• Tidak ada hasil yang ditemukan

Sumber-Sumber Penerimaan/ Pendapatan Daerah

Bab V Kesimpulan dan Rekomendas

PRINSIP-PRINSIP UMUM POLA HUBUNGAN PUSAT DAN DAERAH

D. Kajian Teori Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah

5. Sumber-Sumber Penerimaan/ Pendapatan Daerah

Secara umum, sumber penerimaan/ pendapatan daerah (revenue sources of local governments) secara umum terdiri dari pendapatan asli daerah (local own revenue), transfer dana dari pemerintah pusat ke daerah (intergovernmental fiscal transfers) dan pinjaman daerah (local borrowing).181

a. Pendapatan Asli Daerah

Seperti telah dikemukakan sebelumnya bahwa pendapatan asli daerah selalu dihubungkan dengan kewenangan daerah untuk memungut pajak (daerah) atau pungutan lainnya seperti retribusi, padahal pendapatan asli daerah juga dapat berasal dari sumber lain, seperti hasil pengelolaan perusahaan daerah, namun dengan hasil yang relatif kecil.182

179

Ibid.

180

Roy Bahl, dalam dalam Shinichi Ichimura, Roy Bahl (eds), op.cit., hlm. 15.

181

Motohiro Sato, “Summary Report of Seminar B: Local Public Finance, Asian Development

Conference 2003: Development and Decentralization in Asia”, dalam Shinichi Ichimura, Roy

Bahl (eds), Decentralization: Policies in Asian Development, World Scientific Publishing Co. Pte. Ltd., Singapore, 2009, hlm. 396.

182

Persoalan kewenangan pemungutan pajak, terkait dengan pembagian kewenangan di sektor pajak antara pemerintah pusat dengan pemerintahan daerah. Dalam hal ini, Anwar Shah mengintroduksi 4 prinsip yang harus diperhatikan dalam pembagian kewenangan pemungutan pajak di semua tingkatan pemerintahan.183

Pertama, pajak dengan objek bergerak dan barang-barang dagang yang memiliki tingkat efisiensi yang tinggi terhadap pasar domestik harus menjadi kewenangan pemerintah pusat.184 Kedua, pajak-pajak yang karena pertimbangan keseragaman secara nasonal dilakukan dengan sistem redistribusi progresif (pajak progresif), harus menjadi kewenangan pemerintah pusat.185 Ketiga, pajak harus dipungut pada wilayah yang yang dapat dilakukan pemantauan dan penilaian yang relevan.186 Hal ini untuk meminimalisasi biaya administrasi pemungutan, misalnya pajak property (tanah dan bangunan) lebih baik menjadi kewenangan daerah untuk meningkatkan nilai jual objek tersebut di pasaran.187 Keempat, untuk memastikan adanya akuntabilitas, penerimaan dari pajak harus disesuaikan dengan kebutuhan pengeluaran belanja (daerah).188

Dalam praktek, pengaturan pajak daerah dan pungutan daerah lainnya sangat beragam. Pemerintahan daerah di negara-negara maju lebih banyak memberikan kewenangan kepada daerah untuk memungut pajak.189 Sementara itu, di negara – negara berkembang dan negara-negara dalam fase transisi, pemerintah pusat lebih sedikit menyerahkan kewenangan untuk memungut pajak kepada daerah.190 Hal tersebut menyebabkan perbedaan pendapatan daerah dari sektor pajak daerah.191

183

Anwar Shah, “Fiscal Decentralization…,loc.cit., hlm.17.

184 Ibid. 185 Ibid. 186 Ibid. 187 Ibid. 188 Ibid., hlm.17-18. 189

Roy Bahl, “Promise and…..”, op.cit., hlm. 9.

190

Ibid., hlm.10.

191

Bahl mengatakan bahwa kontribusi pajak lokal terhadap total pendapatan sektor pajak secara nasional di negara-negara berkembang dan negara-negara dalam transisi hanya mencapai 10%, sementara di negara-negaa maju mencapai 20%. Ibid.

Di Asia, misalnya, Bahl mengatakan bahwa rendahnya pendapatan daerah dari pajak daerah disebabkan pemerintah pusat tidak rela melepaskan kewenangan terhadap pajak-pajak yang produktif.192 Di negara- negara berkembang dan negara dalam masa transisi, pemerintah pusat memiliki kewenangan pada jenis-jenis pajak tidak langsung, sementara pemerintahan daerah hanya memiliki sedikit kewenangan terhadap pajak- pajak yang secara langsung bersumber pada potensi lokal.193 Dalam hal ini, walaupun kewenangan untuk menggunakan pendapatan dana diberikan kepada daerah, namun tanpa kewenangan daerah cukup dalam memungut pajak, menyebabkan daerah tidak dapat membiayai pengeluaran dengan pendapatan sendiri.194 Hal tersebut menyebabkan pemerintahan daerah sangat bergantung pada transfer dana dari pusat.195

b. Transfer Dana dari Pusat ke Daerah (Intergovernmental Fiscal

Transfers)

Adanya kecenderungan ketergantungan daerah pada transfer dana dari pemerintah pusat di negara-negara berkembang menimbulkan pertanyaan apakah pemerintahan daerah masih memiliki otonomi dalam kebijakan desentralisasi fiskal? Namun demikian, pola transfer dana dari pusat ke daerah juga dialami di negara-negara maju. Seperti dikatakan oleh Anwar Shah, pengalaman negara-negara maju menunjukkan bahwa keberhasilan desentralisasi fiskal tidak bisa tercapai tanpa adanya sebuah program transfer dana yang didesain dengan baik (well – designed fiscal transfer program).196 Artinya, baik di negara-negara maju maupun negara- negara berkembang, sistem transfer atau bantuan keuangan antar tingkatan

192

Dalam hal ini Bahl member pengecualian terhadap Filipina di mana konstribusi sektor pajak daerahnya mencapai 1/3 dari total pendapatan sektor pajak secara nasional. Ibid.

193

Anwar Shah, “Fiscal Decentralization…., loc.cit., hlm. 18.

194

K. Brueckner, “Partial Fiscal Decentralization”, Cesifo Working Paper No. 2137, Category 1: Public Finance, November 2007. Diunduh dari http://www.ssrn.com/abstract=1029581,

hlm. 1

195

Ibid.

196

Jaime Bonet, “Fiscal decentralization and regional income disparities: evidence from the Colombian experience”, Springer-Verlag Published online: 12 April 2006, hlm.663.

pemerintahan (khususnya dari pusat ke daerah), menjadi salah mekanisme yang mendukung keberhasilan desentralisasi.

Dari paparan di atas, tercermin bahwa transfer dana/ bantuan keuangan dari pusat ke daerah akan selalu ada. Menurut Bagir Manan, usaha-usaha untuk menghapuskan bantuan keuangan bukan cara terbaik untuk memecahkan masalah keuangan daerah.197 Bagir Manan sendiri lebih menyetujui agar pemecahan masalah keuangan daerah hendaknya ditujukan pada upaya agar bantuan –bantuan pusat tidak akan begitu banyak mengurangi kemandirian daerah untuk mengatur dan mengurus urusan rumah tangga daerahnya sendiri.198

Adanya bantuan dana (subsidi) dari pusat ke daerah merupakan bagian dari mekanisme perimbangan keuangan antara pusat daerah yang merupakan inti dari hubungan keuangan pusat – daerah.199 Seperti dikatakan oleh Bagir Manan, bahwa:

”perimbangan keuangan tidak sekedar diartikan memperbesar sumber lumbung keuangan daerah, namun tidak kalah penting mengatur sistem keuangan daerah seperti subsidi yang tetap menjamin kemandirian, keleluasaan dan kekuasaan daerah mengatur dan mengurus rumah tangganya.”200

Dilihat dari derajat otonomi peruntukan dan pemanfaatannya, Bagir Manan yang mengatakan bahwa bantuan keuangan dari pusat ke daerah, dapat digolongkan ke dalam tiga kategori utama, yaitu bantuan bebas, bantuan:201

1. Bantuan bebas

Bantuan yang hanya ditentukan jumlahnya. Peruntukan dan tata cara penggunaannya diserahkan sepenuhnya kepada masing-masing daerah.

197

Bagir Manan, Hubungn Antara…, op.cit., hlm. 210.

198 Ibid. 199 Ibid. 200 Ibid., hlm. 42. 201 Ibid.

Daerah mempunyai kebebasan untuk menentukan sendiri peruntukan dan tata cara penggunaannya.

2. Bantuan dengan pembatasan tertentu.

Bantuan yang ditentukan peruntukannya secara umum. Peruntukannya secara khusus dan cara-cara pemanfaatannya diserahkan sepenuhnya kepada daerah. Bantuan jenis kedua ini lebih mengikat atau lebih membatasi kemandirian daerah dibandingkan dengan yang pertama. 3. Bantuan terikat

Bantuan yang ditentukan secara rinci peruntukan dan tata cara pemanfaatannya. Daerah tidak ada kesempatan untuk menentukan sendiri peruntukan maupun tata cara pemanfaatannya. Bantuan ini sangat mengikat daerah. Sementara itu, Roy Bahl mengatakan, jenis transfer dana yang diberikan, terdiri dari transfer dana yang sifatnya unconditional (tidak bersyarat), conditional (bersyarat), dan Ad-hoc (tidak tetap).202 Pendapat Bahl tersebut hampir sama dengan pendapat Bagir Manan. Perbedaannya, Bagir Manan tidak memasukkan jenis transfer dana (bantuan keuangan) yang sifatnya Ad-hoc, sementara Bahl tidak membagi varian lain dari conditional transfer, sebagaimana dilakukan oleh Bagir Manan yang membaginya menjadi dua kategori, yaitu bantuan dengan pembatasan tertentu dan bantuan terikat. Namun demikian, kedua pendapat tersebut saling melengkapi. Dengan demikian, terdapat 4 jenis tranfer dana (bantuan keuangan) dari pusat ke daerah, yaitu bantuan bebas (unconditional grants), bantuan dengan pembatasan tertentu, bantuan terikat, dan bantuan yang sifatnya Ad-Hoc.

