• Tidak ada hasil yang ditemukan

Bioetik Dan Hukum Kedokteran

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Bioetik Dan Hukum Kedokteran"

Copied!
187
0
0

Teks penuh

(1)

(2)

KESEHATAN DAN

KESEHATAN DAN

KESEHATAN DAN

KESEHATAN DAN

KESEHATAN DAN

HAK ASASI MANUSIA

HAK ASASI MANUSIA

HAK ASASI MANUSIA

HAK ASASI MANUSIA

HAK ASASI MANUSIA

Prosiding Seminar dan Lokakarya

Jakarta, 19-20 Maret 2003

Editor

Farid Anfasa Moeloek

Agus Purwadianto

Aten Suharto

Ikatan Dokter Indonesia

2005

Semiloka diselenggarakan oleh : Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia

Uplift International, University of Washington, School of Law Pembiayaan dari :

(3)

Perpustakaan Nasional RI: Katalog Dalam Terbitan (KDT)

Seminar dan Lokakarya Kesehatan dan Hak Asasi Manusia (2005 : Jakarta) Kesehatan dan hak asasi manusia : prosiding seminar dan lokakarya,

Jakarta, 19-20 Maret 2003 / editor, Farid Anfasa Moeloek, Agus Purwadianto, Aten Suharto. -- Jakarta : Ikatan Dokter Indonesia (IDI), 2005.

xvi, 182 hlm. ; 23 cm. ISBN 979-9068-92-4

1. Kesehatan -- Kongres. 2. Hak asasi. I. Judul. II. Moeloek, Farid Anfasa. III. Purwadianto, Agus. IV. Suharto, Aten.

(4)

Kesehatan dan Hak Asasi Manusia Prosiding Seminar dan Lokakarya Jakarta, 19 - 20 Maret 2003

Editor: Farid Anfasa Moeloek Agus Purwadianto Aten Suharto

Hak cipta dilindungi oleh undang-undang Memperindah Tata Letak : Mohammad Yusuf Rencana dan gambar sampul : Luciana Ferrero Diterbitkan pertama kali oleh

Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia Bekerjasama dengan Uplift International

Dilarang keras menterjemahkan, memfotocopy, atau memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dari penerbit.

Dicetak oleh Yayasan Penerbitan IDI isi di luar tanggung jawab percetakan.

(5)

Daftar Isi

Kata Pengantar ... iii

Sambutan Ketua Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia ... v

Sambutan Menteri Kehakiman dan Hak Asasi Manusia R.I. ...vii

Sambutan Menteri Kesehatan R.I. ...ix

I. A Human Rights Overview 1. Why Health and Human Rights Are Important Beth E. Rivin ... 1

2. Mencari Landasan Hak Asasi Manusia: Daniel S. Lev ... 5

II. Perspektif Kesehatan dan Hak Asasi Manusia 3. Human Rights, A Global Perspective B.S. Lamba ...11

4. Kesehatan dan Hak Asasi Manusia, Perspektif Indonesia Firman Lubis ...17

III. Isu Pokok dalam Kesehatan dan Hak Asasi Manusia 5. Kesehatan Perempuan dan Isu Gender Ratna Tjaja ... 23

6. Child Health and Human Rights Lily I Rilantono ...29

7. Health and Human Rights : HIV/AIDS F. Stephen Wignall ...37

8. Pelayanan Kesehatan pada Pengungsi (Internally Displaced Person) Broto Wasisto ... 49

9. Memposisikan Persons With Disabilities dalam Health Behavior Perspective sebagai Refleksi dari Hak Asasi Individu Damona K. Poespawardaja ... ... 55

10. Prisoners and Detainees (Some Preliminary Notes for Discussion Purpose) Mardjono Reksodipuro ... 63

11. Aktivisme dan Perubahan Sosial di Indonesia Daniel Sparingga ...69

12. Manfaat Ilmu Forensik dalam Pembuktian Ilmiah dalam Kasus Pelanggaran HAM Aidarus Idram ... 73

IV. The Legal and Ethical Basis of Human Rights, History of the Movement, Human Rights Instruments 13. The History of the Health and Human Rights Movement Patricia C. Kuszler ... 79

(6)

ii- Semiloka Kesehatan dan Hak Asasi Manusia

14. The Legal and Ethical Basis of Human Rights and Instrument

Harkristuti Harkrisnowo ...83

V. The Right to Health

15. Kesehatan Sebagai Hak Asasi Manusia

Salahuddin Wahid ... 87

16. Hak untuk Hidup Sehat (Paradigma Sehat)

Farid Anfasa Moeloek ... 91

17. Beberapa Catatan Tentang Hak Atas Kesehatan

Rudi Rizki ... 97

VI. What Are Biomedical Ethics: The History, Principles, Applied, Comparative 18. Hak Konsumen Kesehatan

Marius Widjajarta ... 101

19. Otonomi Pasien dan Informed Consent

Budi Sampurna ... 105

20 Perkembangan Bioetika Serta Aplikasinya

Djamhoer Martaadisoebrata ... 111

VII. Applying Human Rights to Public Health Programs: Environment, Water Supply, Housing, Infectious Diseases and Other Public Goods

21. Applying Human Rights to Public Health Programs

I Nyoman Kandun ... 121

22. Applying Human Rights to Public Health Programs: Environment, Water Supplay, Housing, Infectious Diseases and Other Public Goods

Does Sampoerno ... 127

23. Hak Asasi Manusia Atas Lingkungan Hidup yang Aman dan Sehat

Retno Soetaryono ... 131

24. Penerapan Hak untuk Sehat

Kartono Mohammad ... 151

VIII. Impact of Human Rights Violations on Health

25. Pendekatan Berbasis Komunitas untuk Komunitas yang Mengalami Kekerasan Kolektif

Livia Iskandar Dharmawan ... 155

26. Psychological Impact of Violence and Human Rights Violations

Kristi Poerwandari ... 161

27 Universal Declaration of Human Rights

B.S. Lamba ... 167

z Hasil Survei terhadap Peserta Semiloka

Seminar Participant Survey ... 169 Daftar Peserta dan Pembicara ... 175 Acara Semiloka dan Lokakarya Kesehatan dan HAM ... 181

(7)

Kata Pengantar

Perlindungan dan penegakkan hak asasi manusia adalah perjuangan jangka panjang yang tidak mungkin tercapai jika sekiranya tidak sebanyak mungkin orang tahu dan sadar akan hak asasinya, oleh karena itu usaha ini perlu ditunjang oleh pendidikan dan penyebaran informasi hak asasi manusia sebagai jalan terbaik untuk mencapai pikiran dan hati semua orang dan menggerakkannya untuk berpartisipasi dalam perlindungan dan penegakkan hak asasi manusia itu.

Bagi Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) pentingnya pemajuan hak asasi manusia tertuang dalam visi Komnas HAM: “tersosialisasikan dan terwujudnya perlindungan hak asasi manusia

untuk semua” yang antara lain dilakukan melalui pendidikan/penyadaran hak asasi manusia, penyuluhan

dan pelatihan, mengkampanyekan serta mempublikasikan hak asasi manusia. Keterkaitan kesehatan dengan Hak Asasi Manusia dengan tegas telah dinyatakan dalam Deklarasi Umum Hak Asasi Manusia yang dikeluarkan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa tanggal 10 Desember 1948 khususnya Pasal 25 ayat 1 dan 2 yang secara garis besar disebutkan bahwa setiap orang berhak atas taraf hidup yang memadai untuk kesehatan dan kesejahteraan dirinya dan keluarganya. Demikian pula dalam Konvensi Internasional tentang Hak-Hak Ekonomi Sosial dan Budaya pasal 12 dan Pembukaan Konstitusi Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) antara lain dinyatakan bahwa negara mengakui hak setiap orang, untuk menikmati standar tertinggi yang dapat dicapai atas kesehatan fisik dan mental dengan mengupayakan pengurangan tingkat kelahiran, mati dan kematian anak serta perkembangan anak yang sehat, melalui perbaikan semua aspek kesehatan lingkungan dan industri dengan melakukan pencegahan, pengobatan, dan pengendalian segala penyakit menular/endemik, penyakit lain yang berhubungan dengan pekerjaan serta menciptakan kondisi yang akan menjamin semua pelayanan dan perhatian medis dalam hal sakitnya seseorang.

Sayangnya setelah kita merdeka lebih dari 50 tahun, kesehatan belum pernah menjadi isu utama politik kita, dalam mewujudkan keadilan, kesejahteraan, dan kemakmuran bangsa, negara, dan masyarakat. Padahal tanpa kesehatan, seseorang menjadi tidak sederajad secara kondisional. Seseorang yang tidak sehat dengan sendirinya akan berkurang haknya atas hidup, tidak bisa memperoleh dan menjalani pekerjaan yang layak, tidak bisa menikmati hak-haknya untuk berserikat dan berkumpul serta mengeluarkan pendapat dan tidak bisa memperoleh pendidikan demi masa depannya. Singkatnya seseorang tidak bisa menikmati sepenuhnya kehidupan sebagai manusia.

Kesungguhan mengimplementasikan pendidikan Kesehatan dan Hak Asasi Manusia yang dimaksudkan tidak berhenti pada proses perencanaan, pengorganisasian, dan pengendalian program namun lebih jauh juga menjangkau tataran praktiknya. Adanya manual dengan judul Kesehatan dan Hak Asasi Manusia ini diharapkan dapat menjadi satu referensi bagi para pemerhati dan pendidik hak asasi manusia dalam melakukan kegiatan-kegiatan diseminasi hak asasi manusia.

