• Tidak ada hasil yang ditemukan

Dampak Operasional Bisnis yang Melanggar Hak Asasi Manusia

Dalam dokumen Relasi Bisnis dan HAM OK fullset (Halaman 70-94)

Oleh: Kurniawan Desiarto23 dan Agus Riewanto24

A. Pendahuluan

P

erserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) memandang Hak Asasi Manusia (HAM) sebagai kaidah yang penting. PBB memajukan hak asasi manusia melalui pengembangan standar kehidupan yang lebih baik dalam rangka perwujudan kemerdekaan yang lebih luas (to promote social progress and better standards of life in large of freedom) bagi bangsa- bangsa di dunia dengan mengesahkan Deklarasi Universal tentang HAM

(Universal Declaration of Human Rights) pada tahun 1948.25

Hak asasi manusia adalah hak-hak yang dimiliki manusia semata- mata karena ia manusia. Umat manusia memilikinya bukan karena diberikan kepadanya oleh masyarakat atau berdasarkan hukum positif, melainkan semata-mata karena martabatnya sebagai manusia.26 Dengan

lain perkataan, hak asasi manusia bukan pemberian negara kepada masyarakatnya, melainkan berdasarkan martabatnya sebagai manusia 23 Staf Komisi Yudisial

24 Dosen Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret (UNS)

25 Muladi, 2002, Hak Asasi Manusia, Politik Dan Sistem Peradilan Pidana, Badan Penerbit Universitas Diponegoro, Cet. II, Semarang, hlm.1-2. Bandingkan, Marianus Kleden, 2009, Hak Asasi Manusia Dalam Masyarakat Komunal, Kajian Atas Konsep HAM Dalam Teks-teks Adat Lamaholot dan Relevansinya Dalam UUD 1945, Lamalera dan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, Cet. II, Yogyakarta, hlm. 47-48.

26 Jack Donnely, 2003, Universal Human Rights in Theory and Practice, Cornell University Press, Ithaca and London, hlm. 7-21. Lihat juga Franz Magnis Suseno, 2001, Etika Politik: Prinsip-prinsip Moral Dasar Kenegaraan Modern, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, hlm. 121.

[secara alamiah]. Menurut John Locke (1632-1704) dalam buku kedua dari “Treatise”, menyebutkan keadaan alamiah diartikan sebagai suatu keadaan manusia hidup bebas dan sederajat menurut kehendak hatinya sendiri. Keadaan alamiah ini sudah bersifat sosial karena manusia hidup rukun dan damai sesuai dengan hukum akal (law of reason) yang mengajarkan bahwa manusia tidak boleh mengganggu hidup, kesehatan, kebebasan, dan kepemilikan dari sesamanya. “The state of nature has a law of nature to govern it, which obliges every one, and reason, which is that law, teaches all mankind who will but consult it that being all equal and independent no one ought to harm another his life, health, liberty or possessions…”27 Dalam konteks ini, maka peran dan tanggung

jawab negara amat besar untuk memberikan jaminan, pemajuan dan perlindungan hak asasi manusia terhadap warganya, termasuk dari pihak ketiga atau korporasi/perusahaan dalam menjalankan bisnisnya. Indonesia sendiri telah melakukannya dan menjadi salah satu program pemerintah sejalan dengan proses reformasi dan pemantapan kehidupan berdemokrasi yang sedang berlangsung.

Peningkatan pemajuan dan perlindungan hak asasi manusia dalam konteks Indonesia dilakukan melalui Amandemen UUD 1945 dengan cara memasukkan pasal-pasal secara rinci dan tegas yang mengatur tentang pemajuan dan perlindungan hak asasi manusia. Pengaturan ini dapat ditemukan dalam BAB XA, khususnya pada Pasal 28A sampai dengan Pasal 28J. Pengaturan ini merupakan tindak lanjut dari Ketetapan MPR Nomor XVII/MPR/1998 mengenai Hak Asasi Manusia.28 TAP

