• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kumpay adalah sebuah desa yang terletak di Kecamatan Jalancagak, Kabupaten Subang, Provinsi Jawa Barat. Desa ini memiliki luas sebesar 729 hektar, yang mayoritas penggunaan lahan terbesar adalah lahan perkebunan, yaitu sebesar 49.2% dari total luas desa atau sebesar 359 368 hektar. Desa Kumpay berbatasan dengan Desa Cirangkong pada sebelah utara, Desa Kasomalang Kulon di sebelah selatan, Desa Bojong Loa disebelah timur, dan Desa Tambak Mekar di sebelah barat. Desa ini terletak tak jauh dari jalan raya yang menjadi terkenal menjadi alternatif bagi masyarakat yang ingin ke Bandung dan Purwakarta, yakni Jalan raya Jalancagak. Selain itu, secara langsung Desa Kumpay dilintasi oleh jalan yang menjadi alternatif pengguna jalan yang ingin menuju ke daerah Sumedang. Dengan dilintasi oleh kedua jalan yang penting ini, maka dapat dikatakan masyarakat Kumpay memiliki mobilitas yang tinggi. Hal tersebut menyebabkan masyarakat desa sudah pasti memiliki dinamika yang tinggi.

Desa Kumpay memiliki jumlah penduduk sebesar 3 821 jiwa dengan proporsi jumlah penduduk perempuan dan laki-laki dapat dilihat pada Gambar 3. Mayoritas masyarakat Kumpay bermatapencaharian sebagai petani dan buruh tani sebesar 20% dari jumlah populasi atau 793 jiwa. Sisanya tersebar pada pekerjaan di sektor non-pertanian, seperti pedagang keliling, pensiunan PNS, pembantu rumah tangga, pengusaha kecil dan menengah, karyawan swasta, dan sebagainya.

Mengenai masalah pendidikan, mayoritas warga Kumpay memiliki pendidikan terakhir Sekolah Dasar (SD). Hal ini disebabkan mayoritas penduduk Kumpay adalah warga yang telah berumur di atas usia 30 tahun atau generasi tua, dimana pada zaman dahulu Desa Kumpay memiliki fasilitas pendidikan yang terbatas dan kondisi kesejahteraan yang kurang memungkinkan untuk bersekolah. Namun saat ini, Desa Kumpay dapat dikatakan memiliki fasilitas pendidik yang baik. Di desa ini terdapat fasilitas Pendidikan Anak Usia Dasar (PAUD), Taman Kanak-kanak (TK), dan Sekolah Dasar (2 buah). Selain itu, fasilitas jalan desa juga dikatakan memiliki kondisi yang baik, sehingga memudahkan warga desa untuk melakukan mobilisasi.

Kondisi Desa Kumpay Sebelum Terjadinya Peristiwa Pembabatan

Tahun 1998 hingga tahun 2007 merupakan tahun-tahun terbaik bagi Desa Kumpay dan masyarakatnya. Pada rentang tahun tersebut, masyarakat Kumpay banyak yang menjadi petani penggarap pada lahan yang disebut masyarakat sebagai lahan ex-HGU PT. Nagasawit. Puncak kejayaan untuk masyarakat Kumpay, khusunya petani penggarap adalah tahun 2003 hingga tahun 2007. Tahun 1998 hingga tahun 2003 masyarakat merasa sejahtera karena memiliki lahan garapan yang artinya mereka memiliki pekerjaan dan pemasukan tetap. Sedangkan ketika tahun 2003 hingga 2007, Kumpay benar-benar mencapai masa keemasannya dimana mayoritas petani penggarap menanam tanaman nanas yang membuat tanaman nanas menjadi tanaman khas daerah Subang dengan bukti dibangunnya tugu nanas yang letaknya tak jauh dari jalan raya Jalancagak.

Gambar 4 Tugu nanas Subang

Majunya perekonomian desa dan masyarakat dibuktikan dengan kondisi fisik dari bangunan-bangunan rumah masyarakat desa, khususnya yang menjadi petani penggarap, serta berbagai kepemilikan barang-barang berharga yang dimiliki. Hal tersebut seperti yang diceritakan oleh seorang informan, yakni Bapak MH bahwa “pas lagi masih pada garap nanas petani makmur semua. Itu sekarang rumah-rumah keliatan bagus ya sisa-sisa dari jaman dulu. Rumah bagus teh saksi dari kejayaan petani. Dulu juga mobil-mobil diparkir sepanjang jalan yang di depan sini.”. Hal serupa juga diungkapkan oleh Bapak KR, “jaman masih garap lahan PT (PT. Nagasawit-red) setiap rumah minimal punya motor, ada yang punya mobil tiga. Rumah juga pada dibangun bagus, ditingkat.”

