• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENILAIAN EKONOMI DAMPAK KEBAKARAN HUTAN TERHADAP VEGETASI DAN TANAH (Studi Kasus di Hutan Pendidikan Gunung Walat, Kabupaten Sukabumi)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PENILAIAN EKONOMI DAMPAK KEBAKARAN HUTAN TERHADAP VEGETASI DAN TANAH (Studi Kasus di Hutan Pendidikan Gunung Walat, Kabupaten Sukabumi)"

Copied!
82
0
0

Teks penuh

(1)

MOKHAMMAD IKHSANUDIN

E14202005

PROGRAM STUDI BUDIDAYA HUTAN

FAKULTAS KEHUTANAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

2006

(2)

kepadamu : “Berlapang-lapanglah dalam majlis”, maka lapangkanlah, niscaya Allah akan memberi kelapangan untukmu. Dan apabila dikatakan : “Berdirilah kamu”,

maka berdirilah, niscaya Allah akan meninggikan orang yang beriman diantaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.

(QS. Al-Mujaadilah : 11)

“Ilmu adalah cahaya bagi hati nurani,

kehidupan bagi ruh, dan bahan bakar bagi tabiat” “Kebahagiaan, kedamaian, dan ketentraman hati

senantiasa berawal dari ilmu pengetahuan”

Karya kecil ini kupersembahkan untuk Ayah dan Ibu tercinta, Mbak Ika, Dik Maul, Dik Ima, dan seluruh keluarga di Rembang serta orang-orang yang selalu mencintaiku...

(3)

Pendidikan Gunung Walat, Kabupaten Sukabumi). Di bawah bimbingan Dr. Ir. Lailan Syaufina, M.Sc. dan Prof. Dr. Ir. Dudung Darusman, MA.

Kebakaran hutan merupakan salah satu penyebab utama kerusakan hutan yang dapat mengganggu kelestarian hutan. Dampak kebakaran hutan sendiri sangat besar, baik dari aspek ekologi maupun ekonomi. Kebakaran hutan akan mengakibatkan manfaat-manfaat sumberdaya hutan tersebut menjadi hilang. Hilangnya manfaat sumberdaya hutan ini mengakibatkan kerugian material yang sangat besar. Oleh karena itu, kerugian ekonomi perlu dianalisis lebih mendalam. Hingga saat ini, penilaian kerugian ekonomi akibat kebakaran hutan masih sangat terbatas dan masih bersifat umum serta sangat bervariasi tergantung metode, waktu, dan lokasi kebakaran hutan. Penelitian mengenai penilaian ekonomi dampak kebakaran hutan sangat penting untuk dilakukan, karena dapat mengetahui besarnya kerugian kebakaran secara material sehingga dapat ditentukan pertimbangan-pertimbangan untuk tindakan preventifnya.

Tujuan dari penelitian ini yaitu untuk menghitung kerugian sumberdaya alam akibat kebakaran hutan khususnya terhadap vegetasi kayu dan non kayu serta erosi tanah. Penelitian dilaksanakan di Hutan Pendidikan Gunung Walat (HPGW), Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat pada areal bekas kebakaran di blok II Cimenyan. Waktu penelitian yaitu selama bulan Mei sampai Juni 2006. Penelitian ini diharapkan bermanfaat bagi proses penegakan hukum (law enforcement) dalam pengendalian kebakaran hutan. Kebakaran hutan akan menyebabkan dampak yang merugikan secara ekonomi. Untuk itu, diperlukan penilaian ekonomi kerusakan lingkungan akibat kebakaran hutan untuk menentukan besarnya nilai kompensasi kerugian, sehingga nantinya dapat dijadikan sebagai proses awal dalam melengkapi tanda bukti pelanggaran pada kasus kebakaran hutan.

Data yang dipergunakan dalam penelitian ini yaitu : peta luas area kebakaran; data dampak kebakaran hutan terhadap vegetasi kayu; data dampak kebakaran hutan terhadap vegetasi non kayu (tumbuhan obat, getah pinus, pakan ternak); harga kayu dan produk hutan non kayu per satuannya; faktor erosivitas hujan; faktor erodibilitas tanah; panjang dan kemiringan lereng; faktor pengelolaan tanaman; faktor pengelolaan tanah; serta harga pupuk Urea, TSP, dan KCl. Data-data tersebut digunakan untuk menilai areal bekas terbakar untuk pengelolaan hutan berkelanjutan dan menghitung kerugian ekonomi vegetasi akibat kebakaran hutan. Sedangkan untuk menilai kerugian hilangnya manfaat hutan sebagai pengendali erosi tanah menggunakan metode Universal Soil-Loss Equation (USLE) melalui pendekatan kehilangan unsur hara. Erosi per tahun (sebelum dan setelah kebakaran) di lokasi kebakaran disetarakan dengan unsur hara (N, P, dan K) yang terdapat dalam 1 ton tanah pada kedalaman efektif 30 cm. Kemudian dikonversi ke dalam biaya penggunaan pupuk Urea, TSP, dan KCl per satuan luas dengan menggunakan harga pasar.

Kebakaran hutan di HPGW pada tanggal 17 September 2002 di tegakan Pinus merkusii bagian barat dan utara Blok Cimenyan merupakan kejadian kebakaran terbesar hingga tahun 2006. Berdasarkan penelitian sebelumnya, tipe

(4)

sistem skoring pada penilaian areal terbakar untuk pengelolaan hutan berkelanjutan (Syaufina et al., 2006), kebakaran di HPGW termasuk dalam kelas ringan. Sehingga dapat disimpulkan bahwa areal bekas kebakaran di HPGW memiliki tingkat keparahan dampak kebakaran yang ringan.

Areal bekas kebakaran di Blok Cimenyan HPGW terdiri dari satu jenis tegakan yaitu tegakan pinus/tusam (Pinus merkusii). Potensi pohon pinus yang mati terbakar dengan luas 9 ha yaitu 9,75 m3. Hasil penilaian ekonomi dampak kebakaran terhadap potensi kayu atas dasar harga pasar yaitu Rp 3.422.604 untuk 9 ha areal yang terbakar ringan, dengan kerugian rata-rata Rp 380.289/ha. Nilai kerugian ini sangat dipengaruhi oleh potensi volume pohon tiap ha dari hutan yang terbakar. Semakin besar potensi tiap ha hutan yang terbakar, maka semakin tinggi pula nilai kerugian kebakaran hutan yang diperoleh. Kayu bakar merupakan salah satu sumberdaya yang banyak dimanfaatkan oleh masyarakat di lokasi penelitian untuk memenuhi kebutuhan bahan bakar rumah tangga. Dari hasil penelitian terlihat bahwa kerugian kayu bakar untuk seluruh areal terbakar sebesar Rp 26.190.000/tahun dengan kerugian rata-rata Rp 2.190.000/ha/tahun. Besarnya kerugian kayu bakar akibat kebakaran hutan secara langsung berdampak terhadap masyarakat yang biasa memanfaatkan kayu bakar, baik untuk kebutuhan konsumsi maupun diperjualbelikan.

Jenis hasil hutan non-kayu yang terdapat di areal terbakar Blok Cimenyan HPGW meliputi getah pinus, pakan ternak, dan tumbuhan obat. Getah pinus memiliki potensi total sebesar 9.450 kg untuk 9 ha areal yang terbakar dengan nilai kerugian Rp 30.712.500/tahun. Pakan ternak yang dimanfaatkan oleh masyarakat sebanyak 9.180 kg dengan nilai kerugian sebesar Rp 9.180.000/tahun. Pakan ternak yang diambil terdiri dari berbagai jenis rumput-rumputan. Nilai tumbuhan obat yang dinilai dibatasi pada tumbuhan obat yang biasa dimanfaatkan oleh masyarakat, yaitu tumbuhan lempuyang (Zingiber amaricans BI.) dan lengkuas (Alpinia galanga SW.). Nilai tumbuhan obat dari areal terbakar Blok Cimenyan HPGW yaitu Rp 21.600.000/tahun untuk lempuyang dan Rp 10.800.000/tahun untuk lengkuas.

Hasil analisis terhadap perubahan erosi tanah yang terjadi menunjukkan bahwa akibat kebakaran hutan terjadi peningkatan erosi pada Blok Cimenyan HPGW. Perbedaan peningkatan laju erosi tanah sebelum dan setelah kebakaran yaitu 1.051 ton/ha/tahun. Berdasarkan jumlah peningkatan erosi tanah yang selanjutnya dikonversi ke dalam proporsi kehilangan unsur hara pada areal terbakar HPGW (9 ha) menunjukkan bahwa total unsur hara yang hilang sebanyak 342 ton/tahun. Total nilai kerugian ekonomi hilangnya fungsi pengendali erosi tanah akibat kebakaran hutan yaitu Rp 633.592.941/tahun. Penilaian ini belum memasukkan kerugian ekonomi pada aspek fauna tanah. Hal ini dikarenakan belum adanya metode untuk menentukan kerugian ekonomi fauna tanah akibat kebakaran hutan.

Dengan demikian, nilai ekonomi total dampak kebakaran hutan terhadap vegetasi dan tanah di HPGW tahun 2002 sebesar Rp 709.308.045, dengan rata-rata Rp 78.812.005/ha.

(5)

Skripsi

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

Sarjana Kehutanan

pada Fakultas Kehutanan

Institut Pertanian Bogor

MOKHAMMAD IKHSANUDIN

E14202005

PROGRAM STUDI BUDIDAYA HUTAN

FAKULTAS KEHUTANAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

2006

(6)

Judul : Penilaian Ekonomi Dampak Kebakaran Hutan terhadap Vegetasi dan Tanah (Studi Kasus di Hutan Pendidikan Gunung Walat, Kabupaten Sukabumi)

Nama : Mokhammad Ikhsanudin NRP : E14202005

Menyetujui,

Dosen Pembimbing I Dosen Pembimbing II

Dr. Ir. Lailan Syaufina, M.Sc. Prof. Dr. Ir. Dudung Darusman, MA. NIP. 131 849 392 NIP. 130 516 498

Mengetahui, Dekan Fakultas Kehutanan

Prof. Dr. Ir. Cecep Kusmana, MS. NIP. 131 430 799

(7)

Penulis dilahirkan di Rembang, Jawa Tengah, pada tanggal 26 Juli 1983 sebagai anak kedua dari empat besaudara keluarga Bapak Salim dan Ibu Tumining.

Pendidikan formal penulis dimulai di SD Negeri Kutoharjo IV Rembang pada tahun 1990 – 1996. Kemudian dilanjutkan di SLTP Negeri 2 Rembang pada tahun 1996 – 1999. Pada tahun 1999 penulis melanjutkan pendidikan di SMU Negeri 1 Rembang dan lulus pada tahun 2002.

