PROFESOR SaMuEL P. huNtINGtON dari harvard university meru pakan salah satu dari para ilmuwan politik kontemporer yang memiliki pengaruh intelektual yang kuat di bidangnya.
Pada 1968 bukunya yang sangat terkenal, Political Order
in Changing Society (yale university Press), diterbitkan. Buku
ini sekarang ini dianggap sebagai karya klasik dalam ilmu perbandingan politik, dan sebuah buku penting bagi para pe lajar yang ingin mengkaji berbagai persoalan politik yang diha dapi oleh negaranegara baru di asia, afrika, dan amerika Latin di tahuntahun awal modernisasi mereka. Dalam buku ini ia mencoba melihat mengapa, bagaimana, dan dalam kon disi apa keteraturan politik bisa dipelihara.
Pada 1991 The Third Wave (university of Oklahoma Press) diterbitkan. Dalam buku ini ia menjelaskan bahwa demokrasi terjadi secara bergelombang, dan bahwa dari 1974 dan sete rusnya kita menyaksikan gelombang ketiga demokratisasi. Kar yanya tersebut dengan demikian dicurahkan terutama untuk menjelaskan mengapa dan bagaimana gelombang ketiga demo kratisasi ini terjadi.
129
HUNTINGTON: DARI KETERATURAN KE DEMOKRASI
Dalam tulisan ini saya mencoba untuk mengulas The Third
Wave. Fokus saya adalah posisi huntington menyangkut be be
rapa isu utama seperti keteraturan dan kebebasan, atau sta bilitas dan demokrasi. Dalam bagian berikutnya dari tulisan ini saya men coba membandingkan kedua buku itu, dan melihat ba gaimana huntington, dalam The Third Wave, mengubah pen dirian yang ia pegang dalam Political Order.
***
untuk memahami gagasangagasan huntington dan pen tingnya buku Political Order, akan sangat membantu jika kita mu lai dengan gagasangagasan utama dari teoriteori per kembangan politik pada tahuntahun pertama setelah Perang Dunia II.
Menurut teoriteori ini, modernisasi politik (perkembangan politik) di Dunia Ketiga mengandaikan runtuhnya tatanan tradi sional dan terbentuknya tatanan baru (modern), yang, dalam bentuknya yang mendasar, tidak akan jauh berbeda dari ma syarakat modern dan demokratis di dunia Barat.
Karena itu, dalam mengkaji perkembangan politik di Dunia Ketiga, para teoretisi perkembangan politik menawarkan be berapa konsep kunci: urbanisasi, kemelekhurufan, mobilisasi sosial, munculnya media, diferensiasi struktural, dan sekularisasi budaya. terlepas dari semua perbedaannya, menurut William Liddle, asumsi dasar dari konsepkonsep kunci ini menunjuk pada satu arah: “demokratisasi [Dunia Ketiga] terjadi menurut ga ris pengalaman Barat”.5
Dengan kata lain, bagi teoriteori perkembangan politik tersebut, demokratisasi akan terjadi di negaranegara Dunia Ketiga sebagai akibat langsung dari kemelekhurufan yang se 5 William Liddle, Comparative Political Science and the Third World, the Ohio State
BAB I: INDIvIDUALISME DAN UTOPIA
130
makin meluas, begitu banyaknya orang yang berpindah dari desakeperkotaan,transformasibudayapolitik,spesifikasipe kerjaan dan ketrampilan, banyaknya informasi yang diham parkan oleh media, dan seterusnya.
Salah satu contohnya kita bisa melihat pada karya Karl Deutsch. Bagi Deutsch, mobilisasi sosial (“sebuah proses di mana bentuk utama komitmen sosial, ekonomi, dan psikologis lama terkikis atau hancur dan orang menjadi siap menerima polapola sosialisasi dan perilaku yang baru”) akan mengarah pada demokratisasi. Dengan mengutip Karl Mannheim, ia me nyatakan bahwa hancurnya tatanan lama dan masuknya orang orang ke dalam polapola baru keanggotaan kelompok, orga n isasi dan komitmen yang relatif stabil merupakan proses “demokratisasi yang mendasar”. Baginya, tugas utama ilmu politik “hanya” membuat pengukuran mo bilisasi sosial lebih spesifik, dapat dihitung, dan dapat dipertanggungjawabkan secara empiris. Pemenuhan tugas itu akan menjawab pertanyaan tentang “seberapa besar” mobilisasi so sial diperlukan untuk mendapatkan hasil yang diinginkan (de mo kratisasi). Pertanyaan tentang “bagaimana” dan “mengapa” demokratisasi terjadi, baginya, telah terjawab oleh konsep mobilisasi sosial terse but.6
Namun rantai krisis dan ketidakstabilan yang terjadi pada periode antara 1950an dan 1960an di Dunia Ketiga mem perlihatkan kelemahan asumsi dasar tersebut. alihalih demo krasi, apa yang terjadi di negaranegara Dunia Ketiga adalah kudeta militer dan revolusi sosial, konflik etnis dan peme rintahan yang otoriter. tentu saja mobilisasi sosial dan urbani sasi terjadi. Namun negaranegara yang mengalami tingkat mobilisasi sosial yang tinggi dan tingkat pengenalan media 6 Karl W. Deutsch, Social Mobilization and political Development, aSPR LV, Sep
131
HUNTINGTON: DARI KETERATURAN KE DEMOKRASI
yang tinggi (misalnya Meksiko, Brasil, dan argentina) tidak bebas dari krisis politik; bahkan terdapat kecenderungan bahwa negaranegara ini mengalami tingkat ketegangan sosial yang relatif lebih tinggi dan ketidakstabilan yang lebih parah.
