• Tidak ada hasil yang ditemukan

VIII STRATEGI PENGELOLAAN PENCEMARAN TAD 266 8.1 Pengurangan Beban Pencemaran

3) Masalah Kelembagaan

2.2 Pencemaran Perairan Pesisir

2.2.4 Dampak Pencemaran

2.2.4.4 Dampak Ekologi Pencemaran Minyak

Minyak terbentuk dari materi organik yang berasal dari organisma- organisma mati pada periode lampau. Kehadiran bahan organik tersebut ada hingga sekarang ini dalam bentuk fosil pada tempat-tempat dimana tidak ada oksigen yang menghambat dekomposisinya. Minyak merupakan senyawa

komplek, mengandung ribuan molekul yang berbeda (dari tempat berbeda). Komposisi minyak bervariasi tergantung pada umur minyak, formasi pembentukan, dan lain-lain. Variasi proses fisik, kimia dan biologi dapat berpengaruh ke nasib minyak bila masuk ke perairan. Proses-proses fisik maupun kimia tersebut secara cepat dapat beraksi terhadap hilangnya lapisan minyak dalam beberapa hari. Komponen-komponen minyak tersebut juga mempunyai residence time yang pendek sehingga sebahagian dapat tenggelam dan tersedimentasi di dasar. Sedimen dasar merupakan tempat akhir dari minyak yang tidak terurai. Pelepasan komponen minyak ke perairan akan membentuk suatu lapisan, hal ini berkaitan dengan kelarutan yang lambat dari kebanyakan komponen minyak tersebut. Kondisi arus, gelombang dan angin merupakan faktor fisik yang akan membantu menyebarkan lapisan minyak tersebut menjadi lapisan film yang tipis (Lee et al. 1978, diacu dalam Geyer 1980).

Menurut Gerlach (1981), kelompok dibawah ini dapat diidentifikasi sebagai hidrokarbon yaitu :

1. Alkana (parafin), berhubungan dengan methana dan ethana; senyawa yang terdiri dari 5-7 atom C bersifat cair; parafin terdiri atas lebih dari 60 atam C; alkana relatif tidak beracun dan dapat terurai oleh bakteri.

2. Cycloalkana (naphthen) mengandung 5-6 atam C yang tersusun dalam rantai yang terdiri dari 30-60% minyak. Ditambahkan bahwa, cyclo-pentana dan cyclo-hexana adalah juga bicyclic dan polycyclic naphthen. Senyawa ini sangat tahan terhadap penguraian bakteri.

3. Aromatic mengandung 2-4% minyak; bentuk cincin adalah senyawa ringan (contoh: benzena, toluene, dan xylene); bicyclic aromatic hydrocarbon (khususnya naphthalen), tricyclic (seperti: anthracene dan phenanthrene), dan polycyclic dengan lebih dari 3 cincin (contoh: pyrene) yang hadir sebagai polynuklear aromatic hydrocarbon, PNAH). Ada banyak mikroorganisma yang khusus untuk menguraikan senyawa ini.

Polycyclic aromatic hydrocarbon (PAHs) juga dikatakan merupakan kelompok bahan kimia yang terbentuk selama pembakaran batubara (coal) yang tidak sempurna, minyak, gas, kayu, sampah, atau bahan organik lainnya, misalnya daging charbroiled. Kurang lebih ada 100 jenis PAHs yang berbeda-beda.

Umumnya PAHs hadir sebagai percampuran kompleks (contoh: sebagai bagian dari hasil pembakaran, seperti jelaga), tidak sebagai senyawa tunggal. Sebagian PAHs juga dimanfaatkan sebagai obat-obatan dan untuk membuat dyes, plastik dan pestisida, ada juga di dalam aspal, dalam minyak mentah, batubara (Manahan 1994). Selain itu PAHs ditemukan di udara, air dan tanah. Di udara PAHs menempel pada partikel debu, atau sebagai padatan dalam tanah atau dalam sedimen. Walaupun pengaruh-pengaruh individual PAHs terhadap kesehatan tidak benar-benar sama, berikut ini ditunjukkan 17 individual PAHs yang di kelompokan menurut Manahan (1994) sebagai berikut:

 acenaphthene  acenaphthylene  anthracene  benz[a]anthracene  benzo[a]pyrene  benzo[e]pyrene  benzo[b]fluoranthene  benzo[g,h,i]perylene  benzo[j]fluoranthene  benzo[k]fluoranthene  chrysene  dibenz[a,h]anthracene  fluoranthene  fluorene  indeno[1,2,3-c,d]pyrene  phenanthrene  pyrene

Ke- 17 PAHs yang dipilih termasuk dalam profil ini karena 1) banyak informasi berguna satu dengan lainnya; 2) diduga lebih berbahaya dibanding lainnya, dan menunjukkan pengaruh-pengaruh berbahaya yang representatif dari PAHs; 3) bila terkena PAHs terjadi perubahan besar dibanding ke lainnya; dan 4) semua analisis PAHs, indentifikasi konsentrasi PAHs terbesar ada pada areal buangan yang besar.

Diantara bahan pencemar organik yang masuk perairan pantai, polycyclic aromatic hydrocarbons (PAHs) mendapat perhatian khusus karena keterkaitannya dengan aktivitas karsinogenik dan mutagenik demikian juga dengan daya tahannya di lingkungan (Neff 2002, diacu dalam Francioni 2007). Lee et al. (1978) diacu dalam Geyer (1980) menjelaskan bahwa berbagai penelitian dikembangkan guna mendeterminasi sumber pencemaran minyak di laut dan berdasarkan penelitiannya teridentifikasi bahwa kontribusi terbesar terjadinya pencemaran minyak di laut adalah dari tempat produksi minyak dan aktivitas transportasi.

Holcomb (1969) diacu dalam Supriharyono (2000), mengemukakan bahwa ceceran minyak yang masuk ke suatu ekosistem perairan laut dapat membahayakan lingkungan hidup organisma perairan tersebut. Namun demikian dampaknya terhadap organisma laut sulit diketahui karena pengaruhnya lama sekali. Menurut Mitchell et al. (1970) diacu dalam Supriharyono (2000), pengaruh kontaminasi minyak terhadap komunitas organisma bervariasi dari kecil sekali (negligable) sampai kemusnahan (catastrophic).

Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor yaitu 1) Tipe/jenis dan dosis minyak. Minyak mengandung beribu-ribu komponen kimia yang berbeda, yang daya larut dan daya racunnya juga berbeda. Sebagai contoh, komponen aromatik, cenderung lebih mudah larut dan mudah menyebar dibandingkan komponen lainnya, yaitu paraffinic dan naphthenic, sehingga konsentrasinya relatif lebih rendah. Tetapi komponen ini lebih beracun dibandingkan komponen lain; 2) Metode pencucian minyak. Seringkali bahan pencuci yang digunakan untuk mencuci (misalnya dispersant) juga beracun, sehingga daya racun minyak menjadi bertambah; 3) Kondisi oseanografis, seperti arus, ombak, suhu, formasi pantai, ikut menentukan pencampuran, pengenceran dan distribusi minyak. Sehingga dapat mengurangi konsentrasi minyak; 4) Kondisi meterologis seperti angin, mempengaruhi pergerakan dan percampuran minyak dalam air laut, sehingga daya racun menjadi berkurang, 5) Kondisi biota, respons organisma dalam suatu komunitas terhadap minyak berbeda-beda, tergantung pada morfologi tubuh, jenis biota, reproduksi, tingkah laku atau cara makan dan stadia. Contoh, stadia larva dan masa pergantian kulit merupakan stadia atau masa yang paling peka terhadap

bahan pencemar; 6) Adanya cemaran minyak sebelumnya, organisma cenderung lebih bertahan terhadap cemaran minyak apabila mereka sudah seringkali mengalami keracunan minyak sebelumnya; dan 7) Adanya bahan pencemar lain. Minyak mempunyai daya racun yang bersifat sinergis dengan bahan pencemar lain, sehingga daya racunnya meningkat bila telah ada bahan pencemar lain dalam perairan (Straughan 1972, diacu dalam Supriharyono 2000).

Secara umum hasil penelitian menunjukkan, remis (mussel) cepat sekali mengambil PAHs, sedangkan depurasi kinetiknya lambat dan mungkin makan waktu sekitar semingguan atau bahkan sebulan (Neff 1979; Boehm dan Quinn, 1977; Adamo et al.1997; Rantamaki 1997, diacu dalam Francioni 2007).Pada kebanyakan spesies tumbuhan dan hewan (vertebrata dan invertebrata), pengambilan PAHs terjadi secara langsung melalui integumen. Sementara spesies ikan lain pengambilan PAHs-nya dilakukan melalui insan dan saluran pencernaan carbons.html).

Pencemaran minyak di perairan pesisir dan laut sudah sangat sering terjadi baik sengaja maupun karena kecelakaan. Ceceran minyak yang mencapai pantai akan sangat berbahaya bagi kehidupan ekosistem mangrove, lamun dan terumbu karang. Namun mungkin karena tidak berkontak langsung dengan minyak maka pada beberapa kasus tumpahan minyak ternyata tidak merusak beberapa jenis karangnya, seperti Favia speciosa, Porites compressa, Montipora verrucosa dan Fungia scutaria. Akan tetapi berbeda dengan karang “branching” dari genera Acropora dan Pocillopora yang terkena kontak langsung dengan minyak menunjukkan respons yang serius (Supriharyono 2000). Mungkin pengaruh ke ekosistem ini apabila tidak berkontak langsung akan sulit teramati, akan tetapi tidak demikian dengan organisma lain yang hidup berasosiasi dengan karang. Kehidupan dari telur-telur, larvae dan organisme muda umumnya sangat sensitif dibanding yang dewasa. Konsentrasi sublethal dari minyak dapat menyebabkan pengaruh fisiologis atau gangguan terhadap tingkah laku, dan yang lebih serius mungkin terjadi perkembangan yang tidak normal pada ikan dan hewan lainnya, atau bahkan terjadi kematian dini. Diketahui bahwa senyawa-senyawa aromatik lebih toksik dibanding alifatik, dan yang mengandung berat molekul sedang

adalah lebih toksik dibanding yang mengandung berat molekul besar. Komponen dengan berat molekul kecil umumnya tidak penting karena ringan dan cepat menguap (Clark 1986).

Perairan pantai berbatu merupakan daerah berenergi tinggi, sehingga lapisan minyak yang mencapai pantai akan cepat tercuci oleh pergerakan air dan gelombang. Lain halnya dengan daerah terlindung, daerah landai dengan daerah pasang surut yang luas, maka tumpahan minyak cenderung tertahan serta lambat tercuci. Dengan demikian biota yang menetap disini akan sulit terlindungi, algae merah dan hijau akan mati. Banyak ikan-ikan komersil serta kerang-kerangan menghasilkan banyak sekali telur-telur, kasus tumpahan minyak akan berpengaruh ke stok ikan tersebut. Komponen hidrokarbon yang bersifat toksik berpengaruh ke reproduksi, perkembangan dan pertumbuhan, tingkah laku biota laut, terutama pada plankton, bahkan dapat mematikan ikan, sehingga menurunkan produksi perikanan. Seperti dijelaskan sebelumnya, fase planktonik dari telur dan larva ikan, moluska dan krustasea memiliki kerentanan yang tinggi bila kontak langsung dengan bahan berbahaya beracun. Pada tahun 1991-1992 , saat perang teluk, kasus tumpahan minyak terjadi besar-besaran dan ditemukan sekitar 75% stok udang menurun ekstrim sekali. Kondisi ini akan lebih parah jika tumpahan minyak terjadi pada saat waktu pemijahan. Dampak tumpahan minyak akan sangat berpengaruh ke organisma jika minyak masuk ke wilayah seperti teluk, karena minyak cenderung akan terperangkap (http://www.iptek.net.id/ind/mnu).