Pada tahun 2002, penulis diterima menjadi mahasiswa pada Program Studi Budidaya Hutan, Departemen Manajemen Hutan, Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor melalui jalur Ujian Seleksi Masuk IPB (USMI). Selama menempuh pendidikan di Fakultas Kehutanan IPB, penulis melaksanakan Praktek Pengenalan dan Pengelolaan Hutan (P3H) pada tahun 2005 di Cagar Alam dan Taman Wisata Alam Kamojang dan Cagar Alam Leuweung Sancang serta KPH Sumedang Perum Perhutani Unit III Jawa Barat dan Banten. Pada tahun 2006 penulis mengikuti Kuliah Kerja Nyata (KKN) di Kelurahan Situgede, Kecamatan Bogor Barat, Kota Bogor.

Selama studi di IPB penulis aktif di beberapa organisasi, antara lain BEM Fakultas Kehutanan tahun 2003/2004, DKM ‘Ibaadurrahmaan Fakultas Kehutanan tahun 2003/2004, International Forestry Students Association (IFSA) tahun 2003/2004, Forest Management Student’ Club (FMSC) tahun 2004/2005 serta BEM-KM IPB tahun 2005/2006. Selain itu, penulis juga pernah menjadi Asisten Praktikum mahasiswa S0 untuk mata kuliah Ilmu Ukur Kayu pada tahun 2005.

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan di Fakultas Kehutanan IPB, penulis melakukan penelitian yang dilanjutkan dengan menyusun skripsi yang berjudul “Penilaian Ekonomi Dampak Kebakaran Hutan terhadap Vegetasi dan Tanah (Studi Kasus di Hutan Pendidikan Gunung Walat, Kabupaten Sukabumi)” di bawah bimbingan Dr. Ir. Lailan Syaufina, M.Sc. dan Prof. Dr. Ir. Dudung Darusman, MA.

(8)

Puji syukur kepada Allah SWT atas kesempatan dan rahmat yang diberikan-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian dan menyusun skripsi ini dengan baik. Sholawat serta salam semoga tetap tercurah kepada Rasulullah Muhammad saw, kepada keluarganya, para sahabatnya, hingga kepada para pengikutnya yang senantiasa istiqomah hingga akhir zaman.

Penelitian yang penulis lakukan bertujuan untuk menghitung kerugian ekonomi akibat kebakaran hutan yang diketahui memberikan dampak yang sangat luas terhadap sumberdaya alam. Kerugian yang ditimbulkan berpengaruh terhadap keberadaan sumberdaya hutan dan kehidupan manusia. Namun, penilaian kerugian akibat kebakaran hutan masih sangat terbatas dan bervariasi menurut metode, waktu, dan lokasi kebakaran. Oleh sebab itu, perlu dilakukan penelitian dalam menghitung kerugian ekonomi akibat kebakaran dengan mengambil kasus kebakaran tahun 2002 di HPGW, Kabupaten Sukabumi.

Skripsi ini merupakan laporan akhir dari penelitian penulis yang berjudul “Penilaian Ekonomi Dampak Kebakaran Hutan terhadap Vegetasi dan Tanah (Studi Kasus di Hutan Pendidikan Gunung Walat, Kabupaten Sukabumi)”. Penelitian dilakukan di areal hutan bekas terbakar Blok Cimenyan HPGW selama bulan Mei – Juni 2006. Skripsi ini sekaligus merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan pada Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih banyak kekurangannya, sehingga penulis sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun demi perbaikan dan pengembangan penelitian lebih lanjut. Semoga karya kecil ini bermanfaat bagi kita semua dan dapat menjadi acuan bagi penelitian selanjutnya.

Bogor, September 2006

(9)

Puji syukur kepada Allah SWT yang telah memberikan rahmat hidayah-Nya serta inayah-hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik. Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada :

1. Bapak dan Ibu tercinta, Kakakku (Ika), Adik-adikku (Maul dan Ima) serta keluarga besarku di Rembang yang senantiasa memberikan dukungan, pengertian, semangat, dorongan serta doanya.

2. Dr. Ir. Lailan Syaufina, M.Sc. dan Prof. Dr. Ir. Dudung Darusman, MA. selaku dosen pembimbing, yang senantiasa membimbing, memberikan petunjuk, nasehat, arahan, dan doanya demi terselesaikannya skripsi ini.

3. Ir. I Ketut N. Pandit, MS. selaku dosen penguji dari Departemen Teknologi Hasil Hutan dan Ir. Siti Badriyah Rushayati, MSi. selaku dosen penguji dari Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan, atas saran dan masukannya.

4. Pihak pengelola Hutan Pendidikan Gunung Walat (HPGW), Dr. Ir. Supriyanto, DEA.; Mas Dayu; Mas Udin; Pak Aang, atas bantuan dan kerjasamanya.

5. Pak Wardana dan Mas Indra serta teman-teman Laboratorium Kebakaran Hutan dan Lahan (Lia, Loka, Nando, Yuri, Zevie), atas segala bantuan dan dukungannya.

6. Keluarga Besar DKM ‘Ibaadurrahmaan, yang selalu memberikan semangat dan mendoakanku dengan penuh rasa kekeluargaan.

7. Keluarga Besar Asrama Sylvasari, atas segala kebersamaan dan suka dukanya, terutama Angkatan ’39 (Hery, Hara, Asrori, Khasbi, Eka, Edoy, Fian, Benu, Rinaldo, Dea, Ilyas, Ferry, Ma’ruf, Iman, Suwilin, Yoga, Agus, Ambar, Ulil, Uday).

8. Teman-teman seangkatan dari Rembang (Syamsu, Bram, Patuh, Wildan, Heri Chun, Budi, Virga, Danik, Nurul, Harini, Krisna, Elly, Ninik, Maya, Muna, Tyas, Nura, Tulis, Nindyar, Isyana), atas persahabatan, kepedulian, dan kebersamaannya.

(10)

10. Arya (BHT ’40), Archi, Dudi, Aciew, Zaky, Shasha, Nina (EKW ’40), dan Bang Muhsin, atas bantuan dan kebersamaannya selama penulis melakukan penelitian di HPGW.

11. Rekan-rekan BDH, MNH, THH, dan KSH ’39

12. Pihak-pihak lain yang telah membantu selama penyusunan skripsi yang tidak dapat disebutkan satu persatu.

(11)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR ISI………...

i

DAFTAR TABEL ………...

ii

DAFTAR LAMPIRAN………..

iii

PENDAHULUAN

Latar Belakang………...

1

Tujuan Penelitian………...

3

Manfaat Penelitian………...

3

TINJAUAN PUSTAKA

Kebakaran Hutan dan Faktor-faktor yang Mempengaruhinya...

4

Dampak Kebakaran Hutan………...

7

Konsep dan Metode Penilaian Ekonomi………...

11

METODOLOGI PENELITIAN

Lokasi dan Waktu Penelitian……….

15

Alat Penelitian………...

15

Metode Pendugaan Erosi Tanah………...

15

Jenis dan Teknik Pengumpulan Data………....

16

Pengolahan Data………...

17

KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

Letak dan Luas...

22

Geologi dan Tanah...

22

Topografi...

24

Iklim dan Curah Hujan...

24

Flora dan Fauna...

24

HASIL DAN PEMBAHASAN

Kejadian Kebakaran Hutan...

26

Penilaian Areal Bekas Terbakar untuk Pengelolaan Hutan

Berkelanjutan...

28

Penilaian Kerugian Hilangnya Manfaat Sumberdaya Hutan Kayu...

36

Penilaian Kerugian Hilangnya Manfaat Sumberdaya Hutan Non Kayu...

39

Penilaian Manfaat Hutan sebagai Pengendali Erosi Tanah………...

41

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan………...

43

Saran………...

44

DAFTAR PUSTAKA……….

45

(12)

DAFTAR TABEL

Halaman

1 Jenis-jenis Tumbuhan Bawah pada Areal Tidak Terbakar dan Areal

Terbakar di bawah Tegakan Pinus merkusii... 31

2 Sistem Skoring pada Penilaian Areal Bekas Terbakar...

35

3 Nilai Kerugian Kayu di Areal Terbakar Blok Cimenyan HPGW………….

37

4 Nilai Kerugian Kayu Bakar di Areal Terbakar HPGW……….

38

5 Nilai Kerugian Manfaat Hasil Hutan Non-Kayu………...

39

6 Jenis-jenis Rumput yang Biasa Diambil Masyarakat untuk Pakan Ternak...

40

7 Nilai Kerugian Ekonomi Erosi Tanah Akibat Kebakaran Hutan di Blok

(13)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

1 Penilaian Kerusakan Individu Pohon...

48

2 Penilaian Tingkat Keparahan Vegetasi……….

55

3 Penilaian Keanekaragaman Vegetasi...

56

4 Penilaian Kondisi Fisik Tanah...

57

5 Penilaian Sifat Kimia Tanah...

58

6 Penilaian Sifat Biologi Tanah...

59

7 Penilaian Tingkat Keparahan Kerusakan Tanah...

60

8 Data Potensi Kayu yang Mati di Areal Bekas Kebakaran HPGW………....

61

9 Data Curah Hujan Hutan Pendidikan Gunung Walat DAS Cipeureu

Sukabumi Tahun 1999 – 2005………..

62

10 Perhitungan Erodibilitas Tanah (R)………..

63

11 Pendugaan Erosi Tanah Sebelum dan Setelah Kebakaran Tahun 2002 di

HPGW………... 64

12 Proporsi Kehilangan Unsur Hara dan Nilai Kerugian Ekonomi

Berdasarkan Tingkat Erosi per ha Sebelum dan Setelah Kebakaran Tahun

2002 di HPGW….………...

65

13 Kondisi Vegetasi Pohon Pinus di Areal Bekas Terbakar HPGW………….

66

14 Batas-batas Tepi HPGW………...

67

15 Peta Lokasi Kebakaran Hutan Pendidikan Gunung Walat Tahun 2002…...

68

(14)

Latar Belakang

Kebakaran hutan merupakan salah satu penyebab utama kerusakan hutan yang dapat mengganggu kelestarian hutan. Dampak kebakaran hutan sendiri sangat besar, baik dari aspek ekologi maupun ekonomi. Salah satu kejadian kebakaran yang memberikan dampak sangat merugikan yaitu kebakaran hutan dan lahan yang terjadi pada periode 1997/1998 seluas 10 juta ha. Kebakaran tersebut terjadi menyebar hampir di seluruh Indonesia terutama di Kalimantan dan Sumatera dan menimbulkan kerugian besar terhadap lingkungan yaitu kerugian sumberdaya hutan dan lahan, sosial ekonomi masyarakat, dan kerugian akibat asap kebakaran hutan yang menimbulkan polusi sampai ke negara tetangga Malaysia dan Singapura.

