Bab V Kesimpulan dan Rekomendas
PENGATURAN HUBUNGAN ANTARA PUSAT DAN DAERAH
C. Hubungan Keuangan
2. Dana Perimbangan a Dana Bagi Hasil
Komponen DBH dalam UU No. 33 Tahun 2004 terdiri pembagian beberapa jenis pajak (pusat) dan hasil pengelolaan sumber daya alam. Pajak pusat yang menjadi sumber DBH dari pajak adalah dari pajak bumi dan bangunan (PBB), Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB), Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 25 dan Pasal 29 Wajib Pajak Orang Pribadi Dalam Negeri dan PPh Pasal 21.293 Hal tersebut berbeda dengan Bagian
Perda, ditetapkan paling rendah sebesar 0,5% dan paling tinggi sebesar 1%. Lihat Pasal 6 ayat(3) UU No. 28 Tahun 2009.
287
Pengertian hotel menjadi diperluas menjadi: fasilitas penyedia jasa penginapan/peristirahatan termasuk jasa terkait lainnya dengan dipungut bayaran, yang mencakup juga motel, losmen, gubuk pariwisata, wisma pariwisata,pesanggrahan, rumah penginapan dan sejenisnya, serta rumah kos dengan jumlah kamar lebih dari 10 (sepuluh). Lihat Pasal 1 angka 21 UU No. 28 Tahun 2009.
288
Pengertian restoran dalam Pasal 1 angka 23 UU No. 28 Tahun 2009 juga mencakup jasa boga/katering.
289 Je nis hib ura n ya ng d ima ksud ya itu: p a g e la ra n b usa na , ko nte s ke c a ntika n, d isko tik, ka ra o ke , kla b ma la m, p e rma ina n ke ta ng ka sa n, p a nti p ija t, d a n ma nd i ua p /sp a . Liha t Pa sa l 45 a ya t (2) UU No . 28 Ta hun 2009.
290
Lihat Pasal 8 ayat (5) UU No. 28 Tahun 2009.
291
Pasal 31 UU No. 28 Tahun 2009.
292
Pasal 56 ayat (3) UU No. 28 Tahun 2009.
293
Daerah atas pajak dalam UU No. 22 Tahun 1999, yang tidak mencantumkan PPh sebagai salah satu sumber bagian daerah atas pajak.
DBH dari penerimaan sumber daya alam (DBH-SDA) berasal dari 6 bidang sumber daya alam yang menjadi sumber yaitu: kehutanan, pertambangan umum, perikanan, pertambangan minyak bumi, pertambangan gas bumi, dan pertambangan panas bumi.294 Hal ini juga berbeda dengan bidang –bidang sumber daya alam yang menjadi sumber Bagian Daerah atas sumber daya alam dalam UU No.22 Tahun 1999 yang tidak mencantumkan bidang pertambangan panas bumi. Dengan demikian, jika dibandingkan dengan UU No. 22 Tahun 1999, maka UU No. 33 Tahun 2004 menambah penerimaan pusat atas bidang sumber daya alam yang dibagi ke daerah.
Dalam DBH pajak ada dua hal yang penting, yaitu: mengenai prosentase alokasi DBH dari sektor pajak, serta persentase pembagian DBH antara satuan pemerintahan daerah. Pengaturan persentase perimbangan alokasi DBH PBB dan BPHTB antara pusat dan daerah adalah 10 % : 90 % untuk DBH PBB dan 20% : 80 % untuk DBH BPHTB. Sementara itu, 10% (sepuluh persen) bagian Pemerintah dari penerimaan PBB dibagikan kepada seluruh daerah kabupaten dan kota yang didasarkan atas realisasi penerimaan PBB tahun anggaran berjalan. Dari persentase 10 % bagian pusat dengan imbangan di atas maka persentase riil yang dibagi adalah 6,5% untuk seluruh kabupaten/kota yang dibagikan secara merata, dan 3,5% yang dibagikan sebagai insentif kepada kabupaten dan/kota. Penerimaan insentif tersebut diberikan kepada kabupaten/ kota yang realisasi penerimaan PBB sektor Pedesaan dan Perkotaan pada tahun anggaran sebelumnya, mencapai/melampaui rencana penerimaan yang ditetapkan. 295
294
Pasal 11 ayat (3) UU No. 33 Tahun 2004.