Sebelum terjadinya konversi tanaman komoditi atau yang disebut oleh masyarakat setempat sebagai peristiwa pembabadan, masyarakat merasakan apa yang dinamakan kesejahteraan. Selain kesejahteraan fisik yang dirasakan, dalam artian kepemilikan barang-barang berharga dan fasilitas yang bagus, masyarakat juga merasakan kesejahteraan yang dirasakan secara batin. Perasaan yang dirasakan oleh masyarakat ini disebabkan perasaan aman dan nyaman yang dirasakan oleh masyarakat atas hidupnya. Ketika menjadi petani penggarap,

mereka merasakan keamanan dari segi pekerjaan termasuk penghasilan yang didapatkan. Selain itu, sebelum peristiwa pembabadan, keluarga penggarap nanas sering melakukan jalan-jalan untuk melepaskan penat. Kehidupan bermasyarakat juga rukun dan aman, terjalin kehidupan yang harmonis antar sesama.

Bukti lain yang menunjukkan betapa sejahtera masyarakat Kumpay adalah banyaknya warung-warung kecil yang dibuka yang terlihat sepanjang jalan ataupun yang berada di dalam (di dalam gang-gang). Akibat adanya pendapatan lebih yang dapat disisihkan, maka banyak warga yang membuka usaha warung kelontong atau warung makan untuk tambahan pemasukan sehari-hari.

“Dulu mah banyak warung yang buka di rumah-rumah. Sepanjang jalan ini

aja udah ga keitung warung yang buka.” –Ibu ON

Kondisi Desa Kumpay Setalah Terjadinya Peristiwa Pembabatan

Pada pertengahan tahun 2007, merupakan titik balik bagi Desa Kumpay terutama masyarakat yang menjadi petani penggarap pada lahan eks-HGU PT. Nagasawit. Saat itu terjadi peristiwa yang tidak akan pernah dilupakan oleh masyakarat, yakni peristiwa yang disebut oleh masyarakat Kumpay sebagai peristiwa pembabadan. Ujung dari peristiwa ini adalah bergantinya komoditi pada lahan tersebut yang sebelumnya nanas menjadi kelapa sawit.

Setelah peristiwa pembabatan dan bergantinya komoditi di atas lahan tersebut, kehidupan masyarakat mengalami perubahan besar-besaran. Komoditi kelapa sawit yang diharapkan meningkatkan kualitas kehidupan penggarap karena nilai ekonomis yang lebih tinggi dari nanas, ternyata malah membuat hampir seluruh penggarap kehilangan pekerjaan sebagai petani. Petani penggarap dan keluarganya menjadi satu-satunya pihak yang tersingkir dalam usaha tani di lahan sengketa tersebut. Dampak dari hal tersebut adalah berubahnya kehidupan masyarakat, khususnya warga yang menjadi petani Perlahan tapi pasti kehidupan petani penggarap mengalami perubahan ke arah yang negatif. Kehilangan lahan garapan dan mata pencaharian membuat tatanan kehidupan yang semula harmonis menjadi hilang.

“Kalo mau ketemu bapak-bapak pagi-pagi mah banyakan ada. Orang

sekarang bapak-bapaknya pada ongkang-ongkang kaki. Ongkang-ongkang kaki bukan berarti duit dateng sendiri. Maksudnya teh pada jadi pengangguran ga tau mau kerja apa lagi.”–Bapak MH

Saat ini jelas terlihat bagaimana perubahan dan dampak dari peristiwa pembabatan pada desa dan masyarakat Kumpay. Rumah-rumah yang terlihat bagus dari luar adalah saksi bisu atas kejayaan yang pernah dirasakan. Rumah- rumah penggarap memang bagus terlihat dari luar, tetapi ketika masuk ke dalamnya, maka jelas bagaimana sengsaranya kehidupan penggarap mereka saat ini. Rumah-rumah tersebut sudah rusak disana-sini, bukti bahwa mereka tidak lagi memiliki dana untuk memperbaiki rumah. Pada beberapa rumah terlihat bekas garasi mobil yang kini tidak ada isinya lagi. Begitupun dengan kandang-kandang ternak yang letaknya tak jauh dari rumah, kini sepi tanpa adanya suara-suara

binatang ternak. Garasi dan kandang adalah sisa-sisa kejayaan yang kini diterima oleh petani penggarap. Selain itu, saat ini banyak warung-warung kecil yang gulung tikar akibat ketiadaan modal dari pemilik yang dahulunya adalah penggarap.

”Kalo liat-liat di rumah warga bisa keliatan kan kalo ada yang punya

garasi tapi ga punya mobil. Ada yang punya kandang kambing tapi ga ada kambingnya. Semua udah dijual sama petani. Apalagi pas masa transisi dari abis pembabatan. Itu keadaan bener-bener susah. Petani banyak yang bingung mesti

jual apa lagi.”–Bapak DD

“Udah keliatan sekarang mah, warung-warung pada hampir-hampir

bangkrut. Ga ada yang beli, siapa lagi yang mau beli. Kalo dulu mah pada suka

nongkrong di warung kalo abis pada cape mikul nanas.”–Bapak KK

Di Desa Kumpay sendiri saat ini yang sering terlihat adalah banyaknya laki- laki atau bapak-bapak yang sering nongkrong-nongkrong di pinggir jalan. Selain itu, setelah peristiwa pembabatan, mulai bermunculan pos-pos tukang ojek. Menurut warga setempat, petani penggarap banyak yang kini beralih menjadi tukang ojek. Hal lain yang dapat ditemui adalah banyaknya kuli bangunan yang sedang bekerja. Menurut warga, mereka adalah mantan petani penggarap yang kehilangan lahan garapannya.

