• Tidak ada hasil yang ditemukan

Deskripsi Implementasi Program

Implementasi program CSR berbasis pengembangan masyarakat dan lingkungan, perlu suatu strategi yang digunakan sebagai acuan keberlangsungan program tersebut. Seperti halnya Kementrian Lingkungan Hidup yang menetapkan indikator keberhasilan implementasi program CSR bidang lingkungan bagi perusahaan, diantaranya meliputi relevansi, efektivitas, efisiensi, dan dampak dari program tersebut, terkhusus bagi lingkungan sebagai objek dari program.

PT Pertamina telah menjalankan program rehabilitasi mangrove, yakni kegiatan rehabilitasi kawasan mangrove berbasis masyarakat lokal di daerah Teluk Naga, Tangerang. Output yang hendak dicapai selain pengembangan ekonomi dan pemberdayaan masyarakat, tentunya perusahaan mengidamkan adanya perubahan lingkungan sekitaran mangrove yang pernah terkikis akibat abrasi besar, bisa kembali berjalan fungsinya sebagaimana mestinya, yang kemudian juga diharapkan akan turut mempengaruhi dalam upaya pembenahan ekonomi masyarakat sekitar kawasan mangrove.

Mengetahui sejauh mana program yang telah memasuki tahun ketiga ini terintegrasi di masyarakat dan memberikan perubahan bagi lingkungannya, maka implementasi tersebut akan disandarkan pada beberapa indikator yang telah dijabarkan di atas.

Tabel 8 Jumlah dan persentase responden menurut penilaiannya terhadap implementasi program rehabilitasi mangrove di Desa Muara tahun 2015 Penilaian Implementasi Program Jumlah (∑) Persentase (%) Kurang (3-5) 1 2.8 Cukup (6-8) 14 38.9 Baik (9-12) 21 58.3 Jumlah 36 100.0

Tabel 8 menunjukkan bahwa penilaian implementasi program CSR rehabilitasi mangrove di masyarakat dilihat dari perspektif masyarakat sebagai pelaksana dan penerima manfaat dari program. Implemenasi program digolongkan menjadi tiga kategori, yakni implementasi baik, implementasi cukup, dan implementasi kurang. Dari hasil analisis, dapat direfleksikan bahwa masyarakat cenderung lebih dominan menilai program sudah masuk ke dalam kategori baik. Hal ini terlihat dari 21 responden (58,3%) dari 36 responden yang berpendapat implementasi program sudah baik. Implementasi cukup dirasakan oleh 14 responden (38,9%), sedangkan hanya seorang (2,8%) yang beranggapan bahwa implementasi program ini masih kurang. Variabel implementasi program bisa

dikatrgorikan tinggi karena didukung oleh beberapa indikator, yakni relevansi, efektivitas, efisiensi, dan keberlanjutan program.

Tabel 9 Jumlah dan persentase responden menurut indikator penilaian implementasi program rehabilitasi mangrove di Desa Muara tahun 2015

Indikator Penilaian Implementasi Program

Rendah Sedang Tinggi Jumlah

% % % %

Relevansi 1 2.8 10 27.8 25 69.4 36 100

Efektivitas 3 8.3 4 11.1 29 80.6 36 100

Efisiensi 8 22.2 20 55.6 8 22.2 36 100

Keberlanjutan 5 13.9 19 52.8 12 33.3 36 100

Tabel di atas menjelaskan indikator penilaian implementasi program. pertama adalah relevansi program. Relevansi dari suatu program merupakan indikator yang perlu diperhatikan untuk menentukan arah dan keberhasilan dari program tersebut. Analisis relevansi ini membahas dan mengukur sejauh mana program rehabilitas mangrove dapat memenuhi kebutuhan masyarakat dan lingkungan sekitar, kebermanfaatan yang diterima masyarakat baik dalam segi ekonomi maupun sosial, dan dari penerimaan masyarakat adas dilaksanakannya program tersebut di wilayah mereka.

Masyarakat pada umumnya menilai bahwa relevansi program termasuk ke dalam kategori tinggi, yakni sejumlah 25 orang (69,4%) dari jumlah 36 orang responden. Penilaian relevansi masuk ke dalam kategori sedang dimiliki oleh 10 orang (27,8%), dan 1 orang (2,8%) menilai bahwa relevansi program masih rendah.

