BAB III MASALAH KEKERASAN TERHADAP ANAK DI INDONESIA
D. Dampak yang Ditimbulkan Akibat Kekerasan Terhadap Anak 42
Kekerasan terhadap anak akan berdampak panjang, di samping berdampak
pada masalah kesehatan di kemudian hari, juga berkaitan dengan trauma yang
berkepanjangan, bahkan hingga dewasa. anak yang mendapat kekerasan akan
mengalami mimpi-mimpi buruk yang tidak pernah hilang dari benak anak yang
menjadi korban, ketakutan yang berlebihan pada orang lain, dan konsentrasi
menurun yang akhirnya akan berdampak pada kesehatan. Bisa juga setelah
menjadi dewasa, anak tesebut akan mengikuti apa yang dilakukan kepadanya
semasa kecilnya.64
Dampak kekerasan yang terjadi terhadap anak secara fisik, psikis, dan
seksual dapat diklasifikasikan sebagai berikut:
1. Kekerasan Fisik dapat mengakibatkan luka memar, patah tulang, pingsan, luka
ringan dan luka berat sehingga dapat mengalami kematian.
64“Dampak Buruk Kekerasan Seksual Terhadap Anak,” artikel diakses pada 22 Agustus 2014 dari http://www.republika.co.id/berita/gaya-hidup/parenting/13/01/16/mgpam4-ini-dampak-buruk-kekerasan-seksual-terhadap-anak.
43
2. Kekerasan Psikis dapat mengakibatkan kecemasan yang berlebihan, rasa takut,
tidak percaya diri, trauma, emosi dan depresi yang mendalam.
3. Kekerasan Seksual dapat mengakibatkan kehamilan yang tidak diinginkan,
kerusakan pada organ reproduksi, hilangnya virginitas, serta mengalami
gangguan jiwa hingga dapat melakukan bunuh diri.
Menurut Pinky Saptandari, dampak kekerasan pada anak dalam
masyarakat dapat dilihat sebagai berikut:65
1. Pewarisan lingkaran kekerasan secara turun-temurun atau dari generasi ke
generasi.
2. Tetap bertahan kepercayaan yang keliru bahwa orang tua mempunyai hak
untuk melakukan apa saja terhadap anaknya, termasuk melakukan kekerasan.
3. Kualitas hidup semua masyarakat merosot, sebab anak yang dianiaya tak
mengambil peran yang selayaknya dalam kehidupan kemasyarakatan.
Dilihat dari penjelasan diatas, apapun bentuk kekerasan yang dialami oleh
anak, adanya saling keterkaitan dari satu dampak dengan dampak yang lainnya.
Seperti halnya seorang anak yang mengalami kekerasan fisik sudah pasti akan
mengalami kekerasan psikis dan seorang yang mengalami kekerasan seksual akan
berdampak pada fisik dan psikis anak tersebut.
Kekerasan terhadap anak adalah perilaku tindak penganiayaan terhadap
anak-anak. Bentuk kekerasan terhadap anak diklasifikasikan kekerasan secara
fisik, kekerasan secara psikologi, kekerasan secara seksual dan kekerasan secara
sosial. Suatu permasalahan anak-anak di Indonesia semakin hari semakin
65
Bagong Suyanto, Masalah sosial anak ( Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2010), h. 102-103.
44
memprihatinkan. Segala bentuk penderitaan yang dialami oleh anak-anak
Indonesia telah menunjukkan bahwa hak hidup anak sebagai integrasi dari suatu
hak asasi manusia telah dibiarkan terancam tanpa penanganan dan solusi.
Dengan adanya suatu bentuk-bentuk kekerasan yang telah dijelaskan
diatas, maka masyarakat dan pemerintah harus lebih memperhatikan bagaimana
menangani masalah kekerasan anak yang ada di Indonesia agar tidak ada lagi
terjadi kekerasan terhadap anak. Sebab pada dasarnya anak adalah titipan dan
Anugerah Tuhan Yang Maha Esa. Dan seperti yang tertuang dalam ketentuan
konvensi hak-hak anak (KHA) maupun ketentuan umum Undang-Undang
Perlindungan Anak N0. 23 Tahun 2002 menetapkan bahwa anak adalah seseorang
yang berusia dibawah 18 Tahun termasuk anak dalam kandungan, maka dari itu
setiap orangtua, masyarakat, pemerintah dan Negara mempunyai kewajiban untuk
45
BAB IV
PERAN NEGARA DALAM UPAYA MENGATASI TINDAK KEKERASAN TERHADAP ANAK DI INDONESIA
Peneliti menjelaskan kebijakan-kebijakan yang dibuat oleh pemerintah
dalam menangani kasus kekerasan terhadap anak. peneliti juga menjelaskan dan
mencantumkan beberapa perumusan undang-undang yang telah dibuat oleh
pemerintah untuk mengatasi tindak kekerasan terhadap anak. serta peneliti akan
menjelaskan hambatan-hambatan yang dihadapi oleh pemerintah dalam
melaksanakan perlindungan hak-hak anak.
