• Tidak ada hasil yang ditemukan

Chandler et al. (1983a) mengemukakan bahwa dampak negatif kebakaran hutan antara lain merusak sifat fisik dan kimia tanah, menaikkan pH tanah, dan menurunkan produktivitas tanah. Dampak terhadap ekologi hutan yaitu mengubah secara drastis lingkungan hutan dan juga mempengaruhi kondisi pohon, jenis herba, dan semak.

Sementara menurut DeBano et al. (1998), kebakaran hutan berpengaruh terhadap kualitas tanah. Akibat kebakaran terjadi pemanasan tanah yang

berlebihan, sehingga kualitas lahan dan tanah dapat berubah dengan terjadinya beberapa aspek. Yang pertama, pengaruhnya terhadap fisika. Dimana penurunan porositas tanah, berubahnya tekstur tanah, dan terbukanya permukaan tanah karena kerusakan vegetasi penutup tanah, akibatnya dapat menyebabkan terjadinya erosi dan mempercepat aliran air hujan yang jatuh ke tanah. Kedua, pengaruhnya terhadap kondisi kimia tanah. Dimana terjadi penumpukan mineral abu dari bahan bakar yang dikonsumsi oleh api di lantai hutan. Di sisi lain akan menyebabkan penurunan tingkat keasaman (pH) tanah. Ketiga, pengaruhnya terhadap kondisi biologi tanah. Dimana terjadi perubahan khususnya penurunan secara kuantitatif dan kemampuan kualitatif makro maupun mikro organisme tanah, serta kemungkinan migrasinya organisme tanah tertentu ke tempat lain yang kondisinya tidak tertekan sebagai tempat hidup dan berkembang. Pengaruh lainnya adalah mempertinggi tingkat erosi tanah, menurunkan kapasitas penyimpanan air tanah, disamping hilangya serasah dan humus yang ada akan berpengaruh pula terhadap keadaan dan kondisi vegetasi penutup tanah hutan.

Klasifikasi fire severity berdasarkan kondisi tanah menurut DeBano et al. (1998) adalah sebagai berikut :

a. Low fire severity

Pemanasan tanah rendah, pengarangan yang rendah, lapisan duff (serasah, fermentasi, dan humus) masih banyak tersisa. Tanah mineral tidak berubah, permukaan tanah didominasi oleh warna hitam. Suhu tanah pada kedalaman 1 cm < 50 °C. Suhu kematian untuk organisme tanah terjadi sampai kedalaman sekitar 1 cm.

b. Moderate fire severity

Pemanasan tanah sedang, lapisan duff terbakar dan mengarang, tetapi lapisan tanah mineral tidak berubah. Warna abu lebih terang. Suhu pada kedalaman 1 cm mencapai 100 – 200 °C. Suhu kematian untuk organisme tanah terjadi sampai kedalaman 3 – 5 cm.

c. High fire severity

Pemanasan tanah tinggi, pengarangan bagian bawah dalam, lapisan duff terbakar semua dan lapisan tanah mineral terlihat kemerahan akibat terbakar. Permukaan lahan didominasi warna abu yang putih. Suhu tanah pada

kedalaman 1 cm lebih besar dari 250 °C. Suhu kematian untuk organisme tanah terjadi pada kedalaman 9 – 16 cm.

Terjadinya kebakaran hutan telah menimbulkan dampak negatif terhadap komponen lingkungan fisik-kimia, biologi, dan sosial ekonomi (Suratmo et al., 2003). Apabila terjadi kebakaran hutan, maka akan terjadi kehilangan nutrisi/hara karena menguap atau terbawa oleh air hujan pada waktu turun hujan (leaching), banyak mikroorganisme tanah yang mati. Tekstur tanah berubah, infiltrasi menurun. Cadangan air cenderung menurun, transpirasi vegetasi berkurang, menurunkan kelembaban tanah, meningkatkan evaporasi tanah bagian atas, dan meningkatkan aliran permukaan hingga akhirnya dapat menimbulkan banjir.