Indikator kedua adalah efektifitas program, dapat diukur melalui keberhasilan pencapaian tujuan bagi masyarakat atas program. Program tesebut bertujuan untuk mengubah perilaku masyarakat yang acuh tak acuh pada lingkungannya, sehingga masyarakat menyadari pentingnya menjaga lingkungannya sebagai upaya pencegahan bencana. Selain itu, kawasan mangrove juga hendak dijadikan kawasan rehabilitasi dan kawasan wisata berbasis mangrove.

Efektifitas program dapat dilihat bahwa sebanyak 29 orang (80,6%) menilai bahwa program telah memiliki efektifitas tinggi, sedangkan responden yang menyatakan program memiliki efektifitas sedang adalah 4 orang (11,1%), dan yang menilai bahwa program masih memiliki efektifitas yang rendah hanya 3 orang (8,3%) dari total 36 responden.

Efisiensi program merupakan salah satu indikator yang juga menentukan implementasi dari suatu program. Efisiensi program dapat diukur melalui bagaimana perusahaan dapat mengoptimalkan sumberdaya yang ada Desa Muara, baik itu sumberdaya alam maupun sumberdaya manusia.

Disimpulkan bahwa perusahaan dianggap telah melalukan program dengan cukup baik. Persentase responden yang manilai program sudah memiliki keefektifitas yang tinggi yakni sejumlah 8 orang (22,2%), sedang sejumlah 20 orang (5,6%), dan rendah sejumlah 8 orang (22,2%). Persentase terbesar dimiliki oleh responden yang berpendapat bahwa program sudah cukup efisien, mengoptimalkan potensi-potensi sumberdaya yang tersedia, baik sumberdaya

alam berupa banyaknya bibi-bibit mangrove, maupun sumberdaya manusia yang memiliki potensi sebagai subjek pembibitan, penanaman, dan perawawatan mangrove.

Indikator terakhir yang dapat memperngaruhi penilaian implementasi program adalah bagaimana program mempersiapkan keberlanjutan program tersebut, meskipun program telah selesai dilakukan. Hal ini hanya dimungkinkan apabila ada kerjasama lebih lanjut dengan masyarakat, membangun kelembagaan yang mengikutsertakan masyarakat secara aktif, menyadarkan masyarakat tentang banyaknya manfaat yang bisa dicapai, baik secara ekologis maupun ekonomis, dan yang paling penting adalah bagaimana menanamkan rasa memiliki masyarakat atas setiap tanaman, juga pada setiap lahan kosong yang sekiranya berpotensi untuk ditanami di kemudian hari.

Disimpulkan juga bahwa responden yang menilai keberlanjutan program masih sangat rendah adalah sejumlah 5 orang (13,9%), yang menilai keberlanjutan program sedang sejumlah 19 orang (52,8%), sedangkan yang menilai keberlanjutan sudah cukup tinggi adalah sejumlah 12 orang (33,3%,), dengan demikian dominasi penilaian masyarakat mengenai keberlanjutan program adalah pada kategori sedang.

Relevansi Program

Mayoritas masyarakat menilai bahwa program rehabilitasi mangrove telah relevan dengan kebutuhan masyarakat. Kondisi ini dilihat dari 25 orang responden atau sekitar 69.8% yang menyatakan relevansi program telam masuk ke kategori tinggi. Data tersebut disimpulkan dari hasil wawancara responden melalui kuesioner yang dapat dilihat melalui bagan berikut:

Tabel 10 Jumlah dan persentase responden menurut penilaiannya terhadap relevansi program rehabilitasi mangrove di Desa Muara tahun 2015

