• Tidak ada hasil yang ditemukan

2. Kriteria Kondisi Kualitas Tapak

Penilaian kualitas tapak akibat kebakaran menggunakan beberapa indikator, yaitu kondisi fisik tanah, kondisi kimia tanah, kondisi biologi tanah, dan tingkat keparahan kerusakan tanah (Syaufina et al., 2006). Penetapan indikator dilakukan dengan membandingkan parameter-parameter di areal terbakar dengan areal yang tidak terbakar yang berdekatan dan memiliki kondisi yang relatif sama dengan areal sebelum terjadi kebakaran.

Indikator kondisi fisik tanah terdiri dari beberapa parameter, yaitu tebal lapisan bahan organik, kelas tekstur tanah, bobot isi, porositas, laju infiltrasi,

dan suhu tanah. Persentase indikator ini sebesar 10 % dari bobot kriteria kondisi kualitas tapak. Dari hasil pengamatan di lapangan, tebal lapisan bahan organik > 75 % terbakar, karena kebakaran yang terjadi merupakan kebakaran permukaan (surface fire). Kelas tekstur semi detail tidak mengalami perubahan, dimana pada areal terbakar dan tidak terbakar memiliki kelas tekstur semi detail geluh lempungan (Buliyansih, 2005). Hasil penelitian Rahardjo (2003) menunjukkan bahwa kebakaran permukaan yang terjadi di bawah tegakan pinus cenderung relatif tidak menyebabkan peningkatan terhadap nilai bobot isi tanah, dimana bobot isi tanah termasuk rendah (< 1,1 gr/cm3).

Sementara untuk porositas tanah, cenderung relatif mengalami perubahan menjadi lebih tinggi setelah terjadinya kebakaran (Rahardjo, 2003). Porositas yang terjadi di areal bekas kebakaran dan tidak terbakar termasuk tinggi (56 – 70 %). Laju infiltrasi pada areal bekas kebakaran juga mengalami peningkatan setelah terjadi kebakaran. Sedangkan parameter suhu tidak dilakukan penilaian, karena penilaian dilakukan beberapa hari, minggu atau bulan setelah terjadinya kebakaran. Sub total pada penilaian kondisi fisik tanah sebesar 4,5. Hasil penilaian kondisi fisik tanah dapat dilihat pada Lampiran 4.

Indikator sifat kimia tanah terdiri dari pH tanah, Kapasitas Tukar Kation/KTK (Na, K, Ca, Mg, H, Al, dan Fe), dan perubahan jumlah kation basa (Na, K, Ca, Mg). Persentasenya sebesar 5 % dari bobot kriteria kondisi kualitas tapak. Penilaian sifat kimia tanah berdasarkan hasil penelitian Priandi (2006) menunjukkan bahwa pH tanah sebelum dan setelah terjadinya kebakaran tidak berubah, dengan nilai pH tanah yang termasuk masam (pH 5,1 – 5,5). Dalam Priandi (2006) diketahui bahwa kondisi kandungan KTK (Na, K, Ca, Mg, H, Al, dan Fe) rata-rata cenderung tidak mengalami perubahan setelah terjadi kebakaran, dimana KTK tesebut masuk dalam kriteria rendah (< 16 ms %). Sedangkan banyaknya jenis kation basa (Na, K, Ca, Mg) bertambah setelah terjadinya kebakaran hutan. Sub total pada penilaian sifat kimia tanah yaitu 1. Hasil penilaian dapat dilihat pada Lampiran 5.

Dalam penilaian areal bekas terbakar, sifat biologi tanah yang relatif mudah diamati adalah makro fauna tanah dengan parameter penting sebagai berikut : perubahan komposisi jenis, indeks keanekaragaman jenis, indeks kemerataan jenis dan indeks kesamaan jenis. Persentasenya sebesar 9 % dari bobot kriteria kondisi kualitas tapak.

Kebakaran hutan yang terjadi di HPGW tahun 2002 menyebabkan perubahan komposisi jenis makro fauna, dimana terjadi penurunan jumlah jenis makro fauna tanah (Buliyansih, 2005). Pada lapisan tanah, nilai indeks keanekaragaman jenis rata-rata yaitu 0,72 artinya keanekaragamannya termasuk rendah (< 1,5). Hal ini dapat dilihat dari sebaran kelimpahan jumlah individu pada setiap famili yang tidak merata. Ada beberapa famili yang mempunyai kelimpahan yang besar, seperti famili Lumbricidae, Formicidae, dan Laelapidae. Pada serasah terbakar, nilai indeks keanekaragaman jenis rata-ratanya 1,28 dimana nilai ini berada pada selang < 1,5, sehingga keanekaragamannya termasuk rendah (Buliyansih, 2005).