Pyne et al. (1996) menyatakan bahwa dampak kebakaran hutan terhadap tanah sangat bervariasi tergantung pada kandungan dari bahan bakar, jenis tanah dan tipe kebakaran terutama dari faktor frekuensi kebakaran, intensitas kebakaran, dan waktu terjadinya kebakaran. Hal ini akan berpengaruh terhadap sifat fisik, biokimia maupun biologi tanah. Adapun dampak terhadap sifat fisik yang ditimbulkan yaitu kenaikan suhu tanah, perubahan pada struktur tanah, dan terhambatnya proses tanah dalam menyerap dan menampung air yang masuk ke dalam tanah. Kerusakan ini tergantung pada bagaimana lapisan duff dan lapisan serasah terbakar. Lapisan tanah yang terbuka akan mengalami pemanasan yang lebih tinggi dibandingkan lapisan yang sama sekali tidak terbuka.

Konsep dan Metode Penilaian Ekonomi

Hutan sebagai suatu ekosistem mempunyai fungsi atau manfaat yang bermacam-macam, baik yang bersifat langsung maupun tidak langsung. Gregory (1972) dalam Yunus (2005) mengemukakan bahwa hutan selain berfungsi sebagai kawasan produksi yang berperan dalam produksi kayu dan produk hasil hutan bukan kayu lainnya yang memiliki fungsi sosial ekonomi bagi masyarakat, tetapi juga mempunyai fungsi rangkap sebagai pelindung tanah, air, iklim, dan lain-lain (fungsi hidrologis atau ekologis), bahkan fungsi yang lain seperti sumber plasma nutfah dan biodiversitas.

Deforestasi juga memberikan dampak tidak langsung terhadap jasa keberadaan hutan untuk turisme dan rekreasi serta pendidikan. Disamping itu,

juga mempunyai dampak nyata terhadap kesejahteraan manusia melalui perlindungan DAS, pengaturan iklim, dan penyedia karbon. Dengan demikian, kebakaran hutan menyebabkan hilangnya manfaat dari sumberdaya hutan sehingga menimbulkan kerugian ekonomi yang seharusnya dapat diperoleh. Kerugian ekonomi yang hilang dan berdampak pada timbulnya biaya akibat kebakaran hutan dapat disetarakan dengan istilah biaya kesempatan atau opportunity cost dalam ilmu ekonomi (Field, 1994; Pearce dan Moran, 1994).

Nilai merupakan persepsi atau penghargaan terhadap barang dan jasa dari setiap individu tergantung tempat dan waktu. Ukuran dari manfaat ditentukan oleh segala sesuatu (waktu, barang, dan uang) yang bersedia untuk ditukarkan, memperoleh, memiliki, dan menggunakan barang dan jasa. Menurut Davis dan Johnson (1987), penilaian diartikan sebagai proses pengkuantifikasian nilai yang harus dilakukan melalui proses persepsi, pandangan individu atau kelompok individu yang bersangkutan. Dalam hubungannya dengan proses penafsiran dan penilaian dampak, maka ada tiga tahapan yang perlu diperhatikan, yaitu dampak harus teridentifikasi, dikuantifikasi, dan berapa besar pengurangan atau hilangnya manfaat (Dixon dan Hufschmidt, 1991).

Menurut Pearce dan Moran (1994), pendekatan penilaian sumberdaya alam dan lingkungan dapat dibagi dua, yaitu pendekatan langsung dan pendekatan tidak langsung. Pendekatan langsung dengan cara eksperimen, kuisioner, survey, dan contingent valuation method. Sedangkan pendekatan tidak langsung yaitu pendekatan pasar pengganti (surrogate market) dan pendekatan pasar konvensional. Duerr (1960) menyatakan bahwa penilaian sumberdaya hutan atas dasar manfaat ada dua kategori, yaitu pendekatan nilai barang dan atau jasa yang marketable dan non marketable.