Sebagai bagian dari upaya pendidikan Kesehatan dan Hak Asasi Manusia, penerbitan manual ini diharapkan dapat mendukung tersosialisasinya nilai-nilai hak asasi manusia yang lebih lanjut dapat membantu terwujudnya budaya kesehatan adalah bagian dari hak asasi manusia di Indonesia. Semoga.

Jakarta, Mei, 2005 Editor

Farid Anfasa Moeloek Agus Purwadianto Aten Soeharto

(8)

Sambutan Ketua Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia

Pada Seminar dan Lokakarya Tentang Kesehatan dan Hak

Asasi Manusia

Jakarta, 19-20 Maret 2003

Assalamu’alaikum, Wr. Wb. Salam Sejahtera untuk kita semua, Yth

Sdr. Menteri Kesehatan Republik Indonesia Honored Guests and Colleagues from overseas Para Pembicara dan para Panelis

Donor Agencies

Ibu-ibu dan Bapak-bapak, serta Saudara-saudara sekalian baik yang berasal dari dalam kota maupun yang berasal dari luar kota, yang saya hormati dan saya muliakan.

Pertama-tama marilah kita memanjatkan puji dan syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Pengasih dan Penyayang yang telah memberikan kita hikmah, taufik dan hidayahNya yang tidak putus-putusnya, dan semoga kita semua yang berkumpul pada pagi hari ini untuk memenuhi undangan kami ini, pada Seminar dan Lokakarya yang kami anggap penting ini, semuanya dalam keadaan sehat walafiat.

Selanjutnya izinkan saya atas nama Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (IDI) menyampaikan ucapan terima kasih yang tidak terhingga, dengan penghargaan yang tinggi atas berkenan hadirnya Ibu, Bapak, dan Saudara sekalian pada Seminar dan Lokakarya yang kami beri tema Kesehatan dan Hak Asasi Manusia ini, khusus kepada Sdr. Menteri Kesehatan, dan juga para pembicara, dan para panelis, yang berkenan memberikan sumbangsihnya, pemikiran, dan pendapatnya tentang Kesehatan dan Hak Asasi Manusia yang belum begitu di-kenal di negara kita yang tercinta ini.

Kesehatan bagi sebagian masyarakat kita, dan mungkin bagi para pengambil keputusan kita, baru dapat ditangkap sejauh tersedianya Rumah Sakit, dan Puskesmas, atau Balai Pengobatan saja. Sakit influensa, sakit perut, sakit lever, atau sakit jantung, dan yang sejenisnya lagi. Di pihak lain, hak asasi manusia baru dikenal sejauh dalam pengertian yang belum luas, yaitu, baru sebatas pada hak-hak sipil dan politik bagi individu atau sekelompok masyarakat saja.

Pada Semiloka inilah kami, IDI bersama-sama dengan rekan-rekan yang lain, utamanya dari University of Washington dan Uplift International dari Seattle, dan atas bantuan rekan-rekan dari KOMNAS HAM, universitas, praktisi hukum, LSM, pemerhati kesehatan dan individu, ingin membahas lebih lanjut apa sesungguhnya kesehatan tersebut dan keterkaitannya dengan Hak Asasi Manusia yang sesungguhnya, yang lebih luas dan dalam lagi.

(9)

Kesehatan sesungguhnya merupakan hak asasi manusia, hak individu, hak sosial, dan hak budaya untuk hidup sehat. Sehat jasmani, sehat rohani, sehat sosial, sehat lingkungan dan sehat budaya.

Sejak Deklarasi Universal tentang Hak Asasi Manusia, yang diterima dengan suara bulat oleh Majelis Umum Perserikatan Bangsa-bangsa (10 Desember, 1948), jelas dalam artikel no. 25-nya yang me25-nyatakan bahwa: ‘tiap orang mempu25-nyai hak untuk hidup pada standar yang layak untuk kesehatan dan kesejahteraan mereka, dan keluarga mereka, termasuk hak untuk mendapat makanan, perumahan, dan pelayanan kesehatan’ (‘everyone has the right to a standard of living adequate for their own health and well-being and that of their family, and this includes food, clothing, housing, and medical care’).

Sayangnya, setelah kita merdeka lebih dari 50 tahun, kesehatan belum pernah menjadi isu utama politik kita, dalam mewujudkan keadilan, kesejahteraan dan kemakmuran bangsa, negara, dan masyarakat. Karena kesehatan masih tertangkap oleh para pengambil keputusan, para politikus kita dalam konotasi yang masih sempit. Yang sesungguhnya kesehatan itu adalah ‘setting’ dari seluruh kehidupan Individu, Keluarga, Sosial dan Budaya Masyarakat, dan kesemuanya itu adalah hak-hak mereka.

Inilah yang akan kami telaah, kami bahas lebih lanjut di dalam semiloka ini, sebagai bagian dari Deklarasi Universal tentang Hak Asasi Manusia yang dicanangkan oleh Perserikatan Bangsa-bangsa pada tanggal 10 Desember 1948.

Adalah harapan kami, setelah Semiloka ini berakhir, akan dilanjutkan dengan tindak lanjut nyata dalam hal memberikan informasi, pendidikan dan pelatihan yang luas tentang hak-hak sosial yang berkeadilan dan hak kesehatan, serta kesejahteraan masyarakat ini kepada seluruh masyarakat, terutamanya pada generasi muda bangsa, pada tiap kesempatan, dan pada tiap tingkat pendidikan dan pelatihan. Menyampaikannya kepada para pengambil keputusan untuk mengambil langkah-langkah positif dalam hal dan ikhwal pengejawantahan hak-hak manusia secara universal, hak-hak manusia dalam keadilan sosial, kesehatan, dan kesejahteraan masyarakat. Serta menyadarkan masyarakat untuk turut aktif dalam semua aktivitas dalam mencegah penderitaan umat manusia dalam ketidakadilan sosial, termasuk kesehatan dan kesejahteraan mereka.

Kepada semua pihak yang telah turut membantu terselenggaranya Semiloka yang penting ini, antara lain Uplipt International, University of Washington, School of Law, TIFA Founda-tion, Ford FoundaFounda-tion, The Asia FoundaFounda-tion, and also our colleagues from overseas, all speak-ers, panelists, I would like to thank you all.

Enjoy your Seminar, enjoy your stay in Jakarta!

Pada akhirnya, pada gilirannya nanti, kami mengharapkan Sdr. Menteri Kesehatan, dengan hormat berkenan untuk memberi kata sambutan, dan sekaligus membuka Semiloka ini.

Terima kasih,

Wassalamualaikum, W. W.

Jakarta, 19 Maret 2003 Ketua Terpilih

Ikatan Dokter Indonesia

(10)

Sambutan Menteri Kehakiman dan Hak Asasi Manusia

Republik Indonesia Pada Seminar dan Lokakarya Tentang

Kesehatan dan Hak Asasi Manusia

Jakarta, 19-20 Maret 2003

Assalamu’alaikum Wr. Wb.

Selamat pagi dan salam sejahtera untuk kita semua Yang terhormat Menteri Kesehatan RI

Para Peserta Seminar dan Lokakarya yang berbahagia

Dengan memanjatkan puji syukur ke hadirat Allah SWT, perkenankan saya menyampaikan terima kasih dan penghargaan yang tulus kepada Ikatan Dokter Indonesia (IDI)/pihak Univer-sity of Washington dan UPLIFT yang telah memprakarsai pelaksanaan seminar/lokakarya tentang Kesehatan dan Hak Asasi Manusia. Mudah-mudahan kegiatan Seminar dan Lokakarya hari ini diharapkan dapat menyamakan persepsi kita mengenai keterkaitan antara Kesehatan dan Hak Asasi Manusia.

Hadirin yang berbahagia,

Dalam rangka menuju Indonesia baru yang dimulai dengan era reformasi yang berpijak pada asas demokratisasi pada satu sisi serta pemajuan Hak Asasi Manusia di sisi lain, maka dinilai sangat mendesak untuk menyadarkan semua pihak tentang apa dan bagaimana keterkaitan kesehatan dengan Hak Asasi Manusia khususnya yang menyangkut kesehatan ibu dan anak, anak-anak gelandangan/penderita cacat, penderita HIV/AIDS, dan lain-lain.

Keterkaitan kesehatan dengan Hak Asasi Manusia dengan tegas telah dinyatakan dalam Deklarasi Umum Hak Asasi Manusia yang dikeluarkan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa tanggal 10 Desember 1948 khususnya Pasal 25 ayat 1 dan 2 yang secara garis besar disebutkan bahwa setiap orang berhak atas taraf hidup yang memadai untuk kesehatan dan kesejahteraan dirinya dan keluarganya. Demikian pula dalam Konvenan Internasional tentang Hak-Hak Ekonomi Sosial dan Budaya pasal 12 dan Pembukaan Konstitusi Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) antara lain dinyatakan bahwa negara mengakui hak setiap orang, untuk menikmati standar tertinggi yang dapat dicapai atas kesehatan fisik dan mental dengan mengupayakan pengurangan tingkat kelahiran, mati dan kematian anak serta perkembangan anak yang sehat, melalui perbaikan semua aspek kesehatan lingkungan dan industri dengan melakukan pencegahan, pengobatan, dan pengendalian segala penyakit menular/endemik, penyakit lain yang berhubungan dengan pekerjaan serta menciptakan kondisi yang akan menjamin semua pelayanan dan perhatian medis dalam hal sakitnya seseorang.