MPR ini memberikan penegasan bahwa penegakan hak asasi manusia dilakukan secara struktural, kultural, dan institusional. Tujuannya adalah agar tercipta sikap menghormati, menegakkan, dan menyebarluaskan pemahaman mengenai hak asasi manusia kepada seluruh masyarakat.29

27 John Locke, 1960, Two Treatises of Civil Government, Everyman’s Library, London, hlm. 119. Bandingkan dengan Harifin A. Tumpa, 2010, Peluang dan Tantangan Eksistensi Pengadilan HAM Di Indonesia, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, hlm. 51-53. 28 Bandingkan Yeni Handayani, Perubahan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang

Hak Asasi Manusia Untuk Pemajuan Dan Perlindungan Hak Asasi Manusia, Jurnal Rechts Vinding Online, 13 November 2014, hlm. 1. Lihat juga Harifin A. Tumpa, …, 2010, hlm. 8.

29 Majda El-Muhtaj, 2009, Hak Asasi Manusia Dalam Konstitusi Indonesia: Dari UUD

NKRI 1945 sampai dengan Amandemen UUD NKRI 1945 Tahun 2002, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, hlm. 121-122.

Bagian II: Konstekstualisasi Tanggung Jawab Negara Terhadap Perlindungan Hak Asasi Manusia dari Dampak Operasional Korporasi di Indonesia

Secara garis besar, era reformasi telah mengantarkan negara dan masyarakat untuk lebih menghargai dan memahami hak asasi manusia. Banyaknya produk hukum tentang hak asasi manusia merupakan bukti bahwa penghargaan dan pemahaman hak asasi manusia sudah relatif baik dibanding era sebelumnya, sebagai contoh:

1. UU No. 5 Tahun 1998 tentang Pengesahan Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman Lain yang Kejam, Tidak Manusiawi, atau Merendahkan Martabat Manusia;

2. UU No. 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum;

3. UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen; 4. UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM;

5. UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers;

6. UU No. 21 Tahun 2000 tetang Serikat Pekerja/Serikat Buruh; 7. UU No.26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM;

8. UU No.32 Tahun 2002 tentang Penyiaran;

9. UU No.40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional; 10. UU No.11 Tahun 2005 tentang Pengesahan Kovenan Inter-

nasional Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya;

11. UU No.12 Tahun 2005 tentang Pengesahan Kovenan Inter- nasional Tentang Hak-hak Sipil dan Politik;

12. UU No.13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban;

13. UU No.14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik; dan sebagainya.

Kendati telah banyak produk hukum yang mengatur tentang hak asasi manusia, ternyata negara belum bisa menjamin perlindungan hak asasi manusia bagi warganya dari pelanggaran hak asasi manusia yang diduga dilakukan oleh pihak ketiga, termasuk bisnis [baca: korporasi]. Sebagaimana diketahui sejak Juni 2011, telah ada pedoman bisnis dan hak asasi manusia yang dikeluarkan PBB. Pedoman ini menandai bahwa perlindungan hak asasi manusia menjadi bagian dari praktik bisnis global. Sayangnya, ini masih jarang diterapkan. Dalam kurun waktu 20 tahun terakhir, isu perlindungan hak asasi manusia semakin

penting dalam praktik bisnis global. Oleh karena itu, dunia perlu aturan internasional yang efektif untuk perlindungan hak asasi manusia. Demikian ditegaskan pelapor khusus PBB untuk bidang ekonomi dan perusahaan, John Ruggie. Ruggie adalah salah satu aktor utama dalam penyusunan panduan PBB yang bertujuan memperkuat perlindungan hak asasi manusia dalam ekonomi global. Hak-hak perusahaan untuk beroperasi secara global selama 20 tahun terakhir semakin diperluas, antara lain ada perlindungan lebih baik bagi investasi dan hak paten. Sayangnya di sisi yang lain menurut pendapat Ruggie, dalam struktur ekonomi yang berubah ini “perlindungan hak asasi tidak diperluas sebagaimana seharusnya.”30