Penilaian Relevansi Program

STS TS S SS

% % % %

Masyarakat membutuhkan program

rehabilitasi mangrove 0 0.00 0 0.00 5 13.88 31 86.12

Masyarakat mendapatkan manfaat

ekonomi 0 0.00 2 5.56 5 13.88 29 80.56

Masyarakat mendapatkan manfaat

sosial 0 0.00 1 2.78 19 52.78 16 44.44

Masyarakat membutuhkan program

ini untuk kelestarian lingkungan 0 0.00 0 0.00 1 2.78 35 97.22 Masyarakat menerima dengan baik

adanya program 0 0.00 0 0.00 3 8.33 33 91.67

Kebutuhan masyarakat akan program rehabilitasi bisa dibilang tinggi, yakni 86.12%. Keadaan masyarakat di Desa Muara yang masih memiliki garis kemiskinan paling rendah di Kecamatan Teluk Naga, tentunya mengharapkan mendapatkan pekerjaan yang lebih menunjang kebutuhan sehari-harinya. Pekerjaan sebagai nelayan dinilainya kurang bisa mencukupi karena pendapatan perharinya yang tidak menentu. Seperti yang dijelaskan IJH:

kita mah kerjaanya nya banyak neng, kadang nyari ikan di laut, nyari kerang nyari ager, kadang juga bantuin panen padi di desa sebelah. Apa ajalah kita kerjain, gimana buat sehari-hari aja masih

keteteran gitu neng...” (IJH, 50 Tahun)

Program rehabilitasi mangrove memberikan peluang pekerjaan kepada masyarakat di Desa Muara. Dengan bergabung menjadi anggota kelompok tani, maka secara tidak langsung bisa menambah penghasilan anggotanya. Disamping bisa membantu percepatan rehabilitasi hutan mangrove, program ini juga memberikan berbagai pekerjaan sampingan yang mendatangkan keuntungan ekonomi bagi masyarakat, seperti penjualan bibit, persemaian, penananam, bahkan ekowisata. Seperti penilaian 80.56% yang berpendapat bahwa program ini dapat membantu mendapatkan keuntungan ekonomi. Penjualan bibit, persemaian, dan penanaman, masyarakat sudah bisa merasakan dampak postifnya, masyarakat diupah untuk setiap bibit yang disemai dan ditanam. Jadwal persemaian dan penanaman tidak teratur dan lebih bersifat eventual, tapi masyarakat mengaku membutuhkan dan menerima manfaat dari segi ekonomi dari program ini. Segi ekowisata, belum bisa sepenuhnya memberikan dampak ekonomi bagi masyarakat, khususnya anggota kelompok tani. Di Desa Muara telah ada beberapa tempat wisata yang menyediakan sarana pemancingan, kuliner, dan penanaman mangrove bagi umum, hanya saja para anggota kelompok tani mangrove mengaku belum pernah melakukan kerjasama dengan pengelola wisata tersebut, salah satunya dalam aspek penyuplai bibit mangrove.

Kuesioner juga menanyakan terkait kebutuhan alam akan program. Masyarakat menilai manfaat program bagi lingkungan. Mendekati nilai sempurna, sebanyak 97.22% responden menilai bahwa program sangat dibutuhkan bagi kelestarian lingkungan.

Hutan mangrove yang sempat hampir punah, kini mulai kembali ditanami mangrove. Program reabilitasi ini baru tiga tahun dilaksanakan, namun masyarakat menganggap bahwa program telah memberikan banyak manfaat, salah satunya membuat pinggir pantai, empang, dan sungai-sunggai menjadi lebih hijau. Di tahun pertama (2012/2013), PT Pertamina telah melakukan penanaman mangrove sebanyak 75.000 batang mangrove, tahun kedua (2013/2014) dilaksanakan penanaman sebanyak 300.000 batang mangrove. Jenis mangrove yang ditanam adalah Rhizophora sp. (bakau) dan Avicennia sp. (api-api), yang tersedia dalam jumlah yang cukup di sekitar lokasi kegiatan. Anakan alam, khususnya untuk jenis bakau dengan daun rata-rata 4-5 helai atau lebih banyak tersedia di sekitar lokasi dan dalam keadaan siap tanam. Kedua jenis ini dipilih berdasarkan tingkat kesesuaian lahan dan ketersediaan bibit, serta fungsi dan manfaat dari kedua jenis tersebut. Untuk tahun ketiga, jenis api-api akan diperbanyak porsinya, karena buah dari pohon tersebut bisa dimanfaatkan untuk dijadikan olahan makanan, seperti kue, keripik, dodol, dan lain sebagainya.