Sebagian besar kebakaran hutan disebabkan oleh faktor manusia karena kegiatan interaksinya dengan hutan. Tradisi penggunaan api untuk pembukaan lahan, pengambilan kayu dan hasil hutan lainnya serta pembakaran lahan untuk keperluan lain, baik oleh masyarakat sekitar hutan maupun pengusaha perkebunan dan HTI yang disengaja ataupun tidak, dapat menyebabkan meluasnya areal kebakaran hutan dan lahan.

Kebakaran hutan dan lahan yang tidak terkendali dapat menyebabkan kerugian lingkungan yang sangat besar, baik ditinjau dari aspek sosial ekonomi, ekologi, dan politis. Bentuk kerugian tersebut antara lain : rusak dan hilangnya sumberdaya hutan, meningkatnya laju erosi tanah, menurunnya sistem penyangga kehidupan dengan berkurangnya keanekaragaman jenis flora dan fauna sebagai sumber plasma nutfah, berubahnya fungsi hidro-orologis, perubahan iklim mikro, dan menurunnya nilai estetika. Kerugian lain yang tidak kalah penting yaitu dampak asap tebal yang berasal dari kebakaran hutan dan lahan yang berpengaruh terhadap menurunnya produktivitas masyarakat dan aktivitas ekonomi lainnya, dan hubungan kerjasama dengan negara tetangga. Bentuk kerugian dari asap kebakaran dapat ditinjau dari aspek : kesehatan, kehilangan produksi industri, pariwisata, gangguan transportasi, menurunnya pengunjung hotel dan penginapan serta kemungkinan memburuknya kerjasama diplomasi dengan negara lain.

(15)

Kebakaran hutan akan mengakibatkan manfaat-manfaat sumberdaya hutan tersebut menjadi hilang. Hilangnya manfaat sumberdaya hutan ini mengakibatkan kerugian material yang sangat besar. Oleh karena itu, kerugian yang ditimbulkan perlu ditaksir nilai ekonominya. Penaksiran ini bertujuan untuk mengetahui besarnya kerugian kebakaran secara material sehingga dapat ditentukan pertimbangan-pertimbangan untuk tindakan preventifnya.

Penentuan metode penilaian ekonomi lingkungan akibat kebakaran hutan dan lahan relatif sulit untuk dilakukan, terutama untuk menilai manfaat ekologi (intangible) yang hilang dari sumberdaya hutan dan lahan seperti : pengatur tata air, pengendali erosi atau banjir, penyerap karbon, pengendali iklim mikro, keberadaan spesies langka, dan keanekaragaman hayati. Sementara untuk pengukuran manfaat dari sumberdaya hutan dan lahan yang dapat dinilai oleh pasar secara langsung (tangible) seperti nilai kayu dan manfaat lain yang dapat dikonsumsi dan mempunyai nilai pasar, relatif lebih mudah dinilai kerugiannya (Yunus, 2005).

Penilaian ekonomi kerugian kebakaran hutan harus dilakukan baik pada sumberdaya hutan nyata atau tidak nyata, karena kerugian yang ditimbulkan bukan hanya dari kayu yang hilang, tetapi seluruh flora fauna yang ada di dalamnya yang terbakar dan keanekaragaman hayati yang musnah sebelum sempat dimanfaatkan oleh manusia.

Namun, sampai saat ini penilaian ekonomi kerusakan lingkungan akibat kebakaran hutan masih sangat terbatas dan penilaiannya bersifat umum serta sangat bervariasi tergantung metode, waktu, dan lokasi kebakaran hutan dan lahan. Oleh karena itu, penelitian mengenai penilaian ekonomi dampak kebakaran hutan sangat penting untuk dilakukan.

Penelitian ini difokuskan untuk melakukan penilaian ekonomi kerugian akibat hilangnya sumberdaya hutan baik kayu atau non kayu dan hilangnya manfaat hutan sebagai pengendali erosi tanah yang ditimbulkan oleh kebakaran hutan.

(16)

Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini yaitu untuk menghitung kerugian sumberdaya alam akibat kebakaran hutan khususnya terhadap vegetasi kayu dan non kayu serta hilangnya manfaat hutan sebagai pengendali erosi tanah.

Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan bermanfaat bagi proses penegakan hukum (law enforcement) dalam pengendalian kebakaran hutan. Kebakaran hutan akan menyebabkan dampak yang merugikan secara ekonomi. Untuk itu, diperlukan penilaian ekonomi kerusakan lingkungan akibat kebakaran hutan untuk menentukan besarnya nilai kompensasi kerugian, sehingga nantinya dapat dijadikan sebagai proses awal dalam melengkapi tanda bukti pelanggaran pada kasus kebakaran hutan.

Selain itu, penelitian ini juga diharapkan bermanfaat bagi pemerintah, pengusaha perkebunan/HTI, dan masyarakat dalam mencegah terjadinya kebakaran hutan dan lahan.

(17)

Kebakaran Hutan dan Faktor-faktor yang Mempengaruhinya

Menurut Brown dan Davis (1973), kebakaran hutan merupakan pembakaran yang penjalarannya bebas serta mengkonsumsi bahan bakar alam dari hutan seperti serasah, rumput, ranting/cabang pohon mati, snags/pohon mati yang tetap berdiri, logs, tunggak pohon, gulma, semak belukar, dedaunan, dan pohon-pohon. Pembakaran terjadi melalui dua proses, yaitu proses kimia dan fisika. Proses ini berlangsung dengan cepat memisahkan jaringan-jaringan tanaman menjadi unsur kimia, diiringi dengan pelepasan energi panas. Sebagai satu reaksi kimia, proses ini berlawanan dengan proses pembentukan bagian-bagian tanaman melalui proses fotosintesis.

Reaksi fotosintesis :

CO2 + H2O + energi matahari → (C6H12O6)n + O2 Reaksi pembakaran :

(C6H12O6)n + O2 + suhu penyalaan → CO2 + H2O + panas

Kebakaran hutan dapat terjadi karena adanya sumber api, ketersediaan bahan bakar, dan ketersediaan oksigen. Karakteristik penting dari suatu kebakaran ditunjukkan oleh sifat pembakaran yang tidak terbatas, bebas, dan cepat penyebarannya. Brown dan Davis (1973) menyatakan bahwa kebakaran hutan adalah kejadian di alam terbuka yang dengan cepat menjalar dan menghabiskan bahan bakar hutan, seperti serasah, rumput-rumputan, tumbuhan bawah, semak, dan pepohonan.

DeBano et al. (1998) menyatakan bahwa terdapat tiga komponen utama pembentuk api yang menyebabkan terjadinya kebakaran hutan. Pertama, tersedianya bahan bakar yang dapat terbakar. Kedua, panas yang cukup untuk meningkatkan temperatur sehingga mencapai titik nyala. Ketiga, suplai oksigen yang cukup untuk menjaga kelangsungan proses pembakaran. Ketiga komponen tersebut membentuk segitiga api atau fire fundamental triangle (Pyne et al., 1996).

Menurut Chandler et al. (1983a), bahan bakar hutan dapat dilihat dari aspek-aspek : (1) bahan bakar yang mengandung zat kimia (antara lain ekstraktif eter,

(18)

debu silika, lignin, dan hemiselulosa), (2) kelembaban bahan bakar, dan (3) ketersediaan bahan bakar. Sedangkan Brown dan Davis (1973) membedakan bahan bakar menurut jenis bahan yang terbakar, yaitu kebakaran rumput, semak, dan kayu.

Kebakaran hutan sebagai suatu proses yang terjadi di alam, juga mempengaruhi fase atau tahapan dalam kebakaran hutan. Fase ini sangat tergantung pada keadaan ekosistem hutan. Fase kebakaran hutan ada tiga, yaitu : (1) fase preheating (pra pemanasan), fase dimana bahan bakar yang berada di depan nyala api dipanaskan, dikeringkan dan secara parsial disuling, (2) fase distilasi/penyulingan dari bahan-bahan gas berkelanjutan tetapi dibarengi dengan pembakaran, dan (3) fase penyalaan dapat dilihat sebagai hubungan antara fase pertama (preheating) dan fase kedua. Penyalaan dapat juga dilihat sebagai awal dari bagian pembakaran dimana oksidasi terjadi (Suratmo et al., 2003).

Menurut Brown dan Davis (1973), Chandler et al. (1983a), dan Pyne et al. (1996), proses terjadinya kebakaran hutan ditentukan oleh sejumlah faktor yang saling berhubungan, yaitu bahan bakar, cuaca, topografi, perubahan musim dan cuaca serta waktu harian. Dipastikan faktor utama penyebab kebakaran hutan itu 99 % tidak lepas dari ulah manusia, baik yang sengaja maupun tidak sengaja.

Muatan bahan bakar menentukan energi maksimum yang tersedia dalam kebakaran. Susunan bahan bakar mempengaruhi aerasi (ketebalan bahan bakar), penyebaran vertikal (penyebaran pada kanopi), dan penyebaran horizontal (pada bahan bakar bawah). Distribusi ukuran bahan bakar sangat mungkin mempengaruhi pada penyalaan awal. Kandungan kimia bahan bakar dapat meningkatkan penyalaan (resin dan minyak) atau menurunkannya (kandungan mineral).

Faktor topografi yang berpengaruh pada penyebaran api adalah kemiringan lereng (Brown dan Davis, 1973). Kemiringan lereng berpengaruh pada arah dan kecepatan menjalarnya api, bahan bakar di depan /di atas medan terpanaskan terlebih dahulu sehingga api lebih cepat menjalar ke atas daripada ke bawah lereng (Fuller, 1991).

Faktor cuaca merupakan faktor penting penyebab terjadinya kebakaran hutan, baik langsung maupun tidak langsung ditinjau dari aspek temperatur udara,

(19)

arah dan kecepatan angin serta kelembaban udara. Menurut Chandler et al. (1983a), faktor cuaca dan iklim yang mempengaruhi kebakaran hutan, yaitu : (1) massa dan gelombang udara, (2) temperatur udara, (3) kelembaban atmosfer, (4) awan dan hujan, (5) angin, (6) petir, dan (7) stabilitas atmosfer. Sementara Suratmo et al. (2003), membagi faktor cuaca dalam 4 indikator, yaitu suhu, kelembaban, kecepatan angin, dan curah hujan.

Kebakaran hutan selain dipengaruhi oleh kuantitas dan kualitas bahan bakar, juga sangat ditentukan oleh keadaan iklim hutan setempat. Iklim mikro dalam hutan dipengaruhi oleh kerapatan, jenis, dan tinggi pohon. Iklim mikro akan berpengaruh terhadap kerawanan kebakaran di suatu daerah, sebab iklim mikro juga mempengaruhi kecepatan angin, suhu udara, kelembaban udara serta kadar air bahan bakar (Yunus, 2005).