Perlindungan ini terasa sulit, namun bukan berarti mustahil untuk memperluas perlindungan hak asasi manusia terkait bidang ekonomi dan perusahaan, apabila Piagam PBB tidak dilakukan diamandemen dan masih mencantumkan kata-kata “bangsa-bangsa yang beradab”. Pencantuman frasa ini seolah masih terdapat negara yang memiliki bangsa tidak beradab, yang merupakan suatu “penghinaan” dalam konteks masyarakat internasional dewasa ini.31 Menurut Hikmahanto

Juwana, kerangka berpikir seperti ini kerap mewarnai perancangan instrumen internasional di bidang hak asasi manusia. Tidak heran bila rumusan pasal yang dibuat lebih merefleksikan ketentuan-ketentuan yang dapat dilaksanakan (implementable) di negara maju tetapi

unimplementable di negara berkembang.32 Sudah barang tentu negara

maju senantiasa akan membantu Multi National Corporations (MNCs) dan Tansnational Corporations (TNCs) sehingga sulit “memaksakan” cakupan perlindungan hak asasi manusia yang diperluas.

Berdasarkan pemaparan di atas, maka dirumuskan permasalahan, yaitu bagaimana negara memberikan perlindungan hak asasi manusia secara optimal terhadap kegiatan bisnis yang dilakukan oleh MNCs/ TNCs.

30 Lihat: http://www.dw.com/id/perlindungan-ham-di-sektor-ekonomi-global/a-16442212, diambil 22 Juli 2015.

31 Lihat Hikmahanto Juwana, 2010, Hukum Internasional Dalam Perspektif Indonesia

Sebagai Negara Berkembang, PT Yarsif Watampone, Jakarta, hlm. 62-63. 32 Ibid

Bagian II: Konstekstualisasi Tanggung Jawab Negara Terhadap Perlindungan Hak Asasi Manusia dari Dampak Operasional Korporasi di Indonesia

B. Revolusi Industri dan Berdirinya MNCs-TNCs

Gambaran awal revolusi industri dalam literatur menunjukkan bermula di Inggris. Pada awal revolusi industri Inggris, setiap cabang perdagangan dan industri terhambat oleh peraturan yang rigid yang dikeluarkan oleh kekuasaan feodal karena didasarkan atas ajaran-ajaran abad pertengahan.33 Menurut Ragnar Nurkse, revolusi industri secara

kebetulan diawali di sebuah pulau kecil yang tidak kaya akan sumberdaya alam. Dalam kondisi seperti ini, maka perluasan ekonomi diteruskan ke daerah-daerah yang belum begitu berkembang. Faktor-faktor produksi lokal di tanah seberang lautan, yang pertumbuhannya mungkin untuk sebagian terjadi karena faktor perdagangan.34 Perkembangan perdagangan

ini juga karena ditopang adanya undang-undang terkait perdagangan. The law merchant or lex mercatoria, was purportedly a system of law developed by medieval merchants to regulate commerce throughout the known world of Europe, North Africa an Asia Minor.35According to this view, the Law Merchant is envisaged as cosmopolitan in nature,transnational in reach, and expeditious in its application.36

Pada akhir abad ke-18, laju perkembangan ekonomi Inggris telah melampaui perkembangan ekonomi Perancis dan Jerman. Pada masa itu perusahaan kapas mengalami perluasan secara cepat baik dalam hal mekanisasi maupun produksi pabriknya.37 Adanya revolusi industri ini,

Inggris mengalami berbagai perubahan besar sebagai akibat tumbuhnya 33 Lihat Charles A. Bread: The Economic Basis an Related Writings (New York: Vintage Books, 1957) hlm. 112-113, diambil dari C.F.G. Sunaryati Hartono, 1982, Hukum Ekonomi Pembangunan, Bina Cipta, cet. I, Jakarta, hlm. 1.

34 Ragnar Nurkse, 1961, Patterns of Trade and Development, dicetak ulang dalam Equlibrium

and Growth in the World Economy, Harvard University Press, Cambridge, hlm. 285. 35 Leon E. Trakman, From The Medieval Law Merchant To E-Merchant Law, University

of Toronto Law Journal, Vol. LIII, Number 3, Summer 2003, hlm. 1. Lihat juga Boaventura De Sousa Santos, Toward A New Common Sense, Law, Science And Politics In The Paradigmatic Transition (New York: Routledge, 1995), yang menjelaskan bahwa Lex Mercatoria adalah bentuk paling tua dari transnasionalisasi di bidang hukum, hlm. 288. 36 Leon E. Trakman, 2011, A Plural Account of the Transnational Law Merchant, dalam

Transnational Legal Theory, hlm. 309.