Program tahun ketiga (2014/2015), sampai saat ini belum ada rencana penanaman. Anggota sudah menyediakan sekitar 100.000 bibit mangrove siap tanam dan lahan-lahan mangrove yang dulu ditanam sudah mulai habis dimakan hama kambing maupun terseret ombak. Masyarakat belum menanam bibit-bibit

tersebut sampai penelitian ini dilakukan, dengan alasan mereka belum dibayar upahnya. Pertumbuhan mangrove bisa dikatakan alot dan membutuhkan waktu yang cukup lama. Menurut ketua kelompok tani, Pak Amil Nasan mengatakan bahwa setidaknya butuh waktu 10 tahun untuk meliohat mangrove tumbuh besar dan dirasakan manfaat-manfaatnya. Jika dalam kurun waktu dua tahun saja perusahaan telah meniadakan programnya, maka keberlanjutan rehabilitasi di Desa Muara juga turut dipertanyakan.

Masyarakat dapat memenuhi kebutuhan dan keuntungan ekonomi, selain itu masyarakat juga mendapatkan keuntungan sosial dengan adanya program ini. sebanyak 52.78% menilai setuju program ini bisa membantu menjalin hubungan- hubungan sosial diantara mereka. Sebagaimana Desa pada umumnya, Desa Muara juga memiliki struktur sosial yang terdiri dari hubungan-hubungan keluarga yang menyebar. Antara tetangga satu dengan yang lainnya masih memiliki ikatan keluarga. Pekerjaan yang semakin beragam, hubungan-hubungan kekeluargaan tersebut terkadang hilang dan terlupakan. Program ini membuat sebanyak 19 orang responden mengaku memiliki waktu untuk bersilaturahmi dengan tetangga dan keluarga lebih banyak, baik itu saat pembibitan, persemaian, penanaman, atau bahkan rapat-rapat yang diadakan ketua kelompok.

Hubungan-hubungan kekerabatan juga kunjung dipererat dengan adanya program. Masyarakat Desa Muara telah memiliki basis kekeluargaan yang cukup baik. Tak jarang antar tetangga saling memberi kebutuhan masing-masing, seperti bahan makanan dan keperluan lainnya. Meski tidak dalam jumlah yang banyak dan mahal. Kesolidaritasan lainnya juga digambarkan dalam upaya bantu membantu pemakaman tetangganya dengan sukarela, pengumpulan uang duka yang diorganisir baik oleh ketua RT juga disambut baik oleh warganya. Kepentingan tiap individu yang mulai berubah dan bergeser, kian menyebabkan kerekatan ini rentan akan jarak dan waktu, namun dengan adanya program yang menjadikan warga mempunyai wadah untuk tetap berkumpul, kembali menjadi perekat simpul-simpul kekeluargaan di masyarakat.

Program penanaman mangrove turut mendorong kesadaran masyarakat akan pentingnya membentengi wilayah pemukimannya dengan hutan mangrove, agar tidak kembali terseret ombak abrasi. Kondisi ini menggiring 91.67% sikap warga untuk menyetujui kawasan bibir pantai dijadikan kawasan konservasi dan rehabilitasi mangrove.

Efektivitas Program

Rusaknya alam terutama hutan mangrove akibat abrasi, melandasi tujuan utama program untuk bisa mempelopori gerakan peduli lingkungan. Masyarakat diharapkan turut mempunyai kesadaran dan kepedulian terhadap lingkungan, sehingga dapat mengoptimalkan dan menjaga kelestarian mangrove. Perubahan lingkungan yang dialami juga menjadi alasan, diharapkan dengan adanya program ini, bisa membatu mengembalikan keseimbangan ekosistem yang pernah tidak stabil akibat abrasi.

Persoalan ekonomi juga menjadi fokus program. Bagaimana kelestarian lingkungan tersebut bisa berbanding lurus dengan taraf hidup masyarakat yang semakin membaik. Setelah masyarakat sadar akan tanggungjawabnya terhadap lingkungan, mereka juga diberdayakan untuk bisa memanfaatkan mangrove

menjadi pundi-pundi ekonomi. Semua kegiatan rehabilitasi melibatkan masyarakat, dari penanaman, persemaian, bahkan pembibitan, sebisa mungkin bisa memberikan keuntungan, tidak hanya bagi lingkungan tapi juga bagi masyarakat.