Penilaian manfaat sumberdaya hutan dapat diperoleh berdasarkan nilai ekonomi total atau total economic value (TEV). Penilaian kerugian/kerusakan sumberdaya hutan juga dapat diperoleh berdasarkan nilai total ekonomi, karena kerugian dan manfaat dipandang sebagai suatu konsep yang sama. Kerugian dinilai dengan menghitung TEV yang hilang akibat kerusakan yang terjadi (Pearce dan Turner, 1992).

Menurut Glover dan Jessup (2002), penilaian terhadap kerusakan lingkungan dapat memberikan beberapa manfaat, yaitu : (1) penilaian memungkinkan dilakukannya analisis biaya manfaat (cost benefit analysis/CBA) yang lebih lengkap dan akurat dari suatu upaya kebijakan atau proyek, (2) penilaian dapat menjelaskan kepada kita tingkat kepentingan relatif dari perbaikan atau perusakan lingkungan, dan bagaimana dampaknya terhadap penduduk, dan (3) penilaian dapat menarik perhatian berbagai pihak pada permasalahan lingkungan dan membuat arti pentingnya menjadi jelas.

Menurut Davis (1966), dalam penilaian sumberdaya hutan terdapat tiga dasar penilaian yang mungkin dilakukan, yaitu :

1. Cost value, didasarkan pada biaya historis atau pemulihan

2. Income value, didasarkan pada semua biaya yang dikeluarkan dan pengembalian (pendapatan) yang diharapkan

3. Market value. Sebagian besar metode penilaian tujuannya adalah menafsirkan atau menentukan nilai saat ini. Penjualan, penukaran, dan ganti rugi biasanya dirundingkan berdasarkan nilai sekarang.

Selanjutnya Dueer (1960) menyatakan bahwa terdapat beberapa variasi untuk pendekatan nilai pasar (market value), yaitu :

1. Direct approach, cara ini didasarkan pada harga yang sedang berlaku di pasar. Hasil pendekatan ini tidak selalu layak karena menuntut kepastian tentang harga, misalnya berapa harga yang akan terjadi jika komoditi masuk pasar. Walaupun layak untuk dikerjakan, namun belum tentu merupakan pendekatan terbaik.

2. Indirect approach, dengan cara ini ada tiga pendekatan, yaitu capitalization approach, cost approach, dan conversion approach. Capitalization approach mengadakan pendekatan dengan memperhitungkan segala biaya dalam proses produksi, conversion approach mengadakan pendekatan dengan harga jual dikurangi jumlah biaya produksi, suatu allowance yang rasional dan resiko yang diperhitungkan.

Harga dari sebuah komoditi biasanya dikaitkan pada sejumlah uang yang harus dikeluarkan untuk memperoleh satu unit komoditi tersebut. Istilah pasar

sejalan dengan berkembangnya perdagangan. Menurut Lipsey (1995), pasar didefinisikan sebagai berikut :

1. Tempat dimana barang-barang diperdagangkan

2. Tempat dimana produsen, pemilik toko, dan keluarga-keluarga saling berdatangan untuk menjual dan membeli

3. Situasi manapun dimana pembeli dan penjual dapat menegosiasikan pertukaran komoditi.

Nilai yang dianggap standar adalah nilai pasar yaitu harga yang ditetapkan oleh penjual dan pembeli tanpa intervensi pihak lain. Transaksi pasar yang baik menunjukkan seberapa besar seseorang bersedia membayar (Willingness to Pay, WTP) untuk suatu barang/jasa dan berapa biaya tambahan/marginal cost yang bersedia dikeluarkan oleh produsen untuk menghasilkan sesuatu tersebut (Davis dan Johnson, 1987).

Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian dilaksanakan di Hutan Pendidikan Gunung Walat (HPGW), Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat pada areal bekas kebakaran di blok II Cimenyan. Waktu penelitian yaitu selama bulan Mei sampai Juni 2006.

Alat Penelitian

Pada penelitian ini, alat yang digunakan untuk pengambilan data pendugaan erosi yaitu : ring tanah, abney level, pita meteran, penggaris, kantong plastik, kertas label, dan alat tulis.

