• Tidak ada hasil yang ditemukan

Dalihan Na Tolu

Dalam dokumen SOSIALISASI DALIHAN NA TOLU (Halaman 27-35)

TINJAUAN PUSTAKA

2.2 Dalihan Na Tolu

Dalihan na tolu merupakan konsep dasar kebudayaan masyarakat Batak

yang sifatnya sangat unik. Secara harafiah arti dalihan na tolu adalah kaki tungku nan tiga dan merupakan lambang sistem sosial masyarakat Batak yang terdiri dari tiga tiang penopang, yaitu dongan sabutuha, boru, dan hula-hula. Hal tersebut seperti yang diungkapkan dalam semboyan Batak yang berbunyi manat

hati-hati dengan teman semarga, terhadap boru haruslah melayani, dan kepada hula-hula harus dengan sikap menyembah.” (Siahaan, 1982).

Dalihan na tolu merupakan tiang utama penyangga kehidupan seluruh

tatanan kebudayaan Batak yang terdiri dari hula-hula - dongan sabutuha - boru. Di atas ketiga kaki tungku inilah seluruh tatanan sosio kultural disandarkan (Harahap, 1987). Dalihan na tolu merupakan suatu bentuk kebudayaan masyarakat Batak yang mengatur kekerabatan antarindividu. Dalihan na tolu dapat dianalogikan dengan tiga kaki tungku-masak di dapur tempat menjajakan periuk yang terdiri dari unsur pihak semarga, pihak yang menerima isteri dan pihak yang memberi isteri. Dalihan na tolu merupakan salah satu dan merupakan nilai utama dari nilai inti budaya suku Batak (Daulay, 2006).

Dari pengertian di atas maka dapat ditarik kesimpulan bahwa dalihan na

tolu adalah suatu bentuk kebudayaan berupa sistem kekerabatan yang mengatur

hubungan antar manusia masyarakat Batak yang merupakan nilai utama dari inti budaya Batak yang terdiri dari ketiga unsur yaitu dongan sabutuha, hulahula, dan

boru. Unsur-unsur dalam dalihan na tolu dapat dijelaskan sebagai berikut:

1. Dongan sabutuha, secara harafiah teman yang berasal dari kandungan yang sama (sabutuha = sekandungan) atau dalam arti luas disebut sebagai teman semarga. Marga merupakan satuan kelompok yang berasal dari jalur keturunan yang sama yang berasal dari keturunan pihak ayah, hal tersebut dikarenakan sistem kekerabatan orang Batak adalah patrilineal dimana laki-laki membentuk kelompok kekerabatan dan perempuan menciptakan hubungan besan dengan pihak yang lain (Vergouwen, 1986).

2. Hula-hula, secara harafiah adalah pihak pemberi isteri. Misalkan sebuah keluarga memiliki anak perempuan maka pihak perempuan itu menjadi

hula-hula bagi pihak suaminya. Prinsip yang dipegang teguh masyarakat

Batak ialah klen pria yang menerima seorang wanita menjadi anggotanya karena kawin dengan putera dari klen tersebut maka klen pria sangat berhutang budi kepada klen yang memberikan wanita tersebut. Sang wanita dan klen suaminya harus tetap hormat menyembah hula-hula seolah-olah sebagai sumber berkat. Hula-hula dianggap sebagai pemberi kebahagiaan, ketentraman batin dan juga sumber kemakmuran.

3. Boru, secara harafiah diartikan sebagai pihak yang menerima isteri. Misalkan sebuah keluarga memiliki anak perempuan, marga suami dari anak perempuannya itu menjadi boru bagi marga kepala keluarga tersebut. Ketiga unsur dalam dalihan na tolu tersebut saling betalian satu dengan yang lain dan tidak dapat dipisahkan. Hal tersebut karena setiap orang dapat menjadi

dongan sabutuha, boru, maupun hula-hula bagi individu yang lainnya. Hubungan

ini dapat digambarkan sebagai berikut: misalnya X adalah seorang suami dari Y. Apabila X sedang berada pada keluarga Y maka ia berperan sebagai boru. Apabila X sedang berada pada keluarganya maka ia berperan sebagai dongan tubu. Sedangkan apabila X memiliki anak perempuan dan menikah dengan keluarga Z maka X adalah hula-hula bagi keluarga Z.

