangat menguntungkan di pasar perdagangan Eropa dan menjadikan Deli
Untuk mengusahakan budidaya tembakau dalam skala besar, diperlukan
modal lebih banyak lagi. Maka pada tahun 1869 Nienhuys mendirikan perusahaan
Deli Maatschappij, perseroan terbatas pertama yang beroperasi di Hindia Belanda
(Breman, 1997:26). Pada tahun 1870, Nienhuys memindahkan kantor pusat Deli
Maatschppij dari Labuhan ke Kampung Medan. Dengan perpindahan kantor tersebut,
Medan dengan cepat menjadi pusat aktivitas pemerintahan dan perdagangan,
sekaligus menjadi daerah yang paling mendominasi perkembangan di Indonesia
bagian barat. Pesatnya perkembangan perekonomian ini mengubah Deli menjadi
pusat perdagangan yang mahsyur dengan julukan het dollar land alias tanah uang
(http/id.wikipedia.org/wiki/Kota Medan).
Semakin berkembangnya suatu perkebunan, maka semakin banyak pula
tenaga kerja yang dibutuhkan untuk mengelola perkebunan tersebut. Hal ini menjadi
faktor kesulitan tersendiri bagi pengusaha perkebunan, karena pada saat itu untuk
mendapatkan tenaga kerja yang harus dipekerjakan di perkebunan sulit untuk
ditemukan. Menurut Pelzer (1885:54), menanam tembakau terutama tembakau
pembungkus cerutu membutuhkan banyak tenaga kerja dan sebagaimana para
pengusaha lainnya di berbagai daerah lainnya juga membutuhkan pekerja untuk
dipekerjakan. Hal ini merupakan suatu masalah yang sangat sulit dihadapi para
pengusaha perkebunan di Deli. Mereka tidak dapat mengharapkan penduduk
setempat (orang Melayu dan Batak) karena dianggap tidak punya disiplin dan malas
(Waridah, 2003:21). Bahkan menurut Nienhuys, orang Batak ia golongkan dalam
Kebutuhan akan tenaga kerja dalam jumlah besar pun sangat mendesak
sehingga mereka merekrut tenaga kerja dari Cina dan desa-desa miskin di pulau Jawa.
Seperti yang dikemukakan oleh Stoler (2005:3), bahwa perusahaan perkebunan pantai
timur Sumatera pada mulanya mengimpor pekerja Cina dan kemudian pekerja Jawa
dalam jumlah ratusan ribu, yang ditampung dan diberi makan di barak-barak
perkebunan dan diikat dengan status sebagai budak.
2.3 Tembakau Deli sebagai Komoditas Ekspor
Perkebunan tembakau Deli yang telah dirintis oleh Nienhuys dan para pionir
pengusaha perkebunan lainnya telah membuat perekonomian Deli semakin maju
karena Deli dijadikan sebagai wilayah untuk pertanian ekspor secara besar-besaran
(Stoler, 2005:25). Seperti yang dikemukakan oleh John Anderson, bahwa penanaman
tembakau di Deli sangat penting karena tanaman inilah yang kemudian membuat Deli
terkenal ke seluruh dunia (Pelzer, 1985:21).
Keberhasilan Nienhuys menggarap tembakau Deli menjadi begitu terkenal
dibuktikan pada bulan Maret 1864, ketika contoh daun tembakau Deli yang pertama
ke Rotterdam mendapatkan sambutan yang sangat memuaskan dari para pedagang
tembakau. Daun tembakau Deli dianggap berkualitas baik dengan daya bakar dekblad
yang baik pula. Kedudukan tembakau Maryland dan Kentucky yang selama itu
memegang pasar untuk konsumsi tembakau pipa bergeser dengan meningkatnya
cerutu. Tembakau Jawa yang mula-mula menjadi pilihan adalah tembakau Rembang,
kemudian berturut-turut menjadi pilihan pertama adalah tembakau Blitar, tembakau
Kedu, tembakau Lumajang, tembakau vorstenlanden di Klaten dan tembakau Besuki.
Namun setelah muncul tembakau dari Sumatera maka pilihan pertama untuk
pembalut cerutu paling baik adalah tembakau Deli karena aroma dan mutunya yang
khas. Oleh karena itu, tembakau Deli akhirnya dijadikan sebagai komoditi ekspor
yang paling utama di Sumatera Timur (Erwin, 1999:3-4). Adapun perkembangan
[image:28.612.111.530.388.579.2]ekspor tembakau Deli ke Eropa dari tahun 1864-1900 dapat dilihat dari tabel berikut.
Tabel 1.
Produksi tembakau di Sumatera Timur tahun 1864-1900
Tahun panen Jumlah bal (a 158 kg)
Rata-rata harga/ 0,5 kg (gulden)
Nilai Jual (f)
1864 50 0,48 4.000
1869 1.381 1,29 250.000
1874 12.895 1,50 2.850.000
1879 57.596 1,19 10.350.000
1884 115.496 1,44 27.550.000
1889 184.322 1,46 40.600.000
1890 236.323 0,72 26.000.000
1892 144.682 1,26 26.700.000
1894 193.334 1,19 35.000.000
1899 264.100 0,82 33.300.000
1900 223.731 1,11 38.000.000
Sumber: Jan Breman, 1977:79
Dari tabel tersebut dapat dilihat ekonomi perkebunan di Sumatera Timur
dalam jangka panjang mengalami perkembangan pesat, dengan pengecualian
sementara. Tembakau Deli yang diekspor tersebut memberikan keuntungan bagi
perusahaan. Hal itu tercermin dalam angka-angka keuntungan yang dicapai oleh
pihak perkebunan setiap tahunnya selalu meningkat.
Bahkan, data-data tahun 1901 menunjukkan bahwa sudah terdapat 34.000
tapak luas tanah perkebunan tembakau yang produksinya ditaksir mencapai f 40 juta,
yang harganya di pasaran bisa mencapai f 102 juta. Berdasarkan data itu pula
dinyatakan bahwa jumlah keuntungan yang diterima oleh perkebunan tembakau Deli
antara tahun 1864-1900 mencapai f 662 juta (Said,1977:74-75).
