• Tidak ada hasil yang ditemukan

PROFESOR SaMuEL P. huNtINGtON dari harvard university meru pakan salah satu dari para ilmuwan politik kontemporer yang memiliki pengaruh intelektual yang kuat di bidangnya.

Pada 1968 bukunya yang sangat terkenal, Political Order

in Changing Society (yale university Press), diterbitkan. Buku

ini sekarang ini dianggap sebagai karya klasik dalam ilmu perbandingan politik, dan sebuah buku penting bagi para pe­ lajar yang ingin mengkaji berbagai persoalan politik yang diha­ dapi oleh negara­negara baru di asia, afrika, dan amerika Latin di tahun­tahun awal modernisasi mereka. Dalam buku ini ia mencoba melihat mengapa, bagaimana, dan dalam kon­ disi apa keteraturan politik bisa dipelihara.

Pada 1991 The Third Wave (university of Oklahoma Press) diterbitkan. Dalam buku ini ia menjelaskan bahwa demokrasi terjadi secara bergelombang, dan bahwa dari 1974 dan sete­ rusnya kita menyaksikan gelombang ketiga demokratisasi. Kar­ yanya tersebut dengan demikian dicurahkan terutama untuk menjelaskan mengapa dan bagaimana gelombang ketiga demo­ kratisasi ini terjadi.

129

HUNTINGTON: DARI KETERATURAN KE DEMOKRASI

Dalam tulisan ini saya mencoba untuk mengulas The Third

Wave. Fokus saya adalah posisi huntington menyangkut be be­

rapa isu utama seperti keteraturan dan kebebasan, atau sta­ bilitas dan demokrasi. Dalam bagian berikutnya dari tulisan ini saya men coba membandingkan kedua buku itu, dan melihat ba gaimana huntington, dalam The Third Wave, mengubah pen­ dirian yang ia pegang dalam Political Order.

***

untuk memahami gagasan­gagasan huntington dan pen­ tingnya buku Political Order, akan sangat membantu jika kita mu lai dengan gagasan­gagasan utama dari teori­teori per­ kembangan politik pada tahun­tahun pertama setelah Perang Dunia II.

Menurut teori­teori ini, modernisasi politik (perkembangan politik) di Dunia Ketiga mengandaikan runtuhnya tatanan tradi­ sional dan terbentuknya tatanan baru (modern), yang, dalam bentuknya yang mendasar, tidak akan jauh berbeda dari ma­ syarakat modern dan demokratis di dunia Barat.

Karena itu, dalam mengkaji perkembangan politik di Dunia Ketiga, para teoretisi perkembangan politik menawarkan be­ berapa konsep kunci: urbanisasi, kemelek­hurufan, mobilisasi sosial, munculnya media, diferensiasi struktural, dan sekularisasi budaya. terlepas dari semua perbedaannya, menurut William Liddle, asumsi dasar dari konsep­konsep kunci ini menunjuk pada satu arah: “demokratisasi [Dunia Ketiga] terjadi menurut ga ris pengalaman Barat”.5

Dengan kata lain, bagi teori­teori perkembangan politik tersebut, demokratisasi akan terjadi di negara­negara Dunia Ketiga sebagai akibat langsung dari kemelek­hurufan yang se­ 5 William Liddle, Comparative Political Science and the Third World, the Ohio State

BAB I: INDIvIDUALISME DAN UTOPIA

130

makin meluas, begitu banyaknya orang yang berpindah dari desa­ke­perkotaan,­transformasi­budaya­politik,­spesifikasi­pe­ kerjaan dan ketrampilan, banyaknya informasi yang diham­ parkan oleh media, dan seterusnya.