Pendugaan Erosi Tanah

Dalam penelitian ini, pendugaan erosi tanah menggunakan metode USLE (Universal Soil-Loss Equation).

1. Penentuan Petak Penelitian

Pengamatan dilakukan dengan membuat petak pengamatan dengan ukuran 22 m x 4 m pada areal hutan 4 tahun setelah terbakar.

22 m

4 m

Gambar 1. Petak Pengamatan Pendugaan Erosi. 2. Pengambilan Sampel Tanah

Pengambilan sampel tanah dilakukan dengan menggunakan ring tanah di petak pengamatan.

3. Pengukuran Kelerengan dan Panjang Lereng

Pengukuran kelerengan pada petak pengamatan dilakukan menggunakan Abney Level, yaitu dengan menembak titik pangkal petak pengamatan, sedangkan pengukuran panjang lereng dilakukan dengan menarik meteran dari titik yang sama dengan pengukuran kelerengan.

4. Analisis Sifat Fisik Tanah

Sampel tanah yang telah diambil dianalisis di Laboratorium Tanah, Departemen Ilmu Tanah, Fakultas Pertanian IPB. Sifat fisik tanah yang dianalisis yaitu % debu dan pasir sangat halus, % pasir, % bahan organik, struktur tanah, dan permeabilitas tanah.

Jenis dan Teknik Pengumpulan Data

1. Penilaian areal bekas terbakar untuk pengelolaan hutan berkelanjutan menggunakan data sekunder dari hasil penelitian Rahardjo (2003), Riyanti (2005), Buliyansih (2005), dan Priandi (2006).

2. Untuk manfaat langsung sumberdaya hutan (kayu dan produk hutan non kayu), jenis data yang diperlukan yaitu : (a) peta luas area kebakaran; (b) potensi tegakan kayu dan hasil hutan non kayu lainnya dari hasil penelitian Rahardjo (2003), Riyanti (2005), dan Priandi (2006); (c) harga kayu dan produk hutan (non kayu) per satuannya. Data tersebut dikumpulkan dari : (a) responden pengelola HPGW (Hutan Pendidikan Gunung Walat) dan masyarakat sekitar pengguna hasil hutan; (b) KPH Sukabumi Perum Perhutani Unit III Jawa Barat dan Banten; (c) pedagang dan pengumpul hasil hutan. Pengumpulan data dilakukan dengan cara : (a) wawancara langsung di lapangan dengan menggunakan daftar pertanyaan dan (b) pengumpulan data sekunder.

3. Manfaat tidak langsung yang hilang atau kerugian kebakaran hutan yang akan dinilai dalam penelitian ini yaitu pengendali erosi tanah. Jenis data untuk menghitung kerugian fungsi hutan sebagai pengendali erosi yaitu : (a) peta luas area kebakaran hutan; (b) faktor erosivitas hujan; (c) faktor erodibilitas tanah; (d) panjang dan kemiringan lereng; (e) faktor pengelolaan tanaman; (f) faktor pengelolaan tanah; (g) harga pupuk Urea, TSP, dan KCl. Pengumpulan

data dengan cara studi literatur, pengumpulan data sekunder, observasi lapangan, dan wawancara responden. Sumber data yaitu dari : (a) Laboratorium Pengaruh Hutan Fakultas Kehutanan IPB, (b) Dinas Perdagangan dan Perindustrian Kabupaten Sukabumi; (c) pengelola HPGW dan responden masyarakat.

Pengolahan Data

Data yang diperoleh baik dari pengukuran data primer, pencatatan data sekunder, dan wawancara secara umum dapat digolongkan menjadi tiga penilaian ekonomi dampak kebakaran hutan terhadap sumberdaya hutan :

1. Penilaian Kerugian Hilangnya Manfaat Sumberdaya Hutan Kayu a. Nilai Kayu

Kebakaran di areal HPGW menyebabkan kerugian manfaat langsung antara lain kayu yang biasa dimanfaatkan masyarakat sekitar. Nilai kayu dihitung berdasarkan harga kayu pulp di pasar lokal (Rp/m3) dikalikan dengan potensi yang terbakar (m3).

