1. Pada dasarnya, perkembangan aktivisme di Indonesia dapat ditelusuri kembali terutama pada dekade 70-an. Gerakan untuk melakukan perubahan sosial semacam itu pada umumnya didasarkan pada kesadaran kritis bahwa modernisasi memerlukan respons yang memadai dari masyarakat. Karena itu, dekade 70-an ditandai oleh kuatnya paham developmentalism yang sangat diwarnai oleh semangat untuk memperkenalkan kepada masyarakat berbagai bentuk adaptasi dan respons baru terhadap pembangunan. Orientasi gerakan ini terutama diarahkan pada pendekatan klasik tentang community development. Beberapa lembaga yang sangat penting pada dekade itu, semisal Bina Desa, Bina Swadaya, Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI) dan semacamnya, pada umumnya memusatkan perhatiannya pada masyarakat pedesaan. Aktivitas utamanya berkisar di sekitar usaha untuk membentuk pengetahuan, sikap, dan praktik baru melalui berbagai program di sekitar tema-tema kesehatan, kebersihan, keluarga, dan untuk bagian yang lebih kecil, ekonomi pedesaan.
2. Dalam dekade 80-an gerakan perubahan sosial yang diprakarsai oleh elemen masyarakat mendapatkan bentuknya yang lebih jelas dan lebih beragam. Nama Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) lebih dikenal secara luas sebagai lembaga yang relatif otonom dari pengaruh kekuasaan pemerintah. Wilayah kegiatannya juga kerap berhadapan secara kritis dengan kebijakan pemerintah di bidang pembangunan. Orientasi LSM yang berkembang selama dekade ini, dalam beberapa hal, memiliki perbedaan yang cukup jelas dengan LSM dari generasi sebelumnya. Salah satu hal yang menandainya terdapat pada tumbuhnya kesadaran politik baru di kalangan para aktivis LSM untuk memberi perhatian yang lebih besar pada kelompok masyarakat yang karena status dan kelas sosialnya sering menjadi korban dari pembangunan. Kegiatan advokasi kepada petani dan atau pemilik tanah di daerah pedesaan dan perkotaan merupakan contoh penting yang menggambarkan orientasi LSM di tahun-tahun itu. Kehadiran LSM seperti Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indo-nesia (YLBHI) dalam berbagai kegiatan bantuan hukum menjadi mode of changes di era itu. Kolaborasi, bahkan koalisi, dengan masyarakat kampus, terutama kaum intelektual
70. - Semiloka Kesehatan dan Hak Asasi Manusia
mudanya, juga mulai menjadi pola umum dalam kegiatan LSM di Indonesia di era itu. 3. Tema baru seperti lingkungan hidup dan, lebih kemudian, hak asasi manusia, mulai menjadi
perhatian penting dari LSM di pertengahan hiogga akhir dekade 80-an. Dalam perkembangannya yang lebih kemudian, terutama di dekade 90-an, LSM di Indonesia tidak lagi diasosiasikan melulu atau pertama-tama sebagai agen pembangunan dalam pengertian dan definisi kaum modernis. Kata-kata “gerakan” (sosial movement) “aktivis”, “perubahan” dan “transformasi”, menjadi jargon baru yang secara politik dan ideologis menawarkan pendekatan yang tidak semuanya sama, sebagian bahkan berhadapan, dengan pendekatan
developmentalism. Hampir dapat dikatakan bahwa secara ideologis, LSM di Indonesia
bahkan mengalami transformasi ideologis yang sangat penting. Tema partisipasi, emansipasi, dan pembebasan menjadi spirit baru dari kelompok ini. Pendekatan dan programnya menjadi sangat beragam dan kadang saling berkompetisi; dari yang masih mempertahankan pendekatan konvensional (yakni memfasilitasi perubahan dengan atau melalui kerangka edukasi-evolusionisme-revisionisme yang didasarkan pada nilai-nilai dan ideologi dominan) sampai pada pendekatan yang menawarkan perubahan radikal melalui usaha dekonstruksi untuk menghasilkan formula masyarakat alternatif.
4. Dalam pendekatan semacam itu, gerakan aktivis sepanjang dekade 90-an hingga sekarang mengaplikasikan beragam strategi perubahan yang menekankan pada kesadaran kritis terhadap ideologi perubahan. Tema demokrasi menjadi payung bagi kebanyakan LSM untuk melakukan transformasi civil society. Gerakan feminisme dengan berbagai mazhabnya juga menjadi bagian penting dari perubahan yang dipromosikan oleh kaum aktivis perempuan yang di antaranya memperjuangkan kesetaraan jender. Dalam arena yang lain, LSM di Indonesia juga mengalami perkembangan yang amat mendasar dalam masalah spektrum ideologi yang mendasari gerakan. Walaupun sama-sama memiliki landasan kepercayaan yang mirip dalam menempatan civil society sebagai pusat perubahan, kaum aktivis di Indonesia sebenarnya datang dan atau berkembang dalam garis pemikiran ideologis yang beragam. Pada tingkat orientasinya, perbedaan itu dapat dikenali dengan cukup jelas dari dua hal berikut ini. Pertama, dari program, pendekatan dan strategi perubahan yang mereka gunakan. Kedua, dari afiliasi mereka dengan lembaga donor. Pada tingkat nilai, sebagian bergerak dengan mempromosikan nilai-nilai universalisme (seperti keadilan, kebebasan, humanisme), sebagian lagi yang lain justru berjuang dengan nilai-nilai partikularisme (seperti hak adat dan ulayat).
5. Secara umum, saya ingin mengatakan bahwa pada dasarnya dekade 90-an menjadi awal perubahan yang bersifat mendasar dalam hal bagaimana LSM menempatkan posisinya terhadap arus perubahan di Indonesia. Gerakan reformasi untuk demokrasi jelas tak dapat dipisahkan dari kehadiran kaum aktivis di Indonesia. Kata “aktivis” sendiri yang awalnya kerap hanya berasosiasi dengan kelompok LSM, menjadi sebuah kata yang berasosiasi dengan sebuah koalisi kelompok kritis yang keanggotaannya juga meliputi mereka yang berasal dari kaum intelektual, akademisi, dan profesional. Untuk mengkontraskan posisi mereka terhadap rejim yang berkuasa, banyak dari kalangan ini lebih suka menggunakan singkatan ORNOP (organisasi non-pemerintah) daripada LSM. Dalam pandangan mereka, LSM adalah sebuah kata yang mengandung perangkap karena mengandung hegemoni negara terhadap civil society. Istilah “swadaya” dalam LSM, mengikuti argumentasi ini,
tidak lebih dari sekedar topeng untuk menyamarkan pengaruh yang kuat dari negara terhadap civil society.
6. Koalisi kelompok kritis ini—sering juga disebut dengan Koalisi ORNOP— menjadi kelompok strategis yang memainkan peran sangat penting, dalam memberi arah, bentuk, dan agenda perubahan di Indonesia. Mereka bekerja dalam wilayah yang sangat luas, mulai dari wilayah konstitusi, perundang-undangan dan kebijakan publik, hingga pembentukan kesadaran baru di tingkat masyarakat untuk mendorong partisipasi yang luas, transparansi, dan akuntabilitas kekuasaan. Kiprah mereka memang tak dapat dilepaskan dari kerjasama yang amat erat dalam berbagai bentuk dengan komunitas dan lembaga donor internasional. Walaupun tidak semua aktivis memiliki pandangan yang sama tentang posisi mereka, pengaruh komunitas dan lembaga donor internasional dalam ikut mendorong perubahan di negeri ini jelas sangat terlihat terutama dalam dekade ini.
7. Dengan menyebutkan semua ini, saya ingin mengatakan bahwa perubahan yang terjadi di Indonesia bukanlah sesuatu yang unik dan spesifik sepenuhnya. Transisi demokrasi terjadi di banyak belahan dunia terutama sejak akhir 80-an. Perkembangan aktivisme di Indonesia, karena itu, tak dapat dilepaskan sama sekali dari konteks global. Gagasan untuk mendorong terjadinya transisi demokrasi, transformasi masyarakat, dan pasar ekonomi global adalah sebuah transisi besar yang sedang menemukan bentuknya yang jelas di abad ini. Karena itu, perubahan sosial, tidak hanya dihasilkan dari dan oleh proses dan dinamika negara bangsa, tetapi juga dari dan oleh masyarakat global. Kecenderungan ini akan terus berlangsung dan dalam pemahaman saya, Indonesia sedang dalam proses awal pengintegrasian itu. Proses ini lebih mudah saya bayangkan akan menghasilkan integrasi yang berguna apabila dialog dan kerjasama internasional itu dilakukan dengan kesadaran bahwa perubahan ini memang sungguh dikerjakan untuk penciptaan masyarakat dunia yang lebih adil.
Selamat berlokakarya. Terima kasih.
1 Memperhatikan pembicaraan tentang tema ini menyangkut dan memerlukan pembahasan yang agak luas dan sedikil banyak berada di luarjangkauan tulisan ini, saya tak hendak memperpanjang ulasan
Semiloka Kesehatan dan Hak Asasi Manusia - 73