Mengacu pada hasil penelitian Buliyansih (2005), nilai indeks kemerataan jenis rata-rata pada tanah dan serasah yang terbakar yaitu 0,34 dan 0,63. Nilai indeks kemerataan ini menunjukkan bahwa sebaran kelimpahan individu pada setiap famili tidak merata. Sementara indeks kesamaan jenis makro fauna tanah termasuk dalam kisaran ≥ 75 %, artinya kondisi makro fauna tanah setelah terjadi kebakaran hampir mendekati kondisi sebelum kebakaran. Sub total untuk penilaian sifat biologi tanah yaitu 6,5. Hasil penilaian sifat biologi tanah tertera pada Lampiran 6.

Tingkat keparahan kerusakan tanah dinilai dengan melihat penampakan fisik dari kondisi tanah yang telah terbakar, apakah areal tersebut termasuk dalam tingkat keparahan yang rendah, sedang, atau tinggi. Persentasenya sebesar 6 % dari bobot kriteria kondisi kualitas tapak.

Mengacu pada hasil penelitian Rahardjo (2003), Buliyansih (2005), dan Priandi (2006), maka dapat diketahui kerusakan tanah yang terjadi akibat kebakaran hutan di HPGW termasuk dalam tingkat keparahan rendah sehingga bernilai bobot 2, seperti yang tertera di Lampiran 7. Tingkat keparahan kerusakan tanah dalam penilaian ini didasarkan pada deskripsi dari DeBano et

al. (1998) dengan melihat penampakan fisik dari kondisi tanah yang telah terbakar. Pada areal bekas kebakaran di HPGW terjadi pemanasan tanah rendah, pengarangan bagian bawah yang ringan, serasah terbakar habis atau mengarang, tetapi lapisan duff tidak rusak, walaupun permukaannya hangus. Sebagian terakumulasi sisa/sampah berkayu terbakar atau hangus. Tanah mineral tidak berubah, permukaan tanah hitam, abu terjadi untuk waktu yang singkat. Suhu permukaan pada 1 cm < 50 0C. Suhu lethal untuk organisma tanah terjadi sampai kedalaman 1 cm.

Berdasarkan indikator-indikator dan parameter-parameter di atas, penilaian terhadap areal kebakaran dapat dilakukan dengan menjumlahkan hasil perkalian nilai parameter dengan bobot parameter. Tingkat keparahan dampak kebakaran kemudian ditetapkan berdasarkan nilai total dari seluruh parameter seperti tercantum dalam Tabel 2.

Tabel 2. Sistem Skoring pada Penilaian Areal Bekas Terbakar Tingkat Keparahan Dampak Kebakaran Nilai Total

Sangat ringan 0 – 20

Ringan > 20 – 40

Sedang > 40 – 60

Berat > 60 – 80

Sangat berat > 80 – 100

Setelah dilakukan perhitungan parameter-parameter di atas, maka diperoleh nilai total sebesar 32,5. Berdasarkan sistem skoring pada penilaian areal terbakar untuk pengelolaan hutan berkelanjutan, nilai total tersebut termasuk dalam kelas ringan. Sehingga dapat disimpulkan bahwa areal bekas kebakaran di HPGW memiliki tingkat keparahan dampak kebakaran yang ringan.

Penilaian Kerugian Hilangnya Manfaat Sumberdaya Hutan Kayu 1. Nilai Kayu

Data potensi yang digunakan adalah volume pohon untuk tiap ha. Kebakaran hutan di Blok Cimenyan HPGW meliputi areal seluas 9 ha. Sehingga untuk mengetahui potensi/jumlah volume pohon yang terbakar adalah dengan mengalikan potensi per ha dengan luas terbakar.

Data potensi pohon diperoleh dari penelitian Riyanti (2005) dengan menggunakan metode Forest Health Monitoring (FHM). Dalam FHM plot yang digunakan yaitu cluster plot, satu cluster plot terdiri dari empat buah subplot/plot annular. Luasan yang tercakup dalam satu cluster plot adalah 4048,93 m2. Maka untuk menghitung potensi volume pohon per ha, potensi pohon dalam satu cluster plot dikalikan dua setengah.