Begitu terkenalnya tembakau Deli pada saat itu bahkan masih bertahan hingga
saat ini. Hal ini ditandai masih banyaknya perusahaan rokok cerutu di Eropa dan
Amerika yang menggunakan simbol-simbol tembakau Sumatera sebagai wrapper
atau lapisan terluar pembungkus cerutu. Ada pula perusahaan yang hanya sedikit
sekali menggunakan tembakau Sumatera pada cerutunya, tetapi sudah menyebutkan
bahwa cerutu tersebut mengandung daun tembakau Sumatera. Bahkan, Brazil yang
merupakan negara penghasil daun tembakau cerutu juga berusaha menanam
tembakau Deli. Seperti yang dilakukan oleh perusahaan Suerdieck Charutus di kota
Bahia, di bagian tenggara Brazil yang setiap tahunnya menanam tembakau Deli
seluas 500 Ha, dengan produktivitas yang sangat tinggi, namun mutu yang dihasilkan
belum bisa mengimbangi mutu tembakau Sumatera yang ditanam di daerah Deli
(Erwin,1999:11). Hal ini membuktikan bahwa tembakau Deli sebagai bahan cerutu
2.4 Perkebunan Tembakau sebagai Sarana perbudakan
Ketika tanaman tembakau mulai dibudidayakan pada tahun 1869 di Sumatera
Timur, pengusaha swasta mulai mengalami kendala dalam hal perekrutan tenaga
kerja. Karena pada saat itu, tenaga kerja masih langka dan tidak sebanding dengan
luas tanah yang ada. Maka pada awalnya diupayakan perekrutan kuli dari Cina
sebanyak 800-900 orang. Selain orang Cina, beberapa ratus orang keling dari India
dan Jawa juga didatangkan ke Sumatera Timur (Breman, 1989:23).
Orang Cina yang didatangkan ke wilayah Sumatera Timur sampai tahun 1913
mengalami peningkatan yang cepat. Banyaknya orang Cina di wilayah sumatera
Timur telah membuka peluang terdapatnya kelompok-kelompok diantara mereka.
Kongsi merupakan sebutan bagi kelompok tenaga kerja Cina. Tingginya mobilitas
orang Cina telah memberikan kebebasan kepada agen atau kantor emigrasi untuk
bertindak sebagai perekrut tenaga kerja atau pun sebagai pedagang perantara. Ketika
pecah perang dunia I, akibat blokade laut, timbul kesulitan perekrutan tenaga kerja
dari Cina. Akhirnya diupayakan tenaga kerja dari pulau Jawa karena ketabahan dan
ketekunan orang Jawa dalam bekerja dianggap lebih daripada orang Cina (Mubyarto,
1992:117-118).
Perolehan tenaga kerja dari Jawa yang lazim disebut kuli memerlukan biaya
yang tidak sedikit, baik untuk transportasi maupun untuk membeli para kuli tersebut.
Dengan perantaraan makelar atau tukang werek (dalam bahasa Belanda werven yang
dan berbagai tipuan. Dengan mudah para makelar mendapatkan calon kuli, khususnya
yang terhimpit secara ekonomi dan ingin mengubah nasib.
Eric Wolf menyatakan bahwa dimanapun perkebunan itu timbul atau diimpor
dari luar, maka ia selalu merusak norma-norma budaya yang telah ada sebelumnya
dan menetapkan ketentuan-ketentuannya sendiri, kadang dengan cara membujuk,
kadang-kadang dengan paksaan, tetapi selalu berada dalam konflik-konflik dengan
ketentuan budaya yang dilanda olehnya. Beraneka ragam bentuk tindakan bujukan
dan paksaan yang telah digunakan ini ternyata efektif untuk menjamin keberhasilan
ekspansi perkebunan (Stoler, 2005:13-14).
Kuli adalah istilah khas kolonial. Maknanya sangat merendahkan derajat si
kuli. Hal itu sesuai dengan penindasan yang dilakukan oleh pengusaha perkebunan
tersebut terhadap mereka. Istilah kuli berasal dari bahasa Tamil dengan ejaan Inggris,
yaitu cooli yang berarti pengambil upah. Istilah itu sendiri sebenarnya bukan berarti
rendah, rendahnya nama itu hanya karena selama pekerjaan itu dikerjakan mereka
tidak bebas dan tidak boleh mengangkat muka, sehingga istilah itu sendiri turut
menurun maknanya (Said, 1977:63-64). Seperti yang dikemukakan oleh Mubyarto
(1992:118) bahwa dalam menempuh perjalanan ke “tanah berjanji”, nasib yang
dialami oleh para kuli tidak ubahnya seperti ternak yang akan dibawa ke pembantaian
dalam gerbong kereta api tertutup. Sebelum memasuki kamp kerja, para kuli
diwajibkan menandatangani kontrak kerja tanpa dapat mengetahui dan memahami
Guna mendukung pembangunan industri perkebunan, maka pada tahun 1880
pemerintah mengeluarkan kebijaksanaan yang bersifat otoriter yang merupakan
landasan kontrak kerja yang telah diatur khusus bagi wilayah Sumatera Timur.
Kebijakan itu dikenal sebagai koeli ordonantie (peraturan tentang kuli) (Stoler,
2005:44). Peraturan ini sebenarnya ditujukan untuk memberikan kepastian kedudukan
buruh dan majikan, tetapi pada kenyataannya majikan sama sekali tidak terikat dalam
perjanjian kerja tersebut.
Bahkan menurut Soepomo, pihak majikan mempunyai wewenang atas pribadi
tenaga buruh. Ordonansi ini menetapkan bahwa sebagai imbalan biaya pelayaran ke
Deli seorang kuli diwajibkan bekerja selama tiga tahun. Untuk mengikat para kuli
maka diberlakukanlah sanksi pidana (poenale sanctie) secara keras (Mubyarto,
1992:119).
Kontrak kerja awalnya dilakukan dengan tujuan memperoleh kerja efisien
melalui pemanfaatan tenaga kerja yang tersedia dengan upah yang cukup murah.