Kebakaran hutan dapat digolongkan ke dalam tiga tipe, yaitu kebakaran bawah (ground fire), kebakaran permukaan (surface fire), dan kebakaran tajuk (crown fire). Tipe kebakaran hutan ini telah banyak dijelaskan oleh para ahli, seperti Brown dan Davis (1973), Chandler et al. (1983a), dan Fuller (1991).

Kebakaran permukaan merupakan tipe kebakaran yang paling sering terjadi di Indonesia, karena terjadi penumpukan bahan bakar pada permukaan tanah hutan. Brown dan Davis (1973) menyatakan bahwa kebakaran permukaan yaitu titik api yang membakar serasah permukaan, daun dan ranting jatuh, dan bahan bakar lain di permukaan hutan serta vegetasi rendah lainnya. Proses pembakaran permukaan ini umumnya merupakan awal terjadinya kebakaran yang lebih luas, baik kebakaran bawah maupun kebakaran tajuk, meskipun tidak semuanya berlangsung melalui proses kebakaran permukaan. Menurut Fuller (1991), terdapat perbedaan kecepatan pembakaran antara kebakaran tajuk dengan kebakaran permukaan. Kebakaran tajuk dengan vegetasi tanaman pohon (kayu) dapat menyebar 5 mil atau lebih per jam dalam tegakan pohon (hutan), sedangkan kebakaran permukaan dengan vegetasi rumput-rumputan kecepatan pembakarannya hanya 2 sampai 4 mil per jam.

(20)

Dampak Kebakaran Hutan

Kebakaran hutan yang luas memiliki dampak yang besar terhadap sumberdaya hutan maupun sumberdaya manusia akibat adanya asap tebal yang berbahaya bagi kesehatan dan proses produksi tanaman perkebunan maupun tanaman pertanian lainnya akibat terganggunya proses fotosintesa. Di dalam sumberdaya hutan, kerusakan fisik hutan berarti hilangnya sumberdaya kayu dan bukan kayu maupun plasma nutfah. Oleh sebab itu, Brown dan Davis (1973) menyatakan sangat penting untuk memahami sepenuhnya dampak kebakaran hutan, baik dari aspek nilai ekonomis maupun aspek kebijakan publik dalam mengendalikan kebakaran hutan. Dalam tataran ini, Suratmo et al. (2003) mengklasifikasikan dampak kebakaran hutan dari tiga aspek, yaitu aspek lingkungan, sosial ekonomi, dan kesehatan.

Kebakaran hutan yang terjadi dalam suatu areal dapat dikelompokkan menurut luas areal kebakaran. Menurut Chandler et al. (1983b), kelas kebakaran hutan dapat diklasifikasi ke dalam 7 kelas, yaitu : (1) kelas A dengan luas kebakaran < 0,1 ha; (2) kelas B dengan luas kebakaran 0,1 – 3,5 ha; (3) kelas C dengan luas kebakaran 3,6 – 40 ha; (4) kelas D dengan luas kebakaran 41 – 120 ha; (5) kelas E dengan luas kebakaran 121 – 400 ha; (6) kelas F dengan luas kebakaran 401 – 2000 ha; dan kelas G dengan luas kebakaran > 2000 ha. Kebakaran hutan yang terjadi di Hutan Pendidikan Gunung Walat (HPGW) pada tahun 2002 menghabiskan areal seluas 9 ha. Berdasarkan klasifikasi di atas, maka kebakaran yang terjadi di HPGW tersebut termasuk dalam kelas C. Semakin tinggi kelas kebakaran, semakin luas areal yang terbakar, sehingga semakin banyak kerugian yang ditimbulkan dan daerah tersebut semakin rawan kebakaran.

Pembagian kelas kebakaran ini digunakan untuk memudahkan dalam perhitungan nilai kerusakan secara ekonomis dan untuk tindakan pengendalian yang tepat. Oleh sebab itu, pengendalian kebakaran dini dalam bentuk peramalan atau pengetahuan tingkat bahaya kebakaran sejak awal (early warning system) sebelum api membesar sangat penting. Keberhasilan pengendalian kebakaran juga dipengaruhi oleh keadaan dan jenis bahan bakar serta topografi tanah.

Kebakaran pohon akan merubah bentuk fisik hutan dalam arti hilangnya sejumlah kayu dan jenis vegetasi lainnya. Akibat selanjutnya dari kebakaran

(21)

tersebut akan mematikan kehidupan satwa dan rusaknya fisik tanah serta menurunnya kesehatan masyarakat.

1. Dampak Kebakaran Hutan terhadap Vegetasi

Menurut Brown dan Davis (1973) dan Chandler et al. (1983a), kebakaran hutan menimbulkan dampak kerusakan pada pohon yang terbakar. Hal ini dikarenakan suhu kebakaran tinggi sampai membakar jaringan kambium dari pohon secara melingkar, sehingga pohon tersebut mati atau setengah mati. Pada bagian pohon yang terbakar biasanya mengalami luka yang parah sehingga sangat mudah untuk roboh. Kerentanan tegakan pohon terhadap kebakaran hutan tergantung dari morfologi tegakan pohon itu sendiri seperti jenis pohon, sifat dan ketebalan kulit, umur tegakan pohon, ukuran tegakan pohon, sifat pertumbuhan dan percabangan pohon serta siklus pertumbuhan dan musim.

Dampak kebakaran hutan lainnya yaitu kerusakan atau kematian anakan pohon dan semai yang ada di hutan karena suhu yang tinggi serta penurunan produktivitas hutan karena banyak kayu-kayu yang terbakar, sehingga nilai secara ekonomi menurun.

Fire severity merupakan istilah untuk melukiskan respon ekosistem terhadap api, dapat digunakan untuk menggambarkan pengaruh api terhadap tanah, sistem air, ekosistem, flora fauna, atmosfer, dan masyarakat. Fire severity berhubungan dengan keras tidaknya suatu kebakaran, dilihat dari respon yang ditimbulkan ekosistem tersebut. Fire severity dipengaruhi oleh sifat bahan bakar yang tersedia dan perilaku api (DeBano et al., 1998).

Berdasarkan kondisi vegetasi, fire severity dikelompokkan oleh DeBano et al. (1998) sebagai berikut :

a. Low fire severity

Sekurang-kurangnya 50 % pohon tidak menunjukkan kerusakan, dengan sisa pohon lainnya menunjukkan tajuk yang terbakar, kematian pucuk tetapi bertunas, atau mati akar (tidak bertunas). Lebih dari 80 % pohon yang rusak dapat bertahan hidup.

b. Moderate fire severity

Antara 20 – 50 % pohon tidak menunjukkan kerusakan, dengan sisa pohon lainnya rusak, 40 – 80 % pohon yang terbakar dapat bertahan hidup.

(22)

c. High fire severity

Kurang dari 20 % pohon tidak menunjukkan kerusakan, sisa pohon lainnya rusak terutama akibat mati akar. Kurang dari 40 % pohon yang rusak dapat bertahan hidup.

DeBano et al. (1998) menyatakan bahwa kebakaran hutan dapat mengubah komposisi dan kondisi vegetasi hutan. Kerusakan ini dapat menyebabkan kematian vegetasi hutan. Khususnya pada tegakan pohon dapat menimbulkan cacat permanen, merangsang hama penyakit hutan pada bagian tegakan pohon yang mengalami perlukaan, menurunkan riap produksi kayu, merusak anakan dan tanaman muda, merusak tata air serta melumpuhkan fungsi lindung hutan.

Kebakaran hutan juga dapat mempengaruhi pola parsial atau keseluruhan tumbuhan penutup tanah di lantai hutan sehingga dapat mengubah kondisi keseluruhan lingkungan ekosistem hutan. Sehingga pada gilirannya mendorong serangkaian pengaruh lain yang berhubungan dengan perubahan lingkungan untuk jangka pendek atau jangka panjang. Adanya perubahan kondisi tersebut juga berpengaruh terhadap suhu dan kelembaban udara yang secara langsung dan tidak langsung berpengaruh pula terhadap jenis dan proses kehidupan vegetasi seperti fotosintesis, transpirasi, dan evaporasi.

Dampak kebakaran dari aspek perubahan bentuk hutan setelah kebakaran dikemukakan oleh Fuller (1991) yaitu perubahan jenis vegetasi yang tumbuh, tumbuhnya vegetasi yang memiliki adaptasi tinggi, dan terjadi suksesi tanaman. Dijelaskan pula bahwa kebakaran hutan mempunyai dampak yang merugikan terhadap ekosistem, tanah yang menimbulkan erosi, dan terhadap satwa liar.

2. Dampak Kebakaran Hutan terhadap Tanah

Chandler et al. (1983a) mengemukakan bahwa dampak negatif kebakaran hutan antara lain merusak sifat fisik dan kimia tanah, menaikkan pH tanah, dan menurunkan produktivitas tanah. Dampak terhadap ekologi hutan yaitu mengubah secara drastis lingkungan hutan dan juga mempengaruhi kondisi pohon, jenis herba, dan semak.

Sementara menurut DeBano et al. (1998), kebakaran hutan berpengaruh terhadap kualitas tanah. Akibat kebakaran terjadi pemanasan tanah yang

(23)

berlebihan, sehingga kualitas lahan dan tanah dapat berubah dengan terjadinya beberapa aspek. Yang pertama, pengaruhnya terhadap fisika. Dimana penurunan porositas tanah, berubahnya tekstur tanah, dan terbukanya permukaan tanah karena kerusakan vegetasi penutup tanah, akibatnya dapat menyebabkan terjadinya erosi dan mempercepat aliran air hujan yang jatuh ke tanah. Kedua, pengaruhnya terhadap kondisi kimia tanah. Dimana terjadi penumpukan mineral abu dari bahan bakar yang dikonsumsi oleh api di lantai hutan. Di sisi lain akan menyebabkan penurunan tingkat keasaman (pH) tanah. Ketiga, pengaruhnya terhadap kondisi biologi tanah. Dimana terjadi perubahan khususnya penurunan secara kuantitatif dan kemampuan kualitatif makro maupun mikro organisme tanah, serta kemungkinan migrasinya organisme tanah tertentu ke tempat lain yang kondisinya tidak tertekan sebagai tempat hidup dan berkembang. Pengaruh lainnya adalah mempertinggi tingkat erosi tanah, menurunkan kapasitas penyimpanan air tanah, disamping hilangya serasah dan humus yang ada akan berpengaruh pula terhadap keadaan dan kondisi vegetasi penutup tanah hutan.

