BAB III MASALAH KEKERASAN TERHADAP ANAK DI INDONESIA
D. Pembentukan Kota Layak Anak
Pembangunan perlindungan anak telah dilakukan sesuai dengan
Undang-Undang Dasar 1945 pasal 28B ayat 2 bahwa “Setiap anak berhak atas
kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari
kekerasan dan diskriminasi.”79
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang
Perlindungan Anak lebih lanjut telah menegaskan bahwa perlindungan anak
mencakup anak yang belum berusia 18 tahun, termasuk anak yang masih dalam
kandungan, dan mencakup hak-hak anak untuk hidup, tumbuh dan berkembang,
mencegah segala bentuk kekerasan, eksploitasi, perdagangan, dan diskriminasi,
serta melindungi hak-hak anak untuk didengar pendapatnya.
Indonesia juga telah berkomitmen untuk menciptakan dunia yang layak
bagi anak (World Fit For Children). Sebagai implementasi dari komitmen
tersebut pemerintah mencanangkan kebijakan Kabupaten atau Kota Layak Anak.
79
56
Kota Layak Anak adalah kabupaten/kota yang mempunyai sistem
pembangunan berbasis hak anak melalui pengintegrasian komitmen dan sumber
daya pemerintah, masyarakat dan dunia usaha yang terencana secara menyeluruh
dan berkelanjutan dalam kebijakan, program dan kegiatan untuk menjamin
terpenuhinya hak-hak anak.80
Setiap kabupaten/kota berhak menjadi Kota Layak Anak, untuk
mewujudkan KLA terdapat pra-syarat sebagai berikut:81
1. Adanya Kemauan dan komitmen pimpinan daerah:membangun dan
memaksimalkan kepemimpinan daerah dalam mempercepat pemenuhan hak
dan perlindungan anak yang dicerminkan dalam dokumen peraturan daerah.
2. Baseline data: tersedia sistem data dan data dasar yang digunakan untuk
perencanaan, penyusunan program, pemantauan, dan evaluasi.
3. Sosialisasi hak anak: menjamin penyadaran hak-hak anak pada anak dan
orang dewasa.
4. Produk hukum yang ramah anak: tersusunnya sedia peraturan perundangan
mempromosikan dan melindungi hak-hak anak.
5. Partisipasi anak: tersedia wadah untuk mempromosikan kegiatan yang
melibatkan anak dalam program-program yang akan mempengaruhi mereka;
mendengar pendapat mereka dan mempertimbangkannya dalam proses
pembuatan keputusan.
80“Definisi KLA,” artikel diakses pada 16 September 2014 dari http://kla.or.id/index.php?option=com_content&view=article&id=377&Itemid=95
81 “Kota Layak Anak.” artikel diakses pada 1 September 2014 dari
57
6. Pemberdayaan keluarga: adanya program untuk memperkuat kemampuan
keluarga dalam pengasuhan dan perawatan anak.
7. Kemitraan dan jaringan: adanya kemitraan dan jaringan dalam pemenuhan
hak dan perlindungan anak.
8. Institusi Perlindungan Anak: Adanya kelembagaan yang mengkoordinasikan
semua upaya pemenuhan hak anak.82
Namun, sampai saat ini ide kota layak anak masih belum serius
diimplementasikan oleh negara. Karena masih ditemukan beberapa kota yang
belum menjadi kota layak anak hanya baru menjadi kota menuju layak anak.
padahal konsep kota layak anak ini adalah salah satu solusi bagi negara dalam
mengatasi tindak kekerasan terhadap anak.
Konsep kota layak anak menjadi salah satu solusi yang strategis dalam
mengurangi tindak kekerasan terhadap anak. Mewujudkan kota yang layak anak
merupakan keharusan dan tidak ada kompromi. Salah satunya, anak-anak berhak
mendapatkan ruang yang layak untuk berekspresi dan menyampaikan aspirasinya.
