• Tidak ada hasil yang ditemukan

VIII STRATEGI PENGELOLAAN PENCEMARAN TAD 266 8.1 Pengurangan Beban Pencemaran

2. Produksi Peta Sebaran Spasial Parameter Kualitas Air

4.1 Kondisi Fisik Perairan Laut dan Permasalahannya

Perairan teluk Ambon diketahui terdiri atas perairan Teluk Ambon Dalam (TAD) dan Teluk Ambon Luar (TAL) dan penelitian ini lebih difokuskan ke perairan Teluk Ambon Dalam (TAD). Oleh karena kondisi TAD yang semi tertutup dengan arus yang lemah, menyebabkan perairan ini berpotensi terkena pencemaran bila tekanan pemanfaatan semakin meningkat baik yang berasal dari darat maupun dari laut sendiri. Selain itu sirkulasi air yang lambat membuat penyebaran bahan pencemar yang masuk, cenderung tetap berada atau terperangkap di dalam perairan TAD dalam waktu yang relatif lama, sebelum mengendap atau berpindah ke perairan TAL. Oleh karena itu untuk mengkaji permasalahan percemaran yang mungkin terjadi di TAD dengan kondisi morfologi teluk yang diuraikan di depan, maka beberapa kajian fisik kimia perairan yang turut menunjang di dalam memperkuat analisis tentang beban pencemaran perlu diuraikan disini.

4.1.1 Oseanografi 4.1.1.1 Batimetri

Kedalaman laut maksimum pada zone ambang sekitar 12,8 meter dengan lebar antar alur kedalaman 10 m pada dua sisi semenanjung sekitar 74,5 meter. Lebar dan kedalaman ambang yang demikian, diduga akibat sedimentasi, sehingga penyempitan dan pendangkalan ambang terus terjadi. Dinamika penggunaan lahan daratan pesisir untuk tujuan pengembangan telah berdampak pada sedimentasi.

Kedalaman maksimum Teluk Ambon Dalam adalah 41 meter dengan posisi 128°12´4,03"BT dan 03°39'29,63"LS. Pada tampilan batimetri dan 3 dimensi dasar laut Teluk Ambon Dalam, jelas terlihat bahwa area dangkal di perairan ini berada sepanjang pesisir desa Lateri hingga Waiheru dan Utara Poka (Gambar 10). Sebaliknya di sepanjang pesisir desa Lateri 1, Latta, Halong dan Batukoneng terdapat zone–zone perairan yang lebih dalam (>30m) dan merupakan area terdalam di peraian TAD.

Gambar 10 Batimetri dan tampilan ortografik 3 dimensi dasar laut ambang Galala-Poka

Berdasarkan pola kontur kedalaman, ditemukan ada jalur lintasan pergerakkan sedimen terestrial yang diduga akan mereduksi kedalaman perairan TAD pada masa akan datang, terutama dari muara sungai sekitar Negerilama – Waiheru, Batukoneng dan Poka (Gambar 11).

4.1.1.2 Pola Arus Musim di Perairan TAD

Faktor oseanografi yang mempengaruhi penyebaran bahan-bahan pencemar baik padat maupun cair pada suatu perairan adalah arus. Uraian sebelumnya menjelaskan bahwa arus dominan di TAD adalah arus pasang surut, dengan demikian pola penyebaran bahan pencemar maupun proses terjadinya sedimentasi juga sangat dipengaruhi oleh arus pasang surut. Lebih jelasnya periode arus pasang dan surut yang terjadi di perairan TAD dapat dilihat berikut ini.

Gambar 11 Batimetri perairan dan tampilan 3 dimensi dasar perairan Teluk Ambon Dalam

Selama periode surut (tanda panah ke arah luar teluk), arus cenderung bergerak ke luar Teluk dengan pola yang bervariasi menurut lokasi (Gambar 12, 13, 14 dan 15). Variasi pola arus ada kaitannya dengan kondisi topografi dasar laut dan bentuk pantai Teluk. Topografi dasar laut perairan TAD berdasarkan peta Hidrografi 1:25.000 memiliki alur kedalaman maksimum 30–41 m sepanjang perairan Latta – Halong hingga batas inlet TAD. Ketika air bergerak surut, terjadi penumpukkan massa air pada lokasi ini, dan bergerak menuju inlet dengan kecepatan lemah (< 0,5 m/detik).

Hal ini didukung oleh penelitian terdahulu yang menemukan bahwa terbatasnya sirkulasi air pada perairan Teluk Ambon Dalam (TAD) berpotensi terjadinya stagnasi. Sirkulasi air dalam teluk didominasi oleh arus pasang surut yang mengalir dari Teluk Ambon Luar (TAL) menerobos ambang yang sempit.

Hamza dan Wenno (1987) dan Wenno (1991) mendeterminasi bahwa arus Teluk Ambon Dalam, bergerak berlawanan arah jarum jam dengan kecepatan 20-25 cm/det pada bagian tengah teluk.