Klasifikasi fire severity berdasarkan kondisi tanah menurut DeBano et al. (1998) adalah sebagai berikut :

a. Low fire severity

Pemanasan tanah rendah, pengarangan yang rendah, lapisan duff (serasah, fermentasi, dan humus) masih banyak tersisa. Tanah mineral tidak berubah, permukaan tanah didominasi oleh warna hitam. Suhu tanah pada kedalaman 1 cm < 50 °C. Suhu kematian untuk organisme tanah terjadi sampai kedalaman sekitar 1 cm.

b. Moderate fire severity

Pemanasan tanah sedang, lapisan duff terbakar dan mengarang, tetapi lapisan tanah mineral tidak berubah. Warna abu lebih terang. Suhu pada kedalaman 1 cm mencapai 100 – 200 °C. Suhu kematian untuk organisme tanah terjadi sampai kedalaman 3 – 5 cm.

c. High fire severity

Pemanasan tanah tinggi, pengarangan bagian bawah dalam, lapisan duff terbakar semua dan lapisan tanah mineral terlihat kemerahan akibat terbakar. Permukaan lahan didominasi warna abu yang putih. Suhu tanah pada

(24)

kedalaman 1 cm lebih besar dari 250 °C. Suhu kematian untuk organisme tanah terjadi pada kedalaman 9 – 16 cm.

Terjadinya kebakaran hutan telah menimbulkan dampak negatif terhadap komponen lingkungan fisik-kimia, biologi, dan sosial ekonomi (Suratmo et al., 2003). Apabila terjadi kebakaran hutan, maka akan terjadi kehilangan nutrisi/hara karena menguap atau terbawa oleh air hujan pada waktu turun hujan (leaching), banyak mikroorganisme tanah yang mati. Tekstur tanah berubah, infiltrasi menurun. Cadangan air cenderung menurun, transpirasi vegetasi berkurang, menurunkan kelembaban tanah, meningkatkan evaporasi tanah bagian atas, dan meningkatkan aliran permukaan hingga akhirnya dapat menimbulkan banjir.

Pyne et al. (1996) menyatakan bahwa dampak kebakaran hutan terhadap tanah sangat bervariasi tergantung pada kandungan dari bahan bakar, jenis tanah dan tipe kebakaran terutama dari faktor frekuensi kebakaran, intensitas kebakaran, dan waktu terjadinya kebakaran. Hal ini akan berpengaruh terhadap sifat fisik, biokimia maupun biologi tanah. Adapun dampak terhadap sifat fisik yang ditimbulkan yaitu kenaikan suhu tanah, perubahan pada struktur tanah, dan terhambatnya proses tanah dalam menyerap dan menampung air yang masuk ke dalam tanah. Kerusakan ini tergantung pada bagaimana lapisan duff dan lapisan serasah terbakar. Lapisan tanah yang terbuka akan mengalami pemanasan yang lebih tinggi dibandingkan lapisan yang sama sekali tidak terbuka.

Konsep dan Metode Penilaian Ekonomi

Hutan sebagai suatu ekosistem mempunyai fungsi atau manfaat yang bermacam-macam, baik yang bersifat langsung maupun tidak langsung. Gregory (1972) dalam Yunus (2005) mengemukakan bahwa hutan selain berfungsi sebagai kawasan produksi yang berperan dalam produksi kayu dan produk hasil hutan bukan kayu lainnya yang memiliki fungsi sosial ekonomi bagi masyarakat, tetapi juga mempunyai fungsi rangkap sebagai pelindung tanah, air, iklim, dan lain-lain (fungsi hidrologis atau ekologis), bahkan fungsi yang lain seperti sumber plasma nutfah dan biodiversitas.

Deforestasi juga memberikan dampak tidak langsung terhadap jasa keberadaan hutan untuk turisme dan rekreasi serta pendidikan. Disamping itu,

(25)

juga mempunyai dampak nyata terhadap kesejahteraan manusia melalui perlindungan DAS, pengaturan iklim, dan penyedia karbon. Dengan demikian, kebakaran hutan menyebabkan hilangnya manfaat dari sumberdaya hutan sehingga menimbulkan kerugian ekonomi yang seharusnya dapat diperoleh. Kerugian ekonomi yang hilang dan berdampak pada timbulnya biaya akibat kebakaran hutan dapat disetarakan dengan istilah biaya kesempatan atau opportunity cost dalam ilmu ekonomi (Field, 1994; Pearce dan Moran, 1994).

Nilai merupakan persepsi atau penghargaan terhadap barang dan jasa dari setiap individu tergantung tempat dan waktu. Ukuran dari manfaat ditentukan oleh segala sesuatu (waktu, barang, dan uang) yang bersedia untuk ditukarkan, memperoleh, memiliki, dan menggunakan barang dan jasa. Menurut Davis dan Johnson (1987), penilaian diartikan sebagai proses pengkuantifikasian nilai yang harus dilakukan melalui proses persepsi, pandangan individu atau kelompok individu yang bersangkutan. Dalam hubungannya dengan proses penafsiran dan penilaian dampak, maka ada tiga tahapan yang perlu diperhatikan, yaitu dampak harus teridentifikasi, dikuantifikasi, dan berapa besar pengurangan atau hilangnya manfaat (Dixon dan Hufschmidt, 1991).

Menurut Pearce dan Moran (1994), pendekatan penilaian sumberdaya alam dan lingkungan dapat dibagi dua, yaitu pendekatan langsung dan pendekatan tidak langsung. Pendekatan langsung dengan cara eksperimen, kuisioner, survey, dan contingent valuation method. Sedangkan pendekatan tidak langsung yaitu pendekatan pasar pengganti (surrogate market) dan pendekatan pasar konvensional. Duerr (1960) menyatakan bahwa penilaian sumberdaya hutan atas dasar manfaat ada dua kategori, yaitu pendekatan nilai barang dan atau jasa yang marketable dan non marketable.

Penilaian manfaat sumberdaya hutan dapat diperoleh berdasarkan nilai ekonomi total atau total economic value (TEV). Penilaian kerugian/kerusakan sumberdaya hutan juga dapat diperoleh berdasarkan nilai total ekonomi, karena kerugian dan manfaat dipandang sebagai suatu konsep yang sama. Kerugian dinilai dengan menghitung TEV yang hilang akibat kerusakan yang terjadi (Pearce dan Turner, 1992).

(26)

Menurut Glover dan Jessup (2002), penilaian terhadap kerusakan lingkungan dapat memberikan beberapa manfaat, yaitu : (1) penilaian memungkinkan dilakukannya analisis biaya manfaat (cost benefit analysis/CBA) yang lebih lengkap dan akurat dari suatu upaya kebijakan atau proyek, (2) penilaian dapat menjelaskan kepada kita tingkat kepentingan relatif dari perbaikan atau perusakan lingkungan, dan bagaimana dampaknya terhadap penduduk, dan (3) penilaian dapat menarik perhatian berbagai pihak pada permasalahan lingkungan dan membuat arti pentingnya menjadi jelas.

Menurut Davis (1966), dalam penilaian sumberdaya hutan terdapat tiga dasar penilaian yang mungkin dilakukan, yaitu :

1. Cost value, didasarkan pada biaya historis atau pemulihan

2. Income value, didasarkan pada semua biaya yang dikeluarkan dan pengembalian (pendapatan) yang diharapkan

3. Market value. Sebagian besar metode penilaian tujuannya adalah menafsirkan atau menentukan nilai saat ini. Penjualan, penukaran, dan ganti rugi biasanya dirundingkan berdasarkan nilai sekarang.

Selanjutnya Dueer (1960) menyatakan bahwa terdapat beberapa variasi untuk pendekatan nilai pasar (market value), yaitu :

1. Direct approach, cara ini didasarkan pada harga yang sedang berlaku di pasar. Hasil pendekatan ini tidak selalu layak karena menuntut kepastian tentang harga, misalnya berapa harga yang akan terjadi jika komoditi masuk pasar. Walaupun layak untuk dikerjakan, namun belum tentu merupakan pendekatan terbaik.

2. Indirect approach, dengan cara ini ada tiga pendekatan, yaitu capitalization approach, cost approach, dan conversion approach. Capitalization approach mengadakan pendekatan dengan memperhitungkan segala biaya dalam proses produksi, conversion approach mengadakan pendekatan dengan harga jual dikurangi jumlah biaya produksi, suatu allowance yang rasional dan resiko yang diperhitungkan.

Harga dari sebuah komoditi biasanya dikaitkan pada sejumlah uang yang harus dikeluarkan untuk memperoleh satu unit komoditi tersebut. Istilah pasar

(27)

sejalan dengan berkembangnya perdagangan. Menurut Lipsey (1995), pasar didefinisikan sebagai berikut :

1. Tempat dimana barang-barang diperdagangkan

2. Tempat dimana produsen, pemilik toko, dan keluarga-keluarga saling berdatangan untuk menjual dan membeli

3. Situasi manapun dimana pembeli dan penjual dapat menegosiasikan pertukaran komoditi.

Nilai yang dianggap standar adalah nilai pasar yaitu harga yang ditetapkan oleh penjual dan pembeli tanpa intervensi pihak lain. Transaksi pasar yang baik menunjukkan seberapa besar seseorang bersedia membayar (Willingness to Pay, WTP) untuk suatu barang/jasa dan berapa biaya tambahan/marginal cost yang bersedia dikeluarkan oleh produsen untuk menghasilkan sesuatu tersebut (Davis dan Johnson, 1987).

(28)

Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian dilaksanakan di Hutan Pendidikan Gunung Walat (HPGW), Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat pada areal bekas kebakaran di blok II Cimenyan. Waktu penelitian yaitu selama bulan Mei sampai Juni 2006.

Alat Penelitian

Pada penelitian ini, alat yang digunakan untuk pengambilan data pendugaan erosi yaitu : ring tanah, abney level, pita meteran, penggaris, kantong plastik, kertas label, dan alat tulis.

Pendugaan Erosi Tanah

Dalam penelitian ini, pendugaan erosi tanah menggunakan metode USLE (Universal Soil-Loss Equation).

1. Penentuan Petak Penelitian

Pengamatan dilakukan dengan membuat petak pengamatan dengan ukuran 22 m x 4 m pada areal hutan 4 tahun setelah terbakar.

22 m

4 m

Gambar 1. Petak Pengamatan Pendugaan Erosi. 2. Pengambilan Sampel Tanah

Pengambilan sampel tanah dilakukan dengan menggunakan ring tanah di petak pengamatan.

(29)

3. Pengukuran Kelerengan dan Panjang Lereng

Pengukuran kelerengan pada petak pengamatan dilakukan menggunakan Abney Level, yaitu dengan menembak titik pangkal petak pengamatan, sedangkan pengukuran panjang lereng dilakukan dengan menarik meteran dari titik yang sama dengan pengukuran kelerengan.

4. Analisis Sifat Fisik Tanah

Sampel tanah yang telah diambil dianalisis di Laboratorium Tanah, Departemen Ilmu Tanah, Fakultas Pertanian IPB. Sifat fisik tanah yang dianalisis yaitu % debu dan pasir sangat halus, % pasir, % bahan organik, struktur tanah, dan permeabilitas tanah.

Jenis dan Teknik Pengumpulan Data

1. Penilaian areal bekas terbakar untuk pengelolaan hutan berkelanjutan menggunakan data sekunder dari hasil penelitian Rahardjo (2003), Riyanti (2005), Buliyansih (2005), dan Priandi (2006).

