POLA HUBUNGAN ANTARA PUSAT DAN DAERAH
KERJA SAMA ANTARA PUSAT STUDI KAJIAN NEGARA
FAkULTAS HUKUM
UNIVERSITAS PADJADJARAN
BANDUNG
DENGAN
DEWAN PERWAKILAN DAERAH (DPD)
REPUBLIK INDONESIA
i
ii
Pusat Studi Kebijakan Negara Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran (PSKN FH
Unpad) dengan Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia (DPD – RI). Dari
beberapa tema yang ditawarkan, sengaja kami memilih persoalan hubungan
keuangan antara pusat daerah karena dalam konteks negara terdesentralisasi
seperti Indonesia, persoalan tersebut selalu berkembang.
Bagi kalangan juris perkembangan tersebut tampak misalnya dalam hal
perkembangan peraturan perundang-undangan di bidang pemerintahan daerah
yang sangat dinamis. Bahkan dapat dikatakan bahwa peraturan
perundang-undangan di bidang ini merupakan peraturan perundang-perundang-undangan yang sangat
berkembang pesat, dari mulai Indonesia merdeka hingga saat ini. Perkembangan
peraturan perundang-undang tersebut akan menggambarkan konsep dinamis antara
desentralisasi dan sentralisasi yang seperti “bandul”. Misalnya, sebelum Perubahan
UUD 1945 (khususnya Pasal 18), beberapa undang-undang bercorak desentralistis,
seperti UU No. 1 Tahun 1945, UU No. 22 Tahun 1948, dan beberapa lagi lebih
mencerminkan sifat sentralistis, seperti UU No. 5 Tahun 1974. Hal tersebut sangat
mungkin terjadi hingga saat ini di mana Pasal 18 UUD 1945 telah diubah menjadi 3
pasal pada masa Perubahan Kedua UUD 1945, misalnya antara UU No. 22 Tahun
1999 dengan UU No. 32 Tahun 2004. UU No. 22 Tahun 1999 dibentuk sebelum
Pasal 18 UUD 1945 berubah namun secara prinsip tidak bertentangan dengan
perubahan Pasal 18 tersebut. Sementara itu, UU No. 32 Tahun 2004 dibentuk
setelah Perubahan Pasal 18 UUD 1945 dan mengubah ketentuan UU No. 22 Tahun
1999, begitu pula UU lainnya di bidang perimbangan keuangan pusat – daerah.
Perkembangan tersebut selalu menarik untuk diteliti, karena format desentralisasi
selalu akan berkembang seiring dengan perkembangan masyarakat.
Namun demikian, memilih tema hubungan pusat – daerah ini cukup beresiko,
khususnya dalam hal kedalaman studi, karena terdapat beberapa dimensi hubungan
pusat – daerah. Kami mengambil resiko tersebut dengan tujuan bahwa penelitian ini
menghasilkan gambaran persoalan hubungan pusat – daerah ini secara umum
(overview). Setidaknya dengan penelitian yang umum ini, diharapkan akan muncul
penelitian – penelitian lanjutan yang lebih spesifik lagi, seperti hubungan
kewenangan pusat – daerah atau dimensi – dimensi lainnya.
kekurangan, sehingga kami sangat membuka diri untuk segala kritik dan saran untuk
perbaikan ke depan. Akhir kata, selama membaca.
Bandung, 2009
Tim Peneliti
v
Bagan 3 Pembagian desentralisasi menurut Amrah Muslimin 11
Bagan 4 Pembagian desentralisasi menurut Hans Kelsen 12
Bagan 5 Alur Penelitian 15
vi Tabel 1 Ruang lingkup pengawasan
Atas penyelenggaraan pemerintahan daerah
65
Tabel 2 Perbandingan Pengawasan Pusat Terhadap Daerah di Inggris, Perancis dan Belanda
69
Tabel 3 Model-Model Pengawasan dan Pengendalian Terhadap Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah Menurut UU No. 32 Tahun 2004
118
Tabel 4 Perkembangan Pengaturan Pengawasan 124
Tabel 5 Rekap Pembatalan Perda Tentang Pajak Daerah Dan Retribusi Daerah Dari Tahun 2002 s.d. 2006 Sektor Energi Dan Sumber Daya Mineral (Energy And Mineral Resource)
150
Tabel 6 Rekap Pembatalan Perda Tentang Pajak Daerah Dan Retribusi Daerah Dari Tahun 2002 s.d. 2006 Sektor Industri Dan Perdagangan (Industry And Trade)
151
Tabel 7 Rekap Pembatalan Perda Tentang Pajak Daerah Dan Retribusi Daerah Dari Tahun 2002 s.d. 2006 Sektor Kehutanan (Forestry)
152
Tabel 8 Rekap Pembatalan Perda Tentang Pajak Daerah Dan Retribusi Daerah Dari Tahun 2002 s.d. 2006 Sektor Perhubungan
152
Tabel 9 Rekap Pembatalan Perda Tentang Pajak Daerah Dan Retribusi Daerah Dari Tahun 2002 s.d. 2006 Sektor Kelautan dan Perikanan
153
Tabel 10 Peraturan Daerah Tentang Pajak Daerah, Retribusi Daerah dan
Pungutan Lainnya Yang Dibatalkan Oleh Menteri Dalam Negeri Pada Tahun 2007
154
Tabel 11 Hasil Evaluasi Peraturan Daerah di Departemen Dalam Negeri Sampai dengan November 2007
156
Tabel 13 Rekap Pembatalan Perda Tentang Pajak Daerah Dan Retribusi Daerah Wilayah Provinsi Jawa Barat Dari Tahun 2002 s.d. 2006 Sektor Energi Dan Sumber Daya Mineral (Energy And Mineral Resource)
vii
Tabel 15 Pajak Daerah dan Retribusi Daerah Kab.Tasikmalaya Wilayah Provinsi Jawa Barat Yang Dibatalkan (Sektor Energi Dan Sumber Daya Mineral (Energy And Mineral
Resource))
158
Tabel 16 Pajak Daerah dan Retribusi Daerah Wilayah Provinsi Jawa Barat Yang Dibatalkan(Sektor Industri Dan Perdagangan (Industry And Trade) Wilayah Provinsi Jawa Barat)
158
Tabel 17 Pajak Daerah dan Retribusi Daerah Kab.Karawang Wilayah Provinsi Jawa Barat Yang Dibatalkan (Sektor Industri Dan Perdagangan (Industry And Trade) )
160
Tabel 18 Pajak Daerah dan Retribusi Daerah Kota Cimahi Wilayah Provinsi Jawa Barat Yang Dibatalkan(Sektor Industri Dan Perdagangan (Industry And Trade))
160
Tabel 19 Pajak Daerah dan Retribusi Daerah di Wilayah Provinsi Jawa Barat Yang Dibatalkan (Sektor Kehutanan (Forestry))
161
Tabel 20 Pajak Daerah dan Retribusi Daerah Kab.Ciamis Provinsi Jawa Barat Yang Dibatalkan(Sektor Kehutanan (Forestry))
161
Tabel 21 Pajak Daerah dan Retribusi Daerah Kab.Garut Provinsi Jawa Barat Yang Dibatalkan (Sektor Kehutanan (Forestry))
162
Tabel 22 Jumlah Undang-Undang Pembentukan Daerah (Pemekaran Daerah) 2007 – 2008
163
viii
Kata Pengantar iii
Daftar Bagan v
Daftar Tabel vi
Daftar Isi viii
BAB I
Pendahuluan
1
A. Latar Belakang 1
B. Rumusan Masalah 3
C. Tujuan Penelitian 3
D. Kerangka Pemikiran 4
E. Kegunaan Penelitian 12
F. Metode Penelitian 12
G. Alur Penelitian 14
H. PersonaliaPenelitian 16
I. Sistematika Penulisan 16
BAB II
Prinsip-Prinsip Umum Pola Hubungan Pusat Dan Daerah
18
A. Negara Kesatuan 18
B. Negara Hukum 19
C. Demokrasi 23
1. Demokrasi sebagai instrumen Mekanisme pemerintahan 23
2. Demokrasi sebagai instrumen pengambilan keputusan 25
3. Demokrasi ekonomi 26
D. Kajian Teori Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah 29
1. Desentralisasi 29
ix
6. Hakikat Pengawasan Pemerintah Pusat terhadap Daerah 58
BAB III
Pengaturan Hubungan Antara Pusat dan Daerah
74
A. Hubungan Kewenangan: dari mulai UUD 1945, UU, dan
Pengaturan Sektoral.
74
B. Hubungan Kelembagaan 75
C. Hubungan Keuangan 99
D. Hubungan Pengawasan 112
BAB IV
Tinjauan Dimensi-Dimensi Hubungan Antara Pusat dan Daerah
A. Pilar-Pilar Penyelenggaraan Pemerintahan 125
B. Dimensi Hubungan Kewenangan Pusat dan Daerah 126
C. Dimensi Hubungan Kelembagaan Pusat dan Daerah 128
D. Dimensi Hubungan Keuangan Pusat dan Daerah 139
E. Dimensi Hubungan Pengawasan Pusat dan Daerah 149
BAB V
Kesimpulan dan Saran
A. Kesimpulan 182
B. Saran 183
A. Latar Belakang
Undang-Undang Dasar 1945 beserta perubahannya telah memberikan
landasan konstitusional mengenai penyelenggaraan pemerintahan daerah di
Indonesia. Di antara ketentuan tersebut yaitu: 1) prinsip pengakuan dan
penghormatan negara terhadap kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat
serta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan
perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik
Indonesia;1 2) Prinsip daerah mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan;2 3) prinsip menjalankan otonomi seluas-luasnya;3 4) prinsip mengakui dan menghormati pemerintahan daerah yang bersifat khusus dan istimewa;4 5) prinsip badan perwakilan dipilih langsung dalam suatu pemilu;5 6) prinsip hubungan pusat dan daerah harus dilaksanakan secara selaras dan adil;6 7) prinsip hubungan wewenang antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah harus
memperhatikan kekhususan dan keragaman daerah;7 8) prinsip hubungan keuangan, pelayanan umum, pemanfatan sumber daya alam dan sumber
daya lainnya antara pemerintah pusat dan pemerintahan daerah
dilaksanakan secara adil dan selaras berdasarkan undang-undang;8 dan 9) prinsip pengakuan dan penghormatan negara terhadap satuan-satuan
pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa;9
Sebagai pelaksanaan lebih lanjut dari dasar konstitusional tersebut,
satuan pemerintahan di bawah pemerintah pusat yaitu daerah provinsi dan
1
Pasal 18 B ayat (2)
2
Pasal 18 ayat (2) Perubahan Kedua Undang-Undang Dasar 1945.
3
Pasal 18 ayat (5)
4
Pasal 18 B ayat (1)
5
Pasal 18 ayat (3)
6
Pasal 18 A ayat (2)
7
Pasal 18 A ayat (1)
8
Pasal 18 A ayat (2)
9
kabupaten/kota memiliki urusan yang bersifat wajib dan pilihan.10 Provinsi memiliki urusan wajib dan urusan pilihan.11 Selain itu ditetapkan pula kewenangan pemerintah Pusat menjadi urusan Pemerintahan yang
meliputi:12 a) politik luar negeri; b) pertahanan; c) keamanan; d) yustisi; e) moneter dan fiskal nasional; dan f) agama. Walaupun dengan ketentuan
pemberlakuan otonomi seluas-luasnya dalam UUD 194513, namun muncul pula pengaturan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 38 tahun 2007 yang
membagi urusan pemerintahan antara pemerintah, pemerintahan daerah
provinsi, dan pemerintahan daerah kabupaten/kota.
Hubungan-hubungan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah
memiliki empat dimensi penting untuk dicermati, yaitu meliputi hubungan
kewenangan, kelembagaan, keuangan, dan pengawasan. Pertama,
pembagian kewenangan untuk menyelenggarakan urusan-urusan
pemerintahan tersebut akan sangat mempengaruhi sejauhmana Pemerintah
Pusat dan Pemerintah Daerah memiliki wewenang untuk menyelenggarakan
urusan-urusan Pemerintahan, karena wilayah kekuasaan Pemerintah Pusat
meliputi Pemerintah Daerah, maka dalam hal ini yang menjadi obyek yang
diurusi adalah sama, namun kewenangannya yang berbeda. Kedua,
pembagian kewenangan ini membawa implikasi kepada hubungan
keuangan, yang diatur dalam UU No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan
Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. Ketiga,
implikasi terhadap hubungan kelembagaan antara Pusat dan Daerah
mengharuskan kehati-hatian mengenai besaran kelembagaan yang
diperlukan untuk melaksanakan tugas-tugas yang menjadi urusan
masing-masing. Keempat, hubungan pengawasan merupakan konsekuensi yang
muncul dari pemberian kewenangan, agar terjaga keutuhan negara
Kesatuan. Kesemuanya itu, selain diatur dalam UU No. 32 Tahun 2004
tersebut, juga tersebar pengaturannya dalam berbagai UU sektoral yang
10
Pasal 13 ayat (1) dan (2) dan Pasal 14 ayat (1) dan (2) UU Nomor 32 Tahun 2004.
11
Pasal 13 ayat (1) dan (2) UU Nomor 32 Tahun 2004.
12
Pasal 10 ayat 3 UU Nomor 32 Tahun 2004.
13
pada kenyataannya masing-masing tidak sama dalam pembagian
kewenangannya.14 Pengaturan yang demikian menunjukkan bahwa tarik menarik hubungan tersebut kemudian memunculkan apa yang oleh Bagir
Manan disebut dengan spanning15 antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah
Daerah.
Dewan Perwakilan Daerah juga mengidentifikasi adanya kewenangan
yang tumpah tindih antar instansi pemerintahan dan aturan yang berlaku,
baik aturan di tingkat pusat dan/atau peraturan di tingkat daerah.16 Hal tersebut terutama berhubungan dengan a) otoritas terkait tanggungjawab
pemerintah pusat dan daerah; b) kewenangan yang didelegasikan dan
fungsi-fungsi yang disediakan oleh Departemen kepada daerah; dan c)
kewenangan yang dalam menyusun standar operasional prosedur bagi
daerah dalam menterjemahkan setiap peraturan perundang-undangan yang
ada. 17 Berdasarkan latar belakang tersebut perlu dilakukan suatu kajian sebagai penelitian payung yang melandasi hubungan antara Pemerintah
Pusat dengan daerah.
B. Rumusan Masalah
Rumusan masalah dalam penelitian ini dibagi berdasarkan empat
dimensi hubungan pemerintahan pusat dan daerah, sebagai berikut:
1. Apa dasar-dasar pemikiran yang melandasi terbangunnya pola hubungan
antara pusat dan daerah?
2. Bagaimana pola hubungan pusat dan daerah dari dimensi-dimensi
kewenangan, kelembagaan, keuangan, dan pengawasan?
C. Tujuan Penelitian
14
Kerangka Acuan Penelitian Studi Hubungan Pusat Dan Daerah Kerjasama DPD Ri Dengan Perguruan Tinggi Di Daerah, Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia, Jakarta 2009, hlm. 6.
15
Bagir Manan, Hubungan Antara Pusat dan Daerah Menurut UUD 1945, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1994, hlm. 22-23
16
Ibid., hlm. 8.
17
Tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini sebagai berikut:
1. Mengetahui dasar-dasar pemikiran yang melandasi terbangunnya pola
hubungan antara pusat dan daerah?
2. Mengetahui bagaimana pola hubungan pusat dan daerah dari
dimensi-dimensi kewenangan, kelembagaan, keuangan, dan pengawasan?
D. Kerangka Pemikiran
Perubahan ketiga Undang-Undang Dasar 1945 menegaskan bahwa Indonesia adalah negara kesatuan yang berlandaskan hukum atas dasar kedaulatan rakyat.
Teori negara kesatuan digunakan untuk membedakan pembagian
kekuasaan secara vetikal dengan negara berbentuk federasi. Dalam hal ini
dikemukakan pemikiran dari CF Strong mengenai negara kesatuan.18 Dikatakan bahwa negara kesatuan adalah negara yang diorganisasi di
bawah satu pemerintahan pusat. Artinya, kekuasaan apapun yang dimiliki
berbagai distrik di dalam wilayah yang dikelola sebagai suatu keseluruhan
oleh pemerintah pusat harus diselenggarakan menurut kebijakan pemerintah
itu. Kekuasaan pusat adalah kekuasaan tertinggi di atas seluruh negara
tanpa ada batasan yang ditetapkan hukum yang memberikan kekuasaan
khusus pada bagian-bagiannya. “Unitarisme” dalam pengertian politik
didefinisikan oleh Dicey sebagai “pelaksanaan kebiasaan otoritas legislatif
tertinggi oleh satu kekuasaan pusat”. Sementara itu menurut Apeldoorn,
yang dikutip oleh Tim Penyusun buku “Otonomi atau Federalisme”, suatu
negara disebut negara kesatuan apabila kekuasaan hanya dipegang oleh
pemerintah pusat, sementara provinsi-provinsi menerima kekuasaan dari
pemerintah pusat, dan provinsi-provinsi tersebut tidak mempunyai hak
mandiri.19 Dalam negara-negara dengan bentuk negara kesatuan (unitary
state), ditinjau dari sudut pembagian kewenangan, terdapat dua
18
C.F. Strong, Konstitusi-Konstitusi Politik Modern: Studi Perbandingan tentang Sejarah dan Bentuk-Bentuk Konstitusi di Dunia, Nusamedia, Bandung, Cetakan Kedua, 2008, hlm. 87.
19
kewenangan/urusan pemerintah yakni yang tersentralisasi dan
kewenangan/urusan pemerintah yang didesentralisasikan. 20
Ni’matul Huda mengatakan bahwa desentralisasi adalah strategi
mendemokratisasi sistem politik dan menyelaraskan pencapaian
pembangunan berkelanjutan yang merupakan isu yang selalu ada dalam
praktik administrasi publik.21Demokrasi yang lazim pula disebut dengan kedaulatan rakyat memandang bahwa kekuasaan itu berasal dari rakyat,
sehingga dalam pelaksanaan tugasnya pemerintah harus berpegang pada
kehendak rakyat.22 Sejalan dengan perputaran waktu, konsep demokrasi juga mencari bentuk yang sesuai dengan situasi dan kondisi dari masyarakat
modern.23 C.F. Strong mengartikan demokrasi secara beragam24 termasuk untuk menyebut suatu bentuk pemerintahan atau kondisi suatu masyarakat.
Namun di dunia kontemporer, ketika nasionalisme menjadi dasar bagi
demokrasi politik maka pemerintahan politik yang demokratis menjadi
instrumen kemajuan sosial. Di sinilah letak keterkaitannya dengan demokrasi
politik yang mengisyaratkan pemerintah harus bergantung pada persetujuan
pihak yang diperintah; artinya, ekspresi persetujuan maupun ketidaksetujuan
rakyat sudah harus memiliki sarana penyaluran yang nyata dalam pemilihan
umum, program politik partai, media massa, dan lain-lain. Faktor luas wilayah
dari suatu negara dan besaran jumlah penduduk serta pertambahan
kerumitan masalah kenegaraan merupakan argumen bahwa demokrasi
langsung (direct democracy) tidak mungkin untuk dilaksanakan.25 Berdasarkan kenyataan demikian, muncullah yang dikenal sebagai
demokrasi tidak langsung (indirect democracy), yang pelaksanaan
kedaulatan rakyatnya tidak dilaksanakan oleh rakyat secara langsung
20
Nicole Niessen, Municipal Government In Indonesia Policy, law and Practice of Decentralization and Urban Planning, Research School CNWS School of Asian, African, and Amerindian Studies, Universitiet Leiden, The Netheralands, 1999, hlm. 21.
21
Ni’matul Huda, Hukum Pemerintahan Daerah, Nusamedia, Bandung, 2009, hlm. 66.
22
Eddy Purnama, Kedaulatan Rakyat, Nusamedia, Bandung, 2007, hlm. 10.
23
Ibid.
24
C.F.Strong, Konstitusi-Konstitusi …, op.cit, hlm. 17.
25
melainkan melalui lembaga perwakilan rakyat.26 Dalam rangka mewujudkan prinsip kedaulatan rakyat, akomodasi seluruh aspirasi rakyat jauh lebih
berguna dari unsur di dalam masyarakat harus terwakili di dalam sistem
perwakilan.27 Rousseau memberi catatan bahwa jika kita menempatkan istilah ini dalam pemahaman yang kaku, tidak pernah ada demokrasi yang
nyata dan tidak akan pernah ada demokrasi.28 Dalam pemikiran mengenai bagaimana demokrasi bagi Indonesia, Muhammad Hatta mengingatkan
bahwa masyarakat asli Indonesia mempunyai sifat dasar dalam segala hal
mengenai kepentingan hidup bersama.29 Sifat pertama, yaitu mengambil keputusan secara mufakat dengan musyawarah, adalah dasar dari
demokrasi politik. Sifat kedua yaitu tolong menolong dan gotong royong
adalah sendi yang bagus untuk menegakkan demokrasi ekonomi.30
Selanjutnya pilar yang lain yang secara konsitusional diakui oleh
Indonesia adalah negara hukum. Neumann yang dikutip oleh Satjipto
Rahardjo mengatakan bahwa perkembangan negara hukum di Inggris
berbeda daripada Eropa daratan, yang tidak netral terhadap politik.31 Di Inggris, sejak semula doktrin Rule of Law tidak dipisahkan dari doktrin
supremasi parlemen.32 Parlemen berhak untuk melakukan apa saja, termasuk pada waktu melakukan realisasi rule of law. Menurut Dicey, “… that
the souvereignity of Parliament furthers the rule of the land… prevent those inroads upon the law of the land which a despotic monarch … might effects by ordinance or decrees… “33 Selanjutnya dikatakan, “The monopoly of legislation by Parliament, with the balance between the House of Commons, the House of Lords, and the king, also strengthens the power of the judges
26
Eddy Purnama, Kedaulatan Rakyat, ..., op.cit. hlm. 11.
27
Ibid., hlm. 284.
28
Jean Jacques Rousseau, Du Contract Social (Perjanjian Sosial), terjemahan Tim Visimedia, Visimedia, Jakarta, 2007, hlm. 113.
29
Mohammad Hatta, Demokrasi Kita, Pikiran-Pikiran tentang Demokrasi dan Kedaulatan Rakyat, Segaarsy, Bandung, cetakan kedua, 2009, hlm. 69.
30
Ibid. hlm. 70.
31
Satjipto Rahardjo, Negara Hukum yang Membahagiakan Rakyat, Genta Publishing, cetakan II, Yogyakarta, Mei 2009, hlm. 8
32
Ibid., hlm. 8-9.
33
… and finally, explains the absence od adiministrative law.” Jadi dalam
mengartikan “the rule of law” di Inggris, maka parlemen atau rakyatlah
merupakan instansi tertinggi.
Menurut Julius Stahl yang dikutip oleh Jimly Asshidiqie34, konsep Negara Hukum yang disebutnya dengan istilah ‘rechtsstaat’ itu mencakup
empat elemen penting, yaitu: 1) perlindungan hak asasi manusia; 2)
pembagian kekuasaan; 3) pemerintahan berdasarkan undang-undang; dan
4) Peradilan tata usaha Negara. Sementara itu A.V. Dicey menguraikan
adanya tiga ciri penting dalam setiap Negara Hukum yang disebutnya
dengan istilah “The Rule of Law”, yaitu: 1) Supremacy of Law; 2) Equality
before the law, dan 3) Due Process of Law. Keempat prinsip ‘rechtsstaat’
yang dikembangkan oleh Julius Stahl tersebut di atas pada pokoknya dapat
digabungkan dengan ketiga prinsip ‘Rule of Law’ yang dikembangkan oleh
A.V. Dicey untuk menandai ciri-ciri Negara Hukum modern di zaman
sekarang. Bahkan, oleh “The International Commission of Jurist”,
prinsip-prinsip Negara Hukum itu ditambah lagi dengan prinsip-prinsip peradilan bebas dan
tidak memihak (independence and impartiality of judiciary) yang di zaman
sekarang makin dirasakan mutlak diperlukan dalam setiap negara
demokrasi.35
Negara hukum yang muncul di abad ke-sembilan belas adalah tipe
negara hukum sebagai “penjaga malam” (nachtwakersstaat). Disebut
sebagai penjaga malam, karena dalam tipe tersebut, tindakannya dibatasi
hanya sampaiu kepada penjaga ketertiban dan keamanan.36 Pada perkembangannya negara tidak dapat lagi bersikap netral dan membiarkan
34
Di zaman modern, konsep Negara Hukum di Eropah Kontinental dikembangkan antara lain oleh Immanuel Kant, Paul Laband, Julius Stahl, Fichte, dan lain-lain dengan menggunakan istilah Jerman, yaitu “rechtsstaat’. Sedangkan dalam tradisi Anglo Amerika, konsep Negara hukum dikembangkan atas kepeloporan A.V. Dicey dengan sebutan “The Rule of Law”, lihat Jimly Asshidiqie, Cita Negara Hukum Indonesia Kontemporer, makalah disampaikan dalam acara Orasi ilmiah Pada Wisuda Sarjana HukumFakultas Hukum Universitas Sriwijaya Palembang, 23 Maret 2004,hlm. 1-2, diunduh dari
http://www.fh.unsri.ac.id/old_version/CITANEGARAHUKUMINDONESIA.Doc., pada
8/24/2009 9:38:03 AM.
35
Ibid.
36
individu-individu atau masyarakat menyelesaikan sendiri-sendiri
problem-problem tersebut. Satjipto kemudian mengutip dari de Haan et al bahwa
menyerahkan penyelesaian kepada mekanisme pasar sosial akan
menempatkan golongan lapisan bawah (the have not) dalam masyarakat
sebagai pihak yang sangat menderita (“De staat mocht niet langer, door als
neutral toeschouwer op te stellen, de door het industriele kapitalisme veranderde samenleving ongemoeid laten, maar behoorde zich daadwerkelijk de belangen van de achtergestelde groepen in die samenleving aan te trekken. Naast de traditionele overheidstaken vroegen nieuwe terreinen om ordening en verzorging van staatswege”). Ini
menimbulkan konsep “negara kesejahteraan” (welfare state).
Perubahan tersebut, yaitu campur tangan negara ke dalam masyarakat,
sangat mengubah pekerjaan-pekerjaan yang biasa dilakukan oleh hukum
administrasi tradisional. Dalam hukum administrasi tradisional, negara hanya
bertindak sesekali dan sebagai pelengkap (incidenteel en aanvullend). Tetapi
sekarang negara harus memasuki aktivitas yang lebih luas, seperti
pembuatan undang-undang dan pembuatan undang-undang semu (pseudo),
perencanaan, perjanjian, dan kepemilikan (eigendom) negara, keterbukaan
dan penggugatan. Menurut William A. Robson, kelahiran konsep negara
kesejahteraan didahului oleh rentetan ide-ide panjang, di antaranya adalah
”liberty, equality, dan fraternity” (revolusi Perancis) dan “The greates
happiness for the greatest number” (Bentham).37
Penyelenggaraan pemerintahan negara yang baik adalah yang dapat
menampung aspirasi dan kebutuhan masyarakat sampai ke pelosok wilayah
negara, mempertimbangkan pertama, tujuan penyelenggaraan negara, yaitu
kesejahteraan rakyat di satu sisi, dan kedua, jarak yang jauh antara pusat
pemerintahan dengan bagian-bagian daerah yang harus diperintah di sisi
lain. Oleh karena itu menurut Ateng Syafrudin perlu diadakan pembagian
37
kerja secara teritorial di samping pembagian kerja secara fungsional.38 Pembagian-pembagian kerja urusan penyelenggaraan pemerintahan
tersebut yang kemudian mengarah kepada proses desentralisasi.
Bagir Manan menjelaskan desentralisasi dengan menggunakan
pendapat Van Der Pot.39 Menurut pakar Hukum Tata Negara Belanda ini, desentralisasi dibagi menjadi dua macam, yaitu desentralisasi teritorial dan
desentralisasi fungsional. Desentralisasi teritorial menjelma dalam bentuk
badan yang didasarkan pada wilayah (gebeidscorporatis), sedangkan
desentralisasi fungsional menjelma dalam bentuk badan-badan yang
didasarkan pada pada tujuan-tujuan tertentu (doelcorporaties). Desentralisasi
teretorial berbentuk otonomi dan tugas pembantuan.
Bagan 1:
Pembagian desentralisasi menurut Van der Pot
Pendapat dari Van der Pot ini diikuti antara lain oleh FAM Stroink,
Steenbeek, JM de Meij, dan Belifante. Dengan penggolongan yang sedikit
berbeda, Irawan Soejito membedakan desentralisasi menjadi desentralisasi
teretorial, desentralisasi fungsional, desentralisasi administratif
(dekonsentrasi). Desentralisasi administratif atau dekonsentrasi (ambtelijk
decentralisatie) terjadi apabila “Pemerintah melimpahkan sebagian
kewenangannya kepada alat perlengkapan atau organ Pemerintah sendiri di
daerah, yakni pejabat-pejabat Pemerintah yang ada di daerah, untuk
dilaksanakan.40
38
Ateng Syafrudin, Kapita Selekta Hakikat Otonomi dan Desentralisasi dalam Pembangunan Daerah. Citra Media Hukum. Yogyakarta. 2006, hlm. 72.
39
Bagir Manan, Hubungan ..., op.cit. hlm. 20-21
40
Bagan 2.
Pembagian desentralisasi menurut Irawan Soejito
Irawan Soejito mengatakan bahwa dekonsentrasi merupakan bagian
dari desentralisasi, dan merupakan pelunakan sentralisasi menuju
desentralisasi.
Pakar hukum lainnya, Amrah Muslimin, membedakan desentralisasi
menjadi desentralisasi politik41, desentralisasi fungsional desentralisasi kebudayaan.42 Pembahasan tentang pemerintahan di daerah tidak akan lepas dari asas kedaerahan dalam pemerintahan. Menurutnya asas
kedaerahan mengandung dua macam prinsip pemerintahan, yaitu :43
1. Dekonsentrasi, merupakan pelimpahan sebahagian kewenangan
pemerintah pusat pada alat-alat pemerintah pusat yang ada di daerah,
2. Desentralisasi, merupakan pelimpahan wewenang kepada badan-badan
dan golongan-golongan dalam masyarakat dalam daerah tertentu untuk
mengurus rumah tangganya sendiri.
41
Desentralisasi politik adalah “pelimpahan kewenangan dari Pemerintah Pusat yang menimbulkan hak mengurus rumah tangga sendiri bagi badan-badan politik yang ada di daerah-daerah yang dipilih oleh rakyat dalam daerah-daerah tertentu, lihat Amrah Muslimin, Aspek-Aspek Hukum Otonomi Daerah, Alumni, Bandung, 1986, hlm 5
42
Ibid.
43
Bagan 3.
Pembagian desentralisasi menurut Amrah Muslimin
Sebagai tambahan mengenai pembagian desentralisasi, dari
Logemann, Colloge aantekemingen, 194744, Ateng Syafrudin mengemukakan bahwa desentralisasi dalam arti luas terdiri dari:
a. Staatkundige atau Politieke decentralisatie. Isinya adalah kewenangan
membuat peraturan (regelende bevoegheid) dan kewenangan membuat
keputusan atau mengurus (bestuurende bevoegheid).
b. Ambtelijke decentralisatie atau deconsentratie. Lingkup staatkundige
decentralisatie dibagi dua, yaitu: 1) territoriale decentralisatie;
2) fungctionele decentralisatie.
Bentuk dari territoriale decentralisatie adalah autonomie dan medebewind
yang kadang-kadang disebut juga sebagai medebestur, selfgovernment,
zelfbestuur. Pengertian otonomi di sini sama dengan isi dari staatkundige
atau politiche decentralisatie.
tkan bahwa desentralisasi terbagi dalam arti luas dan arti sempit.
Penelitian ini menggunakan pengertian desentralisasi dalam arti sempit.
Pemilihan tersebut diambil sebagaimana yang digunakan oleh Bagir Manan
dalam menggali gagasan-gagasan dasar pola hubungan antara Pusat dan
Daerah dalam Undang-Undang Dasar 1945.45
44
Ateng Syafrudin, Handsout dan Course Material Hukum Pemerintahan Daerah, Program Pascasarjana Universitas Padjadjaran, Program Studi Hukum Tata negara, hlm. 1.
45
Dalam kaitan ini Bagir Manan menguraikan mengenai kaitan
desentralisasi, kerakyatan, dan Negara hukum, hubungan Pusat dan Daerah
akan dipengaruhi oleh:46
1) Sampai sejauh manakah desentralisasi diterima sebagai cara terbaik
untuk mewujudkan suatu pemerintahan yang berkedaulatan rakyat
dengan partisipasi luas dari anggota masyarakat?
2) Sampai sejauh mana desentralisasi dipandang sebagai cara untuk
menjamin dan mewujudkan Negara hukum?
3) Sampai sejauh mana desentralisasi dipandang sebagai cara untuk
mewujudkan kesejahteraan dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat?
Lebih dari hal tersebut, yang tidak kalah penting untuk dicermati
adalah bahwa pola hubungan antara Pusat dan Daerah tidak dapat terlepas
dalam bingkai Negara Kesatuan. Dengan demikian perlu dicari titik temu
antara keutuhan Negara Kesatuan di satu sisi, dan demokratisasi di sisi lain
sebagai upaya mencapai tujuan bernegara yaitu kesejahteraan rakyat.
E. Kegunaan Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi para
Anggota Dewan Perwakilan Daerah sebagai tambahan pengetahuan
mengenai hubungan pusat dan daerah.
F. Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan langkah-langkah penelitian untuk
memperoleh data atau bahan dan analisis sebagai berikut:
1. Jenis/ Spesifikasi Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif analisis. Penelitian ini
menjelaskan dan menganalisa pengaturan beserta asas-asas yang
berkenaan dengan hubungan antara Pemerintah Pusat dengan Daerah yang
berlaku di Indonesia.
2. Metode Pendekatan
46
Penelitian ini menggunakan metode pendekatan yuridis normatif.
Pendekatan yuridis normatif47 adalah pendekatan dengan melakukan penelitian secara mendalam terhadap hukum yang berlaku. Di antara
cakupan dari penelitian hukum normatif tersebut, penelitian ini akan
dilakukan terhadap asas-asas hukum, sistematika hukum, dan taraf
sinkronisasi vertikal dan horisontal.48
3. Teknik Pengumpulan data
Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini sebagai
berikut:
a. Studi Pustaka
Penelitian ini dilakukan dengan penelusuran terhadap bahan-bahan
hukum,49 meliputi:
1) Bahan hukum primer, yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat.50 Bahan hukum ini meliputi antara lain Undang Dasar 1945 dan
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 beserta peraturan pelaksana,
perubahan-perubahan, dan peraturan yang secara tidak langsung terkait, seperti
peraturan terdahulu;
2) Bahan hukum sekunder, yaitu bahan yang memberikan penjelasan
mengenai bahan hukum primer,51 seperti rancangan undang-undang, hasil-hasil penelitian, atau pendapat para pakar hukum;
3) Bahan hukum tersier, yaitu bahan yang memberikan petunjuk maupun
penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder
seperti kamus, dan ensiklopedia.52
b. Penelitian Lapangan
47
Lili Rasjidi dan Liza Sonia Rasjidi, Menggunakan Teori dan Konsep Dalam Analisis di Bidang Ilmu Hukum, Monograf, penerbit, kota, dan tahun penerbitan tidak tercantum, hlm. 6.
48
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2006, hlm. 14
49
Pedoman Penyelenggaraan Program Pendidikan Sarjana (S1), Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran Tahun 2007, hlm. 72.
50
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, UI-Press, Jakarta, hlm. 52.
51
Ibid.
52
Penelitian lapangan dilakukan untuk mendukung penelitian
kepustakaan dengan cara menyelenggarakan diskusi terfokus (focused
group discussion-FGD).
4. Pengolahan dan Analisis Data
Bahan penelitian yang telah diperoleh, selanjutnya dianalisis dengan
menggunakan analisis kualitatif, yakni dengan menggunakan penafsiran
hukum53 dan selanjutnya dituangkan secara deskriptif yaitu bersifat menggambarkan masalah.
G. Alur Penelitian
53
H. Personalia Penelitian
Ketua : DR. Indra Perwira, S.H., M.H.
Wakil : Susi Dwi Harijanti, S.H., LL.M.
Sekretaris : Inna Junaenah, S.H.
Anggota Prof. I Gde Pantja Astawa, S.H., M.H.,
DR. H. Kuntana Magnar, S.H., M.H.,
DR. Agus Kusnadi,S.H., M.H.,
Miranda Risang Ayu, S.H., LL.M., Ph.D.,
H. Rosjidi Ranggawidjaja, S.H., M.H.
Ali Abdurahman, S.H., M.H.
Tenaga Pendukung : Hernadi Affandi, S.H., LL.M.
Rahayu Prasetianingsih, S.H.
Bilal Dewansyah, S.H.
I. Sistematika Penulisan
Bab I Pendahuluan
Dalam Bab ini akan dikemukakan mengenai latar belakang, rumusan
masalah, tujuan penelitian, tujuan penelitian, kerangka pemikiran, kegunaan
penelitian, dan metode penelitian.
Bab II Prinsip-Prinsip Umum Pola Hubungan Pusat Dan Daerah
Dalam Bab ini akan dikemukakan mengenai teori-teori umum yang
mendasari penyelenggaraan pemerintahan daerah yang meliputi
prinsip-prinsip negara Kesatuan, Negara Hukum, demokrasi, dan teori
desentralisasi.
Bab III Deskripsi Hubungan Antara Pusat dan Daerah
Dalam Bab ini akan dikemukakan mengenai pengaturan mengenai hubungan
kewenangan, kelembagaan, keuangan, dan pengawasan, disertai
permasalahan hubungan antara Pusat dan Daerah pada empat dimensi
tersebut.
Bab IV Tinjauan Dimensi-Dimensi Hubungan Antara Pusat dan Daerah
Bab ini berisi analisa terhadap pengaturan dan problematika empat dimensi
pola hubungan antara Pusat dan Daerah dalam perpektif prinsip-prinsip
pemikiran yang mendasarinya.
Bab V Kesimpulan dan Rekomendasi
Dalam Bab ini akan digarisbawahi berbagai telaah terhadap hubungan Pusat
dan daerah melalui kesimpulan, yang akan disertai dengan rekomendasi
sebagai gagasan-gagasan reformasi pola hubungan antara Pusat dan
BAB II
PRINSIP-PRINSIP UMUM POLA HUBUNGAN PUSAT DAN DAERAH
Pilar-pilar yang perlu diketengahkan dalam membangun pola
hubungan pusat dan daerah sedikitnya dibentuk dari prinsip negara
kesatuan, kedaulatan rakyat, dan negara hukum. Dengan demikian perlu
dipahami terlebih dahulu mengenai prinsip-prinsip yang terkandung dalam
masing-masing dasar pemikiran tersebut untuk menghantarkan kemunculan
hubungan antara pemerintah pusat dengan satuan pemerintahan yang lebih
rendah.
A. Negara Kesatuan
Uraian mengenai konsep negara kesatuan perlu diketengahkan untuk
membedakan pembagian kekuasaan secara vetikal dengan negara
berbentuk federasi. Dalam hal ini dapat dikemukakan pemikiran dari CF
Strong mengenai deskripsi suatu negara kesatuan.54 Dikatakan bahwa negara kesatuan adalah negara yang diorganisasi di bawah satu
pemerintahan pusat. Artinya, kekuasaan apapun yang dimiliki berbagai
distrik di dalam wilayah yang dikelola sebagai suatu keseluruhan oleh
pemerintah pusat harus diselenggarakan menurut kebijakan pemerintah itu.
Kekuasaan pusat adalah kekuasaan tertinggi di atas seluruh negara tanpa
ada batasan yang ditetapkan hukum yang memberikan kekuasaan khusus
pada bagian-bagiannya. “Unitarisme” dalam pengertian politik didefinisikan
dengan baik oleh Dicey sebagai “pelaksanaan kebiasaan otoritas legislatif
tertinggi oleh satu kekuasaan pusat”. Sementara itu menurut Apeldoorn,
yang dikutip oleh Tim Penyusun buku “Otonomi atau Federalisme”, suatu
negara disebut negara kesatuan apabila kekuasaan hanya dipegang oleh
pemerintah pusat, sementara provinsi-provinsi menerima kekuasaan dari
pemerintah pusat, dan provinsi-provinsi tersebut tidak mempunyai hak
54
mandiri.55 Dalam negara-negara dengan bentuk negara kesatuan (unitary
state), ditinjau dari sudut pembagian kewenangan, terdapat dua
kewenangan/urusan pemerintah yakni yang tersentralisasi dan
kewenangan/urusan pemerintah yang didesentralisasikan.56 Dalam
negara-negara dengan bentuk negara-negara kesatuan (unitary state), ditinjau dari sudut
pembagian kewenangan, terdapat dua kewenangan/urusan pemerintah yakni
yang dipusatkan dan atau dipencarkan.57
Sementara itu setelah negara-negara di dunia mengalami
perkembangan yang sedemikian pesat, wilayah negara menjadi semakin
luas, urusan pemerintahannya menjadi semakin kompleks. Serta warga
negaranya semakin banyak dan heterogen, maka penyelenggaraan
pemerintahan di daerah, yaitu pelimpahan wewenang dari pemerintah pusat
kepada pejabat-pejabatnya di daerah, untuk melaksanakan urusan-urusan
pemerintahan pusat yang ada di daerah.
B. Negara Hukum
Selanjutnya pilar yang lain yang secara konsitusional diakui oleh
Indonesia adalah negara hukum. Neumann (1986) yang dikutip oleh Satjipto
Rahardjo mengatakan bahwa perkembangan negara hukum di Inggris
berbeda daripada Eropa daratan, yang tidak netral terhadap politik.58 Di Inggris, sejak semula doktrin Rule of Law tidak dipisahkan dari doktrin
supremasi parlemen.59 Parlemen berhak untuk melakukan apa saja, termasuk pada waktu melakukan realisasi rule of law. Menurut Dicey, “… that
the souvereignity of Parliament furthers the rule of the land… prevent those inroads upon the law of the land which a despotic monarch … might effects
55
Tim Penyusun, Otonomi atau Federalisme, dampaknya terhadap Perekonomian, Pustaka Sinar Harapan, Harian Suara Pembaharuan, Jakarta, 2000, hlm. 14.
56
Nicole Niessen, Municipal Government In Indonesia Policy, law and Practice of Decentralization and Urban Planning, Research School CNWS School of Asian, African, and Amerindian Studies, Universitiet Leiden, The Netheralands, 1999, hlm. 21.
57
Ibid., lihat pula The Liang Gie, Pertumbuhan Pemerintahan Daerah di Negara Republik Indonesia, Jilid III, Edisi Kedua. Liberty, Yogyakarta, 1995, hlm. 109.
58
Satjipto Rahardjo, Negara Hukum yang Membahagiakan Rakyat, Genta Publishing, cetakan II, Yogyakarta, Mei 2009, hlm. 8.
59
by ordinance or decrees… “60 Selanjutnya dikatakan, “The monopoly of legislation by Parliament, with the balance between the House of Commons, the House of Lords, and the king, also strengthens the power of the judges … and finally, explains the absence od adiministrative law.” Jadi dalam
mengartikan “the rule of law” di Inggris, maka parlemen atau rakyatlah
merupakan instansi tertinggi.
Menurut Julius Stahl yang dikutip oleh Jimly Asshidiqie61, konsep Negara Hukum yang disebutnya dengan istilah ‘rechtsstaat’ itu mencakup
empat elemen penting, yaitu: 1) perlindungan hak asasi manusia; 2)
pembagian kekuasaan; 3) pemerintahan berdasarkan undang-undang; dan
4) Peradilan tata usaha Negara. Sementara itu A.V. Dicey menguraikan
adanya tiga ciri penting dalam setiap Negara Hukum yang disebutnya
dengan istilah “The Rule of Law”, yaitu: 1) Supremacy of Law; 2) Equality
before the law, dan 3) Due Process of Law. Keempat prinsip ‘rechtsstaat’
yang dikembangkan oleh Julius Stahl tersebut di atas pada pokoknya dapat
digabungkan dengan ketiga prinsip ‘Rule of Law’ yang dikembangkan oleh
A.V. Dicey untuk menandai ciri-ciri Negara Hukum modern di zaman
sekarang. Bahkan, oleh “The International Commission of Jurist”,
prinsip-prinsip Negara Hukum itu ditambah lagi dengan prinsip-prinsip peradilan bebas dan
tidak memihak (independence and impartiality of judiciary) yang di zaman
sekarang makin dirasakan mutlak diperlukan dalam setiap negara
demokrasi.62
Negara hukum yang muncul di abad ke-sembilan belas adalah tipe
negara hukum sebagai “penjaga malam” (nachtwakersstaat). Disebut
sebagai penjaga malam, karena dalam tipe tersebut, tindakannya dibatasi
hanya sampai kepada penjaga ketertiban dan keamanan.63 Pada
60
Ibid., hlm. 9.
61
Jimly Asshidiqie, Cita Negara Hukum Indonesia Kontemporer, makalah disampaikan dalam acara Orasi ilmiah Pada Wisuda Sarjana Hukum Fakultas Hukum Universitas Sriwijaya Palembang, 23 Maret 2004, hlm. 1-2, diunduh dari
http://www.fh.unsri.ac.id/old_version/CITANEGARAHUKUMINDONESIA.Doc. pada
8/24/2009 9:38:03 AM.
62
Ibid.
63
perkembangannya negara tidak dapat lagi bersikap netral dan membiarkan
individu-individu atau masyarakat menyelesaikan sendiri-sendiri
problem-problem tersebut. Satjipto kemudian mengutip dari de Haan et al (1978)
bahwa menyerahkan penyelesaian kepada mekanisme pasar sosial akan
menempatkan golongan lapisan bawah (the have not) dalam masyarakat
sebagai pihak yang sangat menderita (“De staat mocht niet langer, door als
neutral toeschouwer op te stellen, de door het industriele kapitalisme veranderde samenleving ongemoeid laten, maar behoorde zich daadwerkelijk de belangen van de achtergestelde groepen in die samenleving aan te trekken. Naast de traditionele overheidstaken vroegen nieuwe terreinen om ordening en verzorging van staatswege”). Ini
menimbulkan konsep “negara kesejahteraan” (welfare state).
Perubahan tersebut, yaitu campur tangan negara ke dalam masyarakat,
sangat mengubah pekerjaan-pekerjaan yang biasa dilakukan oleh hukum
administrasi tradisional. Dalam hukum administrasi tradisional. Dalam hukum
administrasi tradisional, negara hanya bertindak sesekali dan sebagai
pelengkap (incidenteel en aanvullend). Tetapi sekarang negara harus
memasuki aktivitas yang lebih luas, seperti pembuatan undang-undang dan
pembuatan undang-undang semu (pseudo), perencanaan, perjanjian, dan
kepemilikan (eigendom) negara, keterbukaan dan penggugatan (de Haan,
1978). Menurut William A. Robson, kelahiran konsep negara kesejahteraan
didahului oleh rentetan ide-ide panjang, di antaranya adalah ”liberty, equality,
dan fraternity” (revolusi Perancis) dan “The greates happiness for the greatest number” (Bentham).64
Kembali kepada pembicaraan mengenai rule of law, Wade yang dikutip
oleh Munir Fuadi65 berpendapat bahwa implikasi dari penerapan konsep tersebut dalam suatu negara akan mengarahkan para penyelenggara negara
ke dalam prinsip-prinsip dan otoritas sebagaai berikut:
64
Ibid., hlm. 27.
65
1. Pelaksanaan konsep rule of law lebih menghendaki adanya suasana
penghormatan kepada “hukum dan ketertiban” (law and order);
2. Penyelenggaraan kewenangan oleh penyelenggaran negara haruslah
selalu sesuai dengan hukum yang berlaku. Jika ada dispute, badan
yudikatiflah yang yang harus memutuskannya. Mengenai peran badan
peradilan ini, dalam rangka untuk menjaga tertib hukum dengan melihat
konsistensinya terhadap konsitusi, muncul pranata hukum yang disebut
judicial review. Munir Fuady menjelaskan lebih jauh pranata ini sebagai
lembaga khusus untuk melakukan penunjauan ulang, dengan jalan
menerapkan atau menafsirkan ketentuan dan semangat dari konstitusi,
sehingga hasilnya dapat menguatkan atau menyatakan batal, menambah
atau mengurangi terhadap suatu tindakan berbuat atau tidak berbuat dari
aparat pemerintah (eksekutif) atau dari pihak-pihak lainnya (termasuk
parlemen).66
3. Badan-badan politik (terutama parlemen) menentukan rincian mekanisme
rule of law, baik yang bersifat substantif, maupun secara prosedural.
Lebih lanjut mengenai pelaksanaan rule of law dalam
penyelenggaraan pemerintahan, dapat ditambahkan bahwa konsep ini tidak
dapat dipisahkan dengan konsep good governance. Fuady menunjukkan hal
tersebut melalui beberapa faktor utama yang berpengaruh satu sama lain
dalam menerapkan prinsip good governance ke dalam suatu
pemerintahan.67 Pertama, aturan hukum yang baik, yakni seperangkat aturan terkait warga masyarakat, pemerintah, parlemen, pengadilan, pers,
lingkungan hidup, serta para stakeholders lainnya. Kedua, law enforcement
yang baik, yakni seperangkat mekanisme yang secara langsung mendukung
upaya penegakan aturann hukum. Ketiga, sistem pemerintahan yang efektif,
efisien, jujur, transparan, accountable, dan berwawasan hak asasi manusia.
Keempat, sistem pemerintahan yang dapat menciptakan masyarakat yang
cerdas dan egaliter. Kelima, sistem pemerintahan yang kondusif terhadap
66
Ibid., hlm. 81.
67
pertumbuhan ekonomi dan pemerataan. Dengan gambaran tersebut Fuady
hendak menegaskan bahwa pelaksanaan tata kelola pemerintahan yang
baik harus mengindahkan prinsip-prinsip negara hukum. Demikian juga
sebaliknya bahwa pelaksanaan prinsip negara hukum yang baik harus selalu
memperhatikan dan melaksanakan prinsip good governance.68
C. Demokrasi
Istilah demokrasi menurut C.F. Strong diartikan secara beragam.69 Terkadang digunakan untuk menyebut suatu bentuk pemerintahan dan
terkadang dikonotasikan dengan kondisi suatu masyarakat. Namun di dunia
kontemporer, ketika nasionalisme menjadi dasar bagi demokrasi politik maka
pemerintahan politik yang demokratis menjadi instrumen kemajuan sosial. Di
sinilah letak keterkaitannya dengan demokrasi politik yang mengisyaratkan
pemerintah harus bergantung pada persetujuan pihak yang diperintah;
artinya, ekspresi persetujuan maupun ketidaksetujuan rakyat sudah harus
memiliki sarana penyaluran yang nyata dalam pemilihan umum, program
politik partai, media massa, dan lain-lain.
Dari penelusuran sementara yang berkaitan dengan demokrasi,
sedikitnya dapat dikemukakan bahwa demokrasi diterapkan dalam
dimensi-dimensi instrumen mekanisme pemerintahan, mekanisme pengambilan
keputusan serta demokrasi ekonomi.
1. Instrumen mekanisme pemerintahan
Demokrasi sebagai bentuk penyelenggaraan negara telah dipraktekan
hampir di setiap negara. Melalui penelitian yang dilakukan oleh Amos J.
Peaslee pada tahun 1950, dari 83 UUD negara-negara yang
diperbandingkannya terdapat 74 negara yang konstitusinya secara resmi
menganut prinsip kedaulatan rakyat (90%).70 Istilah demokrasi71 telah
68
Ibid., hlm. 80.
69
C.F.Strong, Konstitusi-Konstitusi …, op.cit, hlm. 17.
70
Jimly Asshiddiqie, Konstitusi Dan Konstitusionalisme Indonesia, Konstitusi Press, Jakarta, 2005, hlm. 140.
71
menjadi bahasa umum yang digunakan oleh negara-negara untuk
menunjukan suatu bentuk penyelenggaraan negara yang dianggap ideal.
Paham kedaulatan rakyat sebagai embrio demokrasi, mengantarkan
pengertian demokrasi yaitu, pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk
rakyat.
“Pemerintahan dari rakyat yaitu mereka yang duduk sebagai penyelenggara negara atau pemerintahan harus terdiri dari seluruh rakyat itu sendiri atau yang disetujui dan didukung oleh rakyat. Oleh rakyat maksudnya bahwa penyelenggara negara atau pemerintahan dilakukan sendiri oleh rakyat atau atas nama rakyat yang mewakili sedangkan
untuk rakyat maksudnya pemerintahan dijalankan atau berjalan sesuai
dengan kehendak rakyat.”72
Dalam perkembangan istilah demokrasi kemudian ada yang disebut
“participatory democracy”. “Participatory democracy” menambahkan kata
“bersama” sehingga dari rakyat, untuk rakyat, oleh rakyat dan bersama
rakyat.73 Dari pengertian tersebut dapat menunjukan demokrasi sebagai
instrumen mekanisme pemerintahan. Dalam hubungannya dengan cita-cita,
demokrasi hanyalah sarana, -bukan tujuan- untuk mencapai persamaan
(equality) secara politik yang mencakup tiga tujuan utama : kebebasan
manusia (secara individu dan kolektif), perkembangan diri manusia dan
perlindungan terhadap nilai (harkat dan martabat) kemanusiaan.74
Demokrasi sebagai instrumen mekanisme pemerintahan, dalam
perkembangannya sulit dilaksanakan jika secara langsung. Faktor luas
wilayah dari suatu negara dan besaran jumlah penduduk serta pertambahan
kerumitan masalah kenegaraan merupakan argumen bahwa demokrasi
langsung (direct democracy) tidak mungkin untuk dilaksanakan.75 Berdasarkan kenyataan demikian, dalam penjelasan Eddy Purnama,
72
I Gde Pantja Astawa,Hak Angket Dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia Menurut UUD 1945, Disertasi, Universitas Padjadjaran Bandung, 1999, hlm 70.
73
Participatory democracy strives to create opportunities for all members of a political group to make meaningful contributions to decision-making, and seeks to broaden the range of
people who have access to such opportunities…http://en.wikipedia.org/wiki/Participatory_democracy diunduh tanggal 27
Agustus 2009
74
I Gde Pantja Astawa, Op Cit, hlm. 66.
75
muncullah yang dikenal sebagai demokrasi tidak langsung (indirect
democracy), yang pelaksanaan kedaulatan rakyatnya tidak dilaksanakan
oleh rakyat secara langsung melainkan melalui lembaga perwakilan rakyat.76 Hal semacam ini lazim dinamakan demokrasi perwakilan (representative
democracy). 77 Dalam rangka mewujudkan prinsip kedaulatan rakyat,
akomodasi seluruh aspirasi rakyat jauh lebih berguna dari unsur di dalam
masyarakat harus terwakili di dalam sistem perwakilan.78 Menurut
International Commision of Jurist, sistem politik demokratis (demokrasi
perwakilan) adalah suatu bentuk pemerintahan di mana hak untuk membuat
keputusan-keputusan politik diselenggarakan oleh warga negara melalui
wakil-wakil yang dipilih oleh mereka dan yang bertanggungjawab kepada
mereka melalui suatu proses pemilihan yang bebas.79 Demokrasi perwakilan
menjadi alternatif terbaik demi tercapainya Representative Government.80
2. Mekanisme pengambilan keputusan
Ide kedaulatan rakyat yang tercermin dalam demokrasi juga meliputi
proses pengambilan keputusan baik di bidang legislatif maupun di bidang
eksekutif. Rakyat berdaulat terhadap produk hukum mulai dari perencanaan,
penetapan, hingga ke pengawasan. Hal ini diperjelas dalam
pengertian-pengertian demokrasi yang dikemukakan oleh beberapa ahli berikut :81
Henry B. Majo :
”A democratic political system is one in which public policies are made on
majority basis, by representatives subject to effective popular control at
76
Ibid., hlm. 11.
77
Miriam Budiarjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik. PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, Cetakan kelima belas, 1993, hlm 61.
78
Eddy Purnama, Kedaulatan ..., op.cit. hlm. 284.
79
Miriam Budiarjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik. PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, Cetakan kelima belas, 1993, hlm 61.
80
In Modern democracy, both ideals individual rights and equality pen find their highest fulfillment and justification in the citizen’s right to participation in government, the Government of the People. This, in modern states, means representative government through elected deputies” Wolfgang Friedmann, Legal Theory, Steven Sons, London, 1967, hlm, 419.
81
periodic election which are conducted on the pinciple of politcal equality and under condition of political freedom.”
Arthur Lewis
“all who are affected by a decision should have the chanc to participate in
making that decision, either directly or through chosen representative,”
CF Strong :
“a system of government in which the majority of the rule grown members
of political community participate through a method of representation which secures that the government is ultimately responsible for its actions to that majority.”82
Dalam paham kedaulatan rakyat yang berdaulat dari segi politik
bukanlah person rakyat itu sendiri, melainkan proses kehidupan kenegaraan
sebagai keseluruhan.83 Proses kehidupan kenegaraan ini termasuk di
dalamnya adalah proses pengambilan keputusan.
Di Indonesia sendiri, instrumen pengambilan keputusan yang khas
diberlakukan adalah melalui musyawarah mufakat. Yamin berpandangan
bahwa permusyawaratan untuk mencapai mufakat, merupakan perpaduan
antara dua konsepsi yaitu paham permusyawaratan yang bersumber dari
ajaran Islam, sedangkan mufakat bersumber dari tatanan asli Indonesia.84
Musyawarah dilakukan untuk menampung dan memperhatikan semua ide
atau pandangan yang ada dan permufakatan menjadi output dari apa yang
telah dimusyawarahkan. Proses pengambilan keputusan yang demokratis
model Indonesia ini disebutkan dengan jelas dalam sila ke – 4 Pancasila.
Oleh karena itu, demokrasi dapat juga dikatakan sebagai instrumen
pengambilan keputusan.
3. Demokrasi ekonomi
82
CF Strong, Modern Political Constitution, Sidgwick & Jackson Limited, London, 1960, hlm.13
83
Jimly Asshiddiqie, Konstitusi ..., op.cit. hlm. 148.
84
Demokrasi sebagai instrumen mekanisme pemerintahan dan
instrumen pengambilan keputusan merupakan penjabaran dari demokrasi
yang bersifat politik. Kekuasaan bidang politik dan ekonomi dapat dibedakan
satu sama lain namun sesungguhnya mempunyai hubungan fungsional yang
erat satu sama lain.85 Demokrasi politik harus menjamin setiap individu agar
memperoleh akses sama dalam setiap kegiatan ekonomi. Demikian yang
pengertian demokrasi dari Bung Karno yang tidak sepakat dengan
demorkrasi ala barat yang liberal dan didasarkan pada kapitalisme.86
Kedaulatan rakyat tidak hanya di bidang politik namun juga di bidang
ekonomi, sehingga negara memegang peranan penting dalam
menyejahterakan rakyatnya. Demokrasi yang demikian ini menurut Bung
Karno adalah Demokrasi sosial yang terdiri dari Demokrasi politik ditambah
dengan Demokrasi ekonomi.
Lebih jelas lagi Hatta berpendapat bahwa kekurangan demokrasi
liberal di Barat adalah karena terlalu dominannya prinsip individualisme,
sehingga politik hanya berlaku secara politik saja.87 Demokrasi asli yang ada
di desa-desa di Indonesia mempunyai tiga sifat yang utama, yang harus
dipakai sebagai sendi Perumahan Indonesia Merdeka”.88 Selengkapnya
Hatta mengatakan bahwa tiga sifat utama tersebut adalah:
Pertama: cita-cita rapat yang hidup dalam sanubari rakyat Indonesia
dari zaman dahulu sampai sekarang. Rapat ialah tempat rakyat atau utusan rakyat bermusyawarah dan mufakat tentang segala urusan yang bersangkutan dengan persekutuan hidup dan keperluan bersama. Di sini tampak dasar demokrasi, pemerintahan rakyat.
85
Jimly Asshiddiqie, Konstitusi ..., op.cit. hlm. 147.
86
“Disemua negeri modern itu adalah “demokrasi”. Tetapi,.disemua negeri modern itu kapitalisme subur dan meradjalela! Disemua negeri itu kaum proletar ditindas hidupnja.Disemua negeri modern itu kini hidup miljunan kaum penganggur, upah dan nasib kaum buruh adalah upah dan nasib kokoro,-disemua negeri modern itu rakjat tidak selamat, bahkan sengsara sesengsara-sengsara nja. Inikah hasilnja “demokrasi” jang dikeramatkan orang?...” Tabloid Fikiran Ra’jat, No. 18 dan 19 (edisi 4 November), tahun 1932.
http://www.opensubscriber.com/message/mediacare@yahoogroups.com/9511217.html
diunduh tanggal 27 Agustus 2009.
87
I Gde Pantja Astawa, Op Cit, hlm. 80.
88
Kedua: cita-cita massa-protest, yaitu hak rakyat untuk membantah
dengan cara umum segala peraturan negeri yang dipandang tidak adil. Hak ini besar artinya terhadap kepada pemerintahan despotisme atau autokrasi yang tersusun di atas pundak desa-demokrasi. Dan demokrasi tidak dapat berlaku, kalau tidak ada hak rakyat untuk mengadakan protes bersama. Dalam hak ini tercantum hak rakyat untuk merdeka bergerak dan merdeka berkumpul.
Ketiga: cita-cita tolong menolong. Sanubari rakyat Indonesia penuh
dengan rasa-bersama, kolektiviteit. Di atas sendi yang pertama dan kedua dapat didirikan tiang-tiang politik daripada demokrasi yang sebenarnya: satu pemerintahan negeri yang dilakukan oleh rakyat dengan perantaraan wakil-wakilnya atau Badan-badan Perwakilan. Di atas sendi yang ketiga dapat didirikan tonggak demokrasi ekonomi.89
Walaupun menolak individualisme pada Demokrasi Barat, namun
menurut Hatta asas kolektivisme yang dimaksudkannya bukanlah
kolektivisme yang berdasar sentralisasi (satu pimpinan dari atas), melainkan
desentralisasi yaitu tiap-tiap bagian berhak menentukan nasibnya sendiri,
sepeti sifat hak ulayat atas tanah bukan negeri seumumnya yang berhak
melainkan desa.90
Dalam pemikiran mengenai bagaimana demokrasi bagi Indonesia,
Muhammad Hatta mengingatkan bahwa masyarakat asli Indonesia
mempunyai sifat dasar dalam segala hal mengenai kepentingan hidup
bersama.91 Sifat pertama, yaitu mengambil keputusan secara mufakat dengan musyawarah, adalah dasar dari demokrasi politik. Sifat kedua yaitu
tolong menolong dan gotong royong adalah sendi yang bagus untuk
menegakkan demokrasi ekonomi.92
Dihubungkan dengan desentralisasi, Ni’matul Huda mengatakannya
sebagai mendemokratisasi sistem politik dan menyelaraskan pencapaian
pembangunan berkelanjutan yang merupakan isu yang selalu ada dalam
praktik administrasi publik.93Demokrasi yang lazim pula disebut dengan
89
Ibid, hlm 42-43.
90
I Gde Pantja Astawa, Op Cit. hlm. 84.
91
Mohammad Hatta, Demokrasi Kita, Pikiran-Pikiran tentang Demokrasi dan Kedaulatan Rakyat, Segaarsy, Bandung, cetakan kedua, 2009, hlm. 69.
92
Ibid. hlm. 70.
93
kedaulatan rakyat memandang bahwa kekuasaan itu berasal dari rakyat,
sehingga dalam pelaksanaan tugasnya pemerintah harus berpegang pada
kehendak rakyat.94 Sejalan dengan perputaran waktu, konsep demokrasi juga mencari bentuk yang sesuai dengan situasi dan kondisi dari masyarakat
modern.95 Dengan demikian menjadi sejalan dengan apa yang dicatat oleh Rousseau bahwa jika kita menempatkan istilah ini dalam pemahaman yang
kaku, tidak pernah ada demokrasi yang nyata dan tidak akan pernah ada
demokrasi.96
D. Kajian Teori Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah
Dalam upaya memahami hubungan kewenangan antara pusat dan
daerah akan digunakan dua teori yakni, desentralisasi dan sistem rumah
tangga daerah.
1. Desentralisasi
Bagir Manan menjelaskan bahwa secara umum desentralisasi
merupakan ‘bentuk atau tindakan memencarkan kekuasaan atau wewenang
dari suatu organisasi, jabatan, atau pejabat’.97 Lebih lanjut Bagir Manan berpendapat bahwa desentralisasi bukan merupakan asas penyelenggaraan
pemerintahan daerah, melainkan suatu proses.98 Dalam kaitan dengan pemerintahan otonom, desentralisasi hanya mencakup pemencaran
kekuasaan di bidang otonomi.99
Koesoemahatmadja menguraikan bahwa desentralisasi terbagi dua,
yaitu ambtelijke decentralisati/deconsentratie (dekonsentrasi) dan staatkundige decentralisatie (desentralisasi ketatanegaraan).100 Sementara desentralisasi ketatanegaraan yang merupakan penyerahan kekuasaaan
94
Eddy Purnama, Kedaulatan ..., op.cit. hlm. 10
95
Ibid.
96
Jean Jacques Rousseau, Du Contract Social (Perjanjian Sosial), Visimedia, Jakarta, 2007, hlm. 113.
97
Bagir Manan, Menyongsong Fajar Otonomi Daerah, Pusat Studi Hukum Fakultas Hukum UII, Yogyakarta, 2001, hlm 10.
98
Ibid., hlm 11.
99
Ibid., hlm 10.
100
perundang-undangan dan pemerintahan (regelende en besturende
bevoegheid) kepada daerah otonom, juga terbagi dua yakni, desentralisasi
teritorial (territoriale decentralisatie) dan desentralisasi fungsional
(functionele decentralisatie). Desentralisasi teritorial mencakup autonomie
(otonomi) dan medebewind atau zelfbestuur (tugas pembantuan). Dengan
perkataan lain, baik otonomi maupun tugas pembantuan, keduanya masuk
dalam lingkup desentralisasi.
Van Der Pot, sebagaimana dikutip oleh Bagir Manan, membagi
desentralisasi menjadi desentralisasi teritorial yang menjelma dalam bentuk
badan yang didasarkan pada wilayah, sedangkan desentralisasi fungsional
menjelma dalam bentuk badan-badan yang didasarkan pada tujuan-tujuan
tertentu.101 Mengenai desentralisasi, Van der Pot mengemukakan, tidak semua peraturan dan penyelenggaraaan pemerintahan dilakukan dari pusat
(central).102 Pelaksanaan pemerintahan dilakukan baik oleh pusat maupun berbagai badan otonom. Badan-badan otonom ini dibedakan antara
desentralisasi berdasarkan teritorial (territoriale decentralisatie) dan
desentralisasi fungsional (functionaeele decentralisatie). Bentuk
desentralisasi itu dibedakan antara otonomi dan tugas pembantuan.
Pemikiran di atas memberi pengertian bahwa tugas pembantuan merupakan
salah satu bentuk dari desentralisasi. Menempatkan kedudukan yang sejajar
antar desentralisasi dan tugas pembantuan sebagai asas-asas yang terpisah
merupakan suatu yang keliru. Demikian pula, bahwa desentralisasi adalah
otonomi, tetapi otonomi tidak sama dengan desentralisasi. Otonomi
merupakan salah satu bentuk desentralisasi.
Irawan Soejito, sebagaimana dikutip oleh Bagir Manan, menjelaskan
penggolongan desentralisasi yang agak berbeda, yang terdiri atas
desentralisasi teritorial, desentralisasi fungsional dan desentralisasi
administratif (dekonsentrasi).103 Selanjutnya dikatakan bahwa terdapat dua
101
Bagir Manan, Hubungan ..., op.cit. hlm 21.
102
Bagir Manan, Menyongsong Fajar Otonomi Daerah, Pusat Studi Hukum Fakultas Hukum UII, Yogyakarta, 2001, hlm 10.
103
pandangan mengenai hubungan antara desentralisasi dan dekonsentrasi.
Pandangan pertama mengatakan bahwa dekonsentrasi sebagai salah satu
bentuk desentralisasi sedangkan pandangan kedua beranggapan bahwa
dekonsentrasi merupakan pelunakan sentralisasi menuju ke arah
desentralisasi.104
Ahli lain yang melakukan penggolongan desentralisasi adalah Amrah
Muslimin. Menurutnya desentralisasi terbagi ke dalam tiga golongan, yaitu
desentralisasi politik, desentralisasi fungsional dan desentralisasi
kebudayaan.105 Desentralisasi politik adalah “pelimpahan kewenangan dari Pemerintah Pusat, yang menimbulkan hak mengurus kepentingan rumah
tangga sendiri bagi badan-badan politik di daerah-daerah, yang dipilih oleh
rakyat dalam daerah-daerah tertentu”.106 Menurut Bagir Manan pengertian desentralisasi politik tersebut sama dengan desentralisasi teritorial karena
faktor ‘daerah’ menjadi salah satu unsurnya.107 Mengenai desentralisasi kebudayaan, Amrah Muslimin mengartikan:
“memberikan hak pada golongan-golongan kecil dalam masyarakat
(minoritas) menyelenggarakan kebudayaannya sendiri (mengatur
pendidikan, agama, dan lain-lain). Dalam kebanyakan Negara
kewenangan ini diberikan pada kedutaan-kedutaan asing demi
pendidikan warga negara masing-masing negara dari keduataan yang
bersangkutan”.108
Terhadap pendapat Amrah Muslimin mengenai desentralisasi
kebudayaan di atas, Bagir Manan berpendapat bahwa desentralisasi pada
prinsipnya merupakan bentuk dari susunan organisasi negara dan
pemberian atau pengakuan hak minoritas untuk mengatur dan mengurus
soal agama dan pendidikan di kalangan mereka sendiri lebih tampak sebagai
perwujudan dan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia daripada
104
Ibid., hlm 21-22.
105
Amrah Muslimin, Aspek-aspek Hukum Otonomi Daerah, Alumni, Bandung, 1986, hlm 5.
106
Ibid.
107
Bagir Manan, Hubungan ..., op.cit., hlm 22.
108
sebagai bagian susunan organisasi negara.109 Lebih lanjut dikatakan bahwa pemberian hak kepada kedutaan juga tidak dapat dikategorikan sebagai
desentralisasi karena kedutaan bukan bagian dari susunan organisasi di
mana kedutaan itu berada.110
Desentralisasi teritorial, khususnya otonomi, berkonsekuensi terhadap
pembiayaan penyelenggaraan urusan pemerintahan daerah oleh
pemerintahan daerah. Seperti dikatakan oleh B.C. Smith bahwa it is obvious
that the exercise of governmental powers at the subnational level entails expenditure by subnational governments.111 Hal yang sama juga dikatakan
oleh Bagir Manan bahwa hak mengatur dan mengurus rumah tangga sendiri
menyiratkan pula makna membelanjai diri sendiri.112 Begitu pula dengan Pheni Chalid yang berpendapat bahwa desentralisasi kewenangan
pengelolaan pemerintahan berarti beban pembiayaan harus ditanggung
sepenuhnya oleh pemerintahan daerah.113 Artinya, pemerintahan daerah harus memiliki sumber keuangan sendiri untuk dapat menyelenggarakan
rumah tangganya secara mandiri.
Konsekuensi desentralisasi pada pembiayaan urusan pemerintahan
daerah pada hakikatnya adalah desentralisasi di bidang keuangan atau
desentralisasi fiskal. Bahcrul Elmi mengatakan bahwa desentralisasi fiskal
dapat diartikan sebagai pelimpahan kewenangan di bidang penerimaan yang
sebelumnya tersentralisasi, baik secara administrasi dan pemanfaatannya
diatur atau dilakukan oleh pemerintah pusat114.
Namun demikian, ada yang mengartikan desentralisasi fiskal lebih
luas dari sekedar pelimpahan kewenangan di bidang penerimaan. Dalam
perspektif ilmu ekonomi, desentralisasi fiskal diartikan dalam ukuran –
109
Bagir Manan, Hubungan ..., op.cit..
110
Ibid.
111
B.C. Smith, Decentralization The Territorial Dimension of The State, Gerge Allen Unwin, London, 1985, hlm. 99.
112
Bagir Manan, Hubungan Antara….,op.cit., hlm. 204.
113
Pheni Chalid, Keuangan Daerah, Investasi, dan Desentralisasi, Kemitraan, Jakarta, 2005, hlm vii
114
ukuran keuangan seperti expenditure (pengeluaran/belanja) atau revenue
(penerimaan/pendapatan). Pengertian desentralisasi fiskal yang tidak hanya
pada aspek penerimaan, namun juga pada aspek pengeluaran, berhubungan
dengan adanya kewenangan daerah atas sumber-sumber penerimaan
daerah digunakan untuk membiayai pengeluaran/ belanja sesuai dengan
kewenangan daerah.
Persoalan desentralisasi fiskal terutama dari aspek ekonomi selalu
dikaitkan dengan persoalan efisiensi, misalnya Oates (1993) mengatakan
bahwa peningkatan efisiensi ekonomi merupakan dasar ekonomis dari
desentralisasi.115 Teori keuangan negara melekatkan desentralisasi dalam rangka mencapai efisiensi pada dua pelaku: konsumen dan produsen.116 Efisiensi dari aspek konsumen didefinisikan sebagai keuntungan yang
didapatkan oleh konsumen dari kebijakan pengeluaran/belanja (negara) yang
sesuai dengan preferensi pembayar pajak. Sementara itu, efisiensi dari
aspek produsen didefinisikan sebagai keuntungan ekstra yang didapatkan
ketika sejumlah pengeluaran yang sama dapat menghasilkan barang dan
jasa dengan kuantitas yang besar atau kualitas yang lebih baik, atau ketika
sejumlah barang dan jasa dapat dihasikan dengan biaya yang lebih
rendah.117
Persoalannya, jika tujuan desentralisasi fiskal adalah hanya efisiensi,
maka hal tersebut dapat dilakukan dengan skema hubungan pusat daerah
yang sentralistik.118 Padahal, sepeti dikatakan oleh Bagir Manan bahwa
115
Francisco Javier Arze del Granado, A Study of The Relationship Between Fiscal Decentralization and The Composition of Public Expenditures, Disertasi, Departement of Economic Andrew Young School of Policy Studies, Georgia State University, Atlanta, 2003, hlm. 13.
116
Ibid.
117
Ibid.,hlm. 14.
118