“Yang jadi tukang ojek sama kuli bangunan emang banyak. Tapi kan karena saking banyaknya yang jadi tukang ojek juga susah, banyak saingan.

Ditambah lagi yang jadi penumpang juga jarang.”–Bapak SN

“Saya emang jadi kuli bangunan. Tapi ya kan ga tiap hari orang-orang

bangun rumah. Jarang-jarang aja, itu aja kalo ada yang ngajak.”–Bapak OC

Arti Penting Lahan Garapan dan Usaha Tani Nanas Madu Bagi Masyarakat

Bekerja menjadi petani adalah anugerah besar bagi seluruh petani penggarap di Desa Kumpay. Meskipun lahan yang digarap bukan lahan milik mereka, namun mereka merasa sangat bahagia pada saat itu. Dengan mengelola sebuah lahan garapan, petani bisa menghidupi keluarganya, mengajak jalan-jalan keluarganya, menyekolahkan anaknya, dan membahagiakan keluarganya. Menggarap lahan menjadi hal yang patut disyukuri karena saat itu di antara mereka jarang yang memiliki lahan.

Ketika menerima keputusan bahwa masyarakat Kumpay dapat memanfaatkan lahan tidur HGU PT. Nagasawit, mereka sangat senang. Sayangnya tidak semua warga mendapatkan kesempatan untuk menggarap lahan tersebut. Hal tersebut disebabkan saat itu tidak ada peraturan yang mengatur luas lahan yang dapat digarap. Istilah “siapa cepat dia dapat” berlaku pada waktu itu. Masyarakat yang memiliki tenaga kerja keluarga yang banyak dan modal yang banyak sehingga dapat memberi upah orang untuk bekerja, maka dapat dipastikan memiliki luas lahan garapan yang besar. Luas lahan garap yang digarap

masyarakat beragam, ada yang mendapatkan garapan sangat luas hingga mecapai 1 hektar, hingga dapat dikatakan sedikit 2 patok6 atau sekitar 50 bata. Akan tetapi hal tersebut tidak lantas membuat warga yang tidak mendapatkan lahan menjadi kecewa. Mereka terkadang bekerja menjadi buruh tani pada lahan garapan. Mengetahui fakta tersebut, terlihat betapa pentingnya memiliki hak untuk menggarap lahan bagi masyarakat Kumpay.

“Pas punya lahan garapan hidup teh rasanya udah tenang, damai gitu.

Rasanya menjanjikan aja ngegarap lahan.”–Bapak KR

“Emang sih rasanya gimana gitu ga kebagian lahan garapan. Sirik aja neng. Tapi ga apa-apa lah, saya masih bisa kerja juga di lahan garapan punya

orang yang dapet.”–Bapak TH

Subang menjadi daerah yang terkenal akan nanasnya. Nanas yang dihasilkan pun berbeda dengan nanas dari daerah lain. Nanas Subang dikenal oleh banyak konsumen dengan rasanya yang manis dibandingkan dengan nanas pada umunya. Karena rasannya yang khas itulah nanas Subang kadang disebut sebagai nanas madu atau si madu oleh masyarakat Kumpay. Mengetahui betapa terkenalnya nanas Subang, dapat dibayangkan nilai ekonomis yang tinggi dan pendapatan yang dapat dihasilkan oleh petani nanas. Oleh karena itu, dapat dikatakan nanas madu juga memiliki arti penting tidak hanya pada kehidupan petani penggarap, namun juga bandar nanas, penjual nanas, anak-anak kecil, bahkan masyarakat desa.

“Makan nanas udah kaya hiburan aja buat saya ama keluarga”. –Bapak

HM

“Ganas (nanas-red) madu ini cuma ada di Subang aja. Ga bisa ditanem di

daerah lain rasanya ga bakal manis kaya ditanem disini. Malah ada kepercayaan kalo kita beli ganas madu terus dibawa pulang keluar Subang rasanya udah kurang enak lah. Maksudnya beda kalo makan di Subang. Itu keistimewaan si

madu.”–Bapak SN

“Dulu kalo bapak abis panen nanas suka ada yang dibawa pulang, terus kita semua pada ngumpul makan si madu bareng-bareng. Seneng banget kaya gitu juga. Rasanya kan enak yah. Tapi coba sekarang sedih saya mah. Kalo lagi kepengan si madu nyarinya mesti susah terus kan kalo beli di pedagang juga

harganya mahal, mending uang buat makan nasi.”–Ibu DI, putri Bapak DD

6

DINAMIKA SENGKETA LAHAN: SEJARAH KEPEMILIKAN