• Tidak ada hasil yang ditemukan

DAMPAK PERUBAHAN PRANATA SOSIAL PERTANIAN TERHADAP KESEJAHTERAAN PETAN

Pranata sosial pertanian baru yang kini berlaku di atas lahan garapan eks- HGU PT. Nagasawit telah membuat banyak pihak tersingkir. Petani penggarap, istri petani, buruh tani, bandar nanas, anak-anak telah kehilangan sumber pendapatannya. Kondisi baru yang harus dihadapi oleh mereka yang tersingkir secara perlahan tapi pasti telah mengubah kehidupan mereka. Layaknya efek domino, perubahan pranata akan mengubah kehidupan seseorang. Perubahan pada kehidupan akan berujung pada perubahan tingkat kesejahteraan yang dirasakan oleh mereka yang tersingkir. Kesejahteraan adalah hal penting dalam kehidupan seseorang atau dapat dikatakan kondisi yang harus dimiliki oleh seseorang. Kesejahteraan yang dibicarakan di sini bukan hanya kesejahteraan yang dirasakan secara materi, namun juga kesejahteraan yang dirasakan secara moril atau batin.

Dampak dari perubahan pranata sosial pertanian ini telah menyebabkan ratusan orang kehilangan mata pencahariannya. Keadaan tersebut membuat penggarap berusaha mencari pekerjaan lain. Tidak hanya hal itu saja, perubahan- perubahan yang terjadi juga secara langsung mengubah kesempatan bekerja masyarakat baik itu di sektor pertanian maupun non-pertanian. Akibat perubahan dalam sistem mata pencaharian di Desa Kumpay, maka tingkat kesejahteran masyarakat Kumpay, khususnya petani penggarap dan keluarganya mengalami perubahan. Selain mengubah sistem mata pencaharian yang berujung pada perubahan tingkat kesejahteraan, perubahan pranata sosial pertanian juga menyebabkan hubungan antar warga mengalami perubahan.

Perubahan Hubungan Antar Warga: Konsekuensi yang Terbentuk Akibat Perubahan Pranata Sosial Pertanian dan Sistem Mata Pencaharian

Pranata usaha tani nanas telah membuat kehidupan harmonis tercipta di dalam masyarakat. Telah dijelaskan dalam bab sebelumnya bahwa petani penggarap dapat bekerja menjadi buruh tani di lahan garapan petani lainnya. Hal tersebut juga berlaku bagi istri penggarap yang bekerja sebagai buruh tani, tidak hanya bekerja di lahan garapan suaminya, namun juga bekerja di lahan garapan milik orang lain. Tak hanya itu saja, penggarap yang menjadi bandar nanas juga memiliki banyak hubungan baik kepada petani penggarap. Hal tersebut membuat terciptanya kondisi kenyamanan dalam berhubungan dengan terciptanya jejaring- jejaring kerja. Gotong royong pun menjadi hal yang biasa dilakukan antara sesama penggarap ketika mereka membutuhkan sesuatu yang harus dikerjakan bersama-sama, seperti perbaikan jalan menuju lahan garapan.

Selain jejaring kerja dan gotong royong, hal lain yang terbentuk adalah kepercayaan. Saat itu seorang bandar nanas, yang merupakan seseorang yang dianggap memiliki kemampuan ekonomi lebih, menjadi seseorang yang dapat diandalkan untuk memberikan hutang bagi para penggarap. Bandar nanas dapat memberikan pinjaman bagi mereka yang memiliki kebutuhan mendesak, seperti untuk modal, uang sekolah, kesehatan, atau renovasi rumah. Saat itu bandar nanas tidak merasa takut untuk memberikan pinjaman karena meyakini bahwa petani

penggarap yang meminjam akan mengembalikan uang mereka. Keyakinan itu didapat karena bandar nanas mengetahui bahwa seorang penggarap akan mampu mengembalikan karena pekerjaan usaha tani nanas menjanjikan secara finansial. Bandar nanas mengetahui dengan pasti penggarap akan mengembalikan uang pinjaman dengan uang yang didapat dari hasil panen.