Salah satu contohnya kita bisa melihat pada karya Karl Deutsch. Bagi Deutsch, mobilisasi sosial (“sebuah proses di mana bentuk utama komitmen sosial, ekonomi, dan psikologis lama terkikis atau hancur dan orang menjadi siap menerima pola­pola sosialisasi dan perilaku yang baru”) akan mengarah pada demokratisasi. Dengan mengutip Karl Mannheim, ia me­ nyatakan bahwa hancurnya tatanan lama dan masuknya orang­ orang ke dalam pola­pola baru keanggotaan kelompok, orga n­ isasi dan komitmen yang relatif stabil merupakan proses “demokratisasi yang mendasar”. Baginya, tugas utama ilmu politik “hanya” membuat pengukuran mo bilisasi sosial lebih spesifik,­ dapat­ dihitung,­ dan­ dapat­ diper­tanggungjawabkan­ secara empiris. Pemenuhan tugas itu akan menjawab pertanyaan tentang “seberapa besar” mobilisasi so sial diperlukan untuk mendapatkan hasil yang diinginkan (de mo kratisasi). Pertanyaan tentang “bagaimana” dan “mengapa” demokratisasi terjadi, baginya, telah terjawab oleh konsep mobilisasi sosial terse­ but.6

Namun rantai krisis dan ketidakstabilan yang terjadi pada periode antara 1950­an dan 1960­an di Dunia Ketiga mem­ perlihatkan kelemahan asumsi dasar tersebut. alih­alih demo­ krasi, apa yang terjadi di negara­negara Dunia Ketiga adalah kudeta­ militer­ dan­ revolusi­ sosial,­ konflik­ etnis­ dan­ peme­ rintahan yang otoriter. tentu saja mobilisasi sosial dan urbani­ sasi terjadi. Namun negara­negara yang mengalami tingkat mobilisasi sosial yang tinggi dan tingkat pengenalan media 6 Karl W. Deutsch, Social Mobilization and political Development, aSPR LV, Sep­

131

HUNTINGTON: DARI KETERATURAN KE DEMOKRASI

yang tinggi (misalnya Meksiko, Brasil, dan argentina) tidak bebas dari krisis politik; bahkan terdapat kecenderungan bahwa negara­negara ini mengalami tingkat ketegangan sosial yang relatif lebih tinggi dan ketidakstabilan yang lebih parah.

Di sini huntington muncul dengan berbagai penjelasannya. Ia menyatakan bahwa modernisasi menghamparkan pada “orang­orang tradisional bentuk­bentuk kehidupan baru, standar­standar kesenangan baru, serta kemungkinan­kemung­ kinan kepuasan baru. Pengalaman ini... memunculkan berba gai keinginan dan kebutuhan baru” (hlm. 53). Dan jika muncul nya keinginan dan kebutuhan baru ini tidak terpenuhi, orang­orang dengan mudah akan digiring ke dalam politik. Se lain itu, modernisasi mengubah keseimbangan antara wilayah­wilayah pedalaman dan perkotaan. Dengan mendorong orang­orang pedalaman masuk ke perkotaan (urbanisasi) misalnya, modernisasi menghamparkan kekuatan­kekuatan sosial yang secara potensial dapat dimobilisasi secara besar­besaran ke dalam permainan politik perkotaan. Dan dengan terus ber­ kembangnya perkotaan, kelas menengah yang kemudian mun­ cul akan menuntut andil yang lebih besar dalam politik nasio­ nal, yang pada gilirannya mendorong orang­orang pede saan untuk mengimbangi hal itu (the Green Uprising).

Pendeknya, kita dapat berkata bahwa bagi huntington, modernisasi menghasilkan partisipasi politik (yang eksesif). Semua faktor yang inheren dalam modernisasi—mobilisasi sosial, meluasnya kemelek­hurufan, berubahnya hubungan an­ tara kota dan wilayah pedesaan—menghasilkan lebih ba nyak “ma nusia­manusia politik” yang sangat siap untuk terlibat da­ lam permainan politik. Penting di sini untuk melihat bahwa huntington tidak membedakan “sebab­sebab yang mendasari” partisipasi politik: orang­orang yang melakukan perlawanan terhadap pemerintahan yang korup dan para petinggi militer yang merancang kudeta untuk mendapatkan kekuasaan pada

BAB I: INDIvIDUALISME DAN UTOPIA

132

dasarnya sama. Semua sebab partisipasi digeneralisasi dalam konsep­konsep seperti mobilisasi sosial dan urbanisasi (dalam bagian terakhir tulisan ini, saya akan berusaha untuk menja­ barkan implikasi logis dari “generalisasi yang berlebihan” atas sebab­sebab partisipasi politik ini).