Di sini huntington muncul dengan berbagai penjelasannya. Ia menyatakan bahwa modernisasi menghamparkan pada “orangorang tradisional bentukbentuk kehidupan baru, standarstandar kesenangan baru, serta kemungkinankemung kinan kepuasan baru. Pengalaman ini... memunculkan berba gai keinginan dan kebutuhan baru” (hlm. 53). Dan jika muncul nya keinginan dan kebutuhan baru ini tidak terpenuhi, orangorang dengan mudah akan digiring ke dalam politik. Se lain itu, modernisasi mengubah keseimbangan antara wilayahwilayah pedalaman dan perkotaan. Dengan mendorong orangorang pedalaman masuk ke perkotaan (urbanisasi) misalnya, modernisasi menghamparkan kekuatankekuatan sosial yang secara potensial dapat dimobilisasi secara besarbesaran ke dalam permainan politik perkotaan. Dan dengan terus ber kembangnya perkotaan, kelas menengah yang kemudian mun cul akan menuntut andil yang lebih besar dalam politik nasio nal, yang pada gilirannya mendorong orangorang pede saan untuk mengimbangi hal itu (the Green Uprising).
Pendeknya, kita dapat berkata bahwa bagi huntington, modernisasi menghasilkan partisipasi politik (yang eksesif). Semua faktor yang inheren dalam modernisasi—mobilisasi sosial, meluasnya kemelekhurufan, berubahnya hubungan an tara kota dan wilayah pedesaan—menghasilkan lebih ba nyak “ma nusiamanusia politik” yang sangat siap untuk terlibat da lam permainan politik. Penting di sini untuk melihat bahwa huntington tidak membedakan “sebabsebab yang mendasari” partisipasi politik: orangorang yang melakukan perlawanan terhadap pemerintahan yang korup dan para petinggi militer yang merancang kudeta untuk mendapatkan kekuasaan pada
BAB I: INDIvIDUALISME DAN UTOPIA
132
dasarnya sama. Semua sebab partisipasi digeneralisasi dalam konsepkonsep seperti mobilisasi sosial dan urbanisasi (dalam bagian terakhir tulisan ini, saya akan berusaha untuk menja barkan implikasi logis dari “generalisasi yang berlebihan” atas sebabsebab partisipasi politik ini).
Kecuali jika disalurkan melalui berbagai lembaga (lembaga lembaga politik, terutama partai politik), meningkatnya partisi pasi politik yang inheren dalam modernisasi akan menyebabkan ketidakstabilan atau kekacauan politik. Dengan mengutip talcott Parsons, ia mengatakan bahwa institusionalisasi adalah “proses yang dengannya organisasi dan prosedur mendapatkan nilai dan stabilitas” (hlm. 12). Dengan kata lain, kita dapat menga takan bahwa bagi huntington partisipasi yang tak tersalurkan sama artinya dengan para penari yang bergerak tanpa irama, pola, dan sekuens—hasilnya hanyalah gerakan semata, bukan tarian, keliaran, bukan keberadaban. tepatnya, kekurangan lembaga inilah yang merupakan penjelasan utama mengapa selama periode antara 1950an dan 1960an di Dunia Ketiga terjadi kudeta demi kudeta, revolusi, ketegangan, dan krisis. agar gagasannya bisa dijalankan secara ilmiah, huntington mengajukan beberapa konsep untuk mengukur ting kat institu sionalisasi sebuah sistem politik; yakni, adaptabilitas, komplek sitas, otonomi, dan koherensi. Dengan demikian, bagi hunting ton, makin dapat diadaptasi, otonom, kompleks, dan koheren lembagalembaga dalam sebuah sistem, maka makin stabillah sistem tersebut.