Dengan cara inilah para pengusaha perkebunan memperoleh kontrol sepenuhnya atas
para pekerja. Mereka menganggap berhak mengawasi sendiri pelaksanaan disiplin
kerja yang keras dan menghukum kuli yang tidak memenuhi kewajiban (Breman,
1992:31). Namun, berlakunya ordonansi kuli dan sanksi pidana tersebut justru
membuat para pengusaha perkebunan semakin berbuat tindakan yang
sewenang-wenang. Pukulan, cambukan, tendangan, dan berbagai penyiksaan lainnya sering
menimpa kuli-kuli tersebut. Seorang administratur yang menyiksa secara keji kuli
kekuasaan dengan menjebloskan seorang kuli ke dalam penjara agar dapat menguasai
istrinya sudah menjadi hal biasa di perkebunan Deli. Kebijakan itu telah
disalahgunakan oleh pengusaha perkebunan untuk melegalkannya perbudakan
terhadap para kuli yang bekerja.
Seperti yang dikatakan oleh Rhemrev, bahwa hubungan antara majikan
dengan kuli kontrak adalah sedemikian rupa sehingga di satu pihak majikan selalu
merasa yakin bahwa dirinya berhak menguasai kuli dan di pihak lainnya, para kuli
juga merasa yakin bahwa dirinya tergantung sepenuhnya pada majikan. Jadi, di salah
satu pihak penyalahgunaan kekuasaan, di lain pihak penyerahan diri sepenuhnya
sebagai budak. Sifat bengis, tidak kenal perasaan, dan kejam di pihak si tuan,
sebaliknya sikap merendahkan diri yang berlebihan dan pendendam di pihak kuli
(Breman, 1992:234-235). Apalagi dengan adanya paham di kalangan pengusaha
perkebunan yang menganggap bahwa seorang tuan kebun tidak akan dianggap
berhasil dan sukses jika tidak dapat menundukkan kuli membuat mereka terpacu
untuk memperlakukan kuli-kuli itu secara kejam dan tidak berperikemanusiaan.
Dixon mengatakan bahwa secara teoretis, orang bisa menjadi tuan kebun
terbaik di dunia jika tahu benar bagaimana menanam dan merawat tembakau, tapi di
Deli ia tidak akan berguna jika tidak mampu membuat orang tunduk padanya. Hidup
matinya seorang asisten atau tuan kebun di Deli adalah wibawanya (Breman,
1992:85).
antara asisten terendah yang menerima gaji sebesar ƒ350-ƒ540 setiap bulan pada
tahun 1926, yang berarti 20 kali lebih tinggi dibandingkan dengan upah kuli yang
hanya menerima ƒ19,50 setiap bulan. Bahkan, demi tercapainya sistem kerja yang
efisien, para pengusaha menetapkan kebijakan upah kuli perempuan harus lebih
rendah dibandingkan kuli laki-laki. Maka tidak jarang seorang kuli perempuan
terpaksa melacurkan diri untuk memenuhi kebutuhan hidup. Upah yang kecil ini
sangat tidak sesuai jika dibandingkan dengan eksploitasi tenaga mereka yang diperas
lebih kurang 10-12 jam sehari dan acapkali harus kerja lembur. Istilah kuli kontrak
memang tidak dapat lepas dari kondisi mereka yang selalu dijerat dengan keroyalan
yaitu, perjudian, candu, dan pelacuran. Dalam keadaan semacam ini maka persekot
upah yang mereka terima ludes, sehingga akhirnya para kuli akan terus-menerus
memperpanjang kontrak (Mubyarto, 1992:119).
Politik etis yang menyebutkan bahwa upaya meningkatkan taraf ekonomi dan
sosial penduduk pribumi menjadi tugas penting pemerintahan kolonial akhirnya tidak
pernah berjalan. Ini adalah tujuan yang terutama hanya diakui di atas kertas. Dalam
praktek, apa yang dinamakan politik etis itu berbenturan dengan keyakinan penguasa,
yaitu bahwa memajukan orang Asia hanya dapat dilakukan dengan tangan besi. Kuli
tidaklah lebih dari “seekor binatang” di mata majikan, yang harus didisplinkan
dengan tangan besi (Breman,1992:xxiv).
Bahkan menurut van Kol, kuli-kuli kontrak itu selalu mengalami berbagai hal
yang sangat tidak manusiawi di perkebunan Deli. Makanan yang tidak pernah cukup,
yang dipaksakan bagi seorang tahanan yang tidak berdosa, merajalelanya pelacuran
yang mengakibatkan timbulnya penyakit sipilis yang berjangkit, orang-orang lari
yang direjam, pemuatan kuli-kuli secara padat diluar kapasitas kapal dan rumah sakit
jelek yang mengakibatkan kematian pasien, mayat-mayat yang tidak tentu ditanam,
dan bahkan sebagian dari kuli-kuli itu memilih untuk bunuh diri sebagai jalan agar
BAB III
KEKERASAN DALAM NOVEL BERJUTA-JUTA DARI DELI SATOE HIKAJAT KOELI CONTRACT
3.1 Perkebunan Deli dan Kekerasan versi BDSHKC
Deli merupakan daerah pertama yang mengalami pertumbuhan perkebunan
sejak Nienhuys membuka perkebunan tembakau tahun 1864. Keberadaan Deli
semakin hari semakin berubah dengan munculnya perusahaan dan perkebunan
tembakau. Deli menjadi suatu daerah yang kaya, terutama untuk orang-orang
Belanda. Begitu juga dengan para raja dan sultan yang tidak terlepas untuk
mengambil keuntungan. Istana, mesjid, dan taman yang megah didirikan sehingga
menjadikan Deli sebagai kota termodern di Asia Timur (Erwin, 1999:7). Begitu
pentingnya arti perkebunan Deli bagi Belanda sehingga disemboyankan “Molken is
Het Verleden, Java is Het Heden en Sumatra is de Toekomst”, artinya Maluku adalah
masa lalu, Jawa adalah masa sekarang dan Sumatera adalah masa datang.