Kota Layak Anak adalah sistem pembangunan kota atau kabupaten yang
mengintegrasikan komitmen sumber daya pemerintah, masyarakat, dunia usaha,
yang terencana secara menyeluruh dan berkelanjutan dalam kebijakan program
dan kegiatan untuk pemenuhan hak-hak anak.
Kota layak anak merupakan upaya untuk melaksanakan ketentuan dan
prinsip dasar dari Konvensi Hak Anak. apabila konsep kota layak anak ini telah
diimplementasikan akan menjadi salah satu cara dalam mengatasi tindak
82
58
kekerasan terhadap anak dan hanya Negara yang dapat mengimplementasikan
konsep kota layak anak serta hanya negara yang berhak mengatur melalui
kebijakan-kebijakannya.
E. Hambatan dalam Mengatasi Tindak Kekerasan Terhadap Anak
Mengatasi tindak kekerasan terhadap anak bukanlah hal yang mudah,
pemerintah telah memberikan undang-undang dan kebijakan-kebijakan untuk
menekan angka kekerasan. Namun dalam proses pelaksanaan kebijakan tersebut
masih banyak ditemukan permasalahan lain yang menghambat proses pelaksanaan
kebijakan tersebut.
Berdasarkan hasil wawancara dengan Kepala Sekretaris KPAI, Retno Adji
Prasetiadju,83Adapun permasalahan yang menghambat dalam pelaksanaan
perlindungan anak secara umum menyangkut dua hal:
Pertama,belum optimalnya pemenuhan hak-hak anak di bidang kesehatan,
pendidikan, pengasuhan, sosial, agama dan budaya, dan hak-hak sipil.
Kedua,belum optimalnya perlindungan khusus untuk anak yang
membutuhkan perlindungan khusus karena menjadi korban kekerasan,
diskriminasi, eksploitasi, penelantaran dan perlakuan salah lainnya. Berbagai data
hasil survey dan penelitian sebagaimana dipaparkan di atas merupakan ilustrasi
sekilas tentang permasalahan yang ada.
83
59
Permasalahan anak di Indonesia pada dasarnya merupakan hilir dari belum
efektifnya sistem perlindungan anak yang ada. Dengan pendekatan berbasis
sistem, hulu dari persoalan anak di Indonesia bisa diidentifikasi sebagai berikut:84
1. Kebijakan
Hambatan yag dihadapi dalam kebijakan ini norma perlindungan anak
dalam UUD 1945, UU No 23 tahun 2003 tentang Perlindungan Anak, Konvensi
Hak Anak masih belum maksimal implementasinya. Indikasinya adalah:85
a. Masih terdapatnya peraturan perundang-undangan dan kebijakan yang tidak
konsisten dengan Undang-Undang no. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan
Anak dan Konvensi hak Anak yang berakibat atau berpotensi merugikan dan
menghambat pemenuhan hak-hak anak. salah satunya adalah UU No. 23
Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan, Pasal 27 ayat (1)
menegaskan “Setiap kelahiran wajib dilaporkan oleh Penduduk kepada
instansi pelaksana ditempat terjadinya peristiwa kelahiran paling lambat 60
(enam puluh) hari sejak kelahiran. Pasal 32 ayat (2) : “Pencatatan kelahiran
yang melampaui batas waktu 1 (satu) tahun sebagaimana dimaksud pada ayat
(1), dilaksanakan berdasarkan penetapan Pengadilan Negeri”. Sementara,
menurut UU No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, Pasal 27 ayat (1)
: “Identitas diri setiap anak harus diberikan sejak kelahirannya”. Sementara Pasal 28 ayat (1) menegaskan “Pembuatan akta kelahiran menjadi tanggung
84
Ibid,.
85
60
jawab Pemerintah yang dalam pelaksanaannya di selenggarakan serendah–
rendahnya pada tingkat kelurahan/desa.86
b. Untuk tingkat daerah, masih sedikit daerah tingkat I dan II yang memiliki
Perda Perlindungan Anak yang menempatkan perlindungan anak sebagai
sebuah sistem yang holistik dan terintegrasi.