Namun, kemudahan untuk meminjam dan memberi pinjaman tidak lagi terasa saat ini. Beberapa orang responden mengakui saat ini mereka sulit memberikan pinjaman atau meminjam sejumlah uang. Pengakuan tersebut diungkapkan responden yang merupakan mantan penggarap yang juga menjadi bandar nanas, Bapak SN. Bapak SN menyatakan bahwa meskipun ia saat ini dapat dikatakan memiliki uang yang lebih daripada yang lain, namun ia tidak berani memberikan pinjaman karena tidak percaya yang meminjam akan membayar hutangnya. Keadaan tersebut terasa masuk akal karena ketidakpercayaan itu tumbuh akibat mereka sama-sama mengetahui bahwa kini mereka tidak memiliki pekerjaan tetap. Tidak memiliki pekerjaan berarti tidak ada jaminan bagi mereka dapat melunasi pinjaman dengan lancar seperti dulu. Alasan lain adalah mereka menyadari bahwa sesama mereka, tetangga-tetangga mereka juga sama-sama susah akibat tidak lagi menjadi penggarap. Hilangnya kepercayaan antar warga yang telah dijelaskan tersebut lebih disebabkan oleh perubahan sistem mata pencaharian yang telah terjadi di masyarakat.

“Sekarang mah mau cari pinjeman ke tetangga aja susah. Ya gimana lagi? Pada ga percaya bisa ngelunasin utang. Orang kerjaan aja juga gitu ga jelas. Lagian sama-sama tau aja semua penggarap disini pada susah juga.”–Pak DD.

“Kalo dulu saya suka minjemin uang ke penggarap, tapi sekarang mah susah saya minjeminnya. Ke orang-orang tertentu aja yang saya percaya. Takutnya mah pada ga bisa balikin. Kalo dulu kan percaya soalnya mereka pada kerja. Lagian sekarang juga kita sama-sama susah sengsara, yang suka ngasih pinjeman juga mending buat kebutuhan sehari-hari.”–Bapak SN

Selain rasa ketidakpercayaan yang cenderung memudar, hal lain yang dapat terindikasi adalah munculnya rasa saling curiga antar warga. Kecurigaan ini terbentuk seiring dengan munculnya kasus-kasus warga yang kehilangan benda- benda berharga di rumahnya. Walaupun yang kehilangan tidak menuduh secara langsung, namun ada indikasi di antara mereka curiga bahwa ada warga di dalam desa yang melakukannya. Mereka menduga bahwa masalah kriminalitas ini ada kaitannya dengan kondisi kesejahteraan warga yang terus menurun setelah peristiwa pembabatan.

“Sekarang suka banyak warga yang ngelapor keilangan barang. Suka ada yang mikir itu kerjaan orang dalem sini. Itulah akibat hilangnya pendapatan, kasus kriminalitas jadi muncul. Orang yang ngambil mungkin butuh uang buat

kebutuhan hidup.”–Bapak MH

Kecemburuan sosial juga menjadi hal yang terindikasi selanjutnya. Kecemburuan sosial ini terjadi di antara penggarap yang tersingkir dengan penggarap yang kini masih bekerja menjadi buruh kelapa sawit. Mereka

menganggap bahwa penggarap yang kini bekerja untuk PT. Nagasawit sama saja mengkhianati Kumpay. Kecemburuan jelas terjadi disini karena tidak semua penggarap mendapatkan pekerjaan di lahan kelapa sawit. Hanya segelintir orang saja yang dianggap memiliki hubungan kerabat dengan karyawan PT. Nagasawit yang dapat bekerja.

“Suka sebel liat orang yang berangkat ke lahan sawit. Mereka mah enak bisa kerja. Lah yang lain bapak-bapaknya cuma jadi pengangguran.”–Pak YT

.

“Itu mah KKN orang yang masih kerja sama PT. Yang kerja juga pasti punya sodara disana. Harusnya mah orang PT bisa adil kalo mau kasih kerjaan

juga kasih ke semua orang. Sakit hati kalo inget itu mah.”–Bapak AI

Dari semua perubahan-perubahan hubungan sosial masyarakat tersebut, yang paling terasa perubahannya adalah adanya ketidakselarasan hubungan antara LSM pejuang nasib penggarap dengan pemerintah desa. Ketidakselarasan ini terasa dengan berbedanya keterangan mengenai informasi yang disampaikan oleh LSM dengan pemerintah desa. Kondisi ini menyebabkan penggarap yang dekat dengan lingkungan pemerintah desa menjadi seperti kurang menyukai keberadaan LSM. Begitu pun sebaliknya dengan penggarap yang dekat dengan lingkungan LSM.