Peningkatan ekonomi masyarakat ini juga direncanakan bisa dipicu dari potensi-potensi ekowisata. Letak Desa yang tepat di pinggir pantai, hutan-hutan mangrove, dan lahan-lahan tambak, dinilai sebagai potensi ekonomi yang cukup menarik di wilayah ini. Sektor pariwisata belum begitu muncul ke permukaan, tapi setidaknya sudah mulai terlihat adanya titik cerah. Memang butuh waktu lama untuk mewujudkannya, tapi hal ini menarik untuk dijakdi dan dimulai sejak kini. Dari penjelasan tersebut, dalam pembuatan pertanyaan efektivitas program, mengacu pada tiga tujuan besar program bagi masyarakat, yaitu kelestarian lingkungan, peningkatan ekonomi, dan potensi ekowisata. Ketiga tujuan besar ini, diturunkan beberapa pertanyaa, diantaranya perubahan kebiasaan dalam merawat mangrove, perhatiannya terhadap lingkungan, termasuk mencemari lingkungan dan penebangan pohon, penilaiannya terhadap potensi kawasan rehabilitasi mangrove dan lokasi ekowisata.

Tabel 11 Jumlah dan persentase responden menurut penilaiannya terhadap efektifitas program rehabilitasi mangrove di Desa Muara tahun 2015

Penilaian Efektivitas Program

STS TS S SS

% % % %

Masyarakat menjadi lebih

merawat mangrovenya 3 8.33 6 16.67 9 25.00 18 50.00

Masyarakat menjadi lebih

memperhatikan lingkungannya 0 0.00 1 2.78 4 11.11 31 86.11 Masyarakat tidak lagi mencemari

lingkungan 0 0.00 2 5.55 3 8.33 31 86.11

Masyarakat tidak lagi menebang

pohon mangrove 0 0.00 0 0.00 2 5.56 34 94.44

Kawasan menjadi lebih kondusif untuk dijadikan rehabilitasi mangrove

0 0.00 1 2.78 6 16.67 29 80.55

Kawasan tersebut menjadi lebih menarik untuk dijadikan lokasi wisata

3 8.33 2 5.56 9 25.00 22 61.11

Perawatan dan penyulaman bibit mangrove yang mati biasanya dilakukan oleh koordinator kelompok tani. Anggota tidak diberikan kewajiban untuk merawat mangrove pasca tanam. Namun, adanya penyuluhan terkait pentingnya hutan mangrove, menumbuhkan kesadaran masyarakat akan hal tersebut.

Sebanyak 50% responden mengaku lebih sering merawat mangrove setelah adanya program dibandingkan dulu. Mereka berangsur mempunyai rasa peduli dan memiliki atas pohon yang mereka tanam sendiri. Bentuk perhatian terhadap lingkungan diwujudkan dengan perubahan untuk tidak mencemari lingkungan, menurut penilaian 86.11 responden. Sungai yang membentang di RW

8 merupkan aliran air yang dimanfaatkan warga untuk kebutuhan sehari-hari. Masih banyak warga yang tidak memiliki kamar mandi di rumah sendiri, sehingga mengandalkan sungai untuk membersihkan diri dan membuang kotoran. Sayangnya, sungai ersebut kini sudah dipenuhi sampah, berasal dari kiriman banjir sungai Ciliwung dan sampah rumah tangga masyarakat sendiri. Seluruh responden mengaku pernah embuang sampah ke pinggir sungai, dengan alasan tidak ada lagi pilihan membuang sampah selain ke sungai. Kondisi sungai yang memprihatinkan, berserakan sampah dan berbau tidak sedap, menggugah program untuk memberikan informasi terkait sampah tersebut, materi ini biasanya diselipkan ditengah penyuluhan mengenai mangrove. Kini setelah mendapatkan informasi terkait sampah, sebanyak 86.11% responden mengaku sudah tidak lagi membuang sampah sembarangan dan mencemari sungai.