2. Struktur dan Aparatur
Persoalan pada level ini dapat diidentifikasi sebagai berikut:87
a. Para penyelenggara negara di tingkat pusat dan daerah masih beragam tingkat
pemahamannya terhadap hak anak. Aparat penegak hukum pun demikian. UU
No 23 tahun 2003 dan Konvensi Hak Anak masih belum menjadi referensi
wajib seluruh kepala daerah, para legislator dan aparat penegak hukum di
pusat dan daerah. Konsekuensi dari kenyataan ini perlindungan anak belum
menjadi program yang diprioritaskan, belum didukung oleh infrastuktur yang
memadai, termasuk SDM, kelembagaan dan pembiayaannya, serta belum
diselenggarakan secara efektif. Tidak jarang bahkan terjadi pengambil
kebijakan atau aparat penegak hukum secara nyata mengambil kebijakan atau
melakukan penegakan hukum yang melanggar hak anak, padahal semestinya
pengambil kebijakan dan penegak hukum itu adalah pihak yang wajib
memberikan perlindungan khusus karena kedudukan strukturalnya.
b. Belum terbentuknya kelembagaan perlindungan anak yang komprehensif dan
menjangkau semua wilayah.
86 “Peta Permasalahan Perlindungan Anak di Indonesia,” Artikel diakses pada 28 November 2014 dari http://www.kpai.go.id/artikel/peta-permasalahan-perlindungan-anak-di-indonesia/
87
61
c. Masih lemahnya mekanisme pengawasan dan pendataan. Hal ini ditunjukkan
dengan masih rendahnya pencapaian pembangunan perlindungan anak yang,
antara lain, disebabkan oleh masih lemahnya kualitas dan kapasitas
kelembagaan. Hingga saat ini, belum ada mekanisme komprehensif yang
berlaku dari pusat ke daerah, yang ditujukan untuk melindungi anak.
Mekanisme yang ada masih bersifat sektoral dan belum memadai sehingga
belum dapat menciptakan lingkungan yang aman bagi anak, dan belum
memberikan wadah bagi setiap anggota masyarakat, termasuk anak-anak,
untuk berpartisipasi dalam upaya pemenuhan hak anak. Di samping itu, sistem
pengelolaan data dan informasi serta indeks komposit perlindungan anak yang
terpilah, yang mutakhir dan mudah diakses, juga belum tersedia.
3. Kultur dan realitas di masyarakat
Beberapa masalah mendasar pada level ini adalah:88
a. banyak nilai-nilai yang hidup di masyarakat masih membenarkan dan
melestarikan kekerasan dan diskriminasi terhadap anak, serta belum
memberikan ruang bagi partisipasi anak. Diskriminasi kepada anak yang
berkebutuhan khusus dan anak-anak minoritas dianggap hal wajar. Kekerasan
dipandang sebagai hal yang perlu dilakukan dalam rangka mendidik anak.
Eksploitasi ekonomi dan seksual dianggap hal yang boleh dilakukan orang tua
atas nama kewajiban anak untuk berbakti kepada orang tua.
88
62
b. Keluarga, lingkungan sekolah, lingkungan pergaulan dan media secara
langsung dan tidak langsung mempengaruhi anak untuk melakukan tindak
kekerasan dan perbuatan tidak terpuji lainnya.
c. Informasi tidak ramah anak yang mudah dan bebas diakses di mana-mana.
d. Masyarakat permisif terhadap pelanggaran hak anak yang terjadi di
sekelilingnya. Pendek kata, hak-hak anak yang belum sepenuhnya dipahami
oleh semua orang dewasa, keluarga, dan masyarakat Indonesia telah
mengakibatkan terlanggarnya hak-hak anak, minimnya perlindungan khusus
63
BAB V PENUTUP