Kondisi perubahan hubungan antar warga telah membuat warga merasa tidak bahagia. Hal tersebut dapat terjadi karena mereka tidak lagi memiliki hubungan yang harmonis dengan warga lain. Antar warga saling curiga, saling cemburu, hingga terpecah menjadi 2 kubu merupakan hal yang tidak diinginkan oleh warga Kumpay. Keadaan tersebut membuat mereka menjadi tidak nyaman jika harus berinteraksi satu dengan yang lainnya. Hal itulah yang membuat mereka tidak sejahtera secara moril. Kesejahteraan moril yang dibahas pada bagian ini adalah kesejahteraan yang dirasakan secara moril yang berkaitan dengan interaksi sosial antar manusia.

Perubahan Sistem Mata Pencaharian: Perubahan Langsung Akibat Perubahan Pranata Sosial Pertanian

Dampak sistem mata pencaharian adalah perubahan yang terjadi pada sistem mata pencaharian responden, yakni petani penggarap lahan eks-HGU PT. Nagasawit. Dampak sistem mata pencaharian dikategorikan menjadi dua, yakni perubahan pada kesempatan kerja dan perubahan pada pola pekerjaan. Berikut akan disajikan hasil dari analisis data dari masing-masing ukuran variabel.

Perubahan Kesempatan Kerja Pertanian dan Non-Pertanian

Dampak pada kesempatan kerja dapat didefinisikan sebagai perubahan yang terjadi pada kesempatan responden untuk bekerja di wilayah Kumpay saat ini dibandingkan dengan saat sebelum terjadinya konversi tanaman komoditi. Kesempatan kerja ini berupa kesempatan kerja di bidang pertanian dan non- pertanian. Ukuran yang digunakan adalah persepsi dari masing-masing responden mengenai kesempatan kerja. Variabel ini terdiri dari satu pertanyaan dengan 5

pilihan jawaban yaitu, sangat sulit, sulit, netral (tidak sulit dan tidak mudah), mudah, dan sangat mudah mengenai kesempatan bekerja di sektor pertanian dan non-pertanian. Secara lengkapnya dapat dilihat pada lampiran 4.

Berdasarkan hasil pengumpulan dan olah data, diketahui bahwa terjadi perbedaan kesempatan kerja pada saat ini dibandingkan saat sebelum terjadinya konversi tanaman komoditi, baik itu pada bidang pertanian dan non-pertanian. Untuk mengetahui perbedaan tersebut dapat dilihat pada Gambar 7 dan 8.

Gambar 7 Kesempatan kerja pertanian dan non-pertanian sebelum konversi tanaman komoditi

Pada Gambar 7, dapat dilihat bahwa secara keseluruhan responden menganggap mencari pekerjaan di bidang pertanian sebelum konversi tanaman komoditi sangat mudah. Hal tersebut ditunjukan pada gambar bahwa sebanyak 30 responden atau seluruhnya kompak menjawab pekerjaan di bidang pertanian saat itu mudah didapat atau dicari. Pada kesempatan pekerjaan di sektor non-pertanian, mayoritas responden menjawab netral atau menganggap tidak sulit dan tidak mudah dalam mencari pekerjaan sektor non-pertanian. Responden yang menjawab pada pilihan jawaban netral sebanyak 19 orang atau sekitar 63.33% dari jumlah responden. Sedangkan sisanya, yakni sebanyak 10 orang responden menjawab mudah dan 1 orang menjawab sangat mudah. Hal yang dapat disimpulkan dari gambar tersebut adalah pada saat sebelum konversi tanaman komoditi, responden menganggap kesempatan untuk bekerja di sektor pertanian termasuk ke dalam kategori yang mudah. Sedangkan mendapatkan pekerjaan di sektor non-pertanian saat itu dianggap biasa-biasa aja, tidak mudah namun tidak sulit juga.