Lapisan massa air 0–10 m pada tengah teluk secara bebas mencapai inlet, tetapi massa air di bagian kiri Teluk cenderung mengalami hambatan sirkulasi pada dermaga Polair, dermaga Halong, dan dermaga Galala (Perum Perikani). Demikian juga massa air lapisan dalam cenderung terperangkap ketika mendekati inlet pada dangkalan atau ambang (kedalaman 12m) dan mengalami sirkulasi berputar (eddys skala kecil) pada bagian kiri inlet (bagian kiri TAD) sepanjang perairan Dermaga Ferry, depan PLTD Hative Kecil dan Perum Perikani.

Pada sisi lain, perairan TAD memiliki rataan pasang surut yang cukup lebar sepanjang teluk yang lebih cepat kering, dengan area terluas di muara Wailata (depan PLTD Poka), muara Waitonahitu (Passo), muara Waiheru (Waiheru), muara Wai Air Besar (Halong), dan muara Wairuhu (Galala). Kondisi ini mempercepat proses pengendapan bahan pencemar di dasar perairan.

Selama periode pasang (tanda panah ke arah dalam teluk), arus cenderung bergerak ke perairan TAD melewati inlet yang dangkal (12 m), dengan kecepatan aliran > 0,5 m/detik. Massa air dari perairan Teluk Ambon Luar (TAL) lebih berat dari massa air lapisan permukaan di perairan TAD, kondisi ini menyebabkan terjadinya front oseanik antara tanjung Martafons dengan pantai depan PLTD Hative Kecil. Selanjutnya terjadi sirkulasi berputar (eddys) ke sisi kiri teluk (pantai Galala–Halong) membentuk front oseanik yang paralel dengan pantai dermaga Ferry–Halong. Pada front ini terjadi agregasi sampah padat dalam jumlah besar. Pergerakkan massa air ke sepanjang Teluk terjadi selama periode pasang seperti pada Gambar 12, 13, 14 dan 15.

Seperti halnya kondisi pergerakkan massa air selama periode surut, variasi pola arus ada kaitannya dengan kondisi topografi dasar laut dan bentuk pantai Teluk. Ketika air bergerak pasang, terjadi penumpukkan massa air pada alur perairan dalam, dan bergerak menuju outlet dengan kecepatan lemah (<0.5 m/detik).

Lapisan massa air 0–10 m pada tengah teluk secara bebas mencapai outlet, pantai teluk dan muara-muara sungai, tetapi massa air di bagian kiri Teluk

cenderung mengalami hambatan sirkulasi pada dermaga Polair, dermaga Halong, dan dermaga Galala (Perum Perikani).

4.1.2 Suhu

Suhu merupakan parameter fisik yang berperan dalam mengendalikan kondisi ekologis perairan. Perubahan suhu biasanya dapat mempengarui proses fisik, kimia dan biologi yang terjadi dalam kolom air. Secara biologi, setiap organisme air memiliki kisaran toleransi suhu tertentu bagi kebutuhan hidup masing-masing, misalnya untuk pertumbuhan. Selain itu peningkatan suhu juga akan mempengaruhi aktivitas metabolisma, respirasi, reaksi kimia dan lain-lain. Oleh karena itu representasi nilai suhu suatu perairan menjadi penting untuk dikaji sebagai informasi data penelitian kualitas lingkungan.

Hasil penelitian LIPI-Ambon tahun 1974-1975, mendapatkan kisaran suhu di perairan teluk Ambon adalah antara 26,26-30,74oC (Tabel 13). Tarigan dan Sapulette (1987), menemukan bahwa suhu terendah pada lapisan permukaan maupun dekat dasar dijumpai dalam bulan Juli (musim timur) berkisar antara 24,63-29,24oC dan suhu tertinggi pada bulan Desember (musim barat berkisar antara 27,63-29,24oC. Berdasarkan data tersebut diketahui bahwa variasi suhu yang terjadi di perairan TAD cukup kecil dan gejala tersebut berlangsung sepanjang tahun karena berkaitan erat dengan kondisi curah hujan musiman di wilayah ini. Hasil penelitian Pemkot Ambon dan Unpatti (2002) menunjukkan bahwa dinamika suhu terbesar terjadi pada strata kedalaman 20-30m di seluruh perairan teluk. Hal ini menggambarkan bahwa pada kedalaman tersebut selalu terjadi pergantian massa dengan karakteristik yang berbeda selama siklus pasang surut dalam musim tersebut.

Sebaran suhu selama penelitian ini berdasarkan rata-rata tiap stasion berkisar antara 27,70–29,73 ºC (Gambar 16), kisaran ini mengindikasikan pengaruh beberapa aliran sungai yang masuk TAD. Demikian juga dengan rata- rata tiap musim berkisar antara 26,00–30,58 ºC (Gambar 16).

NANIA NEGERILAMA LATERI PASSO LATTA HALONG WAIHERU HUNUT BATUKONENG RUMAHT POKA PASSO 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 -3 .6 6 °L S -3 .6 4 °L S -3 .6 2 °L S