Jadi, kita dapat berkata bahwa konsepkonsep kunci dalam penjelasan huntington adalah partisipasi politik dan institusi onalisasi. Bagi huntington, hubungan antara tingkat partisipasi politik dan tingkat institusionalisasi politik menentukan tingkat stabilitas politik. Dengan kata lain, ketidakstabilan politik ber gantung pada rasio institusionalisasi dibanding partisipasi. Se buah sistem politik dengan tingkat institusionalisasi yang ren
133
HUNTINGTON: DARI KETERATURAN KE DEMOKRASI
dah dan tingkat partisipasi yang tinggi adalah sebuah sistem yang disebut “praetorian polity”, yang dicirikan oleh tingkat ketidakstabilan yang tinggi. Sebaliknya, sebuah sistem dengan rasio institusionalisasi yang tinggi dibanding partisipasi disebut sebagai “civic polity”, yang dicirikan oleh keteraturan dan sta bilitas politik. Di sini penting juga untuk melihat bahwa huntington menempatkan uni Soviet pada tingkat tertinggi dari civic polity (tipepartisipan).
Sebagian dari penekanan huntington yang kuat pada institusi dan institusionalisasi dapat ditemukan dalam penje lasannya tentang hubungan antara lembaga politik dan ke pen tingan publik. Huntington mendefinisikan kepentingan publik “dalam kaitannya dengan kepentingan konkret peme rintah”. Ia juga mengatakan bahwa kepentingan publik adalah “apapun yang memperkuat institusi pemerintahan”. Di sini dia menga burkan garis pemisah antara kepentingan publik (tujuan) dan lembaga politik (sarana)—dan ketika dia pada akhirnya berkata bahwa “kepentingan publik adalah kepentingan lem baga pu blik”, ia pada dasarnya sepenuhnya menghapuskan ga ris pemi sah itu: ia menyamakan kepentingan publik dengan lembaga politik (hlm. 2425). Ia, misalnya, berkata bahwa “apa yang baik bagi Kepresidenan [aS] adalah baik bagi negeri itu... ke kuasaan kepresidenan sama dengan kebaikan masyarakat” (hlm. 26). Contoh lain yang menarik adalah pandangannya bah wa lembagalembaga pemerintah hendaknya mendapatkan le gitimasi dan otoritas mereka:
bukan dari tingkat di mana mereka mewakili kepentingan rakyat atau suatu kelompok, melainkan dari tingkat di mana mereka memiliki kepentingankepentingan yang khas ter lepas dari semua kelompok lain. Para politisi seringkali berkata bahwa halihwal “tampak berbeda” setelah mereka mendapatkan suatu jabatan dibanding ketika mereka ber saing untuk mendapatkan jabatan tersebut. Perbe daan da
BAB I: INDIvIDUALISME DAN UTOPIA
134
lam perspektif inilah yang melegitimasi tuntutan pe me gang jabatan tersebut pada warga masyarakatnya. (hlm. 27)
Dengan demikian, kita dapat berkata bahwa huntington me lihat lembaga bukan sebagai suatu sarana untuk mewujudkan kehendak dan keinginan tertinggi rakyat. Baginya, lembaga adalah tujuan pada dirinya sendiri. Lembaga adalah kepentingan publik. Karena itu, apapun yang baik bagi pemerintah, bagi partai, bagi kepresidenan, maka hal itu pasti baik bagi negeri itu dan rakyatnya. Seorang ilmuwan politik menyebut cara pandang normatif terhadap lembaga ini sebagai suatu “payung moral yang luas”.7
Dalam membaca Political Order, orang tidak dapat meng abaikan kesan bahwa huntington menempatkan keteraturan politik dan pemerintahan yang kuat dan otoritatif sebagai tujuan terpenting perkembangan politik. Lebih jauh, keteraturan politik bagi dia tampak bisa menggantikan modernisasi politik. Dalam hal ini, dia menulis bahwa persoalan utama di Dunia Ketiga “bukanlah kebebasan, melainkan pem bentukan tatanan publik yang absah” (hlm. 7). alasannya:
Orang tentu saja bisa memiliki tatanan keteraturan tanpa kebebasan, namun mereka tidak bisa memiliki kebebasan tanpa tatanan keteraturan (order). Otoritas harus ada se belum ia dapat dibatasi, dan otoritaslah yang jarang ada di negerinegeri yang sedang mengalami modernisasi terse but, di mana pemerintah lemah di hadapan kaum intelektual yang terasing, para kolonel yang sangat ambisius, dan para pelajar yang liar. (hlm. 78)
Karena kecenderungan kuat untuk menempatkan ke ter atur an dan otoritas pada tempat tertinggi dari proses poli tik 7 William Liddle, Op. Cit.