Kecuali jika disalurkan melalui berbagai lembaga (lembaga­ lembaga politik, terutama partai politik), meningkatnya partisi­ pasi politik yang inheren dalam modernisasi akan menyebabkan ketidakstabilan atau kekacauan politik. Dengan mengutip talcott Parsons, ia mengatakan bahwa institusionalisasi adalah “proses yang dengannya organisasi dan prosedur mendapatkan nilai dan stabilitas” (hlm. 12). Dengan kata lain, kita dapat menga­ takan bahwa bagi huntington partisipasi yang tak tersalurkan sama artinya dengan para penari yang bergerak tanpa irama, pola, dan sekuens—hasilnya hanyalah gerakan semata, bukan tarian, keliaran, bukan keberadaban. tepatnya, kekurangan lembaga inilah yang merupakan penjelasan utama mengapa selama periode antara 1950­an dan 1960­an di Dunia Ketiga terjadi kudeta demi kudeta, revolusi, ketegangan, dan krisis. agar gagasannya bisa dijalankan secara ilmiah, huntington mengajukan beberapa konsep untuk mengukur ting kat institu­ sionalisasi sebuah sistem politik; yakni, adaptabilitas, komplek­ sitas, otonomi, dan koherensi. Dengan demikian, bagi hunting­ ton, makin dapat diadaptasi, otonom, kompleks, dan koheren lembaga­lembaga dalam sebuah sistem, maka makin stabillah sistem tersebut.

Jadi, kita dapat berkata bahwa konsep­konsep kunci dalam penjelasan huntington adalah partisipasi politik dan institusi­ onalisasi. Bagi huntington, hubungan antara tingkat partisipasi politik dan tingkat institusionalisasi politik menentukan tingkat stabilitas politik. Dengan kata lain, ketidakstabilan politik ber­ gantung pada rasio institusionalisasi dibanding partisipasi. Se­ buah sistem politik dengan tingkat institusionalisasi yang ren­

133

HUNTINGTON: DARI KETERATURAN KE DEMOKRASI

dah dan tingkat partisipasi yang tinggi adalah sebuah sistem yang disebut “praetorian polity”, yang dicirikan oleh tingkat ketidakstabilan yang tinggi. Sebaliknya, sebuah sistem dengan rasio institusionalisasi yang tinggi dibanding partisipasi disebut sebagai “civic polity”, yang dicirikan oleh keteraturan dan sta­ bilitas politik. Di sini penting juga untuk melihat bahwa huntington menempatkan uni Soviet pada tingkat tertinggi dari civic polity (tipe­partisipan).

Sebagian dari penekanan huntington yang kuat pada institusi dan institusionalisasi dapat ditemukan dalam penje­ lasannya tentang hubungan antara lembaga politik dan ke pen­ ting­an­ publik.­ Huntington­ mendefinisikan­ kepentingan­ publik­ “dalam kaitannya dengan kepentingan konkret peme rintah”. Ia juga mengatakan bahwa kepentingan publik adalah “apapun yang memperkuat institusi pemerintahan”. Di sini dia menga­ burkan garis pemisah antara kepentingan publik (tujuan) dan lembaga politik (sarana)—dan ketika dia pada akhirnya berkata bahwa “kepentingan publik adalah kepentingan lem baga pu­ blik”, ia pada dasarnya sepenuhnya menghapuskan ga ris pemi­ sah itu: ia menyamakan kepentingan publik dengan lembaga politik (hlm. 24­25). Ia, misalnya, berkata bahwa “apa yang baik bagi Kepresidenan [aS] adalah baik bagi negeri itu... ke­ kuasaan kepresidenan sama dengan kebaikan masyarakat” (hlm. 26). Contoh lain yang menarik adalah pandangannya bah­ wa lembaga­lembaga pemerintah hendaknya mendapatkan le­ gitimasi dan otoritas mereka:

bukan dari tingkat di mana mereka mewakili kepentingan rakyat atau suatu kelompok, melainkan dari tingkat di mana mereka memiliki kepentingan­kepentingan yang khas ter­ lepas dari semua kelompok lain. Para politisi seringkali berkata bahwa hal­ihwal “tampak berbeda” setelah mereka mendapatkan suatu jabatan dibanding ketika mereka ber­ saing untuk mendapatkan jabatan tersebut. Perbe daan da­

BAB I: INDIvIDUALISME DAN UTOPIA

134

lam perspektif inilah yang melegitimasi tuntutan pe me gang jabatan tersebut pada warga masyarakatnya. (hlm. 27)

Dengan demikian, kita dapat berkata bahwa huntington me lihat lembaga bukan sebagai suatu sarana untuk mewujudkan kehendak dan keinginan tertinggi rakyat. Baginya, lembaga adalah tujuan pada dirinya sendiri. Lembaga adalah kepentingan publik. Karena itu, apapun yang baik bagi pemerintah, bagi partai, bagi kepresidenan, maka hal itu pasti baik bagi negeri itu dan rakyatnya. Seorang ilmuwan politik menyebut cara pandang normatif terhadap lembaga ini sebagai suatu “payung moral yang luas”.7

Dalam membaca Political Order, orang tidak dapat meng­ abaikan kesan bahwa huntington menempatkan keteraturan politik dan pemerintahan yang kuat dan otoritatif sebagai tujuan terpenting perkembangan politik. Lebih jauh, keteraturan politik bagi dia tampak bisa menggantikan modernisasi politik. Dalam hal ini, dia menulis bahwa persoalan utama di Dunia Ketiga “bukanlah kebebasan, melainkan pem bentukan tatanan publik yang absah” (hlm. 7). alasannya:

Orang tentu saja bisa memiliki tatanan keteraturan tanpa kebebasan, namun mereka tidak bisa memiliki kebebasan tanpa tatanan keteraturan (order). Otoritas harus ada se­ belum ia dapat dibatasi, dan otoritas­lah yang jarang ada di negeri­negeri yang sedang mengalami modernisasi terse but, di mana pemerintah lemah di hadapan kaum intelektual yang terasing, para kolonel yang sangat ambisius, dan para pelajar yang liar. (hlm. 7­8)

Karena kecenderungan kuat untuk menempatkan ke ter­ atur an dan otoritas pada tempat tertinggi dari proses poli tik 7 William Liddle, Op. Cit.

135

HUNTINGTON: DARI KETERATURAN KE DEMOKRASI

ini, huntington melihat bahwa perbedaan antara demo kra si dan kediktatoran kurang penting dibanding perbedaan anta ra pe­merintahan­ yang­ lemah­ dan­ tidak­ efisien­ dengan­ peme­­ rintahan yang kuat dan otoritatif. Dengan kata lain, bagi huntington, “Distingsi politik paling penting di antara berbagai ne gara bukan menyangkut bentuk pemerintahan mereka, me­ lain kan menyangkut tingkat pemerintahan mereka.” (hlm. 1)

Ia menempatkan negara­negara komunis totaliter dalam kotak yang sama dengan demokrasi­demokrasi liberal. Ia bah kan memuji­yang­pertama­itu­karena­efisiensi­dan­otoritas­me­reka.­

...satu hal yang dapat dilakukan pemerintahan­peme rintahan komunis adalah memerintah; mereka mem per lihatkan otoritas yang efektif.

