Informed consent adalah suatu proses yang menunjukkan komunikasi yang efektif antara
dokter dengan pasien dan bertemunya pemikiran tentang apa yang akan dan apa yang tidak akan dilakukan terhadap pasien. Informed consent dilihat dari aspek hukum bukanlah sebagai perjanjian antara dua pihak, melainkan lebih ke arah persetujuan sepihak atas layanan yang ditawarkan pihak lain.
Informed consent memiliki 3 elemen, yaitu: 1. Threshold elements.
Elemen ini sebenarnya tidak tepat dianggap sebagai elemen, karena sifatnya lebih ke arah syarat, yaitu pemberi consent haruslah seseorang yang kompeten. Kompeten disini diartikan sebagai kapasitas untuk membuat keputusan (medis). Kompetensi manusia untuk membuat keputusan sebenarnya merupakan suatu kontinuum, dari “sama sekali tidak memiliki kompetensi” hingga memiliki “kompetensi yang penuh”. Di antaranya terdapat berbagai tingkat kompetensi membuat keputusan tertentu (keputusan yang reasonable berdasarkan alasan yang reasonable).
Secara hukum seseorang dianggap cakap (kompeten) adalah apabila telah dewasa, sadar dan berada dalam keadaan mental yang tidak berada di bawah pengampuan. Dewasa diartikan sebagai usia telah mencapai 21 tahun atau telah pernah menikah (UU Kesehatan, atau 18 tahun menurut UU Perlindungan Anak). Sedangkan keadaan mental yang dianggap tidak kompeten adalah apabila ia mempunyai penyakit mental sedemikian rupa atau perkembangan mentalnya terbelakang sedemikian rupa, sehingga kemampuan membuat keputusannya terganggu.4
2. Information elements
Elemen ini terdiri dari dua bagian. yaitu disclosure (pengungkapan) dan understanding (pemahaman).
Pengertian berdasarkan pemahaman yang adekuat membawa konsekuensi kepada tenaga medis untuk memberikan informasi (disclosure) sedemikian rupa agar pasien dapat mencapai pemahaman yang adekuat.
Dalam hal ini, seberapa “baik” informasi harus diberikan kepada pasien. dapat dilihat dari 3 standar, yaitu :
1. Standar Praktek profesi
Bahwa kewajiban memberikan informasi dan kriteria ke-adekuat-an informasi ditentukan sebagaimana biasanya dilakukan dalam komunitas tenaga medis (costumary practices of a professional community - Faden and Beauchamp, 1986). Standar ini terlalu mengacu kepada nilai-nilai yang ada didalam komunitas kedokteran, tanpa memperhatikan keingintahuan dan kemampuan pemahaman individu yang diharapkan menerima informasi tersebut.
Dalam standar ini ada kemungkinan bahwa kebiasaan tersebut di atas tidak sesuai dengan nilai-nilai sosial setempat. misalnya: risiko yang “tidak bermakna” (menurut medis) tidak diinformasikan, padahal mungkin bermakna dari sisi sosial/pasien 2. Standar Subyektif
Bahwa keputusan harus didasarkan atas nilai-nilai yang dianut oleh pasien secara pribadi. sehingga informasi yang diberikan harus memadai untuk pasien tersebut dalam membuat keputusan. Sebaliknya dari standar sebelumnya, standar ini sangat sulit dilaksanakan atau hampir mustahil. Adalah mustahil bagi tenaga medis untuk memahami nilai-nilai yang secara individual dianut oleh pasien.
3. Standar pada reasonable person
Standar ini merupakan hasil kompromi dari kedua standar sebelumnya, yaitu dianggap cukup apabila informasi yang diberikan telah memenuhi kebutuhan pada umumnya orang awam.
Sub-elemen pemahaman (understanding) pasien di pengaruhi oleh berbagai keadaan, di antaranya tingkat sakitnya, irrasionalitas dan imaturitas.
Semiloka Kesehatan dan Hak Asasi Manusia - 107
Banyak ahli yang mengatakan bahwa apabila elemen ini tidak dilakukan maka dokter dianggap telah lalai melaksanakan tugasnya memberi informasi yang adekuat.
3. Consent elements
Elemen ini juga terdiri dari dua bagian yaitu, voluntariness (kesukarelaan, kebebasan) dan
authorization (persetujuan). Kesukarelaan mengharuskan tidak adanya tipuan,
misrepresentasi ataupun paksaan. Pasien juga harus bebas dari “tekanan” yang dilakukan tenaga medis yang bersikap seolah-olah akan “dibiarkan” apabila tidak menyetujui tawarannya. Banyak ahli masih berpendapat bahwa melakukan persuasi yang “tidak berlebihan” masih dapat dibenarkan secara moral.
Consent dapat diberikan dalam bentuk: a. Dinyatakan (expressed).
- dinyatakan secara lisan
- dinyatakan secara tertulis. Pernyataan tertulis diperlukan apabila dibutuhkan bukti di kemudian hari, umumnya pada tindakan yang invasif atau yang beresiko mempengaruhi kesehatan pasien secara bermakna. PerMenkes tentang Persetujuan Tindakan Medis menyatakan bahwa semua jenis tindakan operatif harus memperoleh persetujuan tertulis.
b. Tidak dinyatakan (implied).
Pasien tidak menyatakannya, baik secara lisan maupun tertulis, namun melakukan tingkah laku (gerakan) yang menunjukkan jawabannya.
Meskipun consent jenis ini tidak memiliki bukti, namun consent jenis inilah yang paling banyak dilakukan dalam praktek sehari-hari. Misalnya, adalah seseorang yang menggulung lengan bajunya dan mengulurkan lengannya ketika akan diambil darahnya.
Informed consent memiliki lingkup terbatas pada hal-hal yang telah dinyatakan sebelumnya,
tidak dapat dianggap sebagai persetujuan atas semua tindakan yang akan dilakukan. Dokter dapat bertindak melebihi yang telah disepakati hanya apabila gawat darurat dan keadaan tersebut membutuhkan waktu yang singkat untuk mengatasinya.
Proxy-consent adalah consent yang diberikan oleh orang yang bukan si pasien itu sendiri.
dengan syarat bahwa pasien tidak mampu memberikan consent secara pribadi, dan consent tersebut harus mendekati apa yang sekiranya akan diberikan oleh pasien apabila ia mampu memberikannya (baik buat pasien. bukan baik buat orang banyak). Umumnya urutan orang yang dapat memberikan proxy-consent adalah suami/isteri, anak. orang tua, saudara kandung, dll.5
Proxy-consent hanya boleh dilakukan dengan pertimbangan yang matang dan ketat. Satu
kasus di Jakarta telah membuka mata orang Indonesia betapa riskannya proxy-consent ini, yaitu ketika seorang laki-laki menuntut dokter yang telah mengoperasinya “hanya” berdasarkan persetujuan anaknya, padahal ia tidak pernah dalam keadaan tidak sadar atau tidak kompeten.
Hak menolak terapi lebih sukar diterima oleh profesi kedokteran daripada hak menyetujui terapi. Banyak ahli yang mengatakan bahwa hak menolak terapi bersifat tidak absolut, artinya masih dapat ditolak atau tidak diterima oleh dokter. Hal ini oleh karena dokter akan mengalami konflik moral dengan kewajiban menghormati kehidupan, kewajiban untuk mencegah perbuatan yang bersifat bunuh diri atau self-inflicted, kewajiban melindungi pihak ketiga, dan integritas etis profesi dokter.