2. Untuk manfaat langsung sumberdaya hutan (kayu dan produk hutan non kayu), jenis data yang diperlukan yaitu : (a) peta luas area kebakaran; (b) potensi tegakan kayu dan hasil hutan non kayu lainnya dari hasil penelitian Rahardjo (2003), Riyanti (2005), dan Priandi (2006); (c) harga kayu dan produk hutan (non kayu) per satuannya. Data tersebut dikumpulkan dari : (a) responden pengelola HPGW (Hutan Pendidikan Gunung Walat) dan masyarakat sekitar pengguna hasil hutan; (b) KPH Sukabumi Perum Perhutani Unit III Jawa Barat dan Banten; (c) pedagang dan pengumpul hasil hutan. Pengumpulan data dilakukan dengan cara : (a) wawancara langsung di lapangan dengan menggunakan daftar pertanyaan dan (b) pengumpulan data sekunder.

3. Manfaat tidak langsung yang hilang atau kerugian kebakaran hutan yang akan dinilai dalam penelitian ini yaitu pengendali erosi tanah. Jenis data untuk menghitung kerugian fungsi hutan sebagai pengendali erosi yaitu : (a) peta luas area kebakaran hutan; (b) faktor erosivitas hujan; (c) faktor erodibilitas tanah; (d) panjang dan kemiringan lereng; (e) faktor pengelolaan tanaman; (f) faktor pengelolaan tanah; (g) harga pupuk Urea, TSP, dan KCl. Pengumpulan

(30)

data dengan cara studi literatur, pengumpulan data sekunder, observasi lapangan, dan wawancara responden. Sumber data yaitu dari : (a) Laboratorium Pengaruh Hutan Fakultas Kehutanan IPB, (b) Dinas Perdagangan dan Perindustrian Kabupaten Sukabumi; (c) pengelola HPGW dan responden masyarakat.

Pengolahan Data

Data yang diperoleh baik dari pengukuran data primer, pencatatan data sekunder, dan wawancara secara umum dapat digolongkan menjadi tiga penilaian ekonomi dampak kebakaran hutan terhadap sumberdaya hutan :

1. Penilaian Kerugian Hilangnya Manfaat Sumberdaya Hutan Kayu a. Nilai Kayu

Kebakaran di areal HPGW menyebabkan kerugian manfaat langsung antara lain kayu yang biasa dimanfaatkan masyarakat sekitar. Nilai kayu dihitung berdasarkan harga kayu pulp di pasar lokal (Rp/m3) dikalikan dengan potensi yang terbakar (m3).

Perhitungan potensi volume kayu diuraikan sebagai berikut : (1) Menghitung total volume kayu (diameter 20 cm ke atas) (2) Volume dari setiap pohon dihitung berdasarkan rumus :

V = 0,25 π d2 t f dimana :

V = volume kayu (m3) d = diameter pohon (m)

t = tinggi pohon bebas cabang (m) f = faktor bentuk (0,7)

Penilaian kerugian kayu di areal HPGW dengan cara pendekatan nilai pasar potensi produksi.

Notasi penilaian kerugian kayu pulp/log dengan pendekatan nilai pasar :

= = n i i i xHKL PKL NTKL 1 ) (

= = n i i i PKH xLA PKL 1 ) (

(31)

dimana,

NTKL = nilai total kayu pulp (Rp)

PKLi = potensi volume kayu pulp jenis ke-i (m3) HKLi = harga kayu pulp perkubik jenis ke-i (Rp/m3) PKHi = potensi volume kayu pulp perhektar jenis ke-i (m3) LA = luas areal kebakaran (ha)

i = jenis kayu

b. Nilai Kayu Bakar

Penilaian potensi kayu bakar yang hilang di areal HPGW yang biasa dimanfaatkan oleh masyarakat sekitar. Metode penilaian kerugian yang digunakan yaitu metode harga pasar.

Notasi penilaian kerugian kayu bakar dengan metode harga pasar : )

(PKBxHKBxLA

NTKB=

dimana,

NTKB = nilai total kayu bakar (Rp/tahun)

PKB = potensi kayu bakar perhektar/tahun (sm/ha/tahun) HKB = harga pasar kayu bakar (Rp/sm)

LA = luas areal kebakaran (ha)

2. Penilaian Kerugian Hilangnya Manfaat Sumberdaya Hutan Non Kayu

Hasil hutan non kayu seperti getah pinus, tumbuhan obat, dan rumput pakan ternak yang terdapat di areal terbakar HPGW yang mempunyai nilai pasar dihitung berdasarkan pendekatan nilai pasar setempat.

Notasi penilaian hasil hutan non kayu (getah pinus, tumbuhan obat, rumput pakan ternak) dengan metode harga pasar :

) ( 1 LA x HFL x PFL NTFL i n i i

= = dimana,

NTFL = nilai total kerugian hasil hutan non kayu (Rp/tahun) PFLi = potensi hasil hutan non kayu perhektar (unit/ha/tahun)

(32)

LA = luas areal kebakaran (ha)

i = jenis hasil hutan non kayu (getah pinus, tumbuhan obat, rumput)

3. Penilaian Manfaat Hutan sebagai Pengendali Erosi

a) Tahap pertama, menentukan laju erosi pada areal bekas kebakaran di Hutan Pendidikan Gunung Walat. Rumus persamaan USLE digunakan untuk menentukan jumlah erosi , yaitu :

P C S L K R A=

dimana, A = banyaknya tanah yang tererosi (ton/ha/tahun) R = faktor erosivitas hujan (joule/ha/tahun) K = faktor erodibilitas tanah (ton/joule) L = faktor panjang lereng

S = faktor kemiringan lereng C = faktor pengelolaan tanaman

P = faktor pengelolaan tanah (tindakan konservasi)

Faktor erosivitas hujan (R) dihitung berdasarkan data hujan bulanan dengan menggunakan persamaan Bols sebagai berikut :

(

)

= 12 1 30 EI R EI30 = 6,119 (P)1,21 (H)-0,47 (MP)0,53

Adapun : EI30 = indeks erosivitas hujan bulanan P = curah hujan bulanan (cm) H = hari hujan per bulan (hari)

MP = curah hujan bulanan maksimum selama 24 jam dalam 1 bulan

Faktor erodibilitas tanah atau faktor kepekaan erosi tanah (K) dihitung dengan persamaan Weischmeir dan Smith dalam Hardjowigeno (2003) berikut :

100 K = 2,1 M1,14 (10-4) (12-a) + 3,25 (b-2) + (c-3) Adapun : K = erodibilitas tanah

M = (% debu + % pasir sangat halus) (100 – % lempung) a = % bahan organik

(33)

b = kode struktur tanah

c = kode permeabilitas profil tanah

Besarnya nilai K yang diperoleh dikalikan dengan faktor konversi bernilai 1,29. Faktor topografi (LS) diperoleh dengan persamaan Weischmeir dan Smith berikut :

(

0,063 0,0454 0,0065

)

, 12% 10 , 22 2 < + + = ⎟ ⎠ ⎞ ⎜ ⎝ ⎛ = X S S untukS L m atau % 12 , 9 10 , 22 35 , 1 > ⎟ ⎠ ⎞ ⎜ ⎝ ⎛ = ⎟ ⎠ ⎞ ⎜ ⎝ ⎛ = X S S untukS L m

Adapun : LS = faktor topografi X = panjang lereng (m) S = kecuraman lereng (%)

M = konstanta (0,5 untuk lereng > 4 %), (0,4 untuk lereng 3-4 %), dan (0,3 untuk < 3 %)

Faktor pengelolaan tanah dan tanaman penutup tanah (C) dan faktor teknik konservasi tanah (P) diduga dengan menggunakan data persen (%) penutupan dan tipe penggunaan lahan serta pengelolaan hasil pengamatan lapangan dengan megacu pada pustaka hasil penelitian tentang faktor tanaman dan faktor pengelolaan tanah.

b) Tahap kedua, membandingkan laju erosi aktual (USLE) sebelum dan setelah kebakaran dengan faktor pembeda adalah nilai faktor tanaman (C) sebelum dan setelah kebakaran.

c) Tahap ketiga, menghitung tingkat erosi per tahun (sebelum dan setelah kebakaran) di lokasi kebakaran yang disetarakan dengan unsur hara (N, P, dan K) yang terdapat dalam 1 ton tanah pada kedalaman efektif 30 cm. Kemudian dikonversi ke dalam biaya penggunaan pupuk Urea, TSP, dan KCl per satuan luas dengan menggunakan harga pasar (Hufschmidt et al., 1983 dalam Yunus, 2005).

d) Tahap keempat, menghitung selisih kehilangan unsur hara sebelum dan setelah kebakaran hutan.

(34)

Notasi penilaian ekonomi fungsi pengendali erosi :

(

)

= = n i i i xHP xLA JUHR NMHPE 1

(

)

= = n i i i i ER xPUHR JUHR 1 dimana,

NMHPE = nilai unsur hara yang hilang akibat erosi tanah (Rp/tahun) JUHRi = jumlah unsur hara ke-i yang hilang dari tanah yang tererosi di

areal kebakaran (kg/ha)

HPi = harga pupuk per jenis i (Rp/kg) LA = luas areal kebakaran (ha)

ERi = jumlah tanah tererosi per hektar di areal kebakaran (ton/ha) PUHRi = proporsi unsur hara ke-i dari 1 ton tanah yang tererosi (kg) i = jenis unsur hara/pupuk (Urea, TSP, KCl)

(35)

Lokasi penelitian Hutan Pendidikan Gunung Walat (HPGW) terletak 2,5 km ke arah selatan dari poros jalan Bogor-Sukabumi yang berjarak 55 km dari Bogor dan 15 km dari Sukabumi. Secara administratif, areal HPGW terletak di Desa Hegarmanah, Kecamatan Cicantayan, Kabupaten Sukabumi, Propinsi Jawa Barat. Sedangkan berdasarkan wilayah kehutanannya, kawasan HPGW termasuk dalam wilayah Badan Kesatuan Pemangkuan Hutan (BKPH) Gede Barat, Kesatuan Pemangkuan Hutan (KPH) Sukabumi, Perum Perhutani Unit III Jawa Barat dan Banten.

Kawasan HPGW terletak pada 06°53’35’’ – 06°55’ 10’’ Lintang Selatan (LS) dan 106°47’50’’ – 106°51’30’’ Bujur Timur (BT) dengan ketinggian 557 m di atas permukaan laut (m dpl) dengan luas semula adalah 359 ha, yang kini menjadi sekitar 349 ha.

Keadaan hutan di HPGW pada awalnya (tahun 1958) adalah kurang lebih 100 ha berupa hutan tanaman dan sisanya berupa tanah kosong yang ditumbuhi semak, alang-alang, dan beberapa pohon yang sangat jarang.

