Oleh: Makarim Wibisono18
I
su globalisasi dan pertumbuhan ekonomi global yang signifikan mengakibatkan negara-negara di ASEAN menghadapi peluang- peluang bisnis dan aktor-aktor bisnis yang baru. Keadaan ini menyebabkan meningkatnya peran sektor bisnis dalam pembangunan manusia. Di masa lampau, hubungan antara bisnis dan hak asasi manusia secara tipikal dikarakterisasikan dengan adanya ketidaksetaraan antara perusahaan-perusahaan yang memiliki kekuatan ekonomi yang besar, investor, dan negara dihadapkan dengan individu-individu, khususnya mereka yang lemah dan rentan terhadap pelanggaran hak asasi manusia.Christine Breining-Kaufmann menjelaskan bahwa dalam perspektif kontekstual, diskusi mengenai bisnis dan hak asasi manusia melibatkan banyak disiplin ilmu yang berbeda dimana semuanya berkembang secara parsial antara satu dengan lainnya. Hal ini mengakibatkan munculnya peraturan-peraturan yang terfragmentasi. Perdebatan mengenai bisnis dan hak asasi manusia dikarakterisasikan dengan banyaknya aktor dan instrumen yang terlibat di dalamnya. Berdasarkan observasi yang dilakukan penulis terdapat fakta bahwa peraturan-peraturan mengenai relasi bisnis dan hak asasi manusia pada umumnya dibentuk secara formal tidak mengikat atau bahkan dibentuk sebagai instrumen yang sifatnya sukarela seperti peraturan berperilaku atau petunjuk pelaksanaan.
18 Pernah menjabat Perwakilan Tetap RI di PBB, Ketua Komisi HAM PBB, Pelapor Khusus PBB mengenai situasi HAM di wilayah Palestina
Milton Friedman pada tahun 1962 memaparkan bahwa tanggung jawab yang dimiliki oleh sektor bisnis hanyalah satu, yaitu untuk menggunakan sumber daya dan menjalankan aktivitas-aktivitas yang didesain untuk meningkatkan keuntungan. Namun demikian, semua itu dapat dilakukan selama aktivitas-aktivitas tersebut sejalan dengan peraturan-peraturan yang berlaku. Dengan kata lain, dalam menjalankan bisnis, pelaku bisnis harus menjalankan bisnis dalam suatu kompetisi pasar yang terbuka dan bebas serta bersih dari tipu muslihat. Karakterisasi sektor bisnis yang diformulasikan oleh Milton Friedman menjadi jawaban dari konsekuensi sektor bisnis yang tidak memainkan peran aktif dalam proyek-proyek filantrofis dan penggunaan pertimbangan sosial seperti halnya dalam proyek-proyek pemerintah dikarenakan tujuan utama dari sektor bisnis adalah mencapat keuntungan yang sebesar-besarnya. Aturan yang ada tidak menuntut sektor bisnis untuk secara aktif terlibat dalam upaya peningkatan pemberdayaan manusia karena aturan hanya menuntut sektor bisnis menjalankan bisnis yang baik, sesuai aturan dengan bisnis yang bersih dan bebas dari tipu muslihat.
Keadaan tersebut mengakibatkan pemerintah dan perusahaan merasa bertanggungjawab atas pelanggaran hak asasi manusia yang terjadi dalam konteks proyek investasi antara pemerintah dan perusahaan. Fenomena ini berdampak pada masyarakat yang tidak memiliki perlindungan dari absennya rasa pertanggungjawaban yang seharusnya dimiliki oleh pemerintah dan perusahaan dalam menjalankan proyek- proyek investasi bersama. Pada tahun 2013, sebuah upaya dalam skala international dilakukan oleh masyarakat internasional sebagai sikap atas absennya perlindungan masyarakat dari pelanggaran hak asasi manusia yang dilakukan oleh perusahaan, yaitu pembuatan Draft Norms on Responsibilities of Transnational Corporations and Other Business Enterprises. Pembuatan draft ini bertujuan untuk mengatasi adanya batasan konseptual perihal keberadaan sektor bisnis dalam pembangunan dan perlindungan hak asasi manusia serta mendefinisikan aturan-aturan yang tepat sebagai bentuk upaya pelaksanaan kewajiban negara terhadap masyarakat. Aturan-aturan tersebut dibuat dengan upaya agar dapat diterapkan kewajiban-kewajiban kepada perusahaan dalam kaitannya dengan hak asasi manusia.