Dalam novel BDSHKC, Deli adalah sebuah tempat yang terletak di kawasan
Sumatera Timur yang sangat termahsyur dengan tembakaunya yang terkenal di
seantero dunia. Namun, di balik nama besarnya itu, Deli juga merupakan tempat
dimana para kuli kontrak yang telah dicabut hak dan kebebasannya oleh para tuan
kebun dengan sewenang-wenang.
satu dan tempat rekreasi yang nyaman. Orang-orang minum sampanye, makan, membuat pesta-pesta meriah. Sementara di sekitarnya juga berkembang ketiadaan adab dan kezaliman yang tak terkira. Deli adalah kuburan!” (BDSHKC:3).
Berdasarkan kutipan tersebut jelaslah bahwa telah terjadi ketimpangan antara
tuan kebun dengan kuli. Sementara tuan kebun menikmati keuntungan yang
berlimpah, para kuli hanya bisa menderita atas penindasan yang telah mereka terima.
Deli yang disebut sebagai tanah penghasil dolar itu ternyata juga menjadi tempat
terjadinya begitu banyak penyiksaan dan ketidakadilan.
Kuli kontrak yang dipekerjakan di perkebunan Deli sebagian besar
didatangkan dari Cina dan Jawa. Pada umumnya mereka terbujuk oleh mulut manis
makelar pencari tenaga kerja yang dengan mahir mempengaruhi penduduk desa yang
miskin, sehingga dengan mudah tertipu dan akhirnya mau dijadikan sebagai kuli.
“Bayangan tentang negeri rupawan di tanah seberang itu membuat gelisah lelaki-lelaki desa. Deli mengganggu tidur malam mereka yang biasanya selalu nyenyak. Tak sabar mereka ingin melihat langsung, merasakan, merengkuh semua pesona negeri ajaib itu. Uang yang berlimpah, wayang kulit… arak… emas… perempuan-perempuan ronggeng… Ah, apa lagi yang lebih penting dari semua ini?”
Namun, ironisnya apa yang dijanjikan dan mereka dengar tentang Deli yang
penuh dengan kemewahan itu tidaklah menjadi kenyataan. Mereka malah
dipertemukan dengan sosok-sosok penguasa yang menganggap mereka tidak ubahnya
seperti hewan peliharaan. Berbagai bentuk penyiksaan dan penindasan mulai mereka
“Seketika, mereka dihadapkan pada kenyataan-kebyataan perih. Mereka bertemu sosok-sosok asing yang berkuasa. Sosok-sosok yang menggenggam kehidupan mereka, kehidupan orang-orang yang jiwanya telah tergadai. Mereka dibentak-bentak, dikasari, dihinakan. Mereka menerima semua itu dengan perasaan yang sama: gentar. Tidak terbit secercah harapan pun keinginan untuk melawan. Sekonyong-konyong jiwa mereka mati. Mereka seperti patung. Diam, lesu, dan pasrah. Orang-orang menyebutnya orang kontrak. Apa artinya, mereka tidak persis mengerti. Yang mereka tahu setelah sebutan itu mereka pikul, mereka harus patuh. Harus tunduk. Mereka takuti semua yang kemudian terjadi seperti hantu” (BDSHKC:49).
Berdasarkan kutipan tersebut jelaslah bahwa para kuli kontrak itu telah
menerima perlakuan yang tidak semestinya. Walaupun mereka selalu dihina dan
ditindas, namun mereka hanya bisa diam tanpa ada perlawanan. Kekuasaan yang
dimiliki oleh tuan kebun beserta centeng atau mandor yang ditugaskan untuk
mengawasi para kuli tersebut membuat mereka diperlakukan dengan
sewenang-wenang.
Bentakan atau makian yang kasar sering mereka terima, seolah-olah mereka
tidak lagi memiliki harga diri sebagai manusia. Umpatan ‘anak babi’ (hal 23, 55, 69 ),
‘anak kerbau’ (hal 67, 70), ‘anak setan’ (hal 23, 47, 55 ), ‘anak sundal’ (hal 67, 77),
‘monyet’ (hal 55, 77) dan ‘anjing kontrak’ (hal 19, 20, 22, 35, 39, 77), sudah biasa
terdengar di telinga mereka setiap harinya. Hal ini tergambar pada kutipan berikut ini.
“Mandor-mandor sudah mengitari pondok-pondok. Membawa tampang yang dibuat bengis sambil melinting kumis, mereka berteriak-teriak. Selalu marah. Selalu memaki-maki.
“Bangun!!!! Banguunnnnn!!!!”
“Dasar anjing kontrak pemalas! Bisanya cuma tidur pulas!” “Bangun anak sundal!!!!!”
Lekas kerja anak kerbau!!!!” (BDSHKC:67).
“Anjing pemalas!” “Cangkul yang cepat!” “Lebih cepat, monyetttt!!!!!” “Anak sundal!”
“Lebih cepaaatttttt!!!!” (BDSHKC:77)
Tidak hanya makian saja yang mereka terima, kekerasan fisik dan
penganiayaan pun kerap mereka terima.
3.2 Bentuk-bentuk Kekerasan dalam Perkebunan Versi BDSHKC 3.2.1 Kekerasan Langsung
Pada dasarnya kekerasan langsung berhubungan dengan semua tindakan yang
menganggu hak-hak asasi manusia yang paling mendasar, yakni hak untuk hidup.
Bahkan, kekerasan ini mengacu pada tindakan yang menyerang fisik atau psikologis
secara langsung. Menurut Galtung, kekerasan fisik terjadi apabila ada fisik yang
disakiti secara jasmani sedangkan kekerasan psikologis dapat berupa kebohongan,
pencucian otak, indoktrinasi, ancaman, dan intimidasi (Sihombing:2005:9).