Dalihan na tolu dapat dikategorikan sebagai wujud kebudayaan ideas,

activities, dan artifacts. Dikatakan sebagai ideas karena dalihan na tolu

merupakan suatu gagasan yang merupakan nilai inti dari masyarakat Batak dan bertalian satu dengan yang lain. Dalam wujud yang demikian sifatnya sangat

abstrak, tak dapat diraba maupun difoto. Apabila dalihan na tolu sudah diimplementasikan dalam sebuah aktivitas seperti upacara adat dan kebiasaan ‘martutur’ maka wujud dari sistem kekerabatan ini adalah activities. Martutur merupakan penelusuran mata rantai istilah kekerabatan jika ia berjumpa dengan orang Batak lainnya. Hal tersebut untuk mengetahui apakah yang satu masih kerabat dari yang lainnya dan bagaimana cara yang seharusnya untuk saling bertutur sapa. Dalam wujud artifacts terlihat dalam ulos. Secara harafiah ulos adalah selimut untuk menghangatkan badan. Ulos merupakan kain tradisional Batak berupa selendang yang melambangkan ikatan kasih sayang antara orang tua dan anak-anaknya atau antara seseorang dan orang lain. Pemberian ulos didasarkan pada dalihan na tolu dimana seseorang hanya boleh mengulosi (memberi ulos) orang lain yang menurut kekerabatan berada di bawahnya. Misalnya orang tua boleh mangulosi anak, tetapi anak tidak boleh mangulosi orang tua atau seorang boru tidak boleh mangulosi hula-hula.

Prinsip dalihan na tolu dijadikan konsep dasar kebudayaan Batak baik di kampung halaman atau desa maupun tanah perantauan (Harahap, 1987). Desa bagi masyarakat Batak merupakan suatu unit genealogis dan teritorial dimana warga desa diikat oleh hubungan darah dari satu leluhur. Selain itu prinsip tersebut digunakan dalam setiap upacara adat yang mencakup upacara adat perkawinan, kematian, dll. Apabila tidak berdasarkan pada adat dalihan na tolu maka tidak dapat dikatakan sebagai upacara adat Batak (Siahaan, 1982). Upacara adat dikatakan berdasarkan adat dalihan na tolu apabila ia mengundang dongan

sabutuha, hula-hula, dan boru serta melakukan berbagai prosesi berdasarkan

Pada tahap yang lebih tinggi dalihan na tolu dihayati sebagai sistem kognitif yang memberikan pedoman bagi orientasi setiap orang Batak. Hal ini ditunjukkan dengan Pada tingkat selanjutnya, dalihan na tolu adalah pengetahuan kolektif yang menentukan persepsi dan definisi terhadap realitas (Harahap, 1987). Mekanisme dalihan na tolu menurut Sitorus (1998) berfungsi memelihara kesatuan (integrasi) masyarakat Batak Toba. Hal tersebut dapat berlangsung karena keluarga inti menjalankan fungsi-fungsi hula-hula, dongan tubu, dan boru pada tempat, waktu, dan konteks peristiwa dan dengan cara yang benar. Fungsi-fungsi itu adalah:

1. Hula-hula memberi pengayoman

2. Dongan sabutuha menanggung bersama beban ringan maupun berat (solidaritas).

3. Boru “berkorban” untuk hula-hula.

Sekali keluarga inti berhenti menjalankan fungsi-fungsi di atas, maka integrasi masyarakat akan terancam. Nasib prasyarat integrasi tersebut ditentukan oleh sejauh mana terjadi keseimbangan dalam pelaksanaan tri-fungsi dalihan na

tolu. Hal ini dapat digambarkan sebagai berikut: apabila seseorang tidak

menjalankan peran berdasarkan statusnya maka peran tersebut tidak dapat digantikan oleh orang lain yang mimiliki status yang berbeda. Keadaan ini menjadikan adanya peran yang tidak dijalankan, contohnya: jika hula-hula tidak menjalankan fungsinya, maka tidak ada yang memberikan pengayoman; jika

dongan sabutuha tidak menjalankan fungsinya, maka tidak ada yang menanggung

beban; jika boru tidak menjalankan fungsinya, maka tidak ada yang berkorban atau melayani. Hal ini dapat mengancam integrasi masyarakat Batak.

Sejalan dengan Sitorus, Daulay (2006) mengungkapkan bahwa fungsi dari

dalihan na tolu adalah menciptakan integrasi terhadap ketiga unsur dalihan na

tolu melalui perkawinan. Selain itu, fungsi dalihan na tolu merupakan pengenalan

garis keturunan pada setiap individu masyarakat Batak. Kekuatan kekerabatan terwujud dalam pemakaian tutur atau sapa. Secara singkat, dalihan na tolu mengatur mekanisme integritas dan identitas antar marga (clan). Nilai tersebut diaplikasikan dalam bentuk sosial adat dalihan na tolu.

Segi khusus dalam pelaksanaan fungsi dalihan na tolu adalah proses pertukaran apabila dua keluarga inti dihubungkan: satu melakukan fungsi

hula-hula dan satu lainnya melakukan fungsi boru. Pertukaran harusnya terjadi dalam

batas-batas keseimbangan, tidak ada yang merasa dirugikan, sehingga tidak mengganggu integrasi masyarakat. Hubungan tersebut menjadikan affina bagi individu yang satu dan lainnya; mereka menciptakan hubungan partondongan = saling affina; tidak dipertalikan oleh hubungan darah. Fungsi hula-hula, dongan

tubu dan boru dilakukan dengan oleh keluarga inti yang berbeda, tetapi dalam

suatu ikatan interaksi (Sitorus, 1998).