37 Lihat Phyllis Deane dan W.A. Cole, 1969, British Economic Growth, Cambridge, hlm. 182–192. Bandingkan dengan Lucian Fèbvre dan Henri-Jean Martin, 1976, The Coming of The Book: The Impact of Printing, 1450-1800, New Left Books, London, hlm. 182, menjelaskan adanya penemuan mesin cetak modern oleh Johannes Gutenberg yang menyebabkan perusahaan percetakan berkembang di lebih dari 110 kota yang tersebar di Italia terdapat 50, 30 di Jerman, 9 di Perancis, 8 di Belanda dan Spanyol, 5 di Belgia dan Swiss, 4 di Inggris, 2 di Bohemia dan 1 di Polandia.

industri baru dan perubahan hukum.38 Hal ini menyebabkan berdirinya

kantor-kantor dagang di negara lain. Inggris benar-benar menjadi sebuah negara yang sangat digelisahkan karena banyaknya perubahan yang terjadi. Sebagai suatu negara yang hidup dalam interaksi regional yang sangat ketat, Inggris bukanlah suatu negara yang berhasil membebaskan diri dari jamahan perubahan-perubahan tersebut. Dalam abad yang sama, Inggris mengalami berbagai perubahan besar sebagai akibat tumbuhnya industri-industri baru. Perubahan ini tidak seluruhnya merugikan dimensi kehidupan Inggris, bahkan pada bidang kehidupan pengetahuan, yang berperan besar dalam mendorong lahirnya hukum. Hukum yang mempunyai tujuan untuk mensejahterakan seluruh rakyat dilakukan berdasarkan akibat-akibat yang dihasilkan dari proses penerapan hukum.39

Berbagai perubahan ini mencapai puncaknya pada abad ke-17 dan ke-18 di Eropa, bersamaan dengan munculnya tradisi hukum sipil yang modern termasuk sekularisasi hukum, rasionalisasi, antifeodalisme, pemisahan kekuasaan negara, dan statisme serta nasionalisme.40 Namun

adanya sekularisasi hukum dan rasionalisasi ini juga memicu tumbuhnya kapitalisme. Antifeodalisme ini ditandai dengan keluarnya Bill of Rights pada 1628. Semangat perubahan sangat terasa terutama setelah revolusi 1688 di Inggris yang untuk pertama kalinya cita negara hukum di kemukakan.41

Menurut Peter F. Drucker, perubahan mendasar berikutnya mulai pada 1776, tahun pecahnya Revolusi Amerika, sewaktu James Watt menyempurnakan mesin uap dan Adam Smith menerbitkan Wealth

38 Untuk melihat perubahan hukum yang terjadi di Inggris lihat F. Pollock & F.W. Maitland, 1968, The History of English Law before the Time of Edward I, 2nd, University

Press, Cambridge, hlm. 467. Bandingkan juga dengan C.F.G. Sunaryati Hartono, 1982,

Hukum Ekonomi Pembangunan Indonesia, Binacipta, cet. I, Jakarta, hlm. 1-2.

39 Cita Citrawinda Priapantja, 1999, Budaya Hukum Menghadapi Globalisasi: Perlindungan

Rahasia Dagang Di Bidang Farmasi, Chandra Pratama, cet. I, Jakarta, hlm. 223. 40 John Henry Merryman, 1985, The Civil Law Tradition, Stanford University Press,

2nd edition, Stanford, California, hlm. 14-18. Bandingkan dengan Hans Kohn, yang menyebutkan, Inggris pada abad ke-17 biasanya dianggap sebagai Negara bangsa modern pertama di mana nasionalisme dan konsep yang berhubungan dengannya yakni patriotisme menjadi sama atau seimbang dengan gagasan mengenai kebebasan individual dan partispasi umum dalam kehidupan publik, lihat Hans Kohn, 1965, Nationalism: Its Meaning In History, edisi revisi, Van Nostrand, Princeton, New York, hlm. 17.