Dalam novel BDSHKC, kekerasan langsung ini dialami oleh sebagian besar
kuli kontrak selama bekerja di perkebunan Deli. Penyiksaan adalah salah satu bentuk
kekerasan yang paling banyak dialami oleh kuli-kuli tersebut. Menurut Kasim
(2001:147-148), penyiksaan merupakan bentuk yang lebih buruk dan disengaja dari
perlakuan atau hukuman yang kejam dan tidak manusiawi atau merendahkan
Berbagai bentuk penyiksaan dan pembunuhan ini sudah menjadi hal yang
biasa terjadi di Deli pada saat itu. Pukulan, cambukan, tendangan, tamparan, makian
dan bentakan yang kasar sudah menjadi makanan sehari-hari kuli-kuli kontrak. Mulai
dari awal pendaftaran menjadi kuli, proses pemberangkatan, hingga akhirnya bekerja
di Deli, mereka kerap menerima berbagai bentuk kekerasan.
3.2.1.1Awal Mendaftar Jadi Kuli
Dalam novel BDSHKC, kuli-kuli kontrak telah mengalami berbagai bentuk
kekerasan langsung mulai dari awal mereka mendaftar sebagai kuli. Ketika arus kuli
dari Jawa mulai berjalan, meningkat pula jumlah kasus tentang penipuan, penculikan,
dan praktek keji lainnya yang dilakuka oleh agen-agen pengerahan tenaga kerja.
Bahkan, sebuah angket yang diadakan di kalangan kuli yang baru tiba
mengungkapkan berbagai penyelewengan itu terjadi hanya dua tahun sesudah
diberlakukannya ordonansi kuli.
Seperti yang terjadi pada seorang lelaki bernama Sartim. Dia terjebak menjadi
kuli karena ditipu oleh orang yang baru dikenalnya. Seseorang di pasar ketika itu
meminta bantuannya untuk mencarikan alamat keluarganya. Namun yang terjadi
justru menculiknya dan menjualnya menjadi seorang kuli. Sartim yang tidak tahu
menahu pun akhirnya terpaksa membubuhkan cap jempolnya pada secarik kertas
yang tidak dia mengerti isinya. Hal ini tergambar pada kutipan berikut ini.
tidak mengerti kenapa dia melakukan itu. Tiba-tiba aku sudah berada di sini.” (BDSHKC:16)
Hal ini terjadi pula pada seorang wanita muda bernama Marsinah yang ditipu
oleh seorang tukang kebun sehingga dijadikan sebagai kuli kontrak. Marsinah
percaya pada tukang kebun itu karena berjanji akan melepaskannya dari cengkeraman
Cina tua yang menjadikannya sebagai budak nafsu dan akan memulangkannya ke
kampung. Hal ini tergambar pada kutipan berikut ini.
“Pada sebuah kesempatan, saat isteri Cina tua itu menyuruh Marsinah ke pasar, mereka bertemu. Di sebuah tempat yang dijanjikan, Tukang Kebun menjemputnya lalu membawanya kepada seorang pria Belanda dengan tumpukan kertas di depan mejanya. Tuan yang ramah. Di sebelahnya, seorang pegawai pribumi berpakaian rapi mendekati Marsinah dan setelah beberapa pertanyaan, dia menyodorkan secarik kertas. Dia menyuruh Marsinah meneken kontrak. Marsinah tidak mengerti. Pegawai pribumi itu kemudian menarik jempol Marsinah, mencelupkannya ke dalam botol tinta lalu mencecahkannya di kertas. Lantas, Marsinah diberinya uang.” (BDSHKC:33)
Dari kutipan tersebut jelas terlihat bahwa sebagian kuli-kuli Jawa terpaksa
bekerja di perkebunan Deli karena sebelumnya telah ditipu sehingga meneken
kontrak kerja yang sama sekali tidak mereka ketahui isinya.
Lebih dari paksaan, hutang juga merupakan alat pengikat utama untuk
menjerat laki-laki, perempuan, dan bahkan anak-anak dari lingkungan hidup mereka
dan memaksa mereka berangkat ke Deli. Dalam keadaan seperti itu, pendapat bahwa
kontrak ditandatangani secara sukarela hanyalah karangan kaum kolonial belaka.
Upah persekot yang dibayar di muka dan tidak dipungutnya biaya pemberangkatan
jaminan hutang yang nantinya harus mereka bayar ketika telah bekerja di perkebunan
Deli.
“Siapa mau ikut ke Deli, namanya akan dicatat lalu diberi surat jalan. Tidak dipungut bayaran. Malah diberi persekot,” terang Pak Carik bersemangat. “Bagaimana? Mau?” (BDSHKC:10)
Dari pengaturan transportasi pun telah jelas bahwa yang terjadi adalah
sebaliknya. Agar resiko pelarian dapat diminimalkan maka selama dalam
pengangkutan kuli-kuli selalu dikawal. Mereka pun mulai mendapatkan perlakuan
yang tidak adil dan intimidasi dari orang-orang yang mereka anggap berkuasa. Hal ini
tergambar pada kutipan berikut ini.
“Dua hari mereka diinapkan di barak penampungan. Pegawai kantor emigrasi mengawasi tindak-tanduk mereka dengan ketat. Tidak boleh ada yang lari atau jatuh sakit. Bila ada yang coba-coba membatalkan kontrak, kena pukul. Beberapa orang sekarang disekap di gudang karena ketahuan berniat kabur…” (BDSHKC:19)
3.2.1.2 Dalam Perjalanan Menuju Tanah Deli
Dalam novel BDSHKC, penyiksaan fisik dan psikologis juga terjadi ketika
dalam proses pemberangkatan kuli kontrak ke perkebunan Deli. Mereka mulai
disebut sebagai orang kontrak dan dicaci maki dengan kata-kata yang sangat
merendahkan harga diri mereka.
Setelah beberapa hari kuli diinapkan di barak penampungan, mereka
dinaikkan ke gerbong-gerbong kereta api menuju pelabuhan, untuk selanjutnya
diperlakukan sepertti hewan dan selalu mendapatkan intimidasi dari para kelasi yang
mengawal mereka. Hal ini tergambar pada kutipan berikut ini.
“Orang-orang di sekitar mengecilkan badan. Jiwa mereka rusuh ketakutan, merasa terancam.