Bagian I: Perkembangan Kontemporer Dinamika Isu Relasi Bisnis dan Hak Asasi Manusia Dalam Konteks Internasional dan Nasional
Posisi sektor bisnis dalam menghadapi munculnya draft tersebut adalah defensif. International Chamber of Commerce dan asosiasi- asosiasi bisnis lainnya sepakat untuk menentang draft tersebut di level operasional. Hal ini membuktikan fakta bahwa komunitas internasional tidak sepakat untuk menerima keberadaan perusahaan sebagai subyek hukum internasional. Padahal status subyek hukum internasional yang akan disematkan pada perusahaan merupakan syarat awal untuk secara legal meminta pertanggungjawaban perusahaan atas pelanggaran hak asasi manusia.
Pada tahun 2005, sebuah paradigma baru dibentuk dengan penunjukan Profesor John Ruggie sebagai drafter resolusi untuk memotret relasi antara bisnis dan hak asasi manusia. Dalam kaitan ini, Makarim Wibisono (penulis) sebagai Chairman dari United Nations
Human Rights Commission menunjuk Professor John Ruggie untuk
menyelesaikan permasalahan mengenai vakumnya aturan tentang bisnis dan hak asasi manusia. Profesor John Ruggie dalam menjalankan tugasnya, meninggalkan pendekatan tradisional dalam melihat hubungan antara pemerintah dan sektor bisnis. Keputusan penting yang berhasil diformulasikan adalah sebuah laporan dengan judul “Guiding Principles on Business and Human Rights: Implementing the United Nations Protect, Respect and Remedy Framework”. Kemudian, pada tahun 2008, laporan ini diadopsi oleh United Nations Human Rights Council sebagai kerangka kerja perihal relasi antara sektor bisnis dan hak asasi manusia. Pada 21 Maret 2011, Profesor John Ruggie mengirimkan laporan perihal hak asasi manusia dan korporasi transnasional serta bentuk-bentuk perusahaan lainnya kepada United Nations Human Rights Council. SelanjutnyaUnited Nations Human Rights Council mengadopsi laporan tersebut dalam resolusi nomor A/HRC/Res/17/4 pada 6 Juli 2011 dengan judul United Nations Guiding Principles on Business and Human Rights.
United Nations Guiding Principles on Business and Human Rights
memberikan konsep tiga pilar kerangka kerja antara bisnis dan hak asasi manusia. Pilar pertama, mengatur bahwa negara mempunyai kewajiban untuk mencegah, menginvestigasi, memberikan ganti kerugian dan menghukum pelanggaran hak asasi manusia yang dilakukan oleh aktor privat. Pilar kedua, mengatur bahwa korporasi mempunyai tanggung
jawab untuk menghormati hak asasi manusia. Pilar ketiga mengatur bahwa pemerintah harus menyediakan akses pemulihan bagi para korban pelanggaran hak asasi manusia. Selain adanya United Nations Guiding Principles on Business and Human Rights, banyak inisiatif lain diajukan oleh berbagai pihak untuk melindungi hak asasi manusia dalam kaitannya dengan sektor bisnis, yaitu ISO 2600 dan Extractive Industry Transplant Initiative (EITI).
Fakta sudah berbicara bahwa keadaan vakum dalam pengaturan hubungan sektor bisnis dan hak asasi manusia berakibat pada pelanggaran- pelanggaran hak asasi manusia oleh sektor bisnis. Fenomena runtuhnya Rana Plaza di Bangladesh yang mengakibatkan jatuhnya 1.100 korban jiwa, kebakaran yang terjadi di Pabrik Kentex yang mengakibatkan jatuhnya 50 korban jiwa dan ditemukannya eksistensi pekerja paksa di industri perikanan Benjina, Maluku, menjadi bukti bahwa pengaturan mengenai kedudukan, hak dan kewajiban sektor bisnis dalam kaitannya dengan hak asasi manusia perlu diatur secara lebih lanjut.
Tantangan yang dihadapi oleh Indonesia di masa depan adalah pembentukan Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) pada akhir 2015. Hal ini menjadi tantangan karena dengan adanya MEA, peningkatan arus investasi asing, perdagangan, pariwisata, modal dan pelayanan asing akan masuk ke Indonesia. Peningkatan ini akan memicu adanya konflik antara masyarakat dan korporasi-korporasi. Pemerintah Indonesia harus bersiap-siap dalam menghadapi fenomena ini. Data dari Komisi Nasional Hak Asasi Manusia menjelaskan bahwa sampai saat ini, sudah ada 1.012 laporan dari masyarakat kepada Komisi Nasional Hak Asasi Manusia perihal dugaan pelanggaran hak asasi manusia oleh korporasi, salah satunya adalah Kasus Mesuji. Diduga investor asing dari Malaysia turut terlibat dalam kasus Mesuji. Sementara itu, berdasarkan data dari Konsorsium Pembaruan Agraria, jumlah konflik lahan yang terjadi di Indonesia mencapai 363 konflik yang terbagi dalam berbagai sektor.
