• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perspektif Ekonomi Internasional

Dalam dokumen Relasi Bisnis dan HAM OK fullset (Halaman 52-56)

Oleh: Sulaiman Syarif19

P

ada tahun 2011, Dewan Hak Asasi Manusia Perserikatan Bangsa- Bangsa (Dewan HAM PBB) mengesahkan United Nations Guiding Principles on Business and Human Rights melalui Resolusi 14/4. Indonesia sebagai salah satu negara anggota PBB mendukung pengesahan tersebut sebagai bentuk komitmen dalam pemajuan dan perlindungan hak asasi manusia di sektor bisnis. Pada tahun 2013, delegasi Ekuador yang mendapatkan dukungan sejumlah kelompok negara menyampaikan pernyataan di hadapan Dewan HAM PBB bahwa pengesahan yang sudah dilakukan pada tahun 2011 hendaknya diperkuat lagi dengan cara prinsip-prinsip tersebut ditransformasi menjadi instrumen yang mengikat secara hukum.

Pada bulan Juni 2014, Dewan HAM PBB mengadopsi Resolusi nomor 26/9 yang diajukan oleh delegasi Ekuador dan Afrika Selatan untuk membentuk United Nations Intergovernmental Working Group (IGWG)for Binding Treaty on Business and Human Rights dengan mandat memformulasikan instrumen legal prinsip-prinsip bisnis dan hak asasi manusia. Namun, pembahasan perihal pembentukan instrumen tersebut memakan waktu yang cukup lama sehingga mandat Intergovernmental Working Group (IGWG) diperpanjang dengan upaya untuk sepenuhnya mempersiapkan instrumen legal untuk mengatur hubungan antara bisnis dan hak asasi manusia. Dinamika dialog yang terjadi di dalam tubuh 19 Kasubdit Hak-Hak Ekonomi, Sosial Budaya dan Pembangunan, Direktorat HAM dan

PBB perihal pembentukan instrumen legal sangat kuat. Setiap pemegang kepentingan memiliki perspektif masing-masing dalam melihat keberadaan instrumen tersebut. Mayoritas negara maju menilai bahwa instrumen tersebut akan berpengaruh negatif terhadap implementasi

United Nations Guiding Principles on Business and Human Rights. Negara maju berasumsi demikian karena upaya untuk mendorong terciptanya instrumen legal itu belum saatnya dilakukan dan ketika niat tersebut dipaksakan, pihak sektor bisnis akan semakin menjauh dari pihak pemerintah dalam upaya pemajuan dan perlindungan hak asasi manusia dalam dunia bisnis.

Perspektif negara berkembang kontradiktif dengan perspektif negara maju dengan menyatakan bahwa United Nations Guiding Principles on Business and Human Rights sudah seharusnya dikuatkan menjadi instrumen hukum yang mengikat para pihak. Indonesia sebagai pihak yang turut terlibat dalam perundingan tersebut memiliki pandangan bahwa dalam jangka pendek, hal yang paling dapat dilakukan oleh setiap negara adalah implementasi United Nations Guiding Principles on Business and Human Rights secara sukarela. Namun, dalam jangka panjang, pembahasan perihal kemungkinan penguatan status instrumen yang semula tidak mengikat secara hukum menjadi instrumen yang mengikat secara hukum.

Dalam pertemuan pertama Intergovernmental Working Group (IGWG), para ahli yang terdiri dari delapan orang, memaparkan prinsip, cakupan, dan substansi dari draft instrumen legal tersebut. Namun demikian, kelompok bisnis dari negara maju berupaya untuk menghalangi pembahasan. Hal ini dapat dilihat dari banyaknya negara maju yang tidak hadir dalam pembahasan draft tersebut. Bahkan Uni Eropa melakukan walk out pada hari pembahasan yang kedua. Sikap ini diikuti Rusia, Swiss dan Vatikan yang juga melakukan tindakan pemboikotan dari Intergovernmental Working Group (IGWG). Terlepas dari permasalahan tersebut, diskusi menghasilkan kesepakatan mengenai penambahan panel dalam United Nations Guiding Principles on Business and Human Rights serta dibukanya kemungkinan untuk diskusi lebih lanjut dengan para pemangku kepentingan yang lebih komprehensif dalam draft Working Group II.