“Kelasi yang berdiri berkacak pinggang itu lalu menatap tajam kerumunan yang menunduk dihadapannya. “Awas, jangan ada banyak bicara di kapal ini kalau kamu tidak mau dihajar!” (BDSHKC:22)
Dari kutipan tersebut jelas terlihat bahwa intimidasi yang dilakukan oleh
kelasi itu mampu membuat kuli-kuli itu merasa tertekan dan takut untuk melawan.
Intimidasi yang diterima kuli selama berada di kapal tidak hanya berupa
perkataan. Kelasi bahkan kerap menggunakan kekerasan fisik terhadap kuli yang
dianggap membangkang. Seperti yang terjadi kepada seorang lelaki yang
meronta-ronta untuk diturunkan dari kapal sebab ingin kembali pulang ke kampungnya. Hal
ini membuat kelasi marah dan menendang lelaki itu.
“Mau pulang, heh? Enak saja. Sudah terima persekot, lalu mau pulang?” Pria itu memohon. “Aku mau pulang. Aku tidak mau pergi. Aku harus mengurus kerbauku. Aku ma…”
Bluk!
Sebuah tendangan hinggap di perut pria itu dan membuat mulutnya seketika terbungkam.
“Diam di situ! Kalau banyak bicara, aku buang kau ke laut! Sana, berenang ke kampungmu!:
Pria itu merintih, “T-turunkan a-ak…” Bluk!
Kembali sebuah tendangan melayang. Kali ini kena dadanya. Pria itu meringis. Kesakitan. Dia bergelung di lantai. Merintih ngilu.” (BDSHKC:22)
Hal ini juga terjadi pada seorang pemuda yang masih hampir anak-anak.
pemuda itu. Kelasi memaksa pemuda tersebut menyerahkan baju yang dipakainya
juga melalui kekerasan. Hal ini tergambar pada kutipan berikut ini.
“Hei, anak tolol! Kowe tuli, ya! Buka bajumu! Setaaan!” Pemuda masih diam.
Sekarang kelasi mendekatinya lalu tangannya yang besar tiba-tiba menjambak rambut pemuda itu.
“Dasar pekak! Buka bajumu! Mau dipukul, heh?”
Pemuda itu meringis. Kepalanya terangkat naik. Lalu, kelasi melepas cengkeramannya. Sekilas, pemuda itu menatap sosok yang berdiri di atasnya namun segera dia kembali menunduk. Dia tak berani melawan sosok yang tampak begitu besar. Begitu berkuasa.” (BDSHKC:23)
Dari kutipan tersebut jelas terlihat bahwa para kelasi dapat melakukan
kekerasan fisik kepada kuli-kuli kontrak itu sesuka hatinya. Hal ini mereka lakukan
untuk menunjukkan bahwa mereka adalah orang yang berkuasa di atas kapal.
Sehingga tidak seorangpun kuli yang boleh menolak atau membantah keinginannya.
Kekerasan fisik itu terus berlanjut ketika mereka sampai di Pelabuhan
Belawan dan selama perjalanan di gerbong-gerbong kereta api menuju Deli (hal 47).
Hal ini tergambar pada kutipan berikut ini.
“Bersahut-sahutan suara kelasi. Selalu terdengar seperti iringan gemuruh guntur di saat hujan. Padahal, hari itu sedang panas. Matahari tegak lurus di atas kapal. Mereka selalu berseru keras-keras, selalu memaki-maki. Setiap kalimat yang terdengar selalu diiringi dengan terjangan dan tendangan.
Blukk!
Sebuah tendangan hinggap di rusuk seorang lelaki yang terlelap di lantai kapal. Seorang kelasi, berkumis, baru saja menjadikan rusuk pria itu seperti bola.
3.2.1.3 Setelah Menjadi Kuli
Dalam novel BDSHKC, kekerasan dan penyiksaan semakin banyak ketika
kuli-kuli kontrak itu sampai ke perkebunan Deli. Tidak hanya makian saja yang
menghiasi kehidupan kuli di perkebunan. Bahkan cambukan, pukulan, tamparan, dan
tendangan sering mereka rasakan. Sedikit saja melakukan kesalahan, maka hukuman
yang berat akan menanti mereka. Hal ini terjadi pada seorang kuli bernama Marno.
Dia adalah kuli Jawa yang masih berusia limabelas tahun. Hanya karena ketika
mencangkul tubuhnya tidak penuh membungkuk, dia menerima tindakan
sewenang-wenang dari seorang asisten perkebunan. Hal tersebut tergambar pada kutipan berikut
ini.
“Kemarin, hari pertama Marno masuk kerja, Tuan asisten memukulnya sampai dia tersaruk-saruk ke dalam rawa. Saat mencoba berdiri, Tuan Asisten menendanginya hingga dia terjengkang, jatuh lagi masuk ke rawa. Saat dia mencoba berdiri lagi, Tuan Asisten malah menginjak kepalanya, membenamkannya ke air. Itu juga terjadi berkali-kali. Hingga kemudian dia benar-benar berdiri setelah Tuan Asisten memerintahkan berdiri. Tuan menyuruhnya berdiri untuk mengayunkan tongkat ke bahu dan kepalanya. Berkali-kali” (BDSHKC:78).
Sedikit berbeda dengan yang menimpa seorang kuli bernama Wiryo. Ia
mendapat hukuman karena tertangkap basah mencoba membunuh seorang asisten
perkebunan. Dia merasa dendam dan tidak terima karena kekasihnya mati disiksa
oleh asisten tersebut. Alasannya, kekasihnya menolak untuk dijadikan nyai atau istri
simpanan. Hal ini membuat Wiryo dendam dan mencoba membalaskan sakit hatinya
mandor, sehingga membuatnya dijatuhi hukuman mati. Hal ini tergambar pada
kutipan berikut ini.
“Cemeti panjang itu membelah udara, meliuk seperti ular hitam dan segera menyengat punggung Wiryo yang telanjang. Wiryo meraung kesakitan. Kepalanya dan kakinya terhenyak naik menahan sakit yang tak terperikan. Daging punggungnya koyak dibelah oleh lecutan cemeti yang liar.