“Dulu mah kerja di pertanian gampang nyarinya. Masyarakat Kumpay sini kan hampir semuanya ngegarap. Yang ga dapet lahan garapan juga bisa jadi

buruh. Waktu itu juga masih banyak masyarakat yang punya lahan pertanian

selain lahan garapan.”–Ibu RH

“Dulu bapak kan kerja juga jadi kuli bangunan. Dulu mah ga kaya sekarang banyak saingan. Dulu kan warga pada makmur jadi banyak yang benerin atau bikin rumah jadi untung juga jadi kuli bangunan. Ga kaya sekarang jadi kuli bangunan juga percuma udah jarang orang Kumpay sini yang bangun rumah. Teu boga duit (tidak punya uang-red). –Bapak OC

Gambar 8 Kesempatan kerja pertanian dan non-pertanian setelah konversi tanaman komoditi

Pada gambar di atas, diketahui bahwa persepsi responden dalam mencari pekerjaan di bidang pertanian setelah terjadinya konversi tanaman komoditi sangat sulit. Ditunjukan pada gambar, sebanyak 26 responden atau lebih dari setengah dari jumlah seluruh responden memberikan jawaban sangat sulit. Sedangkan sisanya yakni sebanyak 3 orang menjawab netral dan 1 orang menjawab sulit. Sementara itu, ketika ditanyakan mengenai kesempatan kerja di sektor non-pertanian, jawaban terbanyak yang dipilih adalah sangat sulit. Sisanya sebanyak 9 orang menjawab netral dan 8 orang menjawab sulit. Berdasarkan gambar tersebut diketahui bahwa menurut sebagian besar responden, saat ini mencari pekerjaan di bidang pertanian dan non-pertanian termasuk ke dalam kategori sulit.

“Kerjaan jadi apa aja jaman sekarang mah susah. Liat aja sepanjang jalan sini pos-pos tukang ojek sepi. Mau cari kerja dimana lagi, pabrik ga ada, apa-apa

“Kadang kerja jadi kuli bangunan, buruh, ngambil rumput, ga tentu. Apa aja dikerjain. Kerja serabutan lah. Tapi tetep aja namanya juga serabutan ga

tentu tiap hari kerja. Kadang minggu ini kerja, kadang minggu depan ga kerja.”

Bapak OC.

“Suami sekarang mah mancing aja neng. Ga ada kerjaan. Mau kerja jadi petani juga ga punya lahan ibu mah. Kalo mau kerja di lahan punya orang aja susah. Jarang-jarang ada yang nyuruh buat buburuh. Ga tentu gitu neng.” –Ibu KT

“Sekarang kerjaan orang-orang yang dulu jadi penggarap ga tentu. Banyak

yang ga kerja. Yang masih kerja jadi petani atau buruh tani mah paling satu dua orang, bisa diitung pake jari. Yang bisa kerja jadi petani atau buruh gitu palingan orang yang punya lahan atau punya saudara atau tetangga deketnya masih punya lahan (lahan pertanian-red).”–Pak PD

“Jangankan kerja jadi petani? Cari rumput buat makan ternak aja susah

sekarang mah. Kudu jauh kesana cari rumput. Kalo cari di bekas lahan garapan pada ga doyan ternaknya. Udah dikasih obat tanahnya sama pihak sana. Jadi

ternak teh kurang suka.”–Bapak LL

Jika kedua gambar tersebut dibandingkan, maka terlihat bahwa terdapat perbedaan yang terlihat jelas. Jika pada sebelum konversi tanaman komoditi mencari pekerjaan di sektor pertanian termasuk ke dalam kategori mudah. Sementara itu menurut mayoritas responden menyatakan kesempatan bekerja di luar pertanian adalah netral, namun kondisi tersebut tidak berlaku dengan keadaan saat ini. Kesempatan bekerja luar pertanian yang dahulu dikatakan netral, kini mayoritas responden menjawab sangat sulit. Masalah tersebut juga terjadi pada kesempatan kerja di sektor pertanian. Setelah konversi terjadi, mayoritas responden menganggap mencari pekerjaan di kedua sektor tersebut menjadi sulit. Orang-orang yang tersingkir dari lahan garapan mau tidak mau harus mencari pekerjaan lain, entah itu di sektor pertanian atau non-pertanian. Celakanya, saat ini sektor pertanian menyerap tenaga kerja yang sedikit. Sempitnya lahan pertanian yang dimiliki atau dikuasai masyarakat Kumpay saat ini menjadi faktor yang berperan penting dalam menciptakan kondisi ini. Ketika sektor pertanian tidak ada lagi, maka sektor non-pertanian menjadi pilihan satu-satunya. Sedangkan ketika mereka ingin mencari pekerjaan di sektor non-pertanian, mereka juga mengalami kesulitan karena ragam pekerjaan non-pertanian yang sedikit ditambah banyaknya para pesaing. Minimnya keahlian maupun pengetahuan yang dimiliki oleh responden juga menjadi hambatan dalam sulitnya mencari pekerjaan di luar pertanian.