Dulunya persedian pasir untuk mendirikan bangunan-bangunan yang ada di Jakarta (seperti Pantai Indah Kapuk) berasal dari daerah Teluk Naga. Dikeruk selama bertahun-tahun dari bawah hutan mangrove. Masyarakat kala itu belum mengetahui bahaya atas pengerukan pasir tersebut. Warga sempat bekerjasama dengan segelintir orang yang mengatasnamakan dirinya kontaktor untuk mengeruk pasir-pasir. Dengan harga 5000 rupiah, kontraktor tersebut mendapatkan satu perahu penuh pasir dari masyarakat. Selain pasir-pasir yang dikeruk dengan jumlah berlebihan oleh berbagai pihak, masyarakat mengambil kayu-kayu pohon mangrove untuk digunakan menjadi kayu bakar. Masyarakat tetap memiliki kadar sendiri, dalam artian tidak menebang batang mangrove secara berlebihan, hanya sesuai dengan kebutuhan saja. Semenjak ada sosialisasi pemakaian gas untuk memasak dari pemerintah, juga diikuti adanya pencerahan paradigma terhadap lingkungan, kebiasaan warga menebang batang mangrove mulai berkurang. Sebagaimana penilaian masyarakat akan penebangan batang pohon mangrove yang sudah sangat berkurang, hal ini sangat disetujui oleh 94.44% responden. MNS menegaskan :

Dulu emang masyarakat sini suka nebang kayu (mangrove) buat dijadiin bahan bakar bakal masak. Semenjak ada program pemerintah, yang harus masak pake gas, masyarakat mulai tuh gak pake kayu lagi. Apalagi pas ada program nanem mangrove itu, masa kita yang cape nanem kita yang tebang juga?” (MNS,

65 Tahun)

Penebangan batang mangrove masih saja sering terjadi, hanya saja pelaku penebangan bukan merupakan warga Desa Muara. Belum ada norma-norma atau peraturan yang mengandalkan sanksi bagi penebang pohon mangrove. Pohon terus ditebangi oleh warga luar, sedangkan warga Desa Muara tidak menetapkan hukuman apapun bagi penebang tersebut. Masyarakat masih belum berani menetapkan perataturan yang melarang penebangan pohon mangrove. seperti yang diceritakan AMS:

Sebenernya, orang sini asli udah nggak pada nebangin pohon lagi, udah pada sadar istilahnya. Tapi orang luar masih pada nebang tuh keliatan. Masuk hutan, potek-potekin tangkainya biar mati, udah mati baru diambil. Gimana lagi kita gabisa larang

yah, gak ada peraturan juga yang ngelarang itu...” (AMS, 57 Tahun)

Tujuan lain dari pelestarian lingkungan dan peningkatan ekonomi masyarakat, program ini juga dicanangkan untuk memberi stimulan terhadap ekowisata. Ekowisata yang dimaksud adalah pariwisata berbasis potensi-potensi ekologi yang ada di Desa Muara. Tambak-tambak ikan yang luas menjadi daya tarik sendiri bagi orang di luar Desa untuk bisa berkunjung. Sehari-harinya pemandangan orang memancing di tambak merupakan hal yang tak aneh lagi. Pemancing ini berasal dari berbagai daerah, bahkan luar kota. Ramainya pengunjung memicu masyarakat untuk mendirikan warung dan rumah makan sepanjang jalan utama Desa, hanya saja yang memiliki kesempatan untuk membuka usaha di bidang pariwisata masih segelintir orang saja yang memiliki lahan tambak luas. Bagi yang tidak memiliki lahan, mereka biasanya hanya menjadi buruh pencari umpan saja.

Lokasi Desa yang berada tepat di pinggir pantai juga sebenarnya menjadi potensi untuk pengembangan ekowisata. Sayangnya pantai yang tidak terawat, penuh dengan sampah, baik kiriman maupun sampah domestik, menjadikan pantai ini tidak menarik dan tidak diminati pengunjung. Saking banyaknya sampah, jika berjalan di pinggir pantai, yang diinjak bukanlah pasir putih, tapi tumpukan sampah basah yang menggunung hampir menutupi permukaan pasir. Sejauh ini belum ada penanganan serius terkait sampah di pinggir pantai, karna warga merasa percuma membersihkan sampah-sampah itu secara rutin, toh jika hujan besar datang dan air banjir membawa sampah, tempat itu akan kembali diselimuti sampah.