Perhitungan potensi volume kayu diuraikan sebagai berikut : (1) Menghitung total volume kayu (diameter 20 cm ke atas) (2) Volume dari setiap pohon dihitung berdasarkan rumus :

V = 0,25 π d2 t f dimana :

V = volume kayu (m3) d = diameter pohon (m)

t = tinggi pohon bebas cabang (m) f = faktor bentuk (0,7)

Penilaian kerugian kayu di areal HPGW dengan cara pendekatan nilai pasar potensi produksi.

Notasi penilaian kerugian kayu pulp/log dengan pendekatan nilai pasar :

= = n i i i xHKL PKL NTKL 1 ) (

= = n i i i PKH xLA PKL 1 ) (

dimana,

NTKL = nilai total kayu pulp (Rp)

PKLi = potensi volume kayu pulp jenis ke-i (m3) HKLi = harga kayu pulp perkubik jenis ke-i (Rp/m3) PKHi = potensi volume kayu pulp perhektar jenis ke-i (m3) LA = luas areal kebakaran (ha)

i = jenis kayu

b. Nilai Kayu Bakar

Penilaian potensi kayu bakar yang hilang di areal HPGW yang biasa dimanfaatkan oleh masyarakat sekitar. Metode penilaian kerugian yang digunakan yaitu metode harga pasar.

Notasi penilaian kerugian kayu bakar dengan metode harga pasar : )

(PKBxHKBxLA

NTKB=

dimana,

NTKB = nilai total kayu bakar (Rp/tahun)

PKB = potensi kayu bakar perhektar/tahun (sm/ha/tahun) HKB = harga pasar kayu bakar (Rp/sm)

LA = luas areal kebakaran (ha)

2. Penilaian Kerugian Hilangnya Manfaat Sumberdaya Hutan Non Kayu

Hasil hutan non kayu seperti getah pinus, tumbuhan obat, dan rumput pakan ternak yang terdapat di areal terbakar HPGW yang mempunyai nilai pasar dihitung berdasarkan pendekatan nilai pasar setempat.

Notasi penilaian hasil hutan non kayu (getah pinus, tumbuhan obat, rumput pakan ternak) dengan metode harga pasar :

) ( 1 LA x HFL x PFL NTFL i n i i

= = dimana,

NTFL = nilai total kerugian hasil hutan non kayu (Rp/tahun) PFLi = potensi hasil hutan non kayu perhektar (unit/ha/tahun)

LA = luas areal kebakaran (ha)

i = jenis hasil hutan non kayu (getah pinus, tumbuhan obat, rumput)

3. Penilaian Manfaat Hutan sebagai Pengendali Erosi

a) Tahap pertama, menentukan laju erosi pada areal bekas kebakaran di Hutan Pendidikan Gunung Walat. Rumus persamaan USLE digunakan untuk menentukan jumlah erosi , yaitu :

P C S L K R A=

dimana, A = banyaknya tanah yang tererosi (ton/ha/tahun) R = faktor erosivitas hujan (joule/ha/tahun) K = faktor erodibilitas tanah (ton/joule) L = faktor panjang lereng

S = faktor kemiringan lereng C = faktor pengelolaan tanaman

P = faktor pengelolaan tanah (tindakan konservasi)

Faktor erosivitas hujan (R) dihitung berdasarkan data hujan bulanan dengan menggunakan persamaan Bols sebagai berikut :

( )

= 12 1 30 EI R EI30 = 6,119 (P)1,21 (H)-0,47 (MP)0,53

Adapun : EI30 = indeks erosivitas hujan bulanan P = curah hujan bulanan (cm) H = hari hujan per bulan (hari)

MP = curah hujan bulanan maksimum selama 24 jam dalam 1 bulan

Faktor erodibilitas tanah atau faktor kepekaan erosi tanah (K) dihitung dengan persamaan Weischmeir dan Smith dalam Hardjowigeno (2003) berikut :