tantangan nyata yang diperlihatkan kaum komunis ter­ hadap negara­negara yang sedang mengalami modernisasi bu kanlah bahwa mereka sangat baik dalam menumbangkan peme rintahan (sesuatu yang mudah), melainkan bahwa me­ reka sangat bagus dalam membuat pemerintahan (yang me­ ru pakan suatu tugas yang jauh lebih sulit). Mereka mung kin

tidak menyediakan kebebasan, namun mereka me nye dia-kan otoritas; mereka menciptadia-kan pemerintahan­pe me rin­

tah an yang benar­benar bisa memerintah. (hlm. 8; huruf mi ring ditambahkan)

Dengan kata lain, apa yang dikemukakan huntington ada­ lah bahwa keteraturan pertama­tama harus ada sebelum segala sesuatu yang lain, bahkan dengan mengorbankan kebebasan, sebagaimana yang terjadi di dunia komunis. Dan meskipun huntington tidak menulis secara eksplisit dan mendetail ten­ tang apa hubungan antara keteraturan dan pemerintahan yang kuat, penjelasan­penjelasannya cenderung membawa kita pada kesimpulan bahwa sebuah pemerintahan yang kuat adalah pra­ syarat mutlak bagi keteraturan politik.

BAB I: INDIvIDUALISME DAN UTOPIA

136

Namun mengapa keteraturan dan otoritas yang kuat harus dilihat sebagai sesuatu yang bertentangan dengan kebebasan? Mengapa keteraturan dan kebebasan harus ditempatkan “secara kronologis” (pertama­tama keteraturan, kemudian kebebasan)? Bagi huntington, hal itu sangat jelas: jawabannya adalah bahwa di Dunia Ketiga, kebebasan akan mendorong partisipasi politik (yang eksesif), yang pada gilirannya akan menghasilkan ke­ kacauan politik. Dan karena ia menganggap bahwa keti dak­ stabilan di Dunia Ketiga disebabkan oleh partisipasi politik yang eksesif tanpa adanya institusionalisasi yang memadai, kita kemudian cenderung menyimpulkan bahwa bagi huntington Dunia Ketiga cukup memiliki kebebasan. Pendeknya, mengutip kata­katanya sendiri yang dinukil di atas, bukan kebebasan melainkan “otoritaslah yang jarang ada di negeri­negeri yang sedang mengalami modernisasi tersebut”.

The Third Wave

Dalam Political Order, sebagaimana yang dapat dilihat di atas, ben tuk pemerintahan tidak dianggap sepenting tingkat pe me­ rintahan. usaha huntington dengan demikian terpusat pada per tanyaan mengapa, bagaimana, dan dalam keadaan apa keter­ atur an politik bisa dicapai. Baginya, persoalan utamanya adalah ke ti dakstabilan politik; dan jawabannya adalah institusionalisasi politik. Dalam The Third Wave, sebaliknya, perhatian utamanya ber fokus pada bentuk pemerintahan (demokrasi). Di sini dia men coba untuk menjelaskan mengapa dan bagaimana demo kra­ si terjadi. Stabilitas atau ketidakstabilan sebagai konsekuensi­kon ­ sekuensi yang mungkin terjadi dari berbagai pertarungan po litik untuk membangun demokrasi tidak dianggap penting bah kan untuk ditulis dalam sebuah sub­bab. Jadi, di sini kita me lihat huntington yang berbeda, dalam pengertian bahwa per ha tian utama yang ia geluti sebelumnya (tingkat peme rintahan) te lah ditinggalkan, dan digantikan oleh perhatian pada demokrasi.

