• Tidak ada hasil yang ditemukan

Sosialisasi dalam Proses pelembagaan

Dalam dokumen SOSIALISASI DALIHAN NA TOLU (Halaman 35-41)

TINJAUAN PUSTAKA

2.4 Sosialisasi dalam Proses pelembagaan

Untuk menciptakan hubungan manusia dalam lembaga kemasyarakatan maka dirumuskan norma-norma masyarakat (Soekanto, 2002). Awalnya norma dibuat secara tidak sengaja. Namun semakin lama norma dibuat secara sadar. Setiap norma memiliki kadar kekuatan mengikat yang berbeda. Untuk melihat kadar mengikatnya maka terdapat empat tingkatan norma, yaitu:

1. Cara (usage), pada tingkatan ini norma memiliki kekuatan yang sangat lemah. Cara (usage) lebih menonjol dalam hubungan individu dalam masyarakat. Suatu penyimpangan terhadapnya hanya mendapat celaan dari individu yang dihubunginya.

2. Kebiasaan (folkways), pada tingkat ini norma memiliki kekuatan mengikat yang lebih besar. Kebiasaan diartikan sebagai perbuatan yang diulang-ulang dalam bentuk yang sama, merupakan bukti bahwa orang banyak menyukai perbuatan itu. Kebiasaan merupakan perilaku yang diakui dan diterima oleh masyarakat. Penyimpangan terhadapnya akan dianggap sebagai penyimpangan terhadap kebiasaan umum dalam masyarakat. 3. Tata kelakuan (mores), mencerminkan sifat-sifat hidup dari kelompok

manusia yang dilaksanakan sebagai alat pengawas, secara sadar maupun tidak, oleh masyarakat dan anggota-anggotanya. Tata kelakuan, di satu pihak memaksakan suatu perbuatan dan di pihak lain melarangnya, sehingga secara langsung merupakan alat agar anggota masyarakat menyesuaikan perbuatan-perbuatannya dengan tata kelakuan tersebut. Tata kelakuan penting karena tata kelakuan memberikan batas-batas pada perilaku individu, mengidentifikasi individu dengan kelompoknya, menjaga solidaritas antar anggota masyarakat.

4. Adat istiadat (custom), adat istiadat memiliki daya ikat yang tinggi dimana pelanggaran terhadap adat istiadat mendapat sangsi yang keras yang secara tidak langsung diperlakukan. Biasanya yang melakukan pelanggaran akan dikeluarkan dari masyarakat.

Norma-norma di atas mengalami proses yang pada akhirnya akan menjadi bagian tertentu dari lembaga kemasyarakatan. Proses tersebut dinamakan proses pelembagaan (institutionalization). Suatu norma tertentu dikatakan telah melembaga apabila norma tersebut telah diketahui, dipahami dan dimengerti, ditaati, dihargai. Proses pelembagaan tidak berhenti pada suatu tahap

institutionalized saja, tetapi menjadi internalized dimana para anggota masyarakat

dengan sendirinya berperilaku sejalan dengan perilaku yang sebenarnya memenuhi kebutuhan masyarakat.

Proses pelembagaan norma diatas adalah menggunakan pengendalian sosial. Pengendalian sosial merupakan suatu proses pengawasan, yang bersifat mendidik, mengajak, atau bahkan memaksa warga-warga masyarakat untuk mematuhi kaidah-kaidah dan nilai sosial yang berlaku. Pengendalian sosial dapat dilakukan oleh individu terhadap individu lainnya (contoh: ibu mendidik anak untuk menyesuaikan diri pada kaidah yang berlaku) atau mungkin dari individu terhadap suatu kelompok sosial, dan selanjutnya dilakukan oleh suatu kelompok kepada kelompok yang lainnya. Tujuan utama dari pengendalian sosial adalah mencapai keserasian antara stabilitas dengan perubahan yang ada dalam masyarakat. Proses pengendalian sosial dapat bersifar prefentif atau represif, atau bahkan kedua-duanya. Prefensi merupakan suatu pencegahan terhadap terjadinya gangguan pada keserasian. Usaha prefentif dijalankan melalui sosialisasi, pendidikan formal, dan informal. Sedangkan represif berwujud penjatuhan sanksi terhadap masyarakat yang melanggar atau menyimpang dari kaidah yang berlaku (Soekanto, 2002).

Bentuk pengendalian sosial adalah sosialisasi. Sosialisasi merupakan proses yang berlangsung sepanjang hidup manusia. Selain itu sosialisasi merupakan suatu proses penyampaian pengetahuan dan pewarisan kebudayaan serta tingkah laku dari generasi yang satu ke generasi berikutnya. Proses sosialisasi ini dialami individu sejak lahir hingga meninggal dunia dan dalam proses tersebut si individu belajar mengenali nilai, sikap, keahlian dan berbagai peranan yang secara keseluruhan membentuk kepribadiannya, baik secara langsung maupun tidak langsung dari keluarga maupun lingkungannya (Adiwijaya dkk sebagaimana dikutip Siregar 2003).

Berkaitan dengan hal di atas maka George Ritzer sebagaimana dikutip Soe’oed (1999) membagi siklus kehidupan manusia dalam empat tahap, yaitu:

1. Tahap kanak-kanak, pada tahap ini orang tua sangat berperan dalam sosialisasi karena orang tua dinilai memiliki kewajiban untuk mengajarkan kepada anaknya tentang kehidupan. Apa yang dilakukan orang tua pada masa hidupnya sangat menentukan kepribadian tentang anak tersebut. 2. Tahap remaja, merupakan masa transmisi dari anak-anak menuju dewasa.

Sosialisasi pada tahap remaja dapat disebut sebagai suatu gejala “reverse

socialization” yang mengacu pada cara di mana orang yang lebih muda

dapat menggunakan pengaruh mereka kepada yang lebih tua.

3. Tahap dewasa, pada tahap ini sosialisasi merupakan proses dimana individu dewasa mempelajari norma, nilai, dan peranan yang baru dalam lingkungan sosial yang baru pula. Proses belajar di sini lebih intensif, belum tentu sama dengan nilai, norma yang diperoleh pada kesempatan

sebelumnya atau di lingkungan sosial yang lainnya, mungkin berbeda bahkan bertentangan.

4. Tahap tua, proses sosialisasi bagi orang lanjut usia dimulai secara perlahan-lahan. Ketika seorang mencapai lanjut usia maka mereka harus bergantung kepada orang lain

Menurut Sunarto (1993), sosialisasi merupakan keseluruhan kebiasaan yang dimiliki manusia baik dalam bidang ekonomi, kekeluargaan, pendidikan, agama dan sebagainya yang harus dipelajari oleh setiap anggota baru suatu masyarakat melalui suatu proses. Proses sosialisasi merupakan pembinaan dan pengembangan budaya yang berlangsung berupa kegiatan-kegiatan yang melibatkan generasi muda dalam rangkaian proses belajar dan penghayatan nilai-nilai budaya yang berlaku di masyarakat dengan ajaran, bimbingan, keteladanan dari generasi orangtua (Sucipto, 1998).

Menurut Fuller dan Sunarto (1993) terdapat empat agen sosialisasi, yang terdiri dari:

1. Keluarga. Agen sosialisasi terdiri atas orangtua dan saudara kandung. Pada masyarakat yang mengenal sistem keluarga luas, agen sosialisasi bisa berjumlah banyak dan mencakup nenek, kakek, paman, bibi dan lainnya. Pada tahap ini terjadi proses significant other dimana seorang anak mulai belajar berkomunikasi secara verbal dan non-verbal. Kemampuan anak akan mencapai tahap play-stage dalam pengambilan peranan orang lain. Ia mulai mengidentifikasi diri sebagai diri seorang anak laki-laki dan anak perempuan.

2. Teman Bermain. Biasanya seorang anak yang tengah bepergian atau merantau, maka anak tersebut akan memperoleh agen sosialisasi di luar keluarga yaitu teman bermain baik yang terdiri dari kerabat maupun tetangga atau teman sekolah. Pada tahap ini memasuki game stage.

3. Sekolah. Dalam sekolah, seorang anak akan mempelajari hal-hal baru yang belum dipelajari sebelumnya dalam keluarga ataupun dalam kelompok bermain.

4. Media Massa. Media massa sebagai agen sosialisasi yang berpengaruh terhadap perilaku khayalaknya. Perkembangan teknologi yang semakin maju telah meningkatkan kualitas pemberi pesan serta peningkatan frekuensi pengenaan masyarakat sehingga memberi peluang yang semakin tinggi bagi media massa untuk berperan sebaagai agen sosialisasi.

Menurut Van Doorm Lammers yang dikutip oleh Sajogyo dan Sajogyo (1982) proses sosialisasi dilakukan melalui pengendalian sosial yang meliputi empat proses sebagai berikut:

1. Proses ajar, didik, atau pewarisan. Proses belajar menurut Witting yang dalam Muhibbin yang dikutip oleh Aminah (2007) menyatakan belajar adalah perubahan yang relatif menetap yang terjadi dalam segala macam atau keseluruhan tingkah laku suatu organisme sebagai hasil dari pengalaman. Proses belajar sosial terjadi dalam urutan yang meliputi tahap perhatian, tahap penyimpanan dalam ingatan, tahap reproduksi, dan tahap motivasi.

2. Dengan sanksi, berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia (1995) adalah tindakan-tindakan atau hukuman untuk memaksa orang menepati

perjanjian atau mentaati ketentuan undang-undang. Lubis sebagaimana dikutip Aminah (2007) mengungkapkan bahwa sanksi dapat dibagi ke dalam tiga bentuk yaitu: (a) sanksi fisik berupa kontrol negatif, pengusiran, permusuhan, dan hukuman fisik; (b) sanksi ekonomi berupa hukuman ekonomi, intimidasi ekonomi dan hadiah atau ganjaran ekonomi; dan (c) sanksi psikologis berupa hukuman secara psikologis dan ganjaran atau hadiah secara psikologis.

3. Ritus kolektif, berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia (1995) adalah tata cara dalam upacara secara bersama-sama.

4. Alokasi posisi-posisi adalah adanya peranan-peranan tertentu yang dilakukan berdasarkan status yang dimilikinya.

Dalam dokumen SOSIALISASI DALIHAN NA TOLU (Halaman 35-41)

Dokumen terkait