100 K = 2,1 M1,14 (10-4) (12-a) + 3,25 (b-2) + (c-3) Adapun : K = erodibilitas tanah

M = (% debu + % pasir sangat halus) (100 – % lempung) a = % bahan organik

b = kode struktur tanah

c = kode permeabilitas profil tanah

Besarnya nilai K yang diperoleh dikalikan dengan faktor konversi bernilai 1,29. Faktor topografi (LS) diperoleh dengan persamaan Weischmeir dan Smith berikut :

(

0,063 0,0454 0,0065

)

, 12% 10 , 22 2 < + + = ⎟ ⎠ ⎞ ⎜ ⎝ ⎛ = X S S untukS L m atau % 12 , 9 10 , 22 35 , 1 > ⎟ ⎠ ⎞ ⎜ ⎝ ⎛ = ⎟ ⎠ ⎞ ⎜ ⎝ ⎛ = X S S untukS L m

Adapun : LS = faktor topografi X = panjang lereng (m) S = kecuraman lereng (%)

M = konstanta (0,5 untuk lereng > 4 %), (0,4 untuk lereng 3-4 %), dan (0,3 untuk < 3 %)

Faktor pengelolaan tanah dan tanaman penutup tanah (C) dan faktor teknik konservasi tanah (P) diduga dengan menggunakan data persen (%) penutupan dan tipe penggunaan lahan serta pengelolaan hasil pengamatan lapangan dengan megacu pada pustaka hasil penelitian tentang faktor tanaman dan faktor pengelolaan tanah.

b) Tahap kedua, membandingkan laju erosi aktual (USLE) sebelum dan setelah kebakaran dengan faktor pembeda adalah nilai faktor tanaman (C) sebelum dan setelah kebakaran.

c) Tahap ketiga, menghitung tingkat erosi per tahun (sebelum dan setelah kebakaran) di lokasi kebakaran yang disetarakan dengan unsur hara (N, P, dan K) yang terdapat dalam 1 ton tanah pada kedalaman efektif 30 cm. Kemudian dikonversi ke dalam biaya penggunaan pupuk Urea, TSP, dan KCl per satuan luas dengan menggunakan harga pasar (Hufschmidt et al., 1983 dalam Yunus, 2005).

d) Tahap keempat, menghitung selisih kehilangan unsur hara sebelum dan setelah kebakaran hutan.

Notasi penilaian ekonomi fungsi pengendali erosi :

( )

= = n i i i xHP xLA JUHR NMHPE 1

( )

= = n i i i i ER xPUHR JUHR 1 dimana,

NMHPE = nilai unsur hara yang hilang akibat erosi tanah (Rp/tahun) JUHRi = jumlah unsur hara ke-i yang hilang dari tanah yang tererosi di

areal kebakaran (kg/ha)

HPi = harga pupuk per jenis i (Rp/kg) LA = luas areal kebakaran (ha)

ERi = jumlah tanah tererosi per hektar di areal kebakaran (ton/ha) PUHRi = proporsi unsur hara ke-i dari 1 ton tanah yang tererosi (kg) i = jenis unsur hara/pupuk (Urea, TSP, KCl)

Lokasi penelitian Hutan Pendidikan Gunung Walat (HPGW) terletak 2,5 km ke arah selatan dari poros jalan Bogor-Sukabumi yang berjarak 55 km dari Bogor dan 15 km dari Sukabumi. Secara administratif, areal HPGW terletak di Desa Hegarmanah, Kecamatan Cicantayan, Kabupaten Sukabumi, Propinsi Jawa Barat. Sedangkan berdasarkan wilayah kehutanannya, kawasan HPGW termasuk dalam wilayah Badan Kesatuan Pemangkuan Hutan (BKPH) Gede Barat, Kesatuan Pemangkuan Hutan (KPH) Sukabumi, Perum Perhutani Unit III Jawa Barat dan Banten.

