Bab V Kesimpulan dan Rekomendas
PRINSIP-PRINSIP UMUM POLA HUBUNGAN PUSAT DAN DAERAH
D. Kajian Teori Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah
1) Pengawasan Menurut Sifat/Bentuk dan Tujuannya
Secara konsepsional, pengawasan menurut sifat/bentuk dan tujuannya dapat dikelompokan menjadi 2 (dua), yaitu: (1) pengawasan preventif dan; (2) pengawasan represif atau pengawasan detektif.
a) Pengawasan Preventif
Secara umum pengertian pengawasan preventif pada dasarnya dilakukan untuk mencegah terjadinya penyimpangan-penyimpangan dalam pelaksanaan kegiatan. Dalam konteks penyelenggaraan pemerintahan daerah, maka pengawasan preventif bertujuan untuk mencegah penyimpangan-penyimpangan yang terjadi di lapangan pemerintahan daerah. Relevan dengan pembentukan produk hukum di daerah dan tindakan tertentu organ pemerintahan daerah, menurut Bagir Manan, pengawasan preventif ini berkaitan dengan wewenang mengesahkan (goedkeuring).219 Pengawasan preventif ini memiliki tujuan yang menurut Revrisond Baswir diidentifikasikan sebagai berikut:
a) mencegah terjadinya tindakan-tindakan yang menyimpang dari dasar yang telah ditentukan.
b) memberi pedoman bagi terselenggaranya pelaksanaan kegiatan secara efesien dan efektif;
c) menentukan sasaran dan tujuan yang akan dicapai; dan
d) menentukan kewenangan dan tanggung jawab sebagai instansi sehubungan dengan tugas yang harus dilaksanakan.
b) Pengawasan Represif atau Pengawasan Detektif
Sebagian ahli mempergunakan istilah pengawasan ini dengan istilah pengawasan represif, sebagian lainnya mempergunakannya dengan istilah
218
Lihat Elektison Somi, Pengawasan Pengelolaan Keuangan Daerah dalam Sistem
Pemerintahan Daerah di Indonesia (Disertasi), Program Pascasarjana Universitas
Padjadjaran, Bandung, 2006, hlm. 91-95.
219
pengawasan detektif. Namun demikian, kedua istilah ini pada prinsipnya dilaksanakan setelah dilakukannya tindakan yaitu dengan membandingkan antara hal yang telah terjadi dengan hal yang seharusnya terjadi. Berkaitan dengan pembentukan produk hukum daerah dan tindakan tertentu organ pemerintah daerah, pengawasan ini menurut Bagir Manan berkaitan dengan wewenang pembatalan (Verneitiging) atau penangguhan (schorsing).220
Berkaitan dengan berbagai macam bentuk pengawasan, Paulus
Effendie Lotulung mengatakan bahwa salah satu permasalahan pokok
dalam studi tentang dasar-dasar hukum Administrasi adalah pelajaran tentang adanya atau dikenalnya berbagai macam kontrol atau pengawasan yang dapat dilakukan terhadap Pemerintah. Sebab di dalam melaksanakan tugasnya atau “mission”nya untuk menyelenggarakan kesejahteraan umum dan pelayanan kepentingan umum atau lazim disebut “public service”, maka terhadap Pemerintah selaku organ administarasi Negara dapat dikenakan bermacam-macam bentuk kontrol atau pengawasan. Tujuan pokok dari kontrol ini adalah untuk menghindari terjadinya kekeliruan-kekeliruan, baik yang disengaja maupun tidak disengaja, sebagai suatu usaha preventif, atau juga untuk memperbaikinya apabila sudah terjadi kekeliruan itu, sebagai suatu usaha represif. Dalam praktek, adanya kontrol itu sering dilihat sebagai sarana unutuk mencegah timbulnya segala bentuk penyimpangan tugas pemerintahan dari apa yang telah digariskan. Memang di sinilah letak inti atau hakekat dari suatu pengawasan.221
Apabila dibandingkan berbagai macam bentuk kontrol yang ada, maka dapat dibedakannya dari beberapa segi. Ditinjau dari segi kedudukan dari badan/organ yang melaksanakan kontrol itu terhadap badan/organ yang dikontrol, dapatlah dibedakan antara jenis kontrol yang disebut Kontrol Intern dan Kontrol Ekstern. Suatu Kontrol Intern berarti bahwa pengawasan itu dilakukan oleh suatu badan yang secara oraganisatoris/ struktural masih termasuk dalam lingkungan Pemerintah sendiri, misalnya: pengawasan yang
220
Bagir Manan, op.Cit
221
Paulus Effendie Lotulung, Beberapa Sistem tentang Kontrol Segi Hukum terhadap
dilakukan oleh pejabat atasan terhadap bawahannya secara hierarkis, ataupun pengawasan yang dilakukan oleh tim/ panitia verifikasi yang dibentuk secara insidentil dan biasanya terdiri dari beberapa orang ahli dalam bidang-bidang tertentu. Bentuk kontrol-kontrol semacam itu dapat digolongkan dalan jenis kontrol teknis-administratif atau lazim pula disebut sebagai suatu bentuk “built-in control”. Sebaliknya, suatu Kontrol Ekstern adalah pengawasan yang dilakukan oleh organ atau lembaga-lembaga yang secara organisatoris/struktural berada di luar Pemerintah dalam arti eksekutif, misalnya: kontrol keuangan yang dilakukan oleh Badan Pengawas Keuangan (BPK), kontrol sosial yang dilakukan oleh masyarakat melalui pers/masmedia, kontrol politis yang pada umumnya dilakukan oleh lembaga- lembaga perwakilan rakyat dalam bentuk “hearing” ataupun hak bertanya para anggotanya. Termasuk pula kontrol ekstern ini adalah kontrol yang dilakukan secara tidak langsung melalui badan-badan peradilan (judicial control) dalam hal timbul persengketaan atau perkara dengan pihak Pemerintah.222
Ditinjau dari segi saat/waktu dilaksanakannya suatu kontrol atau pengawasan, dapat pula dibedakan dalam 2 jenis kontrol, yaitu apa yang disebut sebagai Kontrol a-priori ada yang disebut Kontrol a-posteriori. Dikatakan sebagai Kontrol a-priori adalah bila pengawasan itu dilakukan sebelum dikeluarkannya suatu keputusan atau ketetapan Pemerintah ataupun peraturan lainnya yang pengeluarannya memang menjadi wewenang Pemerintah. Dalam hal ini tampak jelas unsur preventif dari maksud kontrol itu, sebab tujuan utamanya adalah untuk mencegah atau menghindari terjadinya kekeliruan. Misalnya: pengeluaran suatu yang untuk berlaku sah dan dilaksanakan, harus terlebih dahulu memperoleh persetujuan dan pengesahan dari instansi atasan, atau peraturan pemerintah daerah-daerah tingkat II harus mendapat pengesahan terlebih
dahulu dari pemerintah daerah tingkat I, demikian seterusnya. Sedangkan sebaliknya, Kontrol a-posteriori adalah jika pengawasan itu baru terjadi
222
sesudah dikeluarkan keputusan/ketetapan Pemerintah atau sesudah terjadinya tindakan/perbuatan Pemerintah. Dengan kata lain, arti pengawasan di sini adalah dititikberatkan kepada tujuan yang bersifat korektif dan memulihkan suatu tindakan yang keliru. Peranan badan peradilan melalui suatu judicial control adalah selalu bersifat Kontrol a- posteriori, karena selalu dilakukan sesudah terjadinya sustu perbuatan atau tindakan.
Di samping kedua macam kriteria pembedaan tersebut di atas, dikenal pula pembedaan yang ditinjau dari segi sifat kontrol itu terhadap objek yang diawasi. Dengan kata lain, apakah kontrol itu hanya dimaksudkan untuk menilai segi-segi atau pertimbangan yang bersifat hukum-nya (segi legalitas), yaitu segi “rechtmatigheid” dari perbuatan Pemerintah ataukah juga di samping segi “rechtmatigheid” ini dinilai pula benar-tidak benarnya perbuatan itu ditinjau dari segi/pertimbangan kemanfaatannya (opportunitas), yaitu segi “doelmatigheid”. Jadi dibedakanlah antara Kontrol segi hukum (rechtmatigheidstoetsing) dan Kontrol segi kemanfaatan (doelmatigheidstoetsing). Misalnya: Kontrol yang dilakukan oleh badan peradilan (judicial control) pada prinsipnya hanya menitikberatkan pada segi legalitas, yaitu Kontrol segi hukum, sedangkan suatu kontrol teknis administratif intern dalam lingkungan Pemerintah sendiri (built-in control) bersifat selain penilaian legalitas (rechtsmatigsheidtoetsing) juga dan bahkan lebih menitikberatkan pada segi penilaian kemanfaatan.223
Di lapangan pemerintahan daerah, instrumen pengawasan, baik yang bersifat preventif maupun yang bersifat represif seringkali digunakan.
2) Ruang Lingkup, Waktu Pelaksanaan, Wujud, dan Jangka Waktu