Potensi ekowisata lainnya terdapat pada mangrove. Banyak lahan kosong untuk ditanami mangrove, seperti di pinggir sungai, empang-empang, bahkan pinggir pantai, dijadikan celah untuk sarana ekowisata yang menarik. Tidak jarang sekelompok orang datang, membeli bibit mangrove, dan melakukan penanaman disana. namun belum ada pegorganisasian bersama yang dilakukan masyarakat.

Berbagai potensi ekowisata tersebut turut mendukung adanya program rehabilitasi sebagai pemicu pariwisata di Desa Muara. Sebanyak 80.55% resonden sangat mendukung program rehabilitasi, apalagi jika diteruskan menjadi pengelolaan ekowisata berbasis sumberdaya alam. Tercatat ada 61.11% yang sangat mendkung adanya pengembangan wilayah ekowisata di Desa Muara, dengan catatan, masyarakat juga turut dilibatkan dalam segala proses, termasuk penerima manfaat dari ekowisata tersebut.

Efisiensi Program

Pelaksanaan program semestinya memiliki kadar keefisienan tertentu. Pada program rehabilitasi mangrove ini, efisiensi program dilihat dari dua komponen, yakni waktu dan sumber daya. Waktu yang digunakan bukan dinilai dari seberapa cepat menyelesaikan program, tapi bagaimana waktu tersebut bisa dioptimalkan untuk berbagai kegiatan, tepat waktu, dan sesuai dengan jadwal yang telah direncanakan. Sumber daya, dinilai dari dua aspek, yaitu sumber daya alam dan sumber saya manusia.

Program rehabilitasi mangrove ini kurang tersosialisasi setiap kegiatannya pada masyarakat, terutama anggota. Dominasi penilaian yang kurang baik terefleksi dalam poin pertanyaan ketepatan jadwal kegiatan. Diungkapkan oleh salah satu anggotanya SNT:

“..Ya tapi gituah, nanem juga kadang ada kadang engga, nggak ada kepastian juga ke kitanya. Kayak sekarang nih, katanya awal tahun 2015 mau ada lagi kegiatan nanem, sampe sekarang nggak ada lagi kabarnya. Padahal itu bibit mangrove udah banyak yang siap tanam di saung...” (SNT, 29 Tahun)

Pernyataan tersebut menggambarkan, bahwa sebenarnya masyarakat terutama anggota kelompok tani mangrove, tidak mengetahui secara pasti jadwal dari setiap kegiatan yang akan dilaksanakan. Kegiatan pokoknya saja, yaitu menanam, jadwalnya masih belum dijamah anggota. Dalam hal ini, anggota hanya menunggu instruksi dari ketua kelompok atau komando penanaman dalam setiap kegiatan.

Sumber daya alam yang bisa dimanfaatkan dalam program ini berupa banyaknya pohon-pohon mangrove yang bisa diambil bagiannya untuk dijadikan bibit. Lahan-lahan yang masih kosong juga berpotensi untuk ditanami mangrove. disamping itu, sumber daya manusia juga dimiliki oleh Desa Muara. Masyarakat secara turun temurun memiliki kemampuan untuk menanam mangrove. Meski mengaku tidak memiliki teknik khusus dalam menanam, tapi warga menggunakan

sensing untuk menanamnya, membuat perkiraan sendiri saat menanam.

Program ini tentunya memiliki mitra sebagai upaya pengembangan program. Bagaimana komunitas memiliki relasi kerjasama yang terbangun antar kelembagaan baik di dalam maupun di luar komunitas. Kerjasama tersebut semestinya dibangun baik dengan masyarakat di luar Desa Muara, media, pemerintahan setempat, lembaga pendidikan, Lembaga Swadaya Masyarakat, maupun instansi yang memiliki kepentingan serupa.

Tabel 12 Jumlah dan persentase responden menurut penilaiannya terhadap

Dokumen terkait