295
Sementara itu, DBH dari penerimaan BPHTB adalah sebesar 80% (delapan puluh persen)296, sementara 20% (dua puluh persen) bagian Pemerintah dari penerimaan BPHTB dibagikan dengan porsi yang sama besar untuk seluruh kabupaten dan kota.297
Dari pengaturan di atas, walauapun pada awalnya terdapat perimbangan alokasi DBH antara pusat dan daerah, namun berujung pada pengalokasian DBH dari penerimaan PBB dan BPHTB 100 % pada daerah. Dengan demikian, pendapatan negara dari penerimaan PBB dan BPHTB dibagi habis kepada daerah dengan persentase di atas.
Berbeda dengan DBH dari PBB dan BPHTB yang dibagi habis pada daerah, alokasi DBH dari penerimaan PPh Pasal 25 dan Pasal 29 Wajib Pajak Orang Pribadi Dalam Negeri dan PPh Pasal 21 hanya 20 % yang menjadi bagian daerah.298 Dengan demikian, 80 % penerimaan PPh di atas menjadi bagian pusat.
Dari 20 % bagian daerah di atas, dibagi dengan imbangan 60% (enam puluh persen) untuk kabupaten/kota dan 40% (empat puluh persen) untuk provinsi. Dengan demikian, provinsi mendapatkan bagian sebesar 8 % dan kabupaten/ kota di provinsi bersangkutan mendapatkan 12 % dari bagian daerah.299
Sementara itu, penerimaan 6 bidang SDA yang dibagi dengan daerah dilakukan dengan memberikan persentase tertentu yang sifatnya tetap. Untuk penerimaan kehutanan, terdapat dua macam sub bidang penerimaan yang dibagi yaitu penerimaan Iuran Hak Pengusahaan Hutan (IHPH), Provisi Sumber Daya Hutan (PSDH), dan Dana Reboisasi. Persentase pembagian IHPH dan PSDH yang dihasilkan dari wilayah daerah yang bersangkutan adalah 20 % untuk pusat dan 80 % untuk daerah.300 Sementara itu, penerimaan kehutanan yang berasal dari Dana Reboisasi dibagi dengan
296
Lihat Pasal 13 ayat (4) UU No.33 Tahun 2004.
297
Pasal 12 ayat (5) UU No. 33 Tahun 2004.
298
Lihat Pasal 13 ayat (1) UU No, 33 Tahun 2004.
299
Lihat Pasal 8 ayat (2) PP No. 55 Tahun 2005.
300
imbangan sebesar 60% untuk pusat dan 40% untuk daerah,301 untuk mendanai kegiatan rehabilitasi hutan dan lahan.302
Penerimaan pertambangan umum yang dihasilkan dari wilayah daerah yang bersangkutan, dibagi dengan imbangan 20% (dua puluh persen) untuk pusat dan 80% (delapan puluh persen) untuk daerah.303 Sementara itu, persentase pembagian Penerimaan Perikanan yang diterima secara nasional juga sama (20% : 80%), namun 80 % bagian daerah hanya diperuntukkan bagi seluruh kabupaten/kota, tidak kepada provinsi.304 Penerimaan Perikanan tersebut terdiri atas Penerimaan Pungutan Pengusahaan Perikanan; dan Penerimaan Pungutan Hasil Perikanan305 dan dibagikan dengan porsi yang sama besar kepada kabupaten/kota di seluruh Indonesia.306
Penerimaan Pertambangan minyak bumi yang dihasilkan dari wilayah daerah yang bersangkutan setelah dikurangi komponen pajak dan pungutan lainnya sesuai dengan peraturan perundang-undangan, dibagi dengan imbangan:307 84,5% (delapan puluh empat setengah persen) untuk Pemerintah; dan 15,5% (lima belas setengah persen) untuk Daerah.
Sementara itu, penerimaan dari pertambangan gas bumi dibagi dengan imbangan:308 69,5% (enam puluh sembilan setengah persen) untuk pemerintah; dan 30,5% (tiga puluh setengah persen) untuk daerah. Bagi DBH yang berasal dari penerimaan pertambangan minyak bumi dan gas bumi, UU No. 33 Tahun 2004 mengatur bahwa sebesar 0,5% dialokasikan untuk menambah anggaran pendidikan dasar.309
301
Lihat Pasal14 huruf b UU No.33 Tahun 2004.