137

HUNTINGTON: DARI KETERATURAN KE DEMOKRASI

Sebelum kita bahas lebih jauh, penting untuk melihat se­ cara singkat apa itu demokrasi bagi dia dalam buku ini. De mo­ krasi, menurut huntington, baik pada dirinya sendiri. Ia adalah tujuan pada dirinya sendiri. Ia juga memiliki beberapa “fungsi”: “Ia memiliki konsekuensi­konsekuensi positif bagi kebebasan in dividu, stabilitas dalam negeri, perdamaian inter nasional, dan amerika Serikat” (hlm. xv). Dalam hal stabilitas politik, ia me nga takan bahwa sistem demokratis, dengan mem beri suatu ruang bagi oposisi dan ekspresi politik, “jauh lebih kebal terhadap pergolakan revolusioner besar dibanding sistem oto­ riter” (hlm. 29). Pendek kata, bagi huntington, demokrasi ada­ lah suatu kebaikan bukan hanya karena hakikatnya sebagai penge jawantahan hasrat tertinggi manusia (kebebasan), melain­ kan juga karena fungsinya sebagai pra­syarat bagi perdamaian dan stabilitas.

The Third Wave memperlihatkan pada kita bahwa proses

demokratisasi­ memiliki­ fluktuasi­ dan­ gelombangnya­ sendiri.­ Sebuah gelombang demokratisasi adalah “sebuah kumpulan transisi” menuju pemerintahan demokratis “yang terjadi dalam suatu periode waktu tertentu...". (hlm. 15). Bagi huntington, tiga gelombang telah terjadi di dunia modern. Gelombang per­ tama dan kedua diikuti oleh apa yang dia sebut sebagai “ge lom­ bang pembalikan”, yakni kembalinya sekelompok negara ke da lam rezim­rezim yang tidak demokratis.

Gelombang pertama terjadi antara 1828 dan 1926. Ia ber­ mula ketika pemerintah aS menghapuskan syarat­syarat ke­ pemilikan dan mengakui hak pilih universal orang dewasa bagi 50 persen populasi laki­laki kulit putihnya pada pemilu presiden 1828. Gelombang ini berakhir setelah Perang Dunia I ketika Mussolini, hitler, Salazar berkuasa dan memperkenalkan ben­ tuk baru otoritarianisme di Eropa.

Gelombang kedua terjadi antara 1943 dan 1962. Gelombang ini bermula ketika tentara Sekutu mengalahkan Jerman, Italia

BAB I: INDIvIDUALISME DAN UTOPIA

138

dan Jepang. Gelombang ini juga ditandai oleh munculnya negara­negara baru di asia, afrika, dan amerika Latin yang lepas dari kekuasaan kolonial. Banyak dari negara­negara baru ini mencoba untuk mempraktikkan gagasan­gagasan demokratis dengan membentuk suatu jenis prosedur demokratis. Ge lom­ bang pembalikan bermula ketika eksperimen­eksperimen de­ ngan demokrasi di negara­negara baru ini gagal, dan oto­ ritarianisme militer atau birokratis mulai menghantui seba gian besar dari negara­negara itu.

Gelombang ketiga mulai pada april 1974. Gelombang ini ber mula, sebagaimana yang dengan cerdas dikemukakan huntington, ketika sebuah stasiun radio memutar lagu “Gran­ dola Vila Morena” di Lisbon, Portugis. Lagu ini merupakan suatu sinyal untuk memulai suatu gerakan militer yang meng­ ak hiri kediktatoran Portugis. Setelah gerakan di Portugis ini, gerakan­gerakan demokratis di seluruh dunia mendapatkan ke­ kuat annya dan muncul sebagai pemenang. Di yunani, Kara man­ lis memperoleh suara mayoritas dari rakyat dan me run tuhkan monarki. Di Spanyol, Juan Carlos dan Suarez mem peroleh per­ setujuan umum untuk membentuk majelis baru. Di Filipina, Ny. Aquino­ memimpin­ rakyat­ menghancurkan­ rezim­ Marcos.­ Di­ negara­negara Komunis, Gorbachev mem peroleh kekuasaan un­ tuk mempersiapkan revolusi yang mengu burkan sebagian be sar rezim totaliter di Rusia dan Eropa timur. Singkatnya, me nurut huntington, setelah april 1974, “rezim­rezim demokratis meng­ gan tikan rezim­rezim otoriter di sekitar 30 negara di Eropa, asia, dan amerika Latin. Dan di negara­ne gara lain, be gitu ba nyak liberalisasi yang terjadi da lam rezim­rezim oto riter” (hlm. 21).