Manurut Bahl, unconditional grants (bantuan bebas) dianggap “more consistent with local autonomy goals of decentralization” (lebih konsisten dengan tujuan otonomi daerah dalam kerangka desentralisasi).203 Jika bantuan tersebut berdasarkan pembagian pajak pusat, maka pemerintah pusat memberikan akses kepada pemerintahan daerah dengan dasar

202

Roy Bahl, op.cit., hlm. 11

203

perhitungan pajak yang elastis (elastic tax base) yang relative memberikan kepastian jumlah yang akan diterima.204 Sementara itu, conditional grant adalah bantuan yang membolehkan pemerintah pusat untuk mengawasi penggunaan dana tersebut dengan asumi agar daerah menjalankan fungsi yang memiliki eksternalitas positif dan/ atau distribusi keuntungan.205 Distribusi conditional grant, menurut Bahl dilakukan dengan beberapa cara, namun yang paling umum digunakan adalah sistem pembayaran yang didasarkan pada beberapa standar pengeluaran.206 Biasanya pola conditional grant berhasil mencapai target yang diinginkan. Namun persoalannya, conditional grant diterapkan dengan pola yang seragam di seluruh daerah dan tidak memberikan pertimbangan yang cukup terhadap kondisi daerah.207 Hal tersebut menyebabkan pola pengeluaran (keuangan) pemerintahan daerah menyimpang dari kecenderungan lokal.208

Sementara itu, transfer dana/ bantuan keuangan yang sifatnya Ad- Hoc didasarkan pada pertimbangan politis. Hal tersebut menyebabkan pola bantuan tersebut tidak transparan dan jauh dari ukuran-ukuran objektif. Bahkan Cina dan Thailand, yang mengalokasikan sebagian bantuan dalam bentuk ad-hoc, menghadapi persoalan ketidakpastian anggaran di tingkat daerah.209

c. Pinjaman Daerah

Seperti telah dikemukakan sebelumnya, bahwa pinjaman daerah sangat berkatan dengan penerapan hard budget constraint (pembatasan anggaran secara ketat) di mana tidak ada bantuan dari pusat pada saat

204 Ibid. 205 Ibid., hlm. 14. 206 Ibid 207 Ibid. 208 Ibid. 209 Ibid.

terjadi akhir tahun anggaran. Menurut Davey (1983) ada beberapa alasan pemerintah daerah melakukan pinjaman dana seperti:210

a. untuk menutup defisit keuangan jangka pendek;

b. untuk membiayai kekurangan belanja rutin dan penghasilan retribusi dalam anggaran tahunan (annual budget);

c. membiayai pembelian perlengkapan dan mesin-mesin; d. membiayai investasi yang akan menghasilkan pendapatan;

e. membiayai pembentukan modal jangka panjang (long term capital development).

Menurut J. Glasson, tujuan utama pemanfaatan dana pinjaman daerah adalah untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat dan melakukan pembangunan yang menerus (sustainable development).211 Hal tersebut sangat wajar karena dengan penerapan hard budget constraint terbatasnya kemampuan keuangan daerah, maka terselenggaranya progam-program daerah tidak hanya bergantung pada pendapatan daerah dan bantuan dari pusat, namun sangat bergantung pada pinjaman daerah. Oleh karena itu, seperti dikemukakan sebelumnya, bahwa keleluasaan bagi daerah untuk melakukan pinjaman merupakan salah prinsip dari desentralisasi fiskal.

Pengaturan mengenai pinjaman daerah di setiap menunjukkan pola yang berbeda-beda. Menurut Shah, di negara-negara berkembang di mana pasar (keuangan) belum terbangun dengan baik untuk kredit jangka panjang dan kemampuan daerah untuk membayar pinjaman, menyebabkan akses daerah untuk melakukan pinjaman sangat terbatas.212 Hal tersebut menyebabkan pengaturan pinjaman daerah lebih menekankan pada pengawasan pemerintah pusat, sementara bantuan pusat untuk mendorong daerah melakukan pinjaman sangat jarang menjadi perhatian. Biasanya yang menjadi ukuran pola pengawasan pusat dalam hal pinjaman daerah adalah

210

Lihat Bachrul Elmi dan Syahrir Ika, “Hutang Sebagai Salah Satu Sumber Pembiayaan Pembangunan Daerah Otonom”, Jurnal Kajian Ekonomi Dan Keuangan, Vol. 6 No. 1, Maret, 2002, hlm. 64.

211

Ibid., hlm. 62.

212

apakah daerah berwenang melakukan pinjaman? Jika dibolehkan, apakah daerah dapat melakukan pinjaman ke luar negeri?

6. Hakikat Pengawasan Pemerintah Pusat terhadap Daerah