Undang-Undang Dasar 1945 sebagai dasar negara Indonesia sesuai hasil amandemen ke-2 pada pasal ke-28 H juga telah menggariskan bahwa setiap orang berhak memperoleh pelayanan kesehatan, demikian pula dalam Undang-Undang Nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia pasal 49 ayat 2 tentang perlindungan khusus berkenaan dengan fungsi reproduksi wanita, berupa pelayanan kesehatan yang berkaitan dengan haid, hamil, melahirkan, dan pemberian kesempatan untuk menyusui anak.

(11)

Selanjutnya Konvensi tentang Anak yang telah kita ratifikasi, juga menyatakan dengan jelas hak-hak anak yang berkaitan dengan kesehatan yang harus dipenuhi, di mana negara peserta harus berusaha menjamin bahwa tidak seorang anak pun dapat dirampas haknya atas akses ke pelayanan perawatan kesehatan melalui langkah-langkah antara lain:

- Mengurangi kematian bayi dan anak;

- Menjamin persediaan bantuan kesehatan yang diperlukan dan perawatan kesehatan untuk semua anak;

- Memerangi penyakit dan kekurangan gizi;

- Menjamin perawatan kesehatan sebelum dan sesudah kelahiran yang tepat untuk para ibu;

- Mengembangkan perawatan kesehatan yang preventif.

Walaupun pemerintah bertanggung jawab untuk meningkatkan derajat kesehatan masyarakat, akan tetapi peran serta masyarakat tetap diperlukan sebagaimana disebutkan dalam pasal 8 Undang-undang Nomor 23 tahun 1992 tentang Kesehatan sebagai upaya pemenuhan hak-hak kesehatan masyarakat sesuai dengan nilai-nilai Hak Asasi Manusia.

Hadirin sekalian,

Sehubungan dengan apa yang telah kami sampaikan di atas, kami rasakan masih ada perbedaan perlakuan dalam memberikan pelayanan kesehatan kepada masyarakat dan pasien, baik berupa pemberian informasi tentang kesehatan seseorang yang merupakan haknya, maupun kurang tanggapnya dalam menyikapi adanya keluhan masyarakat khususnya yang menyangkut kesehatan yang kesemuanya itu dapat dianggap mengabaikan nilai-nilai kemanusiaan, yang berdampak sebagai penghambat pemenuhan hak-hak kesehatan seseorang atau masyarakat. Hadirin yang berbahagia,

Walaupun masih ada sebagian perbedaan perlakuan sebagaimana yang kami sebutkan di atas, kami masih mempunyai rasa bangga karena masih ada pihak-pihak yang peduli terhadap masalah kesehatan dan terutama bila dikaitkan dengan Hak Asasi Manusia, seperti Ikatan Dokter Indonesia (IDI) yang mengundang kami dalam Seminar dan Lokakarya hari ini dan Center for Indonesian Medical Students Activities (CIMSA) yang bekerjasama dengan Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara (USU), yang juga telah mengundang kami dalam acara Indonesian Youth Workshop on Human Rights di Medan pada tanggal 18 s/d 22 Desember 2002.

Hadirin yang berbahagia,

Kami sangat mengharapkan adanya tindak lanjut berupa implementasi dari kegiatan ini sebagai rasa tanggung jawab kita bersama terhadap bangsa dan negara.

Demikian sambutan kami, atas perhatiannya kami ucapkan terima kasih dan selamat mengikuti Seminar dan Lokakarya.

Wassalamu’alaikum Wr.Wb.

Jakarta, 19 Maret 2003 Menteri Kehakiman dan HAM

(12)

Sambutan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Pada

Seminar dan Lokakarya Tentang Kesehatan dan Hak Asasi

Manusia

Jakarta, 19-20 Maret 2003

Yang terhormat,

Ketua Pengurus Besar IDI,

Nara sumber dari University of Washington dan UPLIFT International, peserta Seminar dan Lokakarya, para undangan sekalian yang saya hormati.

Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh,

Pertama-tama marilah kita panjatkan puji syukur ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa karena hanya atas rahmat dan hidayah-Nya, maka kita semua dapat menghadiri Seminar dan Lokakarya yang penting ini dalam keadaan sehat walafiat.

Saya menyambut gembira inisiatif Pengurus Besar IDI yang bersedia mengangkat isu Kesehatan dan Hak Asasi Manusia ke dalam salah satu agenda kerjanya. Sebagaimana telah kita ketahui bersama bahwa di Indonesia penghormatan atas Hak Asasi Manusia telah dijamin oleh Pancasila dan UUD 45. Dalam perspektif HAM, aspek kesehatan telah mendapat perhatian khusus dalam sejarah perkembangan HAM kontemporer. Dalam UUD 1945 yang telah diamandemen, khususnya Bab X a tentang Hak Asasi Manusia, pada pasal 28 dan 34 telah ditetapkan antara lain:

a. Setiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya b. Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang.

c. Setiap orang berhak mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya, demi meningkatkan kualitas hidupnya.

d. Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan e. Negara bertanggung jawab atas penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan.

Undang-Undang Rl no. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia menetapkan Kewajiban Dasar Manusia, bahwa setiap orang yang ada di wilayah negara Republik Indonesia wajib patuh pada peraturan perundang-undangan, hukum tak tertulis, dan hukum internasional mengenai hak asasi manusia yang telah diterima oleh negara Republik Indonesia, termasuk di dalamnya Hak Asasi Manusia di bidang Kesehatan.

Untuk lebih menjamin upaya pemajuan dan perlindungan HAM, telah disusun Rencana Aksi Nasional Hak Asasi Manusia yang ditetapkan melalui Keputusan Presiden no. 129 tahun 1998. Rencana Aksi Nasional tersebut antara lain meliputi kegiatan:

a. Mempersiapkan pengesahan perangkat internasional di bidang HAM. b. Penyebaran informasi dan pendidikan

(13)

c. Penentuan prioritas pelaksanaan HAM

d. Pelaksanaan isi perangkat internasional di bidang HAM yang telah disahkan. Hadirin yang saya hormati,

Di Indonesia terdapat beberapa permasalahan kesehatan dalam perspektif HAM yang menonjol antara lain: (a) kesenjangan derajat kesehatan dan akses dalam mendapatkan pelayanan kesehatan antar berbagai daerah dan antar berbagai strata sosial ekonomi, (b) kloning dan teknologi pengobatan genetika, (c) eksperimen kesehatan pada tubuh manusia, (d) transplantasi organ, utamanya yang berasal dari manusia hidup, dan (e) euthanasia.

Permasalahan kesehatan dalam perspektif HAM yang paling utama di Indonesia adalah masih cukup besarnya jumlah penduduk Indonesia yang belum dapat menikmati haknya untuk hidup sehat dan mendapatkan pelayanan kesehatan sesuai kebutuhan medisnya. Hal tersebut akhirnya tercermin pada masih tingginya perbedaan angka kematian bayi antar kabupaten maupun antar strata sosial ekonomi di Indonesia. Pada tahun 1999, angka kematian bayi di Yogyakarta telah mencapai 23 per 1.000 kelahiran hidup, sedangkan di Kabupaten Garut, Jawa Barat dan Kabupaten Sampang, Jawa Timur angka kematian bayi masih di atas 70 per 1.000 kelahiran hidup.

Angka kematian bayi kelompok masyarakat termiskin masih sekitar 3 kali lebih tinggi dibanding angka kematian bayi kelompok masyarakat terkaya. Setiap tahun sekitar 3.000 penderita katarak tidak dapat mendapatkan pengobatan operatif karena keterbatasan pelayanan kesehatan mata spesialistik.

Dalam kaitan dengan kloning dan teknologi genetika, kita perlu mengacu pada rekomendasi dari Akademi llmu Pengetahuan Indonesia (AIPI) yang menentang kloning manusia, namun tetap mendukung pemanfaatan stem cells bagi pengobatan. Di masa depan permasalahan eksperimen pada tubuh manusia, transplantasi organ, euthansia akan semakin menonjol. Hadirin yang terhormat,

Saya sangat gembira karena IDI telah merencanakan untuk membentuk Tim Kerja Nasional yang akan menindaklanjuti hasil Semiloka ini. Kami di Departemen Kesehatan menunggu tindak lanjut tersebut untuk dapat kami pakai dalam penyusunan ketentuan maupun kebijakan pemerintah dalam bidang Hak Asasi Manusia di bidang kesehatan di Indonesia.

Demikianlah sambutan saya, semoga Allah SW selalu memberikan rahmat dan hidayah serta perlindungan-Nya kepada kita semua.

Saya ucapkan selamat bekerja, membahas penyelesaian isu-isu penting dalam Hak Asasi Manusia di bidang kesehatan.

Wassalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.

Jakarta, 19 Maret 2003 Menteri Kesehatan

(14)

Why Health and Human Rights Are Important

Beth E. Rivin

Uplift International - University of Washington

Selamat Pagi. Ibu-Ibu/Bapak-Bapak. Semoga sehat semua pagi hari ini.

Saya ingin bicara Bahasa Indonesia tetapi maaf belum sempurna. Saya akan berbahasa Inggris.

I am extremely happy and privileged to be here today to participate in the very first national conference on Health and Human Rights. This is the first conference of its kind in the world and I am thankful that Professor Moeloek is such a visionary and IDI is such a forward-looking professional organization. This is a momentous occasion because for the first time ever, professionals in Health, professionals in Law and Human Rights, educators, NGOs, con-sumer groups and international health organizations are together to begin to dialogue about the important topic of Health and Human Rights.