302
Lihat Pasal 16 huruf b UU No. 33 Tahun 2004.
303
Lihat Pasal 14 huruf c UU No.33 Tahun 2004.
304
Lihat Pasal14 huruf d UU No.33 Tahun 2004.
305
Lihat Pasal 18 ayat (1) UU No.33 Tahun 2004.
306
Lihat Pasal 18 ayat (2) UU No.33 Tahun 2004.
307
Lihat Pasal14 huruf e UU No.33 Tahun 2004.
308
Lihat Pasal14 huruf f UU No.33 Tahun 2004.
309
Jika ketentuan peruntukkan untuk alokasi pendidikan dasar tersebut dilanggar, UU No. 33 Tahun 2004 mengatur sanksi administrasi berupa pemotongan atas penyaluran DBH minyak bumi dan gas bumi.310
Pertambangan panas bumi yang dihasilkan dari wilayah daerah yang bersangkutan yang merupakan Penerimaan Negara Bukan Pajak yang terdiri atas:311 Setoran Bagian Pemerintah; dan, Iuran tetap dan iuran produksi. Penerimaan tersebut dibagi dengan imbangan 20% untuk pusat dan 80% untuk daerah.312 20% DBH tersebut dibagi dengan rincian:313 16% (enam belas persen) untuk provinsi yang bersangkutan; 32% (tiga puluh dua persen) untuk kabupaten/kota penghasil; dan 32% (tiga puluh dua persen) untuk kabupaten/kota lainnya dalam provinsi yang bersangkutan.314
b. Dana Alokasi Umum
DAU adalah dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang dialokasikan dengan tujuan pemerataan kemampuan keuangan antar-daerah duntuk mendanai kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi.315 Presentase keseluruhan dana tersebut sekurang- kurangnya 26% dari Pendapatan Dalam Negeri Neto316 yang ditetapkan dalam APBN.317 Istilah “sekurang-kurangnya”, berkaitan dengan kemungkinan bertambahnya presentase DAU jika terdapat kelebihan penerimaan negara dari minyak bumi dan gas bumi yang ditetapkan dalam APBN Perubahanyang dialokasikan sebagai DAU tambahan318 berdasarkan formula DAU atas dasar celah fiskal.319 Jika dibandingkan dengan UU No.
310
Lihat Pasal 25 UU No. 33 Tahun 2004.
311
Lihat Pasal 21 ayat (1) UU No.33 Tahun 2004.
312
Lihat Pasal14 huruf g UU No.33 Tahun 2004.
313
Lihat Pasal 21 ayat (2) UU No.33 Tahun 2004.
314
dibagikan dengan porsi yang sama besar untuk semua kabupaten/kota dalam provinsi yang bersangkutan. Lihat Pasal 21 ayat (3) UU No.33 Tahun 2004.
315
Pasal 1 angka 21 UU No.33 Tahun 2004.
316
Pendapatan Dalam Negeri Neto adalah Penerimaan Negara yang berasal dari pajak dan bukan pajak setelah dikurangi dengan Penerimaan Negara yang dibagihasilkan kepada Daerah. Lihat Penjelasan Pasal 27 ayat (1) UU No. 33 Tahun 2004.
317
Pasal 27 ayat (1) UU No. 33 Tahun 2004.
318
Lihat Pasal 47 ayat (1) PP No. 55 Tahun 2005.
319
25 Tahun 1999 yang hanya mengatur jumlah DAU sebesar 25 % dengan formula yang hampir sama, presentase DAU berdasarkan UU No. 33 Tahun 2004 lebih besar.320
DAU pada dasarnya yang dialokasikan untuk suatu daerah dialokasikan atas dasar celah fiskal dan alokasi dasar.321 UU No. 33 Tahun 2004 menentukan bahwa formula menentukan celah fiskal adalah kebutuhan fiskal dikurangi dengan kapasitas fiskal Daerah.322 Sementara itu, alokasi dasar dihitung berdasarkan jumlah gaji Pegawai Negeri Sipil Daerah (PNSD).323 Dengan demikian, jumlah DAU yang diterima setiap daerah adalah celah fiskal ditambah alokasi dasar.