“Yah sekarang mah mau kerja apa. Mau kerja jadi petani lahan udah diambil, terus mau garap lahan orang juga ga ada. Jarang disini mah warga yang masih punya lahan pertanian. Mau kerja jadi tukang ojek misalnya, motor

Pola Pekerjaan Sebelum dan Sesudah Konversi Tanaman Komoditi

Dampak pada pola pekerjaan dapat didefinisikan sebagai perubahan dari pekerjaan-pekerjaan yang kini dilakukan oleh para responden. Semenjak konversi tanaman komoditi, semua responden tidak lagi bekerja sebagai petani penggarap. Di antara mereka memang masih ada yang bekerja di bidang pertanian, misalnya sebagai petani pemilik atau buruh tani. Namun kebanyakan responden bekerja di luar sektor pertanian, misalnya sebagai kuli bangunan, tukang ojek, peternak, pedagang, dan lain-lain. Bahkan di antara mereka ada yang kini tidak bekerja atau menganggur. Perubahan pola pekerjaan responden dapat dilihat pada Gambar 9.

Gambar 9 Pola pekerjaan responden sebelum dan sesudah konversi tanaman komoditi

Sebelum konversi tanaman komoditi, seluruh responden bekerja sebagai petani penggarap. Sebanyak 1 orang dari responden pada saat itu juga bekerja di luar sektor pertanian, seperti yang dilakukan oleh Bapak SN, selain sebagai peternak, beliau juga merupakan pedagang nanas. Di antara responden juga ada yang mencari penghasilan tambahan dengan menjadi buruh tani di lahan garapan milik orang lain. Kenyataan tersebut berbanding terbalik dengan sesudah konversi tanaman komoditi. Pola pekerjaan masyarakat berubah secara drastis. Hal tersebut ditandai dengan menurunnya jumlah responden yang bekerja sebagai petani atau buruh tani. Jumlah responden yang bekerja di sektor pertanian kini hanya tersisa 5 orang saja. Mayoritas pekerjaan responden saat ini adalah sebagai pekerja di sektor pertanian yang tidak menghasilkan gaji tetap. Pekerjaan yang termasuk ke dalam kategori ini misalnya tukang ojek, kuli bangunan, pedagang, dan sebagainya. Semua pekerjaan tersebut memberikan pemasukan bagi responden

setiap hari atau beberapa hari sekali secara rutin, namun dengan jumlah yang tidak tetap. Responden yang termasuk ke dalam kategori ini berjumlah 14 orang. Berdasarkan hal tersebut, pekerjaan dalam kategori ini menjadi mayoritas pekerjaan dari responden saat ini. Selanjutnya, sebanyak 8 orang dari responden saat ini tidak bekerja atau bekerja serabutan. Responden dikatakan bekerja serabutan apabila ia tidak memiliki pekerjaan rutin yang dilakukan setelah konversi tanaman komoditi. Kondisi ini seperti yang dialami oleh Bapak KN, dimana terkadang ia bekerja sebagai buruh ngored atau pencabut rumput. Jika pekerjaan sebagai buruh ngored tidak ada, maka beliau akan bekerja sebagai tukang perbaikan jalan umum8. Kemudian, sisa responden sebanyak 2 orang bekerja di sektor non-pertanian yang menghasilkan gaji tetap.

Berdasarkan Gambar 9, dapat disimpulkan bahwa terdapat perbedaan yang signifikan antara pola pekerjaan responden sebelum dan sesudah konversi tanaman komoditi. Dahulu seluruh responden hanya bekerja di sektor pertanian, yakni sebagai petani penggarap, dan hanya sedikit yang juga bekerja di sektor non-pertanian. Saat ini pola pekerjaan responden menjadi beragam. Responden yang saat ini masih bekerja di sektor pertanian disebabkan masih memiliki lahan pertanian atau berkerabat dekat dengan orang yang memiliki lahan pertanian. Sedangkan, sisanya tidak memiliki atau menguasai lahan pertanian. Hal tersebut membuat mereka tidak tahu harus bekerja sebagai apa atau memilih pekerjaan apapun dengan prinsip „asal bisa menghasilkan uang‟.