135
HUNTINGTON: DARI KETERATURAN KE DEMOKRASI
ini, huntington melihat bahwa perbedaan antara demo kra si dan kediktatoran kurang penting dibanding perbedaan anta ra pemerintahan yang lemah dan tidak efisien dengan peme rintahan yang kuat dan otoritatif. Dengan kata lain, bagi huntington, “Distingsi politik paling penting di antara berbagai ne gara bukan menyangkut bentuk pemerintahan mereka, me lain kan menyangkut tingkat pemerintahan mereka.” (hlm. 1)
Ia menempatkan negaranegara komunis totaliter dalam kotak yang sama dengan demokrasidemokrasi liberal. Ia bah kan memujiyangpertamaitukarenaefisiensidanotoritasmereka.
...satu hal yang dapat dilakukan pemerintahanpeme rintahan komunis adalah memerintah; mereka mem per lihatkan otoritas yang efektif.
tantangan nyata yang diperlihatkan kaum komunis ter hadap negaranegara yang sedang mengalami modernisasi bu kanlah bahwa mereka sangat baik dalam menumbangkan peme rintahan (sesuatu yang mudah), melainkan bahwa me reka sangat bagus dalam membuat pemerintahan (yang me ru pakan suatu tugas yang jauh lebih sulit). Mereka mung kin
tidak menyediakan kebebasan, namun mereka me nye dia-kan otoritas; mereka menciptadia-kan pemerintahanpe me rin
tah an yang benarbenar bisa memerintah. (hlm. 8; huruf mi ring ditambahkan)
Dengan kata lain, apa yang dikemukakan huntington ada lah bahwa keteraturan pertamatama harus ada sebelum segala sesuatu yang lain, bahkan dengan mengorbankan kebebasan, sebagaimana yang terjadi di dunia komunis. Dan meskipun huntington tidak menulis secara eksplisit dan mendetail ten tang apa hubungan antara keteraturan dan pemerintahan yang kuat, penjelasanpenjelasannya cenderung membawa kita pada kesimpulan bahwa sebuah pemerintahan yang kuat adalah pra syarat mutlak bagi keteraturan politik.
BAB I: INDIvIDUALISME DAN UTOPIA
136
Namun mengapa keteraturan dan otoritas yang kuat harus dilihat sebagai sesuatu yang bertentangan dengan kebebasan? Mengapa keteraturan dan kebebasan harus ditempatkan “secara kronologis” (pertamatama keteraturan, kemudian kebebasan)? Bagi huntington, hal itu sangat jelas: jawabannya adalah bahwa di Dunia Ketiga, kebebasan akan mendorong partisipasi politik (yang eksesif), yang pada gilirannya akan menghasilkan ke kacauan politik. Dan karena ia menganggap bahwa keti dak stabilan di Dunia Ketiga disebabkan oleh partisipasi politik yang eksesif tanpa adanya institusionalisasi yang memadai, kita kemudian cenderung menyimpulkan bahwa bagi huntington Dunia Ketiga cukup memiliki kebebasan. Pendeknya, mengutip katakatanya sendiri yang dinukil di atas, bukan kebebasan melainkan “otoritaslah yang jarang ada di negerinegeri yang sedang mengalami modernisasi tersebut”.
The Third Wave
Dalam Political Order, sebagaimana yang dapat dilihat di atas, ben tuk pemerintahan tidak dianggap sepenting tingkat pe me rintahan. usaha huntington dengan demikian terpusat pada per tanyaan mengapa, bagaimana, dan dalam keadaan apa keter atur an politik bisa dicapai. Baginya, persoalan utamanya adalah ke ti dakstabilan politik; dan jawabannya adalah institusionalisasi politik. Dalam The Third Wave, sebaliknya, perhatian utamanya ber fokus pada bentuk pemerintahan (demokrasi). Di sini dia men coba untuk menjelaskan mengapa dan bagaimana demo kra si terjadi. Stabilitas atau ketidakstabilan sebagai konsekuensikon sekuensi yang mungkin terjadi dari berbagai pertarungan po litik untuk membangun demokrasi tidak dianggap penting bah kan untuk ditulis dalam sebuah subbab. Jadi, di sini kita me lihat huntington yang berbeda, dalam pengertian bahwa per ha tian utama yang ia geluti sebelumnya (tingkat peme rintahan) te lah ditinggalkan, dan digantikan oleh perhatian pada demokrasi.
137
HUNTINGTON: DARI KETERATURAN KE DEMOKRASI
Sebelum kita bahas lebih jauh, penting untuk melihat se cara singkat apa itu demokrasi bagi dia dalam buku ini. De mo krasi, menurut huntington, baik pada dirinya sendiri. Ia adalah tujuan pada dirinya sendiri. Ia juga memiliki beberapa “fungsi”: “Ia memiliki konsekuensikonsekuensi positif bagi kebebasan in dividu, stabilitas dalam negeri, perdamaