• Tidak ada hasil yang ditemukan

Gambar 53 Persentase jenis pekerjaan penduduk di sekitar TAD

5.2 Kualitas Kimia Sungai 1 pH

Perairan alami yang tidak tercemar menunjukkan kisaran pH dari 3,0– 11 atau bahkan lebih; pH diantara 5,0–9,0 umumnya mendukung keanekaragaman spesies dan kisaran ini betul-betul dipertimbangkan untuk diterima (Alabaster dan Lloyd 1980, diacu dalam Abel 1989). pH merupakan parameter determinasi penting di dalam pola distribusi spesies akuatik, yang dapat dilihat pada penelitian tentang komunitas invertebrata pada perairan sungai yang tidak tercemar (Sutcliffe dan Carrick 1973; Sutcliffe 1983; Haines 1981, diacu dalam Abel 1989). Umumnya pola penurunan keanekaragaman spesies bersamaan dengan

penurunan nilai pH. Sehingga tidak diragukan lagi bahwa perubahan kecil dari pH dapat membuat perubahan besar di dalam struktur komunitas.

Hasil penelitian didapatkan, pH pada perairan sungai untuk semua musim dan stasion berkisar antara 5,00-8,85. Hasil ini menunjukkan bahwa perairan sungai masih berada dalam kisaran yang ditolelir organisma akuatik. Kisaran pH berdasarkan baku mutu air laut untuk biota laut berkisar antara 7-8.5 (Kepmen LH No.51 2004), dengan demikian kualitas air yang mengalir dari sungai-sungai tersebut nilai pH-nya tidak akan mengganggu keberadaan komunitas biota air yang ada. Selain itu berdasarkan PP 82/2001, nilai pH untuk peruntukan air golongan A, B, C dan D berkisar antara 5–9. Kisaran nilai pH inipun masih dapat ditolelir oleh organisma akuatik. Nilai pH rendah pada musim pancaroba II sebagian besar berasal dari nilai pH sungai Waetonahitu yang juga rendah. Debit aliran Waetonahitu yang besar pada musim ini, serta kedalaman segmen turut mempengaruhi nilai pH rendah sungai ini. Apalagi akumulasi atau pemusatan kegiatan pembuangan sampah rumah tangga dan penempatan pipa saluran pembuangan dari perumahan serta perkandangan yang mengarah ke sungai.

5.2.2 Salinitas

Pengaruh salinitas terhadap toksisitas banyak mendapat perhatian sejak beranekaragam bahan polutan yang mengalir masuk ke perairan laut. Kebanyakan racun diikan berkurang pada kisaran salinitas air laut antara 30– 40%, yaitu bila perairan sangat isotonik dengan cairan dalam tubuh ikan.

Selain itu dilaporkan bahwa toksisitas logam Cadmium meningkat dengan meningkatnya salinitas. Herbert dan Wakeford (1964), diacu dalam Abel (1989), mengemukakan bahwa Zn menjadi kurang toksiknya di ikan dalam medium isotonik karena berkurangnya stres osmoregulatori selama tidak tercemar. Skidmore (1970), diacu dalam Abel (1989) menunjukkan bahwa ikan trout teracuni Zn di perairan tawar yang berada pada kondisi osmotik normal dan keseimbangan ionik, dan ikan yang mati berkaitan dengan kerusakan insan.

Sementara itu nilai salinitas yang diperoleh dari rata-rata tiap stasion berkisar antara 2,49–6,98 PSU, sedangkan dari rata-rata tiap musim berkisar antara 2,25–8,30 PSU (Gambar 54). Kisaran-kisaran di atas mengindikasikan

kurangnya pengaruh laut ke sungai-sungai tersebut selama penelitian, padahal waktu pengambilan sampelnya semua pada waktu air bergerak pasang. Bila dikaitkan dengan kecepatan rata-rata aliran yang sangat kecil, tentunya mengindikasikan bahwa proses pencampuran massa air sungai dan laut dibagian hilir juga kecil. Hal ini akan sangat mempengaruhi nilai salinitas maupun nilai parameter lainnya. Dengan nilai salinitas yang demikian kecil hanya bisa ditolelir oleh organisma air tawar atau payau.

Ket: sd (rata-rata semua stasion)=2,233 sd (rata-rata semua musim)=2,647

Gambar 54 Salinitas rata-rata tiap stasion dan tiap musim di sungai

5.2.3 NO3

Nitrat sebagai salah satu parameter indikator bahan organik juga dianalisis di sungai. Oleh karena untuk menganalisis beban pencemaran organik, maka konsentrasi beberapa parameter indikator dari sungai harus dianalisis, selain debit masing-masing sungai. Hasil analisis terhadap nilai NO3 di perairan sungai

berdasarkan rata-rata tiap stasion berkisar antara 0,081–0,239 mg/l, sedangkan rata-rata tiap musim berkisar antara 0,001–0,262 mg/l (Gambar 55). Berdasarkan PP 82/2001 maka nilai NO3 untuk kriteria kelas satu yaitu air dengan kualitas

terbaik dan bersifat multi peruntukan (air minum, prasarana/sarana rekreasi, budidaya ikan air tawar, dan sebagainya) adalah 10 mg/l. Dengan demikian konsentrasi NO3 di perairan ini sangat kecil. Sebaliknya apabila merujuk pada

Kepmen LH No.51/2004, maka batas NO3 untuk biota laut adalah 0,008 mg/l,

dengan demikian hasil penelitian menjelaskan bahwa input NO3 dari perairan

sungai sudah melebihi ambang batas yang ditentukan untuk kehidupan biota laut.

Salinitas Rata-rata tiap Stasion di Perairan Sungai

3.19 6.98 6.32 2.49 0.00 2.00 4.00 6.00 8.00 S.Air Bsr Halong

S.Waerekan S.Waetonahitu S.Waeheru

Stasion S al in itas (P S U )

Salinitas Rata-rata tiap Musim di Perairan Sungai

2.25 5.12 3.32 8.30 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 M.T imur(Agust'06) M.pancaroba II(Okt'06) M.Barat(Jan'07) M.pancaroba I(Mart'07) Musim Sa li ni ta s ( P SU ) di s ung a i

Ket: sd (rata-rata semua stasion)=0,07 sd (rata-rata semua musim)=0,11

Gambar 55 NO3 rata-rata tiap stasion dan tiap musim di sungai

Diketahui bahwa nitrogen merupakan salah satu nutrien yang sangat terkenal. Unsur ini hadir di dalam protein. Dikatakan bahwa protein menjadi bagian utama dalam komposisi organisme planktonik yang merupakan komponen dasar pada semua jaring makanan akuatik. Pada beberapa penelitian ditemukan bahwa rata-rata plankton mengandung 50 % protein; kandungan nitrogen berkisar antara 7-10% (Andrews et al. 1972).

Tiga sumber utama nitrogen di alam adalah berasal dari atmosfer, senyawa-senyawa anorganik (nitrat, nitrit dan amonia), dan senyawa-senyawa organik (protein, urea dan asam urik). Kebanyakan tumbuhan sebelum dapat mengabsorbsi nitrogen, harus membentuk nitrat (N03-). Transformasi ini yang

dikenal sebagai fiksasi nitrogen, baik secara kimia maupun biologis. Kebanyakan NO3 yang ada di alam itu ditemukan dalam tanah dan di air yang terbentuk secara

biologis. Di lingkungan perairan, fiksasi nitrogen dilakukan oleh sejumlah spesies bakteri yang hidup bebas serta beberapa spesies algae biru-hijau. Sekali NO3

diserap oleh tumbuh-tumbuhan, nitrogen akan digunakan untuk mensintesa protein-protein tumbuhan. Kemudian herbivor-herbivor tersebut mentransformasi protein ini menjadi protein hewani. Dengan demikian apabila tanaman dan hewan mati, organisma dekomposer mengkonversi nitrogen dalam protein menjadi bentuk amonia (NH3 dan NH4+). Sehingga sering bau tidak sedap sering tercium

dari kotoran hewan piaraan dan tumpukan sampah. Kehadiran sejumlah kandang hewan di bagian pinggir sungai, serta saluran-saluran WC yang mengarah ke aliran sungai maupun ke tepi pantai turut memberi masukan.

NO3 Rata-Rata Tiap Stasion di Perairan Sungai

0.146 0.108 0.239 0.081 0.000 0.050 0.100 0.150 0.200 0.250 0.300 S.Air Bsr Halong

S.Waerekan S.Waetonahitu S.Waeheru

S tasion N O 3 (mg/ l) d i s u n gai 0.205 0.106 0.262 0.001 0.000 0.050 0.100 0.150 0.200 0.250 0.300 M.T imur (Agust'06) M.Pancaroba II (Okt'06) M.Barat (Jan'07) M.Pancaroba I(Mart'07) Musim N 0 3 ( m g /l ) di s ung a i

5.2.4 PO4

Komponen nutrien lain, selain nitrat sebagai parameter indikator bahan organik adalah fosfat (PO4). Nilai PO4 dari rata-rata tiap stasion di perairan sungai

berkisar antara 0,042–0,170 mg/l, sedangkan rata-rata tiap musim berkisar antara 0,032–0,164 mg/l (Gambar 56). Berdasarkan PP No.82/2001, dijelaskan bahwa batas nilai P04 untuk mutu air kelas satu adalah 0,2 mg/l, dan hasil analisis

menunjukkan bahwa apabila dibulatkan maka ada stasiun maupun musim yang nilainya sama dengan 0,2 mg/l, berarti dapat dimanfaatkan untuk semua peruntukan. Sebaliknya bila digunakan pendekatan nilai ambang batas dari Kepmen LH No.51/2004, maka nilai PO4 adalah 0,015 mg/l, itu berarti hasil

penelitian mengindikasikan bahwa telah terjadi pencemaran fosfor yang berasal dari sungai-sungai tersebut.

Banyak molekul organik penting dalam sel-sel terdiri atas atom-atom fosfat. Sama seperti nitrat di dalam ekosistem perairan fosfat juga hadir dalam tiga bentuk yaitu dalam senyawa-senyawa anorganik, fosfat dalam bentuk ortofosfat (P043-); dalam molekul-molekul organik fosfat ada dalam protoplasma

hidup dan organisma mati; serta dalam molekul-molekul organik terlarut, kebanyakan dihasilkan dari dekomposisi organisma mati dan dari produk limbah organisma hidup (Andrews et al. 1972).

Ket: sd (rata-rata semua stasion)= 0,056 sd (rata-rata semua musim)=0,056

Gambar 56 PO4 rata-rata tiap stasion dan tiap musim di sungai

Bila tumbuhan maupun hewan mati, maka dekomposer akan mengembalikan fosfor ke perairan sebagai bahan organik terlarut. Ditambahkan

PO4 Rata-rata tiap Stasion di Perairan Sungai

0.079 0.170 0.042 0.065 0.000 0.020 0.040 0.060 0.080 0.100 0.120 0.140 0.160 0.180 S.Air Bsr Halong

S.Waerekan S.Waetonahitu S.Waeheru

Stasion P O 4 (mg/ l) d i s u n gai

P04 Rata-rata tiap Musim di Perairan Sungai

0.032 0.066 0.094 0.164 0.000 0.020 0.040 0.060 0.080 0.100 0.120 0.140 0.160 0.180 PO4 M.T imur (Agust'06) PO4 M.Pancaroba II (Okt'06) PO4 M.Barat(Jan'07) PO4 M.Pancaroba I (Maret'07) Musim P 0 4 ( m g /l ) d i s u n g a i

bahwa fosfor masuk ke perairan sebagai bahan organik terlarut tersebut adalah dari sumber-sumber yang sama dengan nitrogen: kotoran, pembuangan industri, run off pertanian, buangan hewan dan tanaman serta hewan yang membusuk, juga dari pengunaan deterjen oleh masyarakat.

5.2.5 Total Suspended Solid / TSS

Perlu dicatat bahwa kondisi perairan di kolam, danau, aliran atau sungai berubah secara frekuensi. Diketahui bahwa setelah hujan lebat, sungai sering tampak berwarna coklat dan berlumpur, sebagian besar berasal dari partikel- partikel tanah terlarut yang masuk sungai melalui run off permukaan. Terkadang kolom air tampak kotor bila terjadi percampuran massa air oleh aksi gelombang pada waktu angin kencang atau badai, sehingga mengocok sedimen-sedimen dasar.

Semua perubahan yang tampak pada perairan adalah berhubungan dengan material tersuspensi dan material terlarut dalam air. Bahkan dalam kondisi normal material-material tersebut akan nampak di perairan tetapi, oleh karena konsentrasinya kecil maka sering tidak dapat dilihat jelas kehadirannya. Para ahli biologi tertarik untuk mengetahui total konsentrasi dari material tersuspensi dan terlarut dalam air adalah karena dua alasan yaitu: 1) dengan bantuan informasi parameter ini, maka dapat dideterminasi produktivitas dalam kolom air, dimana turut mendukung kehidupan dalam air; 2) dengan mengukur total konsentrasi material tersuspensi dan terlarut pada beberapa tahun, hari, dan pada banyak titik dalam kolom air maka mereka akan mendapatkan “norms” untuk kolom air tersebut. Bila tiba-tiba terjadi peningkatan dari “norms” tersebut mengindikasikan masalah dengan pembuangan limbah rumah tangga serta pembuangan limbah industri yang ilegal (Andrews et al. 1972). Dengan demikian parameter ini penting di dalam penelitian tentang pencemaran.

Total suspended solid atau padatan tersuspensi total untuk rata-rata tiap stasiun berkisar antara 0,030–0,039 mg/l, sedangkan dari rata-rata tiap musim berkisar antara 0,006 –0,054 mg/l (Gambar 57). Ketentuan dalam Kepmen LH No.51/2004, menetapkan bahwa ambang batas total padatan tersuspensi untuk ekosistem karang sebesar 20 mg/l, mangrove sebesar 80 mg/l, dan lamun sebesar

20 mg/l, sedangkan berdasarkan kriteria mutu air sesuai PP No.82/2001, untuk air kelas I (semua peruntukan) adalah sebesar 50 mg/l. Dengan demikian nilai TSS di perairan sungai saat penelitian ini sangat kecil. Sehingga pengaruhnya ke ekosistem yang ada hampir tidak ada.

Ket: sd (rata-rata semua stasion)= 0,004 sd(rata-rata semua musim)=0,021

Gambar 57 TSS rata-rata tiap stasion dan tiap musim di sungai

5.2.6 Masalah Sampah dan Sungai

Di Indonesia masalah sampah dan sungai mempunyai keterikatan yang sangat erat. Tidak peduli sungai besar atau kecil semua dimanfaatkan sebagai tempat pembuangan sampah padat, berbagai limbah cair baik dari industri maupun rumah tangga. Sungai yang sehat dan indah dengan kesan sejuk karena airnya yang bersih dan jernih agak sulit didapatkan di kota. Justru sebaliknya pemandangan sungai yang berwarna hitam dan keruh, penuh sampah dan bau sering dijumpai. Masalah sampah dikenal sebagai masalah yang sulit dipecahkan, sehingga dikhawatirkan akan menjadi persoalan lingkungan yang serius, oleh sebab itu masalah sampah menarik untuk dikaji, selain menimbulkan persoalan lingkungan, juga dapat memicu permasalahan yang mengganggu stabilitas baik dibidang ekonomi, tenaga kerja, keamanan, kesehatan dan keindahan tata ruang kota.

Sampah adalah suatu bahan yang terbuang atau dibuang dari sumber hasil aktivitas manusia maupun proses alam yang belum memiliki nilai ekonomis (Ecolink 1996 dalam http://pedulisampah.org/blog/..., 2008). Secara garis besar,

TSS Rata-rata tiap Stasion di Perairan Sungai

0.034 0.038 0.030 0.039 0.000 0.010 0.020 0.030 0.040 0.050 S.Air Bsr Halong

S.Waerekan S.Waetonahitu S.Waeheru

Stasion T SS ( m g / l ) di s ung a i

TSS Rata-rata tiap Musim di Perairan Sungai

0.034 0.006 0.048 0.054 0.000 0.010 0.020 0.030 0.040 0.050 0.060 M.T imur (Agust'06) M.Pancaroba II(Okt'06)

M.Barat (Jan'07) M.Pancaroba I(Mart'07) Musim T SS ( m g /l ) di s ung a i

sampah dibedakan menjadi tiga jenis yaitu sampah anorganik/kering yaitu sampah yang tidak dapat mengalami pembusukan secara alami (contohnya: logam, besi, kaleng, plastik, karet, botol), sampah organik/basah yaitu sampah yang dapat mengalami pembusukan secara alami (contohnya : sampah dapur, sampah restoran, sisa sayuran, rempah-rempah atau sisa buah), sampah berbahaya yaitu sampah yang mengandung bahan berbahaya (contohnya: baterai, botol racun nyamuk, jarum suntik bekas) (http://pedulisampah.org/blog/2008).

Hasil penelitian ini menemukan bahwa jenis sampah yang sering dibuang masyarakat ke pantai (Gambar 58) terdiri atas; sisa bahan makanan (23,13 %), daun-daunan dan kayu (18,75 %), bahan kertas (15,31 %), plastik (12,19 %), bahan gelas atau kaca (10,31 %), dan bahan logam (8,44 %). Kontribusi seperti ini berpotensi mencemari lingkungan dengan limbah organik, apalagi jenis sampah yang mudah terurai telah mendominasi kehadirannya di alam.

Gambar 58 Persentase jenis sampah yang dibuang masyarakat ke perairan TAD

Informasi ini, jika di bandingkan dengan produksi sampah yang di hasilkan setiap hari oleh masyarakat kota Ambon berdasarkan data Dinas Tata Kota dan Kebersihan kota Ambon, didapatkan bahwa persentase jenis sampah organik (69 % atau 237m3), plastik (13 % atau 43 m3) dan kertas (9 % atau 21 m3) masih merupakan jenis yang dominan (Gambar 59). Dikatakan bahwa fasilitas pengangkut limbah padat kota yang tersedia oleh pemerintah kota sangat terbatas, sehingga hanya bisa menjangkau desa-desa terdekat saja. Dengan demikian sisa sampah yang ditangani masyarakat inilah yang akan menjadi masalah, oleh karena kemana atau bagaimana cara sampah-sampah tersebut dimusnahkan.

23.13% 15.31% 8.44% 10.31% 12.19% 18.75%

Plastik Gelas / kaca Logam / kaleng Kertas / kardus / karton Sisa bahan makanan Dedaunan & kayu-kayuan