41 H. Azhary, 1993, Negara Hukum Indonesia: Suatu Analisis Yuridis Normatif Tentang

Unsur-Unsurnya, Disertasi pada Program Pascasarjana Universitas Indonesia, Jakarta, hlm. 1 dan 44-55. Lihat juga Kuntjoro Purbopranoto, 1976, Hak-Hak Asasi Manusia dan Pancasila, Pradnya Paramita, cet. I, Jakarta, hlm. 17.

Bagian II: Konstekstualisasi Tanggung Jawab Negara Terhadap Perlindungan Hak Asasi Manusia dari Dampak Operasional Korporasi di Indonesia

of Nations. Perubahan itu mencapai akhir hampir empat puluh tahun kemudian, di Waterloo, empat puluh tahun masa kelahiran “isme” modern. Kapitalisme, Komunisme dan Revolusi Industri timbul semasa dasawarsa-dasawarsa ini. Keempat dasawarsa ini membawa emansipasi bangsa Yahudi, dan menjelang1815, keluarga Rothschild telah menjadi suatu kekuatan besar mengalahkan raja-raja dan para pangeran.42

Kapitalisme yang digerakkan kaum industrialis dan kaum perusahaan besar Inggris menimbulkan arus pergolakan pada abad ke- 19 karena gelombang kapitalisme telah menimbulkan penindasan baru yang bersifat ekonomis dan yang berbentuk imperialisme.43 Dalam

kondisi ini muncul suara-suara Sir Robert Peel untuk mengurangi jam kerja ana-anak dan Robert Owen memprotes ketidakadilan sehingga menghasilkan Factory Laws. Undang-undang ini merupakan bentuk campur tangan pertama pemerintah dalam kehidupan perekonomian sesudah Adam Smith.44 Menurut Sunaryati Hartono,45 sejarah hukum

Inggris dalam masa Revolusi Industri menunjukkan bahwa:

1. Perkembangan industri dan dengan itu pembangunan ekonomi nya sangat didorong oleh faktor-faktor non ekonomi, seperti agama dan sistem hukum yang berlandaskan kebebasan (liberalism); 2. Sebelum lahirnya Factory Laws, hukum Inggris pada masa

revolusi industri semata-mata dipergunakan untuk menunjang perekonomian dan industri;

3. Tanpa bantuan Factory Laws, pembangunan ekonomi hanya memberi kemakmuran kepada kaum pengusaha, sementara 42 Peter F Drucker, 1997, Masyarakat Pasca Kapitalis, penerj. Tom Guna, Angkasa Bandung,

Bandung, hlm. 2.

43 Kuntjoro Purbopranoto, 1976, Hak-Hak Asasi Manusia dan Pancasila, Pradnya Paramita, cet. I, Jakarta, hlm. 21-22. Perkembangan kapitalisme juga telah memunculkan konsep hak atas kekayaan intelektual/HAKI (intellectual property rights) yakni paten pada abad ke-14 dan abad ke-15 di Inggris dan Italia (paten Venesia pada tahun 1474), lihat Muhammad Djumhana dan R. Djubaedillah, 1997, Hak Milik Intelektual, edisi revisi, Citra Aditya Bakti, Bandung, hlm. 103.

44 C.F.G. Sunaryati Hartono, 1982, Hukum Ekonomi Pembangunan Indonesia, Binacipta, cet. I, Jakarta, hlm. 2. Bandingkan dengan, Mukti Fajar ND., 2010, Tanggung Jawab Sosial Perusahaan Di Indonesia, Studi tentang Penerapan Ketentuan CSR pada Perusahaan Multi Nsional, Swasta Nasional & BUMN di Indonesia, Pustaka Pelajar, cet. I, Yogyakarta, hlm. 197. Dalam bukunya Mukti Fajar menyebutkan karena banyaknya gugatan dari para pemikir, proses industrialisasi di Eropa dan Amerika mulai memperhatikan hak-hak pekerja. Di Inggris misalnya, diundangkan pembatasan jam kerja menjadi 10 jam per hari, yang dikenal dengan The Ten Hours Bill (1846).

golongan kecil masyarakat kaum tani yang miskin menjadi semakin sengsara karena kehilangan tanahnya dan dijadikan buruh-buruh pabrik dengan upah minimal.