Kawasan HPGW terletak pada 06°53’35’’ – 06°55’ 10’’ Lintang Selatan (LS) dan 106°47’50’’ – 106°51’30’’ Bujur Timur (BT) dengan ketinggian 557 m di atas permukaan laut (m dpl) dengan luas semula adalah 359 ha, yang kini menjadi sekitar 349 ha.

Keadaan hutan di HPGW pada awalnya (tahun 1958) adalah kurang lebih 100 ha berupa hutan tanaman dan sisanya berupa tanah kosong yang ditumbuhi semak, alang-alang, dan beberapa pohon yang sangat jarang.

Sejak ditunjuk menjadi hutan pendidikan pada tahun 1969, kawasan ini luasnya sekitar 359 ha. Secara umum, HPGW dibagi menjadi tiga blok kawasan pengelolaan, yaitu :

1. Blok I (Cikatomas), merupakan areal sebelah timur dengan luas sekitar 120 ha 2. Blok II (Cimenyan), merupakan areal sebelah barat dengan luas sekitar 125 ha 3. Blok III (Tangkalak), merupakan areal bagian tengah dengan luas sekitar 114

ha (Fahutan-IPB, 2001 dalam Rahardjo, 2003).

Geologi dan Tanah

Kandungan batu alam di HPGW terdiri dari batuan sedimen vulkanik berwarna hijau semu abu-abu, yang membentuk seri lapisan yang sangat tebal hingga mencapai sekitar 35 cm. Lokasi HPGW pada struktur geologinya terdiri atas lapisan tufa dasit yang pada horizon tertentu diselingi dengan batuan tufa andesit, yang merupakan bagian dari formasi breksi tua yang berumur miosin.

Keadaan geologi di HPGW merupakan pulau miosin di tengah-tengah formasi batuan vulkanik kwarter yang berasal dari Gunung Salak dan Gunung Gede.

Menurut Peta Geologi Lembar Bogor – Jawa (1974), Gunung Walat dan sekitarnya dibangun oleh batuan sedimen tersier bawah (oligosen) yang disebut formasi Walat. Formasi Walat terutama disusun oleh batuan pasir kwarsa yang berlapis silang, konglomerat kerakal kwarsa, lempung karbonat, lignit, dan lapisan-lapisan arang tipis. Semakin ke atas, ukuran butiran-butiran semakin bertambah dan tersingkap di Gunung Walat dekat daerah Cibadak serta daerah sekitarnya. Pasir dari formasi ini dapat digunakan untuk pembuatan gelas, dan tebalnya diperkirakan mencapai antara 1.000 – 1.373 m (Fahutan-IPB, 2001 dalam Rahardjo, 2003).

Di bagian barat daya HPGW terdapat areal peralihan dengan jenis batuan karst, sehingga di wilayah tersebut terbentuk beberapa gua alam karst/gamping. Salah satunya adalah gua alam Cipeureu yang terbentuk dari batuan karst. Saat ini gua tersebut dikembangkan sebagai obyek rekreasi speleologi. Bagian selatan kawasan HPGW memiliki anak sungai yang berair sepanjang tahun, yang merupakan sumber air bersih bagi masyarakat sekitarnya (Fahutan-IPB, 2001 dalam Rahardjo, 2003).

Kondisi tanah di kawasan HPGW umumnya terdiri dari jenis tanah yang kompleks, diantaranya terutama sekali jenis podsolik merah kuning, latosol, dan litosol dari batuan endapan dan beku di daerah bukit. Secara detail, tanah di Gunung Walat termasuk jenis tanah dari keluarga Tropohumult Tipik, (latosol merah kuning), Tropudult Tipik (latosol coklat), Dystripept Tipik (podsolik merah kuning), dan Troportent Lipik (litosol). Keadaan ini menunjukkan kondisi tanah pada kawasan ini heterogen (Fahutan-IPB, 2001 dalam Rahardjo, 2003).