Anak merupakan aset utama bagi masa depan bangsa dan kemanusiaan
secara menyeluruh. kondisi kehidupan anak diseluruh dunia pada saat ini ternyata
tidak menjadi lebih baik. Ancaman terhadap anak pada saat ini baik ancaman
fisik, mental maupun sosial lebih serius.
Negara telah mengupayakan untuk mengatasi tindak kekerasan terhadap
anak secara sederhana dapat dilihat dari terbentuknya Undang-undang No 23
tahun 2002 tentang perlindungan anak dan Indonesia adalah salah satu negara
yang telah ikut merafitikasi Konvensi hak Anak (KHA)66 yang telah ditetapkan
oleh Majelis Perserikatan Bangsa-Bangsa pada tanggal 20 November 1989.
Dalam rangka meningkatkan efektivitas penyelenggaraan perlindungan
anak, pemerintah telah membentuk ini lembaga Komisi Perlindungan Anak.
66
Distia Aviandari, dkk., Analisis Situasi Hak Anak untuk Isu-isu Tertentu ( Yogyakarta: Yayasan Sekretariat Anak Merdeka Indonesia, 2010), h. 56.
46
Indonesia yang bersifat independen dalam Undang-undang No 23 Tahun 2002
tentang Perlindungan Anak pasal 74.67
A. Pembentukan Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) 1. Sejarah Terbentuknya KPAI
Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI),68 dibentuk berdasarkan
amanat Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.
Undang-Undang tersebut disahkan oleh Sidang Paripurna DPR pada tanggal 22
September 2002 dan ditandatangani Presiden Megawati Soekarnoputri, pada
tanggal 20 Oktober 2002. Setahun kemudian sesuai ketentuan Pasal 75 dari
undang-undang tersebut, Presiden menerbitkan Keppres No. 77 Tahun 2003
tentang Komisi Perlindungan Anak Indonesia. Diperlukan waktu sekitar 8 bulan
untuk memilih dan mengangkat Anggota KPAI seperti yang diatur dalam
peraturan perundang-undangan tersebut.
Berdasarkan penjelasan pasal 75, ayat 1,2,3 dan 4 dari Undang-Undang No
23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, disebutkan bahwa Keanggotaan
Komisi Perlindungan Anak Indonesia terdiri dari satu orang ketua, dua orang
wakil ketua, satu orang sekretaris, dan lima orang anggota, dimana keanggotaan
KPAI terdiri dari unsur pemerintah, tokoh agama, tokoh masyarakat, organisasi
sosial, organisasi kemasyarakatan, organisasi profesi, lembaga swadaya
masyarakat, dunia usaha, dan kelompok masyarakat yang peduli terhadap
perlindungan anak. Adapun keanggotaan KPAI diangkat dan diberhentikan oleh
67
Undang-undang no 23 tahun 2002 tentang perlindungan anak pasal 74
68“Profil Komisi Perlindungan Anak Indonesia,” artikel diakses pada 15 September 2014 dari www.kpai.go.id
47
Presiden setelah mendapat pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat Republik
Indonesia, untuk masa jabatan tiga tahun, dan dapat diangkat kembali untuk satu
kali masa jabatan. Periode I KPAI dimulai pada tahun 2004-2007.69
2. Tugas Pokok dan Fungsi KPAI
Pasal 74 Undang-undang Perlindungan Anak dirumuskan “Dalam rangka
meningkatkan efektivitas penyelenggaraan perlindungan anak, maka dibentuk
Komisi Perlindungan Anak Indonesia yang bersifat independen”.
Selanjutnya dalam Pasal 76 Undang-undang Perlindungan Anak,
dijelaskan tugas pokok KPAI yang berbunyi sebagai berikut70 :
a. melakukan sosialisasi seluruh ketentuan peraturan perundang-undangan yang
berkaitan dengan perlindungan anak, mengumpulkan data dan informasi,
menerima pengaduan masyarakat, melakukan penelaahan, pemantauan,
evaluasi, dan pengawasan terhadap penyelenggaraan perlindungan anak.
b. memberikan laporan, saran, masukan, dan pertimbangan kepada Presiden
dalam rangka perlindungan anak.
Berdasarkan pasal tersebut di atas, mandat KPAI adalah mengawal dan
mengawasi pelaksanaan perlindungan anak yang dilakukan oleh para pemangku
kewajiban perlindungan anak sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 20 yakni :
“Negara, Pemerintah, Masyarakat, Keluarga, dan Orangtua” di semua strata, baik
pusat maupun daerah, dalam ranah domestik maupun publik, yang meliputi
pemenuhan hak-hak dasar dan perlindungan khusus. KPAI bukan institusi teknis
yang menyelenggarakan perlindungan anak.