Pelanggaran-pelanggaran hak asasi manusia yang diduga dilakukan oleh sektor bisnis, baik di level nasional maupun internasional memicu adanya kebutuhan mendesak bahwa negara-negara harus sepakat untuk menciptakan petunjuk pelaksanaan sektor bisnis dan hak asasi manusia di level regional maupun nasional. Pada level global, United Nations
Bagian I: Perkembangan Kontemporer Dinamika Isu Relasi Bisnis dan Hak Asasi Manusia Dalam Konteks Internasional dan Nasional
Guiding Principles on Business and Human Rights sudah diformulasikan. Oleh karena itu, pada level ASEAN diharapkan ada petunjuk pelaksanaan regional dan di level nasional diharapkan ada petunjuk pelaksanaan nasional perihal relasi antara sektor bisnis dan hak asasi manusia.
Namun perdebatan kemudian muncul, pembentukan petunjuk pelaksanaan pada level manakah yang harus didahulukan? Apakah pada level regional atau pada level nasional terlebih dahulu? Ifdhal Kasim selaku mantan Kepala Komisi Nasional Hak Asasi Manusia menjelaskan bahwa permasalahan serius dari implementasi pengaturan perihal sektor bisnis dan hak asasi manusia bersumber pada tidak adanya pemahaman yang sama mengenai konsep bisnis dan hak asasi manusia. Oleh karenanya, hal-hal penting yang harus dilakukan untuk menyikapi pemasalahan kompleks tersebut adalah:
1. Perlu terdapat formulasi rencana aksi nasional hak asasi manusia di Indonesia yang melibatkan bisnis dan hak asasi manusia; 2. Promosi kegiatan-kegiatan yang meningkatkan pemahaman
semua pemangku kepentingan tentang konsep bisnis dan hak asasi manusia;
3. Pemerintah harus menunjukkan kepemimpinan dalam imple- men tasi bisnis dan hak asasi manusia.
Aksi kolektif ini harus didukung bersama oleh Pemerintah, masyarakat sipil, para aktor bisnis, para anggota dewan, para akademisi dan media massa.
Pada titik ini, menjadi sangat startegis untuk mengkontekstualisasi- kan prinsip-prinsip Ruggie tentang tanggung jawab negara untuk melindungi, tanggung jawab korporasi untuk menghormati dan upaya memulihkan korban pelanggaran hak asasi manusia yang terdampak operasional korporasi. Konteks dan perspektif Indonesia perlu diulas dan dijadikan pijakan analisis sehingga logika dan argumentasi relevansi menjadi basis argumen dan justifikasi untuk menerapkan prinsip-prinsip tersebut Selain itu, kajian terhadap aspek-aspek hukum dapat membantu meningkatkan kesadaran akan arti penting peran dan fungsi korporasi dalam perlindungan hak asasi manusia di Indonesia saat ini. Penerapan norma hak asasi manusia dalam situasi baru tersebut digunakan untuk menjawab aspek kepastian, keadilan dan kemanfaatan norma hak asasi
manusia bagi korban pelanggaran hak asasi manusia yang dilakukan oleh pihak non-negara dan non-individu, yaitu korporasi atau perusahaan. Penerapan ini diharapkan dapat diperoleh pola, mekanisme dan pelaksanaan-pelaksanaan prinsip-prinsip HAM yang berlaku yang utamanya ditujukan bagi para korban (to the best practices).
Prinsip Ruggie mewajibkan para korban untuk memperoleh bantuan dan hak-hak dasar berdasarkan norma hak asasi manusia internasional berdasakan prinsip kemanusiaan. Namun demikian, bagaimana prosedur dan mekanisme dalam penentuan pihak atau siapa sajakah yang berkewajiban memberikan bantuan kemanusiaan tidak ditentukan secara pasti dan spesifik berdasatkan prinsip-prinsip yang dikembangkan oleh Jhon Ruggie. Dengan demikian, ruang perdebatan hukum tercipta dalam skema tersebut, khususnya dalam sistem hukum negara-negara berkembang dan negara-negara miskin.
B A B I I