Topografi

Hutan Pendidikan Gunung Walat terletak pada ketinggian 500 – 700 m dpl dengan topografi yang bervariasi dari landai sampai bergelombang terutama di bagian selatan. Sementara di bagian utara, memiliki kondisi topografi yang semakin berat. Kondisi topografi di kawasan HPGW adalah bergunung (98 ha), berbukit (42 ha), bergelombang (23 ha), berombak (9 ha), dan datar (4 ha). Di

sebelah utara kawasan, terdapat punggung bukit yang memanjang dari ujung timur sampai ujung barat. Di bagian tengah punggung bukit terdapat patok Triangulasi KQ 2212 dengan ketinggian 676 m dpl dan merupakan titik tertinggi di kawasan HPGW (Fahutan-IPB, 2001 dalam Rahardjo, 2003).

Iklim dan Curah Hujan

Menurut klasifikasi Schmidt-Ferguson, kawasan HPGW termasuk iklim tipe B (basah) dengan nilai Q = 14,3 % - 33 %. Berdasarkan data curah hujan Gunung Walat 1999 – 2005, diketahui banyaknya curah hujan per tahun berkisar antara 1.541 – 3.367 mm, dengan rata-rata curah hujan per tahun sebesar 2.411 mm.

Flora dan Fauna

Kondisi penutupan lahan oleh vegetasi di kawasan HPGW sekitar 75 %, sebagian besar adalah hutan tanaman yang ditanam sejak tahun 1958 dengan dominasi jenis damar (Agathis dammara), tusam-pinus (Pinus merkusii), mahoni (Swietenia macrophylla), beberapa jenis pinus asing (Pinus oocarpa, Pinus caribaea, Pinus insularis), sonokeling (Dalbergia latifolia), rasamala (Altingia excelsa), cendana (Santalum album), puspa (Schima wallichii), sengon (Paraserianthes falcataria), jenis-jenis akasia (Acacia auriculiformis dan Acacia mangium).

Selain pepohonan, terdapat pula jenis paku-pakuan, epifit, dan berbagai jenis vegetasi tumbuhan bawah berupa tanaman perdu, dan herba serta rerumputan liar. Tumbuhan bawah, semak herba, dan perdu yang ada di HPGW antara lain alang-alang (Imperata cylindrica), harendong (Melastoma malabathricum), beberapa jenis paku-pakuan seperti paku pakis areuy (Nekania scanden), rane (Selaginella plana), serta jenis-jenis rerumputan seperti antaran (Viola odorata), jampang (Phastrophus compressus), jukut ki pait (Paspalum conjugatum), teki (Kyllinga monochepala), dan lain sebagainya. Tumbuhan bawah yang termasuk jenis tumbuhan obat antara lain kayu manis (Cinnamomum zeylanicum), jahe (Zingiber officinale), kencur (Capparis microcantha), temulawak (Curcuma zanthorriza), serta jenis kapulaga (Amomum cardamomum) (Fahutan-IPB, 2001-Gundoyo, 2002 dalam Rahardjo, 2003).

Jenis satwa liar yang ditemui di HPGW antara lain musang (Paradoxurus hemaphroditus), monyet ekor panjang (Macaca fascicularis), kelinci liar (Nesolagus sp), bajing (Callossiurus sp), babi hutan (Sus crofa). Disamping itu, ada beberapa jenis burung seperti kutilang (Pycoconotus aurigaster), perkutut (Goepelia striata), burung madu (Nectarinia jugularis pectolaris), serta burung srengenge (Anthreptes malaccensis mystacalis). Di HPGW terdapat pula berbagai jenis reptil seperti ular piton (Phyton molurus), biawak (Varanus salvator), dan berbagai jenis reptil kecil seperti kadal, tokek, dan bunglon (Fahutan-IPB, 2001-Gundoyo, 2002 dalam Rahardjo, 2003).

Kejadian Kebakaran Hutan

Kebakaran hutan merupakan salah satu penyebab terjadinya gangguan hutan khususnya perubahan terhadap kondisi ekosistem pada kawasan yang ada, terutama terhadap vegetasi dan tanah pada areal yang terkena kebakaran.

Dokumen terkait