Sejak ditunjuk menjadi hutan pendidikan pada tahun 1969, kawasan ini luasnya sekitar 359 ha. Secara umum, HPGW dibagi menjadi tiga blok kawasan pengelolaan, yaitu :

1. Blok I (Cikatomas), merupakan areal sebelah timur dengan luas sekitar 120 ha 2. Blok II (Cimenyan), merupakan areal sebelah barat dengan luas sekitar 125 ha 3. Blok III (Tangkalak), merupakan areal bagian tengah dengan luas sekitar 114

ha (Fahutan-IPB, 2001 dalam Rahardjo, 2003).

Geologi dan Tanah

Kandungan batu alam di HPGW terdiri dari batuan sedimen vulkanik berwarna hijau semu abu-abu, yang membentuk seri lapisan yang sangat tebal hingga mencapai sekitar 35 cm. Lokasi HPGW pada struktur geologinya terdiri atas lapisan tufa dasit yang pada horizon tertentu diselingi dengan batuan tufa andesit, yang merupakan bagian dari formasi breksi tua yang berumur miosin.

(36)

Keadaan geologi di HPGW merupakan pulau miosin di tengah-tengah formasi batuan vulkanik kwarter yang berasal dari Gunung Salak dan Gunung Gede.

Menurut Peta Geologi Lembar Bogor – Jawa (1974), Gunung Walat dan sekitarnya dibangun oleh batuan sedimen tersier bawah (oligosen) yang disebut formasi Walat. Formasi Walat terutama disusun oleh batuan pasir kwarsa yang berlapis silang, konglomerat kerakal kwarsa, lempung karbonat, lignit, dan lapisan-lapisan arang tipis. Semakin ke atas, ukuran butiran-butiran semakin bertambah dan tersingkap di Gunung Walat dekat daerah Cibadak serta daerah sekitarnya. Pasir dari formasi ini dapat digunakan untuk pembuatan gelas, dan tebalnya diperkirakan mencapai antara 1.000 – 1.373 m (Fahutan-IPB, 2001 dalam Rahardjo, 2003).

Di bagian barat daya HPGW terdapat areal peralihan dengan jenis batuan karst, sehingga di wilayah tersebut terbentuk beberapa gua alam karst/gamping. Salah satunya adalah gua alam Cipeureu yang terbentuk dari batuan karst. Saat ini gua tersebut dikembangkan sebagai obyek rekreasi speleologi. Bagian selatan kawasan HPGW memiliki anak sungai yang berair sepanjang tahun, yang merupakan sumber air bersih bagi masyarakat sekitarnya (Fahutan-IPB, 2001 dalam Rahardjo, 2003).

Kondisi tanah di kawasan HPGW umumnya terdiri dari jenis tanah yang kompleks, diantaranya terutama sekali jenis podsolik merah kuning, latosol, dan litosol dari batuan endapan dan beku di daerah bukit. Secara detail, tanah di Gunung Walat termasuk jenis tanah dari keluarga Tropohumult Tipik, (latosol merah kuning), Tropudult Tipik (latosol coklat), Dystripept Tipik (podsolik merah kuning), dan Troportent Lipik (litosol). Keadaan ini menunjukkan kondisi tanah pada kawasan ini heterogen (Fahutan-IPB, 2001 dalam Rahardjo, 2003).

Topografi

Hutan Pendidikan Gunung Walat terletak pada ketinggian 500 – 700 m dpl dengan topografi yang bervariasi dari landai sampai bergelombang terutama di bagian selatan. Sementara di bagian utara, memiliki kondisi topografi yang semakin berat. Kondisi topografi di kawasan HPGW adalah bergunung (98 ha), berbukit (42 ha), bergelombang (23 ha), berombak (9 ha), dan datar (4 ha). Di

(37)

sebelah utara kawasan, terdapat punggung bukit yang memanjang dari ujung timur sampai ujung barat. Di bagian tengah punggung bukit terdapat patok Triangulasi KQ 2212 dengan ketinggian 676 m dpl dan merupakan titik tertinggi di kawasan HPGW (Fahutan-IPB, 2001 dalam Rahardjo, 2003).

Iklim dan Curah Hujan

Menurut klasifikasi Schmidt-Ferguson, kawasan HPGW termasuk iklim tipe B (basah) dengan nilai Q = 14,3 % - 33 %. Berdasarkan data curah hujan Gunung Walat 1999 – 2005, diketahui banyaknya curah hujan per tahun berkisar antara 1.541 – 3.367 mm, dengan rata-rata curah hujan per tahun sebesar 2.411 mm.

Flora dan Fauna

Kondisi penutupan lahan oleh vegetasi di kawasan HPGW sekitar 75 %, sebagian besar adalah hutan tanaman yang ditanam sejak tahun 1958 dengan dominasi jenis damar (Agathis dammara), tusam-pinus (Pinus merkusii), mahoni (Swietenia macrophylla), beberapa jenis pinus asing (Pinus oocarpa, Pinus caribaea, Pinus insularis), sonokeling (Dalbergia latifolia), rasamala (Altingia excelsa), cendana (Santalum album), puspa (Schima wallichii), sengon (Paraserianthes falcataria), jenis-jenis akasia (Acacia auriculiformis dan Acacia mangium).

Selain pepohonan, terdapat pula jenis paku-pakuan, epifit, dan berbagai jenis vegetasi tumbuhan bawah berupa tanaman perdu, dan herba serta rerumputan liar. Tumbuhan bawah, semak herba, dan perdu yang ada di HPGW antara lain alang-alang (Imperata cylindrica), harendong (Melastoma malabathricum), beberapa jenis paku-pakuan seperti paku pakis areuy (Nekania scanden), rane (Selaginella plana), serta jenis-jenis rerumputan seperti antaran (Viola odorata), jampang (Phastrophus compressus), jukut ki pait (Paspalum conjugatum), teki (Kyllinga monochepala), dan lain sebagainya. Tumbuhan bawah yang termasuk jenis tumbuhan obat antara lain kayu manis (Cinnamomum zeylanicum), jahe (Zingiber officinale), kencur (Capparis microcantha), temulawak (Curcuma zanthorriza), serta jenis kapulaga (Amomum cardamomum) (Fahutan-IPB, 2001-Gundoyo, 2002 dalam Rahardjo, 2003).

(38)

Jenis satwa liar yang ditemui di HPGW antara lain musang (Paradoxurus hemaphroditus), monyet ekor panjang (Macaca fascicularis), kelinci liar (Nesolagus sp), bajing (Callossiurus sp), babi hutan (Sus crofa). Disamping itu, ada beberapa jenis burung seperti kutilang (Pycoconotus aurigaster), perkutut (Goepelia striata), burung madu (Nectarinia jugularis pectolaris), serta burung srengenge (Anthreptes malaccensis mystacalis). Di HPGW terdapat pula berbagai jenis reptil seperti ular piton (Phyton molurus), biawak (Varanus salvator), dan berbagai jenis reptil kecil seperti kadal, tokek, dan bunglon (Fahutan-IPB, 2001-Gundoyo, 2002 dalam Rahardjo, 2003).

(39)

Kejadian Kebakaran Hutan

Kebakaran hutan merupakan salah satu penyebab terjadinya gangguan hutan khususnya perubahan terhadap kondisi ekosistem pada kawasan yang ada, terutama terhadap vegetasi dan tanah pada areal yang terkena kebakaran. Kebakaran hutan merupakan peristiwa yang telah berulangkali terjadi di HPGW. Berdasarkan buku catatan tentang kondisi HPGW, pernah terjadi enam kali peristiwa kebakaran selama tahun 2002. Kebakaran terjadi pada bulan Agustus, September, dan Oktober pada lokasi dan waktu yang berbeda.

Kebakaran hutan di HPGW pada tanggal 17 September 2002 di tegakan Pinus merkusii bagian barat dan utara Blok Cimenyan merupakan kejadian kebakaran terbesar hingga tahun 2006. Berdasarkan penelitian sebelumnya, tipe kebakaran yang terjadi tergolong surface fire (kebakaran permukaan) yang ditandai dengan terbakarnya serasah dan tumbuhan bawah yang ada di bawah tegakan Pinus merkusii dengan abu yang dihasilkan berwarna hitam (Hendrawan, 2003). Bahan bakar di areal tersebut terdiri dari bahan bakar halus berupa tumbuhan bawah, serasah daun pinus, dan semak belukar serta bahan bakar kasar berupa anakan pinus, log, dan tunggak sisa. Tegakan pinus merupakan tipe bahan bakar yang seragam (monokultur), susunan bahan bakarnya rapat (250 pohon per ha), serta mengandung resin yang mudah terbakar (Hendrawan, 2003).

Menurut Hendrawan (2003), titik awal api kebakaran hutan di HPGW berasal dari kegiatan pembukaan ladang oleh penduduk sekitar dengan membakar lahan milik PT. Indocement yang ditandai dengan adanya penumpukan bahan bakar untuk dibakar dengan jarak lapang ± 200 m batas terluar/tepi kawasan hutan. Blok II Cimenyan memiliki kelerengan sekitar 62 % atau 28°. Penjalaran api ke atas lereng akibat dari hembusan angin lokal dan lereng yang curam. Penjalaran api di luar kawasan HPGW atau pada lahan milik PT. Indocement juga didukung oleh adanya vegetasi yang didominasi oleh alang-alang dengan tinggi antara 0,3 – 0,5 meter. Api menjalar dengan kecepatan 0,77 km/jam yang didukung oleh pasokan oksigen yang cukup, hembusan angin lokal, dan kadar air bahan bakar yang rendah akibat dari kemarau panjang.

(40)

Tinggi hangus pada pohon pinus berkisar antara 0,5 – 4,5 meter, dengan kedalaman hangus antara 0,1 – 1,7 cm. Batang pinus yang mengeluarkan getah resin akan bersifat mudah terbakar sehingga mengakibatkan tinggi hangus semakin tinggi. Kerusakan pada pohon yang terjadi masih tergolong rendah karena hanya mengakibatkan hangus pada kulit luar batang dan tidak sampai mematikan kambium. Secara umum tegakan pinus yang hangus masih dalam keadaan hidup (Hendrawan, 2003).

Menjalarnya api dari lahan milik PT. Indocement ke dalam areal HPGW disebabkan karena tidak adanya sekat bakar yang jelas yang memisahkan antara areal HPGW dan lahan milik PT. Indocement. Oleh karena itu, perlu dilakukan penataan kembali batas-batas tepi HPGW, dimana batas-batas tepi tersebut dapat dibuat berupa jalan yang nantinya dapat berfungsi sebagai sekat bakar permanen. Sekat bakar tersebut dapat berfungsi untuk mencegah kebakaran kawasan HPGW yang apinya berasal dari luar kawasan HPGW.