Areal bekas kebakaran di Blok Cimenyan HPGW terdiri dari satu jenis tegakan yaitu tegakan pinus/tusam (Pinus merkusii). Potensi pohon pinus yang mati terbakar yaitu 1,08 m3/ha. Sedangkan potensi pohon pinus yang terbakar dengan luas 9 ha yaitu 9,75 m3. Nilai ekonomi kerugian kebakaran hutan akan semakin tinggi seiring dengan tingginya nilai sumberdaya hutan.

Penilaian potensi produksi menggunakan pendekatan harga jual dari produk yang ada di kawasan kawasan terbakar. Hasil perhitungan nilai kerugian kayu dari HPGW didekati dari potensi kayu bila digunakan untuk bahan baku pulp. Harga jual kayu bundar pinus diperoleh dari KPH Sukabumi Perum Perhutani Unit III Jawa Barat dan Banten.

Berdasarkan pada potensi sumberdaya hutan kayu yang terbakar dan harga jual kayunya, maka diperoleh nilai kerugian sumberdaya hutan kayu akibat kebakaran hutan. Hasil penilaian ekonomi dampak kebakaran terhadap potensi kayu atas dasar harga pasar yaitu Rp 3.422.604 untuk 9 ha areal yang terbakar, dengan kerugian rata-rata Rp 380.289/ha. Nilai kerugian ini sangat dipengaruhi oleh potensi volume pohon tiap ha dari hutan yang terbakar. Semakin besar potensi tiap ha hutan yang terbakar, maka semakin tinggi pula nilai kerugian kebakaran hutan yang diperoleh. Nilai kerugian ekonomi rata-rata tiap ha dan kerugian ekonomi secara total kebakaran hutan terhadap sumberdaya kayu dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3. Nilai Kerugian Kayu di Areal Terbakar Blok Cimenyan HPGW

Areal Terbakar Luas (ha) pohon per ha Volume (m3) Volume pohon total (m3) Nilai kerugian (Rp) Blok Cimenyan 9 1,08 9,75 3.422.604 Rata-rata/ha 380.289

Nilai ekonomi kerugian dari kebakaran hutan ini menunjukkan tingginya nilai sumberdaya hutan kayu. Nilai ekonomi ini akan semakin tinggi jika dinilai dari hasil hutan yang telah diolah menjadi barang dan banyak diminati konsumen, sehingga dihargai konsumen dengan harga yang tinggi.

Berdasarkan nilai kerugian dari kebakaran di Blok Cimenyan HPGW terlihat bahwa kebakaran hutan terhadap sumberdaya hutan sangat merugikan. Secara ekonomi kerugian kebakaran terhadap manfaat langsung hutan sangat tinggi. Belum lagi ditinjau dari manfaat tidak langsung keberadaan hutan. Manfaat tidak langsung keberadaan hutan sebagai pelindung sangat besar. Hutan bermanfaat untuk mengatur tata air, mencegah erosi, sebagai paru-paru dunia, sumber keanekaragaman hayati, dan memiliki nilai estetika. Manfaat hutan secara tidak langsung ini tidak kalah pentingnya dengan manfaat hutan secara langsung. Kebakaran hutan juga menyebabkan manfaat tidak langsung menjadi hilang, sehingga kerugiannya juga harus diperhitungkan.

Hutan merupakan salah satu sumberdaya alam yang dapat diperbarui dan mempunyai hasil yang akan memberi keuntungan bagi negara dan masyarakat dari segi ekonomi. Oleh karena itu, pengusahaannya harus berkelanjutan dan berasaskan kelestarian. Kebakaran hutan merupakan salah satu faktor pengganggu kelestarian hutan, yang secara ekonomi telah terbukti sangat merugikan dalam penelitian ini. Usaha perlindungan harus dilaksanakan sevara efektif dan efisien, khususnya perlindungan dan pencegahan terhadap kebakaran hutan. Pembukaan lahan menggunakan api yang tidak terkontrol sehingga menimbulkan kebakaran yang lebih luas harus dikenakan sanksi hukum maupun denda yang tinggi, agar menimbulkan ‘efek jera’ terhadap perusahaan maupun masyarakat yang menimbulkan kerusakan lingkungan akibat kegiatan pembakaran hutan.

Dokumen terkait