69
“Profil Komisi Perlindungan Anak Indonesia,” artikel diakses pada 15 September 2014 dari www.kpai.go.id
70 Ibid,.
48
Bersadarkan hasil wawancara dengan Retno Adji Prasetiadju yang
menjabat sebagi Kepala Sekretaris KPAI,71 KPAI memandang perlu dibentuknya
Komisi Perlindungan Anak Indonesia Daerah (KPAID) di tingkat provinsi dan
kab/kota sebagai upaya untuk mengawal dan mengawasi penyelenggaraan
perlindungan anak di daerah. KPAID bukan merupakan perwakilan KPAI dalam
arti hierarkis-struktural, melainkan lebih bersifat koordinatif, konsultatif dan
fungsional. Keberadaan KPAID sejalan dengan era otonomi daerah dimana
pembangunan perlindungan anak menjadi kewajiban dan tanggungjawab
pemerintah daerah.
KPAI mengapresiasi daerah-daerah yang sudah memiliki Perda tentang
Perlindungan Anak yang di dalamnya mengatur secara rinci bentuk-bentuk
pelayanan perlindungan anak mulai dari pelayanan primer, sekunder hingga
tersier, institusi-institusi penyelenggaranya, serta pengawas independen yang
dilakukan KPAID.
3. Visi, Misi, dan Strategi Komisi Perlindungan Anak Indonesia a. Visi“Terwujudnya Indonesia Ramah Anak.”
b. Misi:
a) Meningkatkan pemahaman dan peran serta masyarakat dalam perlindungan
anak,
b) Meningkatkan komitmen para pemangku kepentingan yang terkait dengan
kebijakan perlindungan anak.
c) Membangun sistem dan jejaring pengawasan perlindungan anak,
71
49
d) Meningkatkan jumlah dan kompetensi pengawas perlindungan anak,
e) Meningkatkan kuantitas, kualitas, dan utilitas laporan pengawasan
perlindungan anak,
f) Meningkatkan kapasitas, aksesibilitas, dan kualitas layanan pengaduan
masyarakat,
g) Meningkatkan kinerja organisasi KPAI.
c. Strategi:
1. Penggunaan System Building Approach (SBA) Sebagai basis pelaksanaan
tugas dan fungsi, yang meliputi tiga komponen sistem: (a sistem norma dan
kebijakan, meliputi aturan dalam perundang-undangan maupun kebijakan
turunannya baik di tingkat pusat maupun daerah, b) struktur dan pelayanan,
meliputi bagaimana struktur organisasi, kelembagaan dan tata-laksananya,
siapa saja aparatur yang bertanggung jawab dan bagaimana kapasitasnya, c)
proses, meliputi bagaimana prosedur, mekanisme kordinasi, dan SOP-nya.
2. Penguatan kapasitas kelembagaan dan SDM yang profesional, kredibel dan
terstruktur, sehingga diharapkan tugas dan fungsi KPAI dapat berlangsung
dengan efektif dan efisien.
3. Penguatan kesadaran masyarakat untuk mendorong tersedianya sarana dan
prasarana pendukung yang memberikan kemudahan akses terhadap
penyelenggaraan perlindungan anak di semua sektor.
4. Perspektif dan pendekatan yang holistik, komprehensif dan bukan parsial
50
pernah berdiri sendiri namun selalu beririsan dengan berbagai aspek
kehidupan yang kompleks.
5. Diseminasi konsep Indonesia Ramah Anak (IRA) pada berbagai pemangku
kewajiban dan penyelenggara perlindungan anak yang meniscayakan adanya
child right mainstreaming dalam segala aspek dan level pembangunan secara
berkelanjutan.
6. Penguatan mekanisme sistem rujukan (reveral system) dalam penerimaan
pengaduan, sehingga KPAI. Hal ini dipandang penting untuk memantapkan
proses penanganan masalah perlindungan anak yang bersumber dari
pengaduan masyarakat.
7. Kemitraan strategis dengan pemerintah dan civil society dalam setiap bidang
kerja dan isu agar setiap permasalahan bisa mendapatkan rekomendasi dan
solusinya yang tepat, serta terpantau perkembangannya.
Dengan tujuh langkah strategis tersebut diharapkan berbagai permasalahan
anak Indonesia dapat tertangani secara sistemik, holistik, komprehensif dan
berkelanjutan, sehingga penyelenggaraan perlindungan anak menjadi makin
efektif.72 Penanganan masalah anak berbasis sistem yang demikian merupakan
keniscayaan mengingat dewasa ini permasalahan anak semakin kompleks dan
makin bervariasi dengan berbagai dimensinya. Sementara negara, pemerintah,
masyarakat, keluarga dan orangtua belum sepenuhnya menjadi pemangku
kewajiban dan tanggung jawab perlindungan anak yang efektif sebagaimana
dimandatkan oleh undang-undang Perlindungan Anak.
72
51