2.3 Perilaku

Perilaku merupakan reaksi dari hasil interaksi antar individu dengan rangsangannya atau lingkungannya. Menurut Goldmith sebagaimana dikutip Lutfiah (2007) perilaku individu adalah segala sesuatu yang meliputi pengetahuannya (knowledge) yang menjadi sikapnya (attitude), dan yang bisa dikerjakan (action). Adapun perilaku muncul sebagai hasil interaksi antar individu dengan lingkungannya. Dengan demikian perilaku juga dapat dikatakan sebagai

reaksi yang terjadi karena adanya stimulus atau interaksi antara individu dengan lingkungannya dan benar-benar dilakukan seseorang dalam bentuk tindakan.

Menurut Smith sebagaimana dikutip Sarwono (2002), perilaku manusia sebagai makhluk sosial dipengaruhi oleh berbagai faktor, baik dari luar maupun dari dalam. Perilaku bukanlah faktor yang kuat tetapi dapat berubah, diubah, dan berkembang sebagai hasil interaksi individu yang bersangkutan dengan lingkungannya.

Mengacu pada pendekatan psikologi, Mugniesyah (2006) mengungkapkan bahwa perilaku individu mencakup domain atau ranah, yaitu:

1. domain atau ranah kognitif atau pengetahuan 2. domain atau ranah afektif atau sikap

3. domain psikomotorik atau keterampilan

Perubahan perilaku diperoleh dari hasil proses belajar. Secara sederhana perubahan perilaku yang ingin dicapai oleh individu yang belajar adalah perubahan pada aspek pengetahuan (knowladge), sikap (attitude), keterampilan (skill). Bloom sebagaimana dikutip Mugniesyah (2006) mengembangkan klasifikasi hasil atau tujuan belajar yang dilihat dari tiga ranah perilaku yaitu kognitif, afektif, dan psikomotorik. Adapun rincian dari setiap ranah perilaku tersebut dijelaskan sebagai berikut:

1. Ranah kognitif

a. Pengetahuan, pada tahap ini individu dapat mengingat berbagai hal yang pernah tersimpan dalam ingatannya.

b. Pemahaman, pada tahap ini individu mempunyai kemampuan untuk menangkap makna dan arti dari berbagai hal yang pernah dilakukan dan dipelajarinya. Pada tahap ini kemampuan individu dapat ditunjukkan dengan menerangkan, menerjemahkan, dan/atau menginterpretasikan sesuatu yang dilihat dan didengarnya dengan menggunakan kata-kata sendiri.

c. Penerapan, kemampuan individu untuk mengaplikasikan (dalam pikiran) apa yang telah dipelajari dengan menerapkannya pada suatu kasus atau problem baru.

d. Analisa, kemampuan untuk merinci suatu kesatuan ke dalam bagian-bagian sehingga struktur keseluruhan atau organisasinya dapat dipahami dengan baik.

e. Sintesa, mencakup kemampuan untuk membentuk suatu kesatuan pola baru.

f. Evaluasi, individu dapat memberikan penilaian terhadap suatu atau membanding keunggulan dan kelemahan sesuatu atau beberapa hal, bersama dengan pendapat itu dengan kriteria tertentu.

2. Ranah afektif

a. Penerimaan, mencakup kemampuan seseorang yang belajar untuk menerima hal-hal yang baru atau sikap menerima terhadap sesuatu dengan menunjukkan sikap mendengar dengan penuh perhatian, sadar akan pentingnya belajar

b. Menanggapi, mencakup kerelaan untuk memperhatikan secara aktif dan berpartisipasi dalam suatu kegiatan. Kesediaan itu dinyatakan

dengan memberikan suatu reaksi dengan menunjukkan minat terhadap sesuatu

c. Penilaian/penentuan sikap, mencakup kemampuan untuk memberikan penilaian terhadap sesuatu dan membawa diri sesuai dengan penilaian itu. Mulai dibentuk sikap menerima, menolak atau mengabaikan

d. Organisasi, mencakup kemampuan untuk membentuk suatu sistem nilai sebagai pedoman dan pegangan dalam kehidupan

e. Menghayati, mencakup kemampuan untuk menghayati nilai-nilai kehidupan sedemikian rupa, sehingga menjadi milik pribadi (internalisasi) dan menjadi pegangan nyata dan jelas dalam mengatur kehidupannya sendiri.

3. Ranah psikomotorik, hasil belajar melibatkan unsur saraf, otak, dan otot yang ada pada tubuh dengan tujuah kategori hasil belajar, yaitu persepsi, set, gerakan terbimbing, gerakan yang terbiasa atau mekanis, gerakan kompleks, adaptasi, kreativitas.

Dalam dokumen SOSIALISASI DALIHAN NA TOLU (Halaman 27-35)

Dokumen terkait