Sebagaimana disinggung di atas bahwa, celah fiskal merupakan kebutuhan fiskal dikurangi kapasitas fiskal. Kebutuhan fiskal yang merupakan kebutuhan kebutuhan pendanaan daerah untuk melaksanakan fungsi layanan dasar umum324, diukur secara berturut-turut dengan jumlah penduduk, luas wilayah, Indeks Kemahalan Konstruksi (IKK), Produk Domestik Regional Bruto (PDB) per kapita, dan Indeks Pembangunan Manusia (IPM).325 Sementara itu, Kapasitas fiskal Daerah merupakan sumber pendanaan Daerah yang berasal dari PAD dan Dana Bagi Hasil.326 Dari pengaturan tersebut, terlihat bahwa formula penentuan celah fiskal, khususnya formula penghitungan kebutuhan fiskal lebih rumit, jika dibandingkan dengan penghitungan alokasi dasar yang hanya didasarkan pada gaji PNSD. Apalagi ditentukan juga bahwa proporsi DAU antara daerah provinsi dan kabupaten/kota ditetapkan berdasarkan imbangan kewenangan antara provinsi dan kabupaten/kota.327
320
Dalam Pasal 7 ayat (1) UU No. 25 Tahun 1999 diatur bahwa “Dana Alokasi Umum ditetapkan sekurang-kurangnya 25% (dua puluh lima persen) dari Penerimaan Dalam Negeri yang ditetapkan dalam APBN”.
321
Pasal 27 ayat (2) UU No. 33 Tahun 2004.
322
Pasal 27 ayat (3) UU No. 33 Tahun 2004.
323
Pasal 27 ayat (4) UU No. 33 Tahun 2004.
324
Pasal 28 ayat (1) UU No. 33 Tahun 2004.
325
Pasal 28 ayat (2) UU No. 33 Tahun 2004.
326
Pasal 28 ayat (3) UU No. 33 Tahun 2004.
327
Besarnya jumlah celah fiskal akan mempengaruhi jumlah alokasi DAU yang diperoleh suatu daerah. Daerah yang memiliki nilai celah fiskal sama dengan nol menerima DAU sebesar alokasi dasar.328 Sementara itu, daerah yang memiliki nilai celah fiskal negatif dan nilai negatif tersebut lebih kecil dari alokasi dasar menerima DAU sebesar alokasi dasar setelah dikurangi nilai celah fiskal.329 Daerah yang memiliki nilai celah fiskal negatif dan nilai negatif tersebut sama atau lebih besar dari alokasi dasar tidak menerima DAU.330
c. Dana Alokasi Khusus
Dana Alokasi Khusus (DAK) adalah dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang dialokasikan kepada daerah tertentu dengan tujuan untuk membantu mendanai kegiatan khusus yang merupakan urusan daerah dan sesuai dengan prioritas nasional.331 Berbeda dengan dana perimbangan lainnya, DAK tidak ditentukan berdasarkan presentase tertentu. Besaran DAK ditetapkan setiap tahun dalam APBN.332 Hal ini disebabkan DAK dialokasikan kepada daerah tertentu untuk mendanai kegiatan khusus sesuai dengan fungsi yang telah ditetapkan dalam APBN333 yang merupakan urusan daerah.334
Daerah penerima DAK juga ditentukan wajib menyediakan Dana Pendamping sekurang-kurangnya 10% dari alokasi DAK335. Hal ini dapat dimengerti karena pada dasarnya urusan pemerintahan yang dibiayai DAK merupakan kewenangan daerah. Namun demikian, daerah dengan kemampuan fiskal tertentu tidak diwajibkan menyediakan Dana Pendamping.
3. Pinjaman Daerah
328
Pasal 32 ayat (1) UU No. 33 Tahun 2004.
329
Pasal 32 ayat (2) UU No. 33 Tahun 2004.
330
Pasal 32 ayat (3) UU No. 33 Tahun 2004.
331
Lihat Pasal 1 angka 23 UU No. 33 Tahun 2004.
332
Pasal 38 UU No. 33 Tahun 2004.
333
Pasal 39 ayat (2) UU No. 33 Tahun 2004.
334
Pasal 39 ayat (1) UU No. 33 Tahun 2004.
335