“duaaaa….” Plashhh
Lagi suara cemeti berdesing menghajar tubuh Wiryo yang kecoklatan yang berkelonjotan menahan sakit tak terperikan. Wiryo melolong, meraung-raung. Pekiknya melengking, lepas menerobos seluruh jengkal tanah di perkebunan” (BDSHKC:96).
Penyiksaan dan penindasan yang sewenang-wenang itu tidak hanya terjadi
pada kuli laki-laki saja, kuli perempuan pun mendapatkan perlakuan yang tidak kalah
buruknya. Keberadaan mereka oleh tuan kebun hanya dianggap sebagai pelacur. Kuli
yang cantik dipilih untuk dijadikan nyai tuan kebun, sedangkan kuli yang berwajah
jelek dibagikan kepada kuli-kuli yang telah lama bekerja di perkebunan sebagai istri.
Istri tanpa ikatan perkawinan yang resmi.
Kehidupan yang bebas ini memang sudah menjadi hal yang biasa di Deli.
Adat ketimuran yang penuh dengan sopan santun hilang dengan sendirinya
digantikan dengan kehidupan yang penuh dengan kebebasan. Bebas berjudi, bebas
melacur, bebas menghisap candu, dan bebas menenggak minuman beralkohol.
Adat-istiadat yang mereka bawa dari tanah kelahirannya itu perlahan sirna digantikan
kebiasaan-kebiasaan orang Eropa.
Kuli-kuli perempuan di Deli hanya dijadikan sebagai budak nafsu oleh tuan
kebun, maka tidak segan-segan tuan kebun akan menyiksanya hingga mati. Hal ini
terjadi pada seorang kuli perempuan bernama Jumilah. Dia ditelanjangi, disalib
seperti Kristus, dijemur sepanjang hari tanpa diberi makan ataupun minum karena
menolak seorang asisten perkebunan.
“Kemarin siang, di bawah sengatan terik matahari tropis, opas-opas pribumi itu mencambuk pinggulnya dengan tali sangurdi. Tentu, perempuan itu meraung-raung kesakitan. Belum puas, opas-opas itu kemudian menggosok kemaluannya dengan lada yang ditumbuk halus. Raung perempuan itu pun semakin menjadi-jadi. Demikianlah hukuman yang ditimpakan padanya.” (BDSHKC:73)
Dari kutipan tersebut terlihat bahwa kuli perempuan pun mengalami nasib
yang sangat buruk. Bahkan lebih buruk dari kuli laki-laki. Hal ini juga tergambar
pada kutipan berikut ini.
“lalu bayangan keji lainnya datang mendesak. Tuan Le menghajar dua orang kuli perempuan sekaligus: Rasiem dan sumina. Seperti Kasina Satu, mereka juga ditelanjangi saat pundak mereka dihantam kayu hingga kedua lengan mereka patah; muka bonyok, pinggang keseleo dan kemaluan berdarah. Bayangan lain sekonyong-konyong menerobos dan mendesak pula. Samina, Isa Dua, dan Kariosumito mendapat hukuman serupa; dengan lolongan yang sahut bersahut. Kecuali Kariosumito yang entah kenapa tiba-tiba meludah saat dipukul, Tuan Le memberinya hukuman tambahan: menyuruh kuli itu merangkak dan memakan tahi kuda.” (BDSHKC:211-212)
Penyiksaan seperti itulah yang mereka hadapi terus menerus. Berbagai cara
menghukum yang dilakukan oleh para tuan kebun telah banyak mereka terima. Ada
tuan kebun yang lebih suka memenjarakan kuli sebagai hukuman. Ada pula yang
lebih suka menyiksa, mencambuk, atau memukuli kuli hingga mati. Memasukkan
baik. Hukuman itu hanya memboroskan waktu dan tenaga kuli yang seharusnya bisa
dipakai menjadi mubajir.
“Terus perintah menyerang itu terdengar. Tegas dan keras. Satu persatu suara kepalan dan tendangan terdengar disusul pekik kesakitan. Satu demi satu… terus dan terus…
hukuman saling bal-bal itu baru berhenti tatkala A Cheng dan Yun Tao telah sama-sama terkapar di tanah. Wajah keduanya lebam-lebam. Sama-sama menderita. Telinga A Cheng berdarah sementara kemaluan Yun Tao pecah. Beberapa gigi A Cheng rontok sementara hidung Yun Tao penyok. Orang-orang memandang mereka dengan tercenung” (BDSHKC:90)
Dari kutipan tersebut jelas terlihat bahwa setiap saat tuan kebun bisa
menghukum kuli sesuai dengan kesukaannya. Tuan asisten sengaja menghukum
kedua kuli tersebut dengan saling bal-bal karena dia bosan dengan hukuman yang
itu-itu saja. Pertunjukan saling bal-bal antara A Cheng dan Yun Tao itu-itu dianggap
belachlijke vertooning ( pertunjukan yang menggelikan) dan sangat menarik hati bagi
Tuan Asisten. Kedua kuli Cina itu hanya bisa patuh dan pasrah.
Sifat nrimo dan patuh dari kuli-kuli kontrak inilah yang membuat mereka
dengan mudah diperlakukan sewenang-wenang oleh tuan kebun dan
centeng-centengnya. Mereka tidak boleh membangkang karena kepatuhan dan tunduk pada
majikan memang sudah ada dalam kontrak kerja mereka.
Dari kutipan tersebut jelas terlihat bahwa kuli-kuli itu selalu bernyali ciut.
Kekejaman dan perlakuan yang tidak adil itu membentuk karakter penakut pada diri
mereka. Mereka selalu diharuskan patuh dan tunduk tanpa boleh melakukan
perlawanan pada tuan kebun. Di satu sisi mereka takut dan harus tunduk pada
perintah tuan kebun, di satu sisi pula hati mereka berontak dan dipenuhi dengan rasa
ingin balas dendam. Hal ini tergambar pada kutipan berikut ini.