4. Factory Laws dan undang-undang lain-lain, seperti undang- undang sosial (social legislation) yang lahir kemudian dengan tujuan memperbaiki keadaan yang telah terjadi dan mencegah terjadinya peristiwa-peristiwa yang serupa di masa yang akan datang.

Di Perancis juga terjadi perubahan sistem perekonomian yang semula bersifat agraris berubah menjadi industrialis yang dipengaruhi oleh Code Napoleon dan Code Civil Perancis pada 1806. Keduanya berhasil untuk melalui pranata hukum kontrak, mengubah dasar kekuatan dan nilai ekonomi seseorang, yang di dalam masyarakat agraris ditentukan oleh status sosialnya di masyarakat. Proses ini dikemukakan oleh Profesor Maine dalam Ancient Law, sebagai proses from status to contract.46 Oleh

karena itu, hukum kontrak merupakan landasan bagi terbentuknya suatu masyarakat industri, sebagaimana pranata “Hak Milik Industri” merupakan “benteng pertahanan” negara-negara industri maju untuk mempertahankan dominasi ekonomi dan industrinya terhadap negara- negara berkembang.47

Dalam situasi seperti saat itu amatlah wajar, perusahaan-perusahaan besar mulai tumbuh subur, bermula di negara-negara di Eropa dan berkembang di negara-negara pada benua lain. Perusahaan-perusahaan ini bergerak di berbagai bidang, misalnya pengangkutan, asuransi,48

perkebunan, dan lain sebagainya. Pada abad ke-17 dan ke-18 tercatat perusahaan-perusahaan dagang besar kolonial, misalkan Dutch East India

46 C.F.G. Sunaryati Hartono, 2006, Bhineka Tunggal Ika Sebagai Asas Hukum bagi Pembangunan

Hukum Nasional, PT Citra Aditya Bakti, cet. I, Bandung, hlm. 61. Bandingkan M. Polak,

Handboek voor het Ned. Handels en Faillissemenrecht, yang menyebutkan Raja Lodewijk XIV di Prancis diundangkanlah dua ordonansi yang dua-duanya banyak mempengaruhi kodifikasi di hari-hari. Ordonansi tersebut ialah Ordonnance du Commerce dari tahun 1673 dan Ordonnance de la Marine dari tahin 1681. Selanjutnya menyebutkan, kedua Ordonansi itu sebagai kodifikasi pertama dalam hukum dagang, sebagaimana di kutip oleh R. Soekardono, 1993, Hukum Dagang Indonesia, Dian Rakyat, cet. IX, Jakarta, hlm. 9 47 Ibid.

48 Pada abad ke-15 dan ke-16I Genoa Florence dan Venesia telah menjadi pusat asuransi di laut Tengah. Perusahaan perusahaan asuransi baru berdiri secara khusus pada abad ke-18 dan pada abad ke-19 mulai berkembang sehingga menjadi bentuknya seperti sekarang ini, diambil dari Sri Rejeki Hartono, 2001, Hukum Asuransi dan Perusahaan Asuransi, Sinar Grafika, cet. IV, Jakarta, hlm. 38-39.

Bagian II: Konstekstualisasi Tanggung Jawab Negara Terhadap Perlindungan Hak Asasi Manusia dari Dampak Operasional Korporasi di Indonesia

Company, British East India Company, Muscovy Company dan sebagainya. Perusahaan-perusahaan tersebut menjadi perintis perdagangan berskala besar di wilayah negara lain yang kelak menjadi wilayah jajahan penting.49

Pada akhirnya perusahaan-perusahaan ini berkembang secara masif dan pada masa sekarang dikenal dengan MNC/TNCs.50 Perkembangan MNCs/TNCs adalah implikasi kemajuan teknologi sejak jaman revolusi industri. Perluasan pemasaran produksinya diawali dengan pembukaan perwakilan perusahaan di luar negeri. Selanjutnya berkembang dan bertambah luas menjadi semacam workshop, yang pada gilirannya mendirikan pabrik, pendirian perusahaan nasional, pembentukan perusahaan yang kian besar dengan bagian-bagian yang terpadu sampai pada perkembangan terkini berupa MNCs/ TNCs.51

Menurut Raymond Vermon52 terdapat perbedaan antara perusahaan

multinasional (MNCs) dan perusahaan transnasional (TNCs). MNCs merupakan sekumpulan perusahaan yang berasal dari negara-negara yang berbeda yang bergabung melalui ikatan-ikatan strategi manajemen bersama. Sedangkan perusahaan transnasional (TNCs) menurut The United Nations norm yang dimaksud dengan the transnational corporation is defined as an economic entity operating in more than one country or a cluser of economic entities operating in two or more countries-whether their legal form, whether in their home country or country of activity, and whether taken individuality or collectively.53

49 Paul Hirst dan Grahame Thompson, 2001, Gloalisasi adalah Mitos, Yayasan Obor, Jakarta, hlm. 33, sebagaimana di kuitp oleh Muslichah Setyasih, Kekuasaan Korporasi Transnasional Versus Kedaulatan Jurnal Demokrasi, Vol. II, Nomor 3, Mei 2004, hlm. 28. 50 Sulit untuk memastikan sejak kapan pendirian perusahaan multinasional ini. Hanya saja

menurut Peter T. Muclinski menyebutkan, sejarah perkembangannya dimulai dengan adanya koloni Eropa melalui pendirian perusahaan-perusahaan dagang pada abad ke-16 dan abad ke-17, lihat Peter T. Muchlinski, 2007, Multinational Enterprise an The Law,

(Oxford University Press, 2nd ed., hlm. 8. Bandingkan juga dengan Peter F. Drucker, (1997), menyebutkan, hingga tahun 1750 perusahaan yang besar merupakan perusahaan Negara dan bukan swasta. Perusahaan manufaktur terdahulu dan selama berabad-abad juga paling besar di antara perusahaan-perusahaan sejenisnya yang terkenal dimiliki dan di jalankan oleh pemerintah Venézia. Perusahaan manufaktur (manufactories) seperti pekerjaan porselen Meissen dan Sèvres masih dimiliki oleh pemerintah, hlm 33. 51 Sumantoro, 1983, Peranan Perusahaan Multinasional Dalam Pembangunan Negara

Sedang Berkembang Dan Implikasinya Di Indonesia, Alumni, Bandung, hlm. 68. 52 Raymond Vernon, Economic Sovereignty at Bay, Foreign Affairs Nomor47, 1968, hlm.

114. Lebih lanjut baca juga Raymond Vernon, 1971, Sovereignty at Bay: The Multinational Spread of US Enterprises, Longman, London.

53 The UN Sub-Comission on the Protection and Promotion of Human Rights, 13 August 2003, UN Doc. E/CN.4/Sub 2/2003/12/Rev.2 (2003).

C. Pengaruh Paham Liberalisme Klasik dalam Perlindungan Hak Asasi Manusia

Kapitalisme telah mengubah kondisi masyarakat menjadi homo economicus rasional dan membuat perkembangan Negara kesejahteraan (welfare state) terlepas. Negara kesejahteraan telah memberikan pengakuan dan perlindungan terhadap hak sipil, politik dan sosial yang didasari pemikiran Adam Smith (1723-1790), seorang pemikir liberalisme klasik. Menurut Adam Smith, jika setiap orang mengejar kepentingan pribadinya sendiri, invisible hand dari kekuatan pasar melalui tekanan persaingan akan menaikkan kepentingan masyarakat. Lebih jauh, secara keseluruhan situasi ini pastinya akan melahirkan kepentingan pribadi dan kebaikan umum.54

Dalam dokumen Relasi Bisnis dan HAM OK fullset (Halaman 70-94)