Berdasarkan analisis data curah hujan yang terjadi pada tahun 2002, curah hujan terendah terjadi pada bulan September sebesar 9,8 mm dengan 1 hari hujan. Kejadian hujan selama bulan Agustus sampai dengan Oktober sangat rendah yaitu sebanyak lima hari hujan. Kebakaran terjadi pada tanggal 17 September 2002, dimana sebelumnya selama 39 hari berturut-turut tidak turun hujan, hujan turun hanya pada tanggal 27 atau selang 10 hari setelah kebakaran. Kondisi ini menunjukkan bahwa memang pada bulan tersebut kondisi iklimnya sangat mendukung untuk terjadinya kebakaran. Bahan bakar mengalami pengeringan yang cukup dan mudah menyala jika tersulut api (Riyanti, 2005).

Menurut Suratmo et al. (2003), di Indonesia waktu harian pada pukul 14.00 – 15.00 sangat potensial untuk terjadinya kebakaran. Hal ini dibuktikan pada peristiwa kebakaran di HPGW, dimana api mulai tersulut sekitar pukul 10.00 yang kemudian menjalar hingga pukul 21.00 WIB.

(41)

Penilaian Areal Bekas Terbakar untuk Pengelolaan Hutan Berkelanjutan Pengelolaan hutan berkelanjutan (Sustainable Forest Management) merupakan suatu konsep dan aplikasi praktis pengelolaan hutan yang bertujuan untuk mengoptimalkan dan melestarikan fungsi hutan, baik fungsi ekologis, produktivitas, ekonomis maupun fungsi sosial. Prinsip hutan berkelanjutan tidak terlepas dari kondisi kesehatan hutan.

Kebakaran hutan merupakan faktor pengganggu hutan yang menentukan kondisi kesehatan hutan. Oleh karena itu, sistem penilaian areal bekas terbakar merupakan pendekatan yang penting untuk menentukan rekomendasi pengelolaan areal bekas terbakar maupun dalam penegakan hutan lingkungan. Penilaian ini didasarkan pada hasil-hasil penelitian dampak kebakaran hutan terhadap aspek vegetasi dan aspek kualitas tapak yang dapat dijadikan panduan penilaian kesehatan hutan yang terbakar untuk pengelolaan hutan berkelanjutan ditinjau dari aspek ekologi. Penilaian ini mengacu pada Pedoman Penilaian Areal Bekas Terbakar untuk Pengelolaan Hutan Berkelanjutan (Syaufina et al., 2006).

Dalam penilaian areal bekas terbakar terdapat beberapa kriteria dan indikator yang digunakan. Kriteria yang digunakan ada dua macam, yaitu kriteria kondisi vegetasi dan kondisi kualitas tapak. Kriteria kondisi vegetasi memiliki bobot 70 % sedangkan kriteria kondisi kualitas tapak berbobot 30 %.

1. Kriteria Kondisi Vegetasi

Kriteria kondisi vegetasi memiliki tiga indikator, yaitu indikator kerusakan pohon, tingkat keparahan vegetasi, dan keanekaragaman vegetasi (Syaufina et al., 2006). Indikator kerusakan pohon terdiri dari beberapa parameter, yaitu kematian pohon, kerusakan batang, kerusakan tajuk, kerusakan cabang, kerusakan dedaunan, dan kerusakan akar. Indikator ini memiliki persentase sebesar 35 % dari bobot kriteria kondisi vegetasi. Kerusakan individu pohon dapat dinilai dengan beberapa parameter, yaitu kematian pohon, kerusakan batang, kerusakan tajuk, kerusakan cabang, kerusakan dedaunan, dan kerusakan akar. Penilaian kerusakan individu pohon mengacu pada hasil penelitian Riyanti (2005) dengan menggunakan metode Forest Health Monitoring (FHM). Hasil penilaian menunjukkan bahwa di areal bekas

(42)

terbakar HPGW hanya terdapat 1 pohon yang mati akibat kebakaran hutan. Sementara pohon-pohon lainnya masih bertahan hidup.

Dilihat dari parameter kerusakan batang, terdapat 16 pohon yang bagian batang bawah dan bagian atasnya terbakar sedangkan 29 pohon memiliki batang bagian bawah yang terbakar, dengan jenis kerusakan hangus dan luka sebanyak 2 pohon, hangus terbakar sebanyak 25 pohon, dan luka sebanyak 18 pohon. Pada parameter kerusakan tajuk, terdapat 1 pohon tajuknya terbakar sebanyak 75 % - 100 %, 1 pohon memiliki tajuk yang terbakar antara 50 % - 75 %, dan 4 pohon tajuknya terbakar antara 25 % - 50 %. Hasil penilaian parameter kerusakan cabang menunjukkan bahwa terdapat 76 pohon mengalami kerusakan cabang berupa patah dan terbakar, sedangkan 6 pohon mengalami cabang yang terbakar. Tidak ada pohon yang mengalami patah cabang akibat kebakaran hutan di HPGW.

Penilaian pada parameter kerusakan dedaunan menunjukkan hanya terdapat 1 pohon yang 25 % - 50 % dedaunannya terbakar. Sedangkan dedaunan pada pohon-pohon lainnya di areal kebakaran tidak mengalami kerusakan/tidak terbakar. Dilihat dari parameter kerusakan akar, terdapat 17 pohon mengalami kerusakan akar berupa terbakar dan 10 pohon mengalami luka pada akarnya. Dari 141 pohon yang dinilai, 21 pohon tidak mengalami kerusakan apapun. Hasil penilaian pada kerusakan individu pohon memberikan sub total sebesar 5 seperti yang terlihat pada Lampiran 1. Hasil ini diperoleh dari rata-rata seluruh pohon yang dinilai pada areal bekas terbakar.

Indikator tingkat keparahan vegetasi dinilai dengan melihat keseluruhan kondisi vegetasi di areal yang terbakar, apakah areal tersebut termasuk ke dalam tingkat keparahan yang rendah, sedang, atau tinggi. Indikator ini memiliki persentase sebesar 15 % dari bobot kriteria kondisi vegetasi. Berdasarkan data-data dari penelitian Riyanti (2005), maka kondisi vegetasi di areal tebakar Gunung Walat termasuk ke dalam tingkat keparahan vegetasi yang rendah dan memiliki nilai bobot 5 (Lampiran 2). Hal ini bisa dilihat pada keseluruhan kondisi vegetasi di areal yang terbakar. Dimana terdapat sekurang-kurangnya terdapat 50 % pohon tidak terlihat rusak, sisa tajuk

(43)

hangus, pucuk terbakar tapi bertunas, dan akar mati. Lebih dari 80 % pohon yang terbakar dapat bertahan hidup.

Keanekaragaman vegetasi dapat dinilai dengan membandingkan parameter-parameter di areal yang terbakar dengan areal yang tidak terbakar yang berdekatan dan memiliki kondisi yang relatif sama dengan areal sebelum terjadi kebakaran dengan menggunakan beberapa parameter, yaitu keanekaragaman jenis pohon dan keanekaragaman jenis tumbuhan bawah. Indikator keanekaragaman vegetasi memiliki persentase sebesar 20 % dari bobot kriteria kondisi vegetasi.

Dari hasil penilaian keanekaragaman jenis pohon melalui studi literatur, komposisi jenis pohon tidak mengalami penurunan jumlah jenis pohon komersial. Hal ini dikarenakan di areal terbakar HPGW hanya terdapat satu jenis pohon yang terbakar yaitu pinus/tusam (Pinus merkusii). Indeks keanekaragaman jenis pohon memiliki nilai < 1,5. Indeks kemerataan jenis yaitu 0, karena hanya terdapat 1 jenis pohon yang terbakar. Sedangkan indeks kesamaan jenis juga sebesar 0 karena tidak terdapat tegakan yang digunakan sebagai pembanding. Sementara untuk menghitung indeks kesamaan, dibutuhkan dua jenis tegakan berbeda.

Pada parameter keanekaragaman jenis tumbuhan bawah, terjadi peningkatan jumlah jenis tumbuhan bawah. Hasil penelitian Priandi (2006) menunjukkan bahwa pada areal terbakar cenderung memiliki spesies tumbuhan bawah yang lebih banyak dibandingkan dengan areal tidak terbakar. Pada areal terbakar telah ditemukan sebanyak 15 jenis tumbuhan bawah. Sedangkan pada areal yang tidak terbakar ditemukan sebanyak 12 jenis tumbuhan bawah (Rahardjo, 2003). Hasil identifikasi dan analisis vegetasi tumbuhan bawah dari penelitian sebelumnya, baik pada areal yang tidak terbakar maupun pada areal terbakar periode 6 bulan setelah terbakar hingga 3 tahun setelah terbakar dapat dilihat pada Tabel 1.

Gambar

Gambar 1. Petak Pengamatan Pendugaan Erosi.
Tabel 1. Jenis-jenis Tumbuhan Bawah pada Areal Tidak Terbakar dan Areal  Terbakar di bawah Tegakan Pinus merkusii
Tabel 2.  Sistem Skoring pada Penilaian Areal Bekas Terbakar  Tingkat Keparahan Dampak Kebakaran  Nilai Total
Tabel 3. Nilai Kerugian Kayu di Areal Terbakar Blok Cimenyan HPGW  Areal Terbakar  Luas
+5

Referensi

Dokumen terkait

Rencana kegiatan yang akan dilaksanakan selama program Kuliah Kerja Nyata (KKN) di Pedukuhan Seropan III, Desa Muntuk, Kecamatan Dlingo, Kabupaten Bantul, Provinsi

Dari beberapa persyaratan sebagaimana yang telah diuraikan di atas, hal yang menjadi sorotan publik adalah berkaitan dengan persyaratan calon Gubernur dan calon Wakil

Enzim protease yang dihasilkan oleh bakteri selain berperan dalam mendegradasi dinding sel patogen, protease dapat digunakan oleh bakteri tersebut untuk melakukan

Dilihat dari kemudahan untuk melepaskan atom hidrogen maka adanya gugus substituen pendonor elektron pada posisi para dapat meningkatkan aktivitas antioksidan sedangkan gugus

Membuat sistem kerja utama keamanan sepeda motor pada modul fingerprint yang dikontrol dengan mikrokontroler.. Membuat sistem pada mikrokontroler untuk proses pengelolaan

Sejalan dengan hipotesis dan penelitian sebelumnya, hasil penelitian dengan menggunakan analisis jalur terhadap 63 manajer pusat pertanggungjawaban pada kantor cabang bank umum

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode analisis isi melalui pendekatan deskriptif kuantitatif untuk mengukur berapa kandungan pesan dakwah yang ada

Berdasarkan hasil penelitian tingkah laku makan pada Domba Garut betina yang dikandangkan terungkap bahwa frekuensi deglutisi terjadi sebanyak 19 ± 0,17 kali/jam,