“Kuli-kuli itu sepertinya penurut namun dada mereka diselubungi dendam.” Seorang asisten bergumam.
Bukan Cuma dia. Semua kuli di sini ahli menyembunyikan sifat jahat di balik wajah yang pura-pura dibuat sopan.”
“Kuli-kuli itu pemalas. Mereka baru mau bekerja kalau dipaksa. Mereka penurut hanya karena takut. Mereka tidak kenal aturan dalam hawa nafsu dan tidak tahut pada penyakit kelamin. Mereka gemar berkelahi, mengancam, dan membunuh. Jika bisa mnyenangkan hati atasan dengan harapan memperoleh keuntungan darinya, seorang anak tega membunuh anaknya, saudara yang satu membunuh saudara yang lain, atau sebaliknya, seorang putra membunuh bapaknya. Hukuman keras pantas bagi mereka.” (BDSHKC:195)
Nafsu membunuh dan rasa dendam yang dimiliki oleh kuli-kuli ini adalah
dampak dari ketidakadilan yang mereka terima. Perlakuan tuan kebun yang
sewenang-wenang itu membuat mereka nekad untuk membangkang. Tidak sedikit
orang Eropa yang pada umumnya tuan kebun menjadi korban balas dendam para kuli.
Sudah beberapa kali percobaan pembunuhan dilakukan oleh kuli-kuli itu. Mulai dari
Wiryo yang mencoba membunuh Tuan Asisten namun gagal, kemudian sekarang
giliran Tuan Ba yang menjadi korban.
pahanya dipenuhi luka tusukan. Seperti tubuhnya yang menderita, centeng juga mendapati mobil Asisten Ba rusak. Kacanya pecah, busa kursi berhamburan, ban mobil kempes, dan kap penyok-penyok.
Asisten Ba mati dibunuh Kisman dan Mistiono.” (BDSHKC:195)
Dari kutipan tersebut jelas terlihat bahwa kuli yang biasanya hanya bisa patuh
dan tunduk dengan wajah penuh ketakutan bisa berubah menjadi sosok yang sangat
beringas dan penuh dengan dendam. Hal ini tentu merupakan cara mereka untuk
protes kepada tuan kebun atas perlakuan yang tidak seharusnya mereka terima.
Kekerasan-kekerasan langsung inilah yang menjadi bagian yang tidak
terpisahkan dari kehidupan kuli-kuli kontrak dan tuan kebun. Kekerasan ini dapat
menimpa kapan saja dan kepada siapa saja, terhadap si kuli maupun tuan kebun
sendiri.
3.2.2 Kekerasan Tidak Langsung
Kekerasan langsung adalah tindakan yang membahayakan hidup manusia,
namun tidak melibatkan hubungan langsung antara korban dan pihak yang
bertanggung jawab atas kekerasan tersebut. Atau dengan kata lain, kekerasan tidak
langsung adalah tindakan yang melukai (bisa berarti nonfisik) orang dengan cara
mengusik sesuatu atau seseorang yang berkaitan dengan kepentingan vital orang
tersebut. Kekerasan langsung tidak selalu menjadi bentuk kekerasan yang paling
kejam terkait dengan perkembangan kapitalisme. Berjuta-juta orang menderita dan
kadang-kadang meninggal karena kekerasan tidak langsung yang disebabkan oleh
Kemiskinan dan ketidakadilan sosial adalah bentuk yang paling jelas dari
kekerasan tidak langsung ini. Mark Twain (Salmi, 2003:34) pernah mengatakan
bahwa kemiskinan adalah teror terburuk. Seperti yang dikatakan Camara (2005:27)
bahwa sudah umum diketahui bahwa kemiskinan juga bisa membunuh, sama seperti
perang yang paling brutal. Ia tidak hanya sekedar membunuh namun juga dapat
menyebabkan kerusakan fisik, kerusakan psikologis (mental), dan kerusakan moral.
Sama seperti halnya mereka yang mengalami perbudakan. Sesuatu yang tidak tampak
tetapi sungguh nyata terlihat. Karena kemiskinan, mereka selalu hidup tanpa
kepastian akan masa depan dan harapan, sehingga dengan mudah mereka jatuh ke
dalam keterpurukan dan merosot ke dalam mental pengemis.
Sistem kapitalisme yang dianut kolonial Belanda tersebut telah merubah
wajah masyarakat Indonesia. Pengerukan paksa kekayaan alam dan penghisapan
manusia atas manusia (exploitation de il homme par il homme) berdampak pada
perekonomian rakyat. Sistem itu tentu saja akan membawa penderitaan karena dapat
memiskinkan mereka.
Sistem kapitalis akan membentuk masyarakat perkebunan (onderneming)
yang sasarannya selalu di tempat yang baik tanahnya dan banyak penduduknya. Di
mana perkebunan menancapkan dan mengembangkan usahanya, di sana pulalah
tanah pertanian akan semakin menyempit. Seperti yang terjadi di Jawa, dibentuknya
perkebunan tebu membuat petani tersingkir dari tanah garapannya, yang pada
Seperti yang dikemukakan oleh Tauchid (Fauzi, 1999:41) bahwa penanaman
modal selalu mencari sasaran tanah dan memerlukan tenaga kerja yang manusia yang
banyak dan murah. Karenanya, kapitalis kolonial selalu mencari tanah yang subur dan
cukup banyak penduduk. Sehingga, di daerah-daerah penerapan agro industri tanah
semakin sempit bagi rakyat dan rakyat semakin terdesak penguasaannya terhadap
tanah. Oleh karena itu, banyak buruh-buruh kontrak di perkebunan Sumatera Timur
yang berasal dari Jawa karena dengan tersingkirnya dari tanah garapan membuat
mereka mengalami kemiskinan.
3.2.2.1 Awal Mendaftar Jadi Kuli
Dalam novel BDSHKC, kuli-kuli kontrak banyak didatangkan dari Jawa yang
pada umumnya dilanda kemiskinan. Sistem kapitalis yang dianut kolonial Belanda
telah memiskinkan mereka di tanah asal sehingga me