“Kalo lagi ga ada kerjaan disuruh-suruh orang gitu ya nungguin jalanan

yang rusak aja. Suka ada yang ngasih sumbangan, sebagian buat benerin jalan,

sebagian buat upah saya benerin itu jalan.”–Bapak KN.

“Mau kerja di luar bidang pertanian juga susah. Jadi tukang ojek juga sedikit penghasilannya. Ga seberapalah. Udah jarang yang ngojek. Kan biasanya

udah pada punya motor.”–Bapak SO.

Berubahnya Tingkat Kesejahteraan Akibat Perubahan Pranata Sosial Pertanian

Kehidupan sangat erat kaitannya dengan kesejahteraan. Pada umumnya kesejahteraan dijadikan oleh manusia sebagai tujuan atau pencapaian hidup mereka. Beragam cara dilakukan oleh manusia agar mencapai kesejahteraan secara hakiki, yaitu kesejahteraan moril dan materiil. Dibutuhkan waktu panjang agar kehidupan yang sejahtera dapat tercapai. Kesejahteraan yang dirasakan dapat ditentukan dari mata pencaharian yang mereka lakukan. Mata pencaharian menentukan jumlah penerimaan yang akan mereka dapatkan. Selain itu, jenis mata pencaharian juga menentukan jaminan keamanan dalam kehidupan mereka, sehingga mereka dapat merasakan kesejahteraan moril.

Seperti yang telah sering disebutkan di atas, konversi tanaman komoditi pada akhirnya akan menyebabkan perubahan kesejahteraan. Awal dari perjalanan

8

Maksud pekerjaan ini adalah responden berdiri di tengah jalan umum yang rusak, kemudian meminta sumbangan kepada pengguna jalan, lalu memperbaiki jalan. Sebagian dari uang sumbangan tersebut digunakan responden sebagai upah memperbaiki jalan.

tersebut adalah permasalahan perampasan lahan karena klaim PT. Nagasawit atas lahan yang telah bertahun-tahun digarap 700 petani Kumpay. Kemudian, sengketa lahan tersebut berujung pada kekalahan para penggarap yang ditandai dengan pengambilalihan lahan dan ditanami oleh kelapa sawit. Kelapa sawit tanaman yang diharapkan dapat menjadi sumber penghidupan baru, ternyata tidak banyak menyerap tenaga kerja. Akibatnya petani penggarap yang berjumlah ratusan itu pun tersingkir dan mencari beragam pekerjaan baru. Namun pekerjaan baru itu tidak menjanjikan untuk kehidupan mereka. Sehingga pada akhirnya, tingkat kesejahteraan penggarap berubah.

Untuk mengetahui hubungan antara perubahan sistem mata pencaharian dengan tingkat kesejahteraan, dilakukan secara 7 tahap. Tahap pertama sampai ketiga adalah tahapan pada variabel perubahan sistem mata pencaharian. Tahap pertama adalah menjumlahkan skor pertanyaan kesempatan kerja di sektor pertanian dan non-pertanian sesudah terjadinya konversi tanaman komoditi. Kemudian, skor tersebut kembali dijumlahkan dengan pertanyaan pola pekerjaan responden saat ini. Jika ketiga pertanyaan tersebut dijumlahkan maka akan didapatkan skor tertinggi sebesar 15 dan terendah sebesar 3. Tahap kedua adalah mengkategorikan skor dari penjumlahan ketiga pertanyaan tersebut menjadi 3 kategori, yakni negatif (skor  6), netral (skor 711), dan tinggi (skor  12). Yang dimaksud netral apabila perubahan sistem mata pencaharian tidak negatif dan tidak positif. Tahap ketiga adalah menentukan responden yang termasuk ke dalam tiga kategori tersebut berdasarkan jawaban yang mereka pilih.

Tahap keempat sampai keenam adalah tahapan pada variabel tingkat kesejahteraan. Tahap ini secara garis besar seperti pada tahapan variabel perubahan sistem mata pencaharian. Tahap keempat menjumlahkan skor pertanyaan kesejahteraan moril responden sesudah konversi, yang terdiri dari 2 pertanyaan, dan pertanyaan kesejahteraan materiil responden sesudah konversi, yang terdiri dari 5 pertanyaan. Dari ketujuh pertanyaan tersebut didapatkan skor tertinggi sebesar 35 dan terendah sebesar 7. Tahap kelima adalah mengkategorikan skor tertinggi-terendah menjadi 3 kategori, yaitu rendah,