What do we mean by Health and Human Rights? Why are we linking these two fields? What benefit do we gain by this linkage? How does this link change how we view Health and how does it change how we view Human Rights? How can doctors communicate with lawyers and human rights activists about important population issues? What are the legal instruments that support the right to Health? How does Biomedical Ethics relate to the conversation about Health and Human Rights?

These questions and more will be answered during the sessions of the next two days. We will also work together on case studies that reflect real situations in Indonesia. Through these case studies we will learn better how to use the Health and Human Rights approach to identify issues and develop solutions to problems that are common in Indonesia.

The link between Health and Human Rights is a relatively recent phenomenon. In 1945, The United Nations stated that all people are “born free and equal in dignity and rights”. The UN General Assembly in 1948 passed the Universal Declaration of Human Rights and it is in this document that Health is first mentioned as a human right. Importantly, Indonesia has signed this declaration.

Health here means more than just physical health, but includes the mental and social aspects of Health. It is stated in the Universal Declaration of Human Rights that everyone has the right to a standard of living adequate for the health and well-being of himself and of his family, including food, clothing, housing, and medical care and necessary social services and the right to security…”

Semiloka Kesehatan dan Hak Asasi Manusia - 1

(15)

Subsequent legal instruments define better what it is meant by this right to health. For example, The International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights is more detailed about the right to health.

Promoting Health and Promoting Human Rights are distinct and powerful approaches to advancing human well-being.

Health promotion involves the physical, mental and social aspects of health for the indi-vidual and for populations. Human rights involve protecting indiindi-viduals and groups against actions that interfere with fundamental freedoms and human dignity.

The goal of the health and human rights linkage is to advance the human well-being beyond that which could be reached by either the Health or the Human Rights approach, independently.

It is this powerful, new approach to advancing individual and population well-being that requires a new paradigm and a new language so that all the stakeholders can communicate and work together.

The relationship between Health and Human Rights is complex. These complex linkages can be seen in the conceptual image created by the WHO. You can see that there are three concentric circles that overlap in the center. The three circles are called:

Human Rights Violations Resulting in Ill Health. In other words, violations or lack of attention to human rights can have serious health consequences;

Promotion or Violation of Human Rights through Health Development. In other words, health policies and programs can promote or violate human rights in the ways

They are designed or implemented;

Reducing Vulnerability of Ill Health through Human Rights. In other words, vulnerabi-lity and the impact of ill health can be reduced by taking steps to respect, protect and fulfill human rights.

In the WHO diagram, the outer circle is a set of examples of the three categories involved in the health and human rights relationship.

(16)

Semiloka Kesehatan dan Hak Asasi Manusia - 3

.

Let me give some examples of these Health and Human Rights linkages to clarify these important relationships.

First, when violations of human rights occur, adverse health consequences can result. If a child is physically or mentally abused, this child might need medical attention for fractures of the bones or psychological impairment due to this abuse. His rights are violated and he suffers ill health as a result.

Second, health policies or programs can violate human rights in their design and imple-mentation. A program designed to educate the general population about HIV/AIDS prevention that does not take into account different languages spoken by different sub-populations is discriminatory and violates the human rights of those who cannot access the information. By violating the human rights of certain populations, their health will be adversely impacted.

Third, respecting, protecting and fulfilling human rights, reduces the vulnerability of illness for the individual and for populations. The physically disabled require specially de-signed access to health facilities in order to use them. If access is not possible, or more difficult, the handicapped person will not be able to access the health system and will, therefore, be more vulnerable to ill health.

Identifying those populations that are most vulnerable to human rights abuses is impor-tant in order to protect them. These populations include women, children, persons living with HIV/AIDS, persons who are trafficked, homosexual men and women, internally displaced per-sons (IDPs), perper-sons with disabilities and the institutionalized. We will discuss these vulner-able groups later today in a panel session.

Physicians and health care providers play a pivotal role in moving the human rights agenda forward through the standards of medical care they embrace. Standards such as pa-tient/client respect, nondiscriminatory access and care, confidentiality and informed consent are important in enhancing the quality of care. These standards are also integral to biomedical ethics, and offer an opportunity for a bridge from medical practice to improved human rights for populations.

A lack of adequate biomedical ethics standards may result in ill-health for the individual patient. For instance, violating the rights of a patient living with AIDS by not obtaining in-formed consent for a procedure or for a research study violates biomedical ethics principles. Adverse health consequences may result directly as a result of the medical procedure or the research. Without individual, voluntary consent, the dignity of the individual is violated. A lack of confidentiality may result in stigmatization of the individual in his/her community. Dis-crimination may result in avoidance of appropriate health care which can impact health ad-versely.

Biomedical ethics can serve as a vehicle for increased awareness of human rights in the medical community. In time, promotion of these standards of medical care can provide a sub-strata upon which legal advocates can argue for other economic and social rights that will promote individual well-being and population health. Both the medical and the legal communi-ties have a part to play in improving health and human rights-and each will be more effective by working together in this quest.

The medical and legal communities must work together in other ways. For instance, doctors and other health workers are on the frontline to diagnose the health impacts of human

(17)

rights abuses. In addition to diagnosing, health professionals can treat document and report human rights abuses. In collaboration with their legal counterparts, protections must be cre-ated for these vulnerable populations in order to prevent further human rights abuses. In addition, the legal community in collaboration with the medical community can draft law that provides legal redress in circumstances of human rights violations.

We are here today to begin to understand these Health and Human Rights issues in Indonesia. It is the first step in the multi-sectoral dialogue that will take place so that we can identify and then begin to develop solutions to the health and human rights problems in Indonesia. With a new paradigm and language with which to solve these problems, Indonesia will be in the forefront because it is tackling these problems at the national level with new tools. Indonesia can lead the way as a model for change using Health and Human Rights as a vehicle to improve the well-being of its most vulnerable populations. Improving the well-being of vulnerable populations improves the well-being of the society at large and promotes develop-ment.

(18)

Semiloka Kesehatan dan Hak Asasi Manusia - 5

Mencari Landasan Hak Asasi Manusia

Daniel S. Lev

Dalam sejarah terbentuknya konsep hak asasi manusia terdapat harapan dan keputusasaan yang tercampur menjadi satu. Ide dari hak asasi manusia itu sendiri sudah berakar di semua agama besar, mulai yang mengenal hanya satu Tuhan atau beberapa dewa atau bahkan tidak mengakui adanya Tuhan. Terlepas dari semua ini mereka menyetujuhi bahwa manusia harus diperlakukan secara adil; tidak seorang pun boleh diperlakukan secara semena-mena dan tidak manusiawi. Akan tetapi pada kenyataannya masih tetap terdapat penyimpangan yang jauh dari konsep hak asasi manusia ini.

Selama setengah abad ini tidak banyak konsep hak asasi manusia yang dapat dijadikan pegangan yang memuaskan1. Tidak ada satu prinsip pun yang dapat mengendalikan kekuatan politik, sosial dan proses hukum. Sejak akhir Perang Dunia II banyak terjadi pembunuhan masal genosid, bahkan kemerdekaan nasional, maka dasar pemikiran akan adanya hak asasi manusia meluas ke seluruh pelosok dunia dengan pesat, hal yang menyebabkan timbulnya masalah yang saling bertentangan, yaitu pembunuhan masal dan kemerdekaan nasional. Kini, konsep hak asasi manusia dapat dilihat dari dua sudut yang berbeda: di satu sudut dilihat sebagai harapan dan program reformasi sedangkan sudut lainnya dilihat sebagai serangan terhadap politik. Kedua sudut pandang yang sangat berbeda cara pandang dan tujuannya ini menyebabkan isu hak asasi manusia tidak mungkin dapat dielakkan lagi.

Tidak cukup mengakui bahwa semua manusia memiliki hak asasi yang sama. Lembaga-lembaga nasional di mana pun berada juga harus memberikan perlakuan yang sama bagi semua masyarakat, hal yang mungkin dapat memberikan dampak atau konsekuensi yang sangat bertolak belakang dan dampaknya bisa positif maupun negatif. Setelah dasar pemikiran ini disetujui, maka akan timbul pandangan baru tentang distribusi kekuasaan di tengah masyarakat dan hubungan antara negara dan masyarakat, pertanggungjawaban serta pembatasan kekuasaan negara dan standar minimal yang diperlukan untuk menjamin kehidupan dan harga diri warga negara. Hak asasi manusia sekarang ini merupakan tantangan penyalahgunaan kekuasaan dan tuntutan atas perubahan politik, ekonomi dan sosial yang akhirnya diharapkan dapat mengubah kehidupan menjadi yang lebih baik bagi masyarakat.

Lebih dari itu dasar pemikiran hak asasi manusia memaksa kita untuk memikirkan kembali tujuan dan tugas negara dan organisasi sosial lainnya. Istilah hak asasi manusia pada umumnya digunakan di bidang hukum, sosial dan ekonomi, akan tetapi sebenarnya prinsip-prinsip ini

(19)

berakar pada etika politik dan sosial. Prinsip-prinsip ini mengandung pertanyaan tentang keadilan, kelayakan, kehidupan sosial yang sehat, pemakaian kekuasaan dan kekuatan moral dan hubungan baik antar manusia. Meskipun demikian, kadang-kadang pertanyaan yang sederhana pun dapat menimbulkan perdebatan hangat yang sering menyimpang dari pokok perdebatan itu sendiri, dan mungkin dapat berkembang menjadi prinsip-prinsip penting dalam kehidupan politik dan sosial. Dapat dikatakan bahwa perdebatan seperti ini mempunyai dampak yang positif sehingga mungkin manusia tidak akan mengingat lagi kedzaliman yang terjadi di masa lampau, dan dapat menyangkal bahwa mitos-mitos lama semacam itu adalah tidak benar.

Mitos-mitos lama seringkali masih diakui kebenarannya tanpa pertimbangan yang mendalam, sebagai contoh mitos yang sering digunakan untuk menggambarkan bedanya antara kebudayaan Barat dan Timur. Yang cenderung digambarkan adalah bahwa timur sering melakukan perbuatan brutal, arogansi dan rasa benar sendiri – suatu gambaran simplisistis yang sampai sekarang dipercayai dan dibenarkan oleh hampir semua pihak. Sudah saatnya kita mengubah konsep yang absurd ini. Bukankah benar bahwa “barat yang menghormati hak asasi manusia” itu pernah melahirkan fascisme di Jerman, Italia, Spanyol, dan beberapa negara lainnya. Dan cukup banyak bukti bahwa “barat” sering mengabaikan penderitaan warganya sendiri, apalagi warga negara lain. Tetapi, meskipun semua itu benar terjadi harus diakui bahwa perjuangan hak asasi manusia itu berasal bukan dari negara lain, melainkan dari negara “pelanggar” itu sendiri. Tidak dapat disangkal bahwa manusia di mana pun berada, selain memiliki kapasitas untuk dapat membedakan apa yang baik dan apa yang buruk, tetap mengharapkan sesuatu yang lebih baik, lebih sehat dan lebih manusiawi, dan juga memiliki kemampuan untuk menyakiti sesama, apapun sebabnya dan ini telah banyak dibuktikan oleh sejarah sehingga apakah benar pernyataan bahwa hak asasi manusia di “timur”, tidak diakui tidak dibenarkan, bahkan tidak diterima bila dibandingkan dengan “barat”? Pandangan yang salah ini berasal dari arogansi, egoisme dan ketidaktahuan sejarah. Apakah terdapat manusia di muka bumi ini yang dengan senang hati menerima bahwa yang kuat boleh membunuh yang lemah? Boleh menyiksa, memenjarakan dan memperlakukan secara kejam warga negara lain yang lemah? Ini dapat saja dikarenakan tidak adanya pilihan selain tunduk, menerima dan menyerah kepada yang lebih kuat, yang sering bertentangan dengan moralitas itu sendiri. Semua agama dan tradisi kebudayaan di mana saja hampir tidak berbeda satu dengan lainnya. Kebenaran yang lahir dari realitas bahwa kita semua manusia, yang secara biologis adalah sama, merasakan penderitaan yang sama, membuat manusia membuka pikiran untuk membicarakan hak asasi manusia sebagai suatu konsep universal.

Perjuangan hak asasi manusia tidak sama di mana-mana, karena tidak semua masyarakat mengalami sejarah yang sama. Karena itu, tidak masuk akal bahwa asumsi suatu negara atau negara lain yang mempunyai tradisi yang berbeda, paling mengerti persoalan ini. Untuk dijadikan pedoman pertanyaan yang harus ditujukan pada setiap negara tanpa pengecualian adalah tentang hubungan antara hak biasa dan hak istimewa politik, sosial dan ekonomi, tentang keseimbangan antara hak dan pertanggungjawaban, antara hak dan kepentingan masyarakat dan hak dan kepentingan perorangan. Pertanyaan semacam ini timbul secara lokal, dan kualitas solusinya (yang terus berevolusi) tergantung pada kemampuan politik setempat dan rasa keadilan setempat yang mempengaruhinya.

Seperti telah ditekankan di atas, solusi lokal adalah penting, tetapi pada akhirnya, walaupun prinsip hak asasi manusia memang dianggap universal, pada kenyataannya hak asasi manusia

(20)

hanya masuk akal apabila dikembangkan dalam konteks lokal. Perjuangan hak asasi manusia pula hanya masuk akal dalam konteks lokal. Perjuangan untuk menanamkan konsep hak asasi manusia dan memperkuatnya di lembaga-lembaga politik dan ideologi umum adalah perjuangan internal. Perangkat international, apakah pernyataan universal, konvensi Geneva, atau persetujuan PBB merupakan dukungan retorika, sedangkan tekanan internasional merupakan dukungan politik. Akan tetapi pada akhirnya yang menentukan adalah tujuan lokal, yaitu gerakan, prinsip, kepentingan dan kemampuan politik, serta komitmen etika lokal, sehingga dapat dikatakan bahwa perjuangan untuk mewujudkan hak manusia di mana pun saja di dunia ini bukan saja tidak mudah tetapi juga masih jauh dari sempurna; dan mungkin tidak akan pernah sempurna. Walaupun demikian perjuangan ini harus berjalan terus-menerus.

Landasan apa yang akan dipakai guna menjamin diperhatikannya hak asasi manusia seperti yang dimaksudkan dan diharapkan oleh deklarasi universal mengenai hak asasi manusia?

Pada umumnya dikatakan bahwa perjuangan lokal yang berbeda-beda dapat menjadi alat yang menentukan. Misalnya, ada semacam keseimbangan antara kekuatan masyarakat dan negara, yang berarti bahwa kekuasaan negara terbatas, dan pimpinan politik harus tunduk kepada masyarakat. Konstitusi dan undang-undang yang baik memang penting, akan tetapi yang lebih penting lagi adalah apabila pimpinan politik juga tunduk kepada undang-undang tersebut sehingga yang menentukan di sini adalah distribusi kekuatan politik dan kekuasaan antara pemerintah dan masyarakat. Artinya, masyarakat memerlukan suatu organisasi yang cukup kuat untuk dapat menekan pimpinan politik.

Organisasi kemasyarakatan seperti Ornop atau LSM dianggap sangat menentukan dalam hal ini. Selain itu kekuatan masyarakat dapat saja menjelma sebagai serikat buruh, agama, organisasi pedagang dan, yang sering dilupakan, asosiasi profesi. Asosiasi profesi termasuk dokter, advokat, notaris, insinyur, akademisi, juga memegang peran penting yang sangat menentukan karena mencerminkan pendidikan tinggi, keahlian, status, pengaruhnya dalam masyarakat, sumber ide, pengertian dan perdebatannya yang selalu diperlukan baik di kalangan masyarakat maupun pemerintah. Apabila pimpinan politik berasal dari kalangan sipil dan bukan militer, kemungkinan besar pemimpin partai, parlemen, eksekutif, dan birokrasi umum akan berasal dari kalangan profesional, dan pada akhirnya, profesional itu akan mempengaruhi kebijakan pemerintah, kehidupan dan gerakan masyarakat.

Contoh Perjuangan Ham

Saya akan membahas sedikit mengenai perjuangan hak asasi manusia dalam sejarah Indo-nesia, yang dimulai pada zaman parlementer tahun 1950 sampai permulaan tahun 1957. Pada masa itu Indonesia telah mempunyai landasan negara yang kuat. Akan tetapi posisinya menjadi lemah dengan adanya pemberontakan RMS, Darul Islam di Jawa Barat, Sulawesi Selatan dan Aceh. Diiringi pula ketegangan di beberapa daerah lainnya, kesukaran ekonomi, tidak adanya staf terdidik di seluruh birokrasi, permulaan intervensi Amerika Serikat dan Uni Soviet karena kepentingan perang dingin, dan seterusnya. Sebagai negara baru yang besar, kompleks dan majemuk, Indonesia dipaksa secepat mungkin menciptakan suatu pemerintahan baru dengan kebijakan baru pula yang tidak diimbangi dengan staf, fasilitas, dan pengalaman yang memadai. Hal yang menarik dalam sejarah parlementer sebenarnya bukan kegagalannya, melainkan hasilnya dalam membentuk suatu pemerintahan yang canggih dengan kebijakan baru yang baik, dan

(21)

negara yang lebih memprioritaskan keadilan, termasuk prinsip-prinsip hak asasi manusia. Keberhasilan yang telah dicapai pemerintah pada waktu itu sering dilupakan, bahkan hingga sekarang banyak orang masih mengecam sistem parlementer yang dianggap tidak mampu, kurang stabil, dan sangat korup. Namun, yang perlu diingat bahwa ketidakstabilan waktu itu dikarenakan pemerintah sering berganti-ganti saja tetapi tidak banyak mempengaruhi kehidupan masyarakat. Yang perlu direnungkan adalah bahwa korupsi pada waktu itu tergolong sepele bila dibandingkan dengan korupsi pada zaman demokrasi terpimpin yang kemudian menjadi dilembagakan pada zaman Orde Baru.

Walaupun belum ada data yang lengkap namun secara statistik pada zaman sistem parlementer jumlah warganegara yang mati karena perbuatan pemerintah terhitung sedikit sekali bila dibandingkan dengan zaman berikutnya.

Selain itu, pemerintah parlementer, pada tahun 1950an, membuat kebijakan kesehatan dan pendidikan yang luar biasa yang dibuktikan oleh kemampuan dan rasa tanggung jawab elite politik parlementer pada waktu itu. Kesehatan dan pendidikan merupakan unsur yang amat penting dalam daftar hak asasi manusia (Universal Declaration of Human Rights) itu. Bukti lain adalah kesadaran dan komitmen pemimpin politik pada waktu itu terhadap konsepsi hak asasi manusia. Bila kita membaca dan mempelajari Undang-Undang Dasar Sementara tahun 1950 yang merupakan salah satu konstitusi yang paling progresif di zamannya, UUDS 1950 mulai dengan pasal-pasal yang diambil langsung dari Universal Declaration of Human Rights, baik tentang jaminan hak asasi politik maupun ekonomi dan sosial. Semua ini dapat dilihat pada perdebatan di parlemen, kelakuan pimpinan politik, dan kebijakan pemerintah bahwa elite politik cukup serius orientasinya terhadap hak asasi pada waktu itu.

Jumlah elite politik memang kecil pada waktu itu, namun umumnya tinggi sekali pendidikannya, seperti lulusan pendidikan di Jakarta, Bandung, Padang, Utrecht, Wien. Kebanyakan dari mereka adalah orang profesional atau intelektual seperti dokter, ahli hukum (advokat, jaksa, hakim) arsitek, insinyur, ekonom, guru dan lain-lain. Dapat dibayangkan bahwa Soekarno, Hatta, Sjahrir, Haji Agoes Salim, Sartono, Moh Roem, Baharuddin Harahap, Wilopo, Iskhaq Tjokrohadisurjo, Leimena, Ali Sastroamidjojo, Maria Ulfa Santoso, Kusumaatmadja, Lukman Wiriadinata, Suradi Tasrif, Soedjatmoko, dan banyak lagi merupakan produk pendidikan elite tersebut. Mereka sering berdebat di parlemen karena memang mereka berasal dari partai yang berbeda, tetapi mereka juga sanggup mencari solusi yang terbaik untuk melayani masyarakat. Kebijakan pendidikan dibuat oleh guru dan pejabat yang mempunyai keahlian dan komitmen pada pendidikan pada umumnya. Kebijakan kesehatan dilakukan oleh para dokter yang sejak permulaan abad ke-20 telah berkecipung dalam politik dan telah terbiasa memberikan desakan kepada parlemen dan kementerian kesehatan untuk memperhatikan keperluan nasional dalam kebijakan yang dibuat. Ini terjadi pada tahun 1950an ke atas. Jumlah para profesional tidaklah banyak pada masa itu tetapi mempunyai pengaruh yang luas dan dalam, karena kaum profesional pada waktu itu selain duduk di DPR, asosiasinya dihormati dan didengar oleh elite politik pembuat keputusan.

Kesadaran elite politik parlementer atas kompleksitas bangsa Indonesia membuat mereka setuju bahwa sebaiknya pertentangan politik dihadapi secara damai dan kompromistis dan proses hukum dijalankan dengan benar. Maka dapat dilihat di sini betapa tingginya komitmen elite politik itu pada landasan hak asasi manusia. Mereka sadar bahwa tanpa negara hukum

(22)

yang kuat tidak akan banyak mengubah kekuatan yang ada. Namun, ini bukan berarti bahwa pada masa itu para elite politik sangat bersih dan tunduk pada kebenaran. Seperti politik di mana saja, mereka telah cukup mampu bermain kotor meskipun mereka sadar bahwa tanpa proses hukum yang sehat mereka sendiri tidak akan berhasil sebagai pemimpin dan bukti ini terlihat setelah sistem parlemen dihentikan, yaitu di atas tahun 1957. Dapat dicatat bahwa pada masa kepemimpinan Jaksa Agung Soeprapto dan Kepala Kepolisian Soekamto koruptor kelas kakap, termasuk para menteri, dapat ditangkap, dituntut, diadili, dan dipenjarakan.

Tahun 1957 sistem parlementer mulai dikesampingkan. Dikatakan negara dalam keadaan bahaya, tentara (dengan dukungan dari Amerika Serikat) mulai berperan penting dalam politik, dan Bung Karno mengumumkan “sistem” Demokrasi Terpimpin. Pada tahun 1959 UUD 45 dipulihkan kembali, kekuasaan negara dan presiden diperluas, sehingga pemimpin baru tidak merasa lagi terikat pada kepentingan masyarakat.

Sejak itu dan selama 40 tahun berikutnya hak asasi manusia tidak banyak berarti di Indo-nesia. Lembaga-lembaga negara makin lemah dan korup, para profesional makin banyak jumlahnya tetapi mereka tidak diizinkan memberikan pengaruh atas kebijakan pemerintah, malah sebaliknya pemerintah melakukan intervensi terus dalam organisasi profesional. Singkatnya, boleh dikatakan bahwa landasan hak asasi manusia hampir hilang. “Hampir” dalam arti masih ada orang yang tidak mau dan tidak rela berhenti memperjuangkannya.

Persoalan yang sangat kompleks dan sulit adalah merekonstruksi kembali negara yang berlandaskan hak asasi manusia. Pendekatan tugas ini dengan sendirinya tidak mudah dan kurang jelas arahnya, karena hampir seluruh struktur negara di Indonesia telah terkena penyakit. Kita telah kehabisan waktu untuk mencari strategi apa yang paling baik untuk melakukan rekonstruksi negara.

Banyak halangan dalam upaya melakukan reformasi negara, tetapi ada beberapa hal yang perlu diperhatikan di sini seperti banyak generasi muda yang telah lama berperan aktif dan positif di organisasi non-pemerintah, yang terbukti mampu, mempunyai imajinasi, dan berorientasi pada kepentingan masyarakat.

Satu lagi adalah kalangan kaum profesi yang jumlahnya semakin banyak sejak berakhirnya revolusi. Karena itu dalam waktu yang tidak lama lagi para elite politik, birokrat, dan lembaga-lembaga negara dan masyarakat mungkin sekali akan berasal dari kalangan profesional. Elite baru itu, dari satu sisi, agak mirip dengan elite nasionalis yang dulu menciptakan Indonesia merdeka dalam pemerintahan perlementer.

Salah satu kesulitan yang masih dihadapi adalah merekonstruksi organisasi profesional karena pendekatan terhadap organisasi profesional itu tidaklah gampang. Dengan adanya organisasi seperti IDI yang telah kokoh dan bekerja sebagai sumber pengaruh atas kebijakan negara, kemungkinan besar politik kesehatan di Indonesia akan menjadi semakin baik. Profesi lain, termasuk advokat, akuntan, notaris, mungkin lebih sulit lagi direformasi. Yang perlu ditekankan adalah suatu kebutuhan akan organisasi yang kuat, ketat dan berpengaruh, lepas dari campur tangan pemerintah, yang berimajinasi, mempunyai keberanian, dan rela mengorbankan dirinya untuk membela kepentingan masyarakat Indonesia. Dengan demikian hak asasi manusia akan mulai terjamin lagi.

(23)

II

PERSPEKTIF KESEHATAN

DAN HAK ASASI MANUSIA

(24)

Semiloka Kesehatan dan Hak Asasi Manusia - 11

Human Rights, A Global Perspective

B.S. Lamba

What human rights are: definitional precepts

z International human rights law defines what governments can do to us, cannot do to us, and should do for us.

z Human rights law is meant to be equally applicable to everyone, everywhere in the world, across all borders and across all cultures and religions.

z Human rights are universal, interrelated and indivisible.

z Human rights are primarily about the relationship between the individual and the state. International human rights law consists of the obligations that governments have agreed they have in order to be effective in promoting and protecting our rights.

International human rights law is about defining what governments:

z can do to us

z cannot do to us

z should do for us

The “International Bill of Human Rights”

z The Universal Declaration of Human Rights (UDHR, 1948)

z The International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights (ICESCR, 1966)

z The International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR, 1966). Key international human rights instruments

z United Nations Convention on the Elimination of All Forms of Racial Discrimination (1963);

z Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination Against Women (1979) and its Protocols (1999)

z Convention against Torture, and other Cruel, Inhuman or Degrading Treatment or Punish-ment (1984)

z Convention on the Rights of the Child (1989)

z International human rights treaties are biding on governments that ratify them;

z Declaration on non-binding, although many norms and standards enshrined therein re-flect principles which are binding in customary international law;

(25)

z United Nations conferences generate non-binding consensual policy documents, such as declarations and programs of action. “The enjoyment of the highest attainable standard of health is one of the fundamental rights of every human being without distinction of race, religion, political belief, economic or social condition.”

Examples of the links between Health and Human

Torture Slavery

Harmful Violence against traditional women and children practices HUMAN RIGHTS VIOLATIONS RESULTING IN ILL-HEALTH Right Right to to health participation HEALTH

Right to & HUMAN Freedom Education RIGHTS from

discrimi-REDUCING PROMOTION nation Right to VULNERABILITY VIOLATION OF

food and TO ILL-HEALTH HUMAN RIGHTS Right to nutrition THROUGH TROUGH HEALTH

informa-HUMAN RIGHTS DEVELOPMENT tion Freedom from

discrimination

Right to privacy

“The enjoyment of the highest attainable standard of health is one of the fundamental rights of every human being without distinction of race, religion, political belief, economic or social condition”

(26)

Semiloka Kesehatan dan Hak Asasi Manusia - 13 The right to the highest attainable standard of health

z WHO Constitution (1946)

z International Covenant on Economic, Social and Cul tural Rights (1966)

z Universal Declaration of Human Rights (1948)

z International Covenant on Civil and Political Rights (1966)

z Declaration of Alma Ata (1978) and the World Health Declaration (1998)

z General Comment on the Right to Health (2000)

z Special Rapporteur on the Right to Health (2002)

“The right to health”

Underlying Health-care

Determinants

Non-Discrimination

z Fundamental principle in human rights

z Every person should be treated with equal dignity and respect

z Discrimination on the basis of difference is strictly prohibited

z Can exist in law, policy or in practice

Freedom from discrimination “in access to health care and the underlying determinants of health, as well as to means and entitlements for their procurement, on the grounds of race,

colour, sex, language, religion, political or other opinion, national or social origin, prop-erty, birth, physical or mental disability, health status, (including HI V/AIDS), sexual orienta-tion, civil, political, social or other status, which has the intention or effect of nullifying or

impairing the equal enjoyment or exercise of the right to health”.

(General comment on the right to the highest attainable standard of health, article 12 ICESCR)

Progressive realization

z Human rights, such as the right to the highest attainable standard of health, are under-stood to be progressively implemented by the state to the “maximum of its available resources.”

(27)

z States must “take steps, individually and through international assistance and coopera-tion, especially economic and technical, to the maximum of its available resources, with a view to achieving progressively the full realization of the rights recognised in the [Eco-nomic, Social, and Cultural Rights] covenant by all appropriate means, including the adop-tion of legislative measures.” ICESCR. Art 2(1)

A rights-based approach to health refers to the processes of:

z Using human rights as a framework for health development.

z Assessing and addressing the human rights implications of any health policy, programme or legislation.

z Making human rights an integral dimension of die design, implementation, monitoring and evaluation of health-related policies and programs in all spheres, including political, eco-nomic and social.

“the right of individuals and groups to participate in decision-making processes, which may affect their development, must be an integral component of any policy, programme or strategy developed to discharge governmental obligations under the right to health.”

(General comment on the right to the highest attainable standard or health, article 12 ICESCR)

What are the practical implications of integrating human rights in the work of health development

Human rights as standard of assessment of health policy and practice

Human rights as an analytical framework for con-textualizing the broad determinants of health Public within and beyond the health sector Health

Engaging with international and regional human rights system

Increased role of partners, scope of analysis and action in countries

Powerful advocacy tool

Value added?

z International norms and standards

z The first responsibility of governments

z Governmental accountability Human Rights

(28)

Semiloka Kesehatan dan Hak Asasi Manusia - 15

z International monitoring mechanisms

z Inter-sectoral framework

z Human rights cross-cutting UN activities

z Consistent guidance to states

z Increased scope of analysis and range of partners Yemen and UN Human Rights Treaty Bodies

Submission of State Party Report

Treaty Body’s Session in Geneva:

(Constructive dialogue between the government and the treaty body)

Concluding Observation (Including

tions)

Implementation of the recommendation

Normative framework for country analysis

z International human rights treaties.

z Provisions of national laws. including constitution relevant to health.

z Policies and practices in country. Concluding Points

z Governmental obligations for promotion and protection of human rights have been clearly outlined in international human rights treaties and national constitution.

z Human rights are monitored by UN institutions, particularly the UN treaty bodies, that engage government, inter governmental agencies, and NGO’s in their processes.

z Human rights provide an analytical framework for assessing health issues such as under-lying determinants of health (such as vulnerability to ill-health because of discrimination based on sex, ethnicity, religion, etc. Lack of education or access to health information).

z Human rights are integral to how health policies and programs are designed and imple-mented (participation of groups, nondiscrimination and transparency).

(29)

-o-Kesehatan dan Hak Asasi Manusia,

Perspektif Indonesia

Firman Lubis

Pendahuluan

Harus kita akui, pembangunan kesehatan di Indonesia cukup jauh tertinggal dibandingkan dengan negara “setingkat” seperti negara tetangga. Hal ini dapat dilihat dari indikator utama kesehatan seperti angka kematian, angka kesakitan, angka harapan hidup rata-rata, perilaku kesehatan dan sebagainya.

Sebagai contoh, mari kita lihat angka kematian yang sering dipakai sebagai indikator utama kesehatan, yaitu Angka Kematian Bayi (AKB) atau Infant Mortality Rate (IMR) dan Angka Kematian Ibu (AKI) atau Maternal Mortality Rate (MMR).

AKB di Indonesia sekarang ini diperkirakan sekitar 45 per seribu kelahiran hidup. Sedangkan di negara tetangga yang kondisi sosial-ekonominya tidak terlalu jauh berbeda dengan Indone-sia seperti MalayIndone-sia, Thailand, Sri Lanka atau RRC, AKB mereka rata-rata hanya sekitar 15 per seribu kelahiran hidup atau sepertiga dari Indonesia. Secara mutlak, jumlah bayi meninggal setiap tahun di Indonesia adalah sekitar 250.000 bayi. Kalau saja kita bisa menurunkan AKB tersebut hingga kira-kira sama dengan Sri Lanka misalnya, ini berarti kita bisa menyelamatkan kira-kira 170.000 bayi dari kematian setiap tahunnya. Jumlah ini sangat spektakuler dan merupakan

the silent tragedy selama ini karena tidak banyak diketahui dan diributkan orang. Sangatlah

ironis kalau kita tidak bisa menurunkan AKB tersebut menjadi kira-kira sama dengan negara seperti Sri Lanka yang notabene kondisi sosial ekonominya kira-kira sama dengan kita bahkan mungkin lebih buruk. Kita sudah tahu cara dan teknologi untuk menurunkan AKB ini, tinggal hanya kemauan politis saja.

Begitu juga dengan AKI di Indonesia yang besarnya sekarang sekitar 350 per seratus ribu kelahiran. Angka ini temyata 5 kali lebih tinggi dari negara tetangga kita tadi yang besarnya rata-rata sekitar 70 per seratus ribu kelahiran. Kalau saja kita bisa menurunkan AKI menjadi seperti di negara tetangga tersebut, ini berarti dari jumlah keseluruhan ibu meninggal sebesar 20.000 per tahun, kita bisa menyelamatkan sekitar empat perlimanya atau 16.000 ibu dari kematian setiap tahunnya. Angka inipun sangat bombastis sekali!. Apalagi kalau dilihat dari dampak sosial yang ditimbulkan oleh kematian ibu tersebut seperti berantakannya keluarga dan terlantarya anak-anak yang ditinggal mati oleh ibu mereka. Padahal kita mengaku sebagai bangsa yang

(30)

18 - Semiloka Kesehatan dan Hak Asasi Manusia

mencintai ibu. Lihat saja, kita menyebut capital city sebagai ibu kota, jempol sebagai ibu jari, negara kita sebagai ibu Pertiwi dan percaya bahwa sorga itu ada di bawah telapak kaki ibu. Cerita rakyat kita seperti Si Malin Kundang sangat menghargai arti ibu. Si Malin akhirnya terkutuk menjadi batu karena mengingkari ibunya. Mungkin keadaan bangsa kita yang terpuruk sekarang ini ibarat kutukan pada si Malin Kundang karena kita membiarkan saja banyak ibu kita mati sia-sia selama ini!

Selain indikator angka kematian yang relatif masih buruk, tingkat kesehatan kita yang masih rendah juga dapat dilihat pada angka kesakitan atau morbidity statistics. Misalnya, angka kesakitan penyakit menular seperti TBC dan malaria yang dianggap sebagai penyakit dengan beban sosial yang besar. Indonesia sekarang merupakan negara nomor 3 di dunia yang terbanyak mempunyai kasus penyakit TBC setelah RRC dan India. Diantara negara tetangga, Indonesia mempunyai jumlah kasus malaria terbanyak. Kedua penyakit menular ini sangat mengurangi produktivitas dan menimbulkan kerugian ekonomi yang besar untuk Indonesia. Kita dapat pula mengacu kepada indikator utama bidang kesehatan lainnya seperti misalnya besarnya anggaran kesehatan, cakupan sarana air bersih, status gizi masyarakat, perilaku kesehatan dan sebagainya, yang keadaannya tak bisa kita pungkiri juga masih buruk di tanah air kita ini.

Dari gambaran tersebut, sudah sepatutnya kita bertanya:

mengapa pembangunan kesehatan kita masih tertinggal ?

Arti dan Makna Kesehatan yang Masih Sempit

Jawaban terhadap pertanyaan di atas mungkin cukup kompleks dan multi-faktor. Namun demikian, faktor paling mendasar yang kiranya bisa dikemukakan di sini, adalah karena masih adanya persepsi atau pandangan yang kurang tepat dari para penentu kebijakan di tingkat atas pemerintahan terhadap arti dan makna dari masalah kesehatan. Ada dua hal yang berkaitan dengan persepsi atau pandangan yang kurang tepat terhadap kesehatan yang dapat dikemukakan disini.

Hal yang pertama adalah, kesehatan lebih dipersepsikan dalam arti sempit hanya sebagai suatu kebutuhan semata dari masyarakat. Karena kesehatan merupakan kebutuhan masyarakat, maka lebih dipandang selama ini sebagai suatu sektor atau bagian dari kewajiban atau tugas pemerintah untuk memenuhi kebutuhan tersebut. Nah, cara pandang seperti inilah yang telah menyebabkan timbulnya beberapa kelemahan dalam pembangunan kesehatan kita selama ini. Beberapa contoh kelemahan ini misalnya :

Pemerintah sejauh ini telah menjadi pelaku utama dalam upaya kesehatan yang dijalankan.

Dalam menyusun berbagai kebijakan, perencanaan dan pelaksanaan serta evaluasi dari usaha kesehatan, terutama dilakukan oleh aparat pemerintah cq. Depkes dan kurang mendorong dan melibatkan peran aktif masyarakat itu sendiri. Dengan kata lain, pemerintah telah menjadikan dirinya sebagai pelaksana utama dalam upaya kesehatan di mana masyarakat lebih dipersepsikan hanya sebagai sasaran atau penerima semata. Hal ini tercermin dari Sistem Kesehatan Nasional yang telah dibuat oleh Depkes sejak lebih dua dasa-warsa yang lalu yang lebih merefleksikan sistem kesehatan dari pemerintah dan belum menggambarkan sistem kesehatan secara keseluruhan secara nasional yang melibatkan semua unsur dan potensi seperti swasta dan

(31)

masyarakat itu sendiri.

Contoh paling gampang lainnya adalah Proyek Samijaga (sarana air minum dan jamban keluarga) yang dulu pernah dilakukan oleh pemerintah. Karena masyarakat kurang diajak dan dilibatkan, akhimya proyek yang cukup mahal ini kurang berhasil karena masyarakat kurang menggunakan dan merawat sarana pompa air dan jamban yang dibangun pemerintah dalam proyek tersebut. Sarana tersebut akhimya rusak dan menjadi sia-sia saja.

1. Pendekatan yang lebih bersifat top-down

Program kesehatan umumnya dirancang dari atas dan kurang melibatkan para petugas di lapangan dan masyarakat itu sendiri. Usaha ini dijalankan lebih berdasarkan instruksi dan petunjuk pelaksanaan (juklak) yang telah disusun dari atas dan dijalankan secara sangat kaku. Usaha kesehatan atas inisiatif dari bawah dan diprakasai oleh masyarakat sendiri berdasarkan kebutuhan dan kemampuan serta situasi kondisi mereka sendiri kurang begitu dihargai. Akibatnya, program kesehatan lebih dijalankan selama ini secara skala nasional dengan menyeragamkan seluruh daerah dan kurang memperhatikan adanya perbedaan kebutuhan serta situasi kondisi lingkungan masing-masing daerah. Padahal setiap daerah mempunyai situasi kondisi yang berbeda-beda sehingga masalah kesehatan yang dihadapi juga tidaklah sama.

Selain itu, usaha kesehatan sering dijalankan berdasarkan proyek yang dirancang di tingkat pusat. Proyek itu disusun dengan kegiatan dan alokasi anggaran yang spesifikasi penggunaannya telah ditentukan secara kaku dari atas. Karena berdasarkan proyek, seringkali yang lebih dipentingkan adalah bagaimana pertanggung jawaban administratif keuangan proyek tersebut ketimbang dampaknya terhadap perbaikan kondisi kesehatan masyarakat yang sesungguhnya. Persepsi seperti ini sering menyebabkan menjadi kurang efektifhya usaha kesehatan yang dijalankan selama ini.

2. Lebih pada usaha kuratif ketimbang preventif.

Walaupun dalam kebijaksanaan sudah digariskan untuk mendahulukan usaha promotif preventif, namun dalam pelaksanaannya usaha kuratif sering menjadi lebih menonjol. Anggaran kesehatan menjadi banyak tersedot pada misalnya pembangunan dan biaya rumah sakit, pembelian alat medis yang canggih dan pembelian obat-obatan. Usaha promotif preventif pada masalah kesehatan yang banyak dihadapi masyarakat luas seperti kematian anak dan ibu yang masih tinggi, pemberantasan penyakit menular atau penyakit rakyat seperti TBC, malaria, diare dan lain-lain. masih kurang sekali mendapatkan pendanaan yang cukup. Usaha untuk mendidik masyarakat agar mampu menjaga dan meningkatkan kesehatan mereka secara sungguh-sungguh dan mandiri masih kurang sekali.

3. Indikator keberhasilan lebih bersifat kuantitatif ketimbang kualitatif.

Keberhasilan program kesehatan masih lebih sering ditonjolkan pada angka seperti berapa banyak Puskesmas didirikan, berapa banyak rumah sakit dibangun, berapa banyak tenaga kesehatan ditempatkan dan lain-lain. Namun kurang diukur dari misalnya kepuasan masyarakat akan pelayanan yang diberikan atau meningkatnya kesadaran dan peran masyarakat dalam menjaga dan mengatasi sendiri masalah kesehatan mereka.

(32)

20 - Semiloka Kesehatan dan Hak Asasi Manusia

4. Kualitas pelayanan yang masih rendah

Kualitas dalam arti kenyamanan dan kepuasan para konsumen terhadap mutu pelayanan yang mereka terima cukup banyak dikeluhkan masyarakat. Hal tersebut terutama disebabkan oleh sistem birokrasi pemerintah khususnya dalam hal reward and punishment yang masih kurang mendorong meningkatnya kualitas pelayanan yang diberikan. Selain itu juga, karena masih rendahnya kesadaran dari para petugas kesehatan dalam menjalankan tugasnya serta kurangnya kesadaran masyarakat dalam menuntut adanya pelayanan yang berkualitas.

Hal kedua dari faktor yang mendasar mengenai persepsi dan pandangan yang masih sempit dari para penentu kebijaksanaan pembangunan di tingkat atas terhadap kesehatan ialah cara pandang terhadap kesehatan yang terutama lebih dilihat sebagai sektor yang konsumtif saja. Usaha kesehatan sering dianggap sebagai sektor pengeluaran (cost sector) berupa pembiayaan rumah sakit dan pembelian perlengkapan serta obat-obatan untuk mengobati orang sakit. Usaha kesehatan lebih dilihat sebagai usaha sosial-karitatif atau amal untuk membantu dan meringankan kemalangan dan beban penderitaan orang sakit ketimbang dilihat sebagai suatu investasi guna meningkatkan kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) atau produktivitas bangsa.

Adanya persepsi dan pandangan yang sempit terhadap kesehatan ini, telah menyebabkan program kesehatan tidak pernah menjadi prioritas penting atau bagian dari mainstream program pembangunan bangsa. Hal itu terbukti, misalnya, dari masih rendahnya alokasi anggaran yang disediakan oleh pemerintah untuk bidang kesehatan. Selama ini, anggaran kesehatan dalam Rencana Anggaran Pemerintah dan Belanja Negara (RAPBN) tidak pernah lebih dari 3 persen, padahal WHO telah menganjurkan agar anggaran kesehatan minimal 5 persen dari seluruh anggaran pemerintah. Hal tersebut tentunya cukup memprihatinkan.

Contoh paling gamblang dari kurangnya kesehatan sebagai prioritas adalah kebijaksanaan pemerintah dalam masalah rokok. Pemerintah temyata masih lebih membela kepentingan industri rokok karena melihat besarnya cukai yang didapat dari penjualan rokok, padahal dari banyak penelitian, kerugian yang diderita masyarakat akibat rokok adalah 3-4 kali lebih besar dari cukai yang diperoleh pemerintah!. Ini tentunya sama saja dengan mengorbankan kepentingan dan nasib rakyat banyak demi kepentingan yang lebih kecil dan jangka pendek.

Kesehatan Adalah Hak Asasi Manusia

Untuk memperbaiki taraf kesehatan bangsa kita yang masih sangat tertinggal ini, faktor mendasar mengenai persepsi para penentu kebijaksanaan pembangunan terhadap kesehatan yang sempit selama ini dan merupakan faktor utama penghambat haruslah segera diubah dan diperbaiki. Untuk itu, yang paling utama sekali harus diubah ialah persepsi bahwa kesehatan hanyalah suatu kebutuhan saja. Sesungguhnya kesehatan haruslah dipersepsikan dan dilihat secara lebih luas sebagai bagian dari Hak Asasi Manusia (HAM). Hal tersebut telah dicantumkan pada Universal Declaration of Human Rights yang dikeluarkan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa pada 10 Desember tahun 1948, khususnya pada artikel 25 dan 26.

Gambar

Table 1: Access to Health Services (Selected ASEAN Countries)
Table 1.  Access to Health Services (Selected ASEAN Countries)
Table 2. Life Expectancy and Mortality Rates in ASEAN Member Countries

Referensi

Dokumen terkait

karbon, dalam kasus ini bertempat di PT. Perkebunan Nusantara IX Ngobo, sebagai salah satu penghasil karet utama di Jawa Tengah. Menganalisis potensi emisi gas rumah

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana tingkat pengetahuan calon ibu rumah tangga terhadap iklan layanan masyarakat keluarga berencana versi “ibu

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa kepemilikan oleh dewan berpengaruh negatif pada kedua periode dengan ukuran pasar, kompetensi komite audit berpengaruh

Pada tugas akhir ini menggunakan metode ANFIS yaitu jaringan saraf tiruan yang di integrasikan dengan sistem fuzzy.. .yang akan membahas mengenai identifikasi parmeter

TUJUAN PEMBELAJARAN UMUM Sesudah mengikuti kuliah ini mahasiswa diharapkan memahami hukum asuransi di Indonesia Kuliah mimbar Kulsponsi Diskusi White board OHT Handout 3

Guna alat penulen udara atau alat pernafasan bekal udara yang muat dengan baik yang mendapat kelulusan piawai jika risiko penilaian menunjukkan ianya perlu.. Sarung tangan

Hak cipta hanya diberikan secara eksklusif kepada pencipta, yaitu "seorang atau beberapa orang secara bersama- sama yang atas inspirasinya lahir suatu ciptaan berdasarkan

Menurut McClelland (dalam Erni, 2009) terdapat enam karakteristik karyawan yang memiliki motivasi berprestasi, antara lain: (a) tanggung jawab terhadap tugas yang dikerjakan