Selain itu, mortalitas lamun tertinggi terjadi saat tumpahan minyak segar mengenai lamun yang sedang tumbuh secara aktif (Cowell 1971, diacu dalam Supriharyono 2000). Lamun yang hidup di intertidal akan mudah rusak, sedangkan di subtidal lamun tidak rusak, mungkin karena tidak berkontak langsung. Sepanjang minyak tidak mengendap di permukaan substrat maka tidak akan mempengaruhi biota yang hidup pada ekosistem lamun. Selain itu daun lamun akan cukup melindungi biota-biota tersebut.

Sama halnya dengan ekosistem karang dan lamun, tumpahan minyak dapat berpengaruh juga ke ekosistem mangrove, dan organisma yang hidup di dalam seperti moluska dan annelida banyak yang mati, populasi kepiting berkurang. Minyak yang mencapai meristim, menyebabkan gugurnya daun mangrove,

bahkan dapat sampai kering. Populasi penyu, berbagai invertebrata, burung dan algae juga akan mati, atau bermigrasi ke tempat yang tidak tercemar. Lebih jelasnya berikut ini disajikan ranking kepekaan lingkungan laut terhadap minyak (Tabel 3).

Tabel 3 Ranking kepekaan lingkungan laut di Indonesia terhadap minyak

Ranking*) Kepekaan

Tipe **) Sifat-sifat Kepekaan

Habitat terhadap Tumpahan Minyak

1 Terumbu karang

(M-H)

Mengganggu simbiose karang alga & keanekaragaman flora & fauna; pemulihan kerusakan karang dari pengaruh minyak membutuhkan 5-10 tahun atau 20-50 tahun untuk kembali seperti ekosistem terumbu karang semula; peka terhadap dispersant.

2 Mangrove

(H)

Daerah pengasuhan yang penting untuk spesies ikan & udang komersil, & menyokong rantai makanan melalui penyediaan detritus; melindungi pantai dari bahaya erosi; minyak mungkin tetap ada di habitat mangrove, terutama ketika pencucian oleh pasut menyusust; pemulihan membutuhkan beberapa

tahun untuk organisma perairan; peka terhadap dispersant.

3 Estuaria

(H)

Habitat produktif yang penting untuk organisma perairan;mempunyai nilai kepentingan sosial-ekonomi yang tinggi untuk estuaria yang lebih besar; sulit untuk memperkirakan dengan pasti tumpahan minyak di estuaria.

4 Paparan Pasut

(H)

Habitat biologis yang produktif; tingginya kandungan bahan-bahan organik di sedimen akan meningkatkan persistensi; disarankan pencucian oleh alam.

5 Padang Lamun

(M-H)

Habitat yang produktif, dengan flora & fauna yang beranekaragaman; biasanya terletak di subtidal & tidak terpengaruh secara langsung, kontaminasi sedimen-sedimen dasar mungkin lebih berbahaya; pemulihan mungkin membutuhkan waktu beberapa tahun; peka terhadap dispersant.

6 Zona Upwelling

(L)

Penyuburan unsur-unsur hara perairan mendukung konsentrasi organisma pelagik dan dasar (bentos); peka terhadap dispersant.

7 Pantai Berpasir

(L-M)

Dampak berbeda-beda tergantung tipe substrat dan lainnya

8 Pantai Berbatu

(L)

Aksi gelombang & pencucian arus pasang surut mengurangi dampak yang berkaitan dengan tumpahan minyak

Sumber : API (1985) diacu dalam Supriharyono (2000).

Keterangan : *) 1 = paling peka **) H = High, M-H = Medium-High, M= Medium

8 = paling tidak peka L-M= Low-Medium, L= Low