Bagian I: Perkembangan Kontemporer Dinamika Isu Relasi Bisnis dan Hak Asasi Manusia Dalam Konteks Internasional dan Nasional

Beberapa masukan penting yang dibahas dalam Intergovernmental

Working Group (IGWG) I adalah adanya pemahaman tentang

kesenjangan kewajiban extra-territorial, penghormatan kedaulatan negara yang harus dijaga, serta instrumen hukum yang harus memperhatikan sistem hukum, corporate structure, sosial, budaya, dan pembangunan suatu negara. Masukan kedua adalah perihal pertanggung jawaban hukum dari perusahaan transnasional seharusnya tidak hanya terbatas pada konsep corporate social responsibility, namun juga kontribusi terhadap dana pemulihan bagi korban pelanggaran hak asasi manusia, termasuk yang terjadi di wilayah konflik serta tanggung jawab pidana, perdata dan administratif. Masukan ketiga, perihal cakupan instrumen hukum tersebut, yang diharapkan akan mencakup elemen monitoring

dan enforcement mechanism, termasuk pula pembentukan world court. Masukan-masukan lainnya dari pihak civil society umumnya bernada optimis dimana kelompok-kelompok lembaga swadaya masyarakat melihat bahwa Intergovernmental Working Group (IGWG) merupakan sebuah pencapaian yang baik dalam upaya memperjelas relasi antara bisnis dan hak asasi manusia sehingga hak dan kewajiban kedua elemen tersebut bisa diatur dengan baik melalui kekuatan hukum.

Prospek di masa depan mengenai pembuatan instrumen hukum adalah pembuatan perjanjian internasional yang di dalamnya mengatur hubungan antara bisnis dan hak asasi manusia. Beberapa pilihan dalam perumusan perjanjian internasional dikemukakan dalam

Intergovernmental Working Group (IGWG), seperti bentuk perjanjian internasional yang dapat dibentuk secara sempit melalui framework treaty atau secara luas melalui comprehensive treaty. Bentuk perjanjian ini di dalamnya dapat mengatur beberapa elemen, seperti state reporting,

individual complaints, international civil adjudications, international mediation/arbitration dan international criminal prosecution. Namun demikian, konsep comprehensive treaty umumnya sulit diformulasikan karena memerlukan negosiasi dalam waktu yang lama. Konsep

sectoral treaty dianggap sebagai solusi dalam pembentukan perjanjian internasional terkait bisnis dan hak asasi manusia. Status mengenai kualifikasi subyek hukum dalam perjanjian internasional tersebut juga dibahas secara lengkap. Kemungkinan dimasukkannya korporasi sebagai

subyek hukum dalam perjanjian internasional sangat besar. Pengaturan mengenai enforcement juga dibahas dan beberapa pilihan mekanismenya juga telah dikemukakan dalam diskusi, seperti kemungkinan enforcement

pada level nasional, internasional atau melalui treaty monitoring bodies.

United Nations Guiding Principles on Business and Human Rights

merupakan soft law dimana di masa depan, kemungkinan untuk memperkuat instrumen tersebut menjadi instrumen legal bukan merupakan hal yang mustahil. Meskipun proses panjang pembahasan harus dilalui, namun selama ada political will yang kuat dari semua negara, tidak menutup kemungkinan sebuah instrumen legal dapat dibentuk. Indonesia berkomitmen untuk aktif berpartisipasi dalam pembahasan mengenai relasi bisnis dan hak asasi manusia lebih lanjut dengan memfokuskan pada eksistensi Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) sebagai salah satu subyek hukum yang mendapatkan perlindungan dalam perjanjian tersebut.

Pada level nasional, Simposium Nasional Bisnis dan Hak Asasi Manusia yang diselenggarakan pada 8 September 2015, dicapai kesepakatan bahwa pemerintah dan kalangan usaha akan berusaha untuk mengimplementasikan ketentuan bisnis dan hak asasi manusia yang tidak hanya terbatas pada konsep corporate social responsibility. Upaya harmonisasi dan sinkronisasi peraturan perundang-undangan nasional terkait bisnis dan hak asasi manusia serta pertimbangan mengenai penyusunan suatu Rencana Aksi Nasional Bisnis dan Hak Asasi Manusia yang sejalan degan RAN HAM 2015-2019 merupakan langkah awal yang penting untuk segera direalisasikan. Pemerintah dan kalangan usaha akan berusaha pula untuk membuat mekanisme perlindungan khusus terhadap sektor UMKM dan sosialisasi kepada para pemangku kepentingan nasional terkait, baik di tingkat pusat dan daerah.

B A B I I I

Respon Pemerintah Terhadap Perkembangan

Dalam dokumen Relasi Bisnis dan HAM OK fullset (Halaman 52-56)