Mengapa gelombang ketiga ini terjadi? Menurut huntington, ada lima faktor yang memainkan peran yang pen ting dalam memunculkan gelombang ketiga tersebut.

Pertama, legitimasi rezim­rezim otoriter yang menurun. Sebagai akibat melambungnya harga minyak pada awal dan

139

HUNTINGTON: DARI KETERATURAN KE DEMOKRASI

akhir 1970­an, rezim­rezim otoriter menghadapi krisis ekonomi. Dengan sedikit pengecualian, menurut huntington, kebijakan­ kebijakan rezim­rezim tersebut untuk mengatasi krisis ini seringkali menjadikan keadaan ekonomi mereka memburuk; angka­ inflasi­ yang­ tinggi,­ depresi­ yang­ berkepanjangan,­ dan­ utang yang semakin besar merupakan contoh­contoh hasil kebijakan mereka. Karena semua inilah legitimasi mereka me­ lemah. Di Filipina, misalnya, 90 persen minyaknya merupakan hasil impor. Ketika krisis minyak terjadi, Marcos terpaksa semakin ba nyak meminjam dari lembaga­lembaga keuangan inter nasional. Ia harus menukar lebih banyak sumberdaya­sum­ berdaya eko nomi negeri itu dengan dollar untuk membeli mi­ nyak. hasilnya: dari 1980 dan seterusnya, pendapatan per ka­ pita di Filipina terus­me nerus menurun; dan legitimasi Marcos semakin merosot saat krisis ekonomi ini semakin besar. Pen­ deknya, ketidak mam puan untuk memecahkan krisis eko no mi ini memperlemah alas an mengapa rakyat harus terus men­ dukung rezim oto riter.

Kedua, perkembangan ekonomi. Selama 1950­an dan 1960­an, dunia mengalami pertumbuhan ekonomi yang sebe­ lumnya belum pernah terjadi. Sebagai akibatnya, pada 1960­an, misalnya, angka GNP negara­negara berkembang naik rata­rata di atas 5 persen. Pada 1970­an, pertumbuhan ekonomi glo bal ini meningkatkan zona transisi ekonomi, dari level $300­$500 sebelum­perang ke kisaran $500­$1.000. Pertum buhan eko­ nomi ini, menurut huntington, memiliki korelasi positif dengan pertumbuhan demokrasi dalam dua hal. Di satu sisi hal ini me­ munculkan:

Sebuah perekonomian baru yang jauh lebih beragam, kom­ pleks, dan saling terkait, yang semakin sulit dikontrol oleh rezim­rezim otoriter. Perkembangan ekonomi tersebut

BAB I: INDIvIDUALISME DAN UTOPIA

140

di luar negara dan suatu kebutuhan fungsional untuk me­

mindahkan pembuatan keputusan. (hlm. 65; huruf miring ditambahkan)

Di sisi lain, hal ini mendorong perluasan kelas menengah: “bagian masyarakat yang semakin besar yang terdiri atas orang­ orang bisnis, kaum profesional, para pengusaha, para guru, para pegawai negeri, manajer, teknisi, dan para pendeta” (hlm. 66). Dengan kata lain, pertumbuhan ekonomi menyuburkan benih­benih demokrasi dengan menciptakan dan memperluas masyarakat sipil.

Ketiga, berubahnya peran Gereja Katolik Roma. Pada 1970­an, Paus menjadi lebih eksplisit dalam mengutuk pelang­ garan hak­hak asasi manusia. Pada 1979, yohanes Paulus II secara tersurat menyatakan gereja sebagai pengawal kebebasan. Dengan demikian, di negara­negara di mana gereja Katolik memiliki basis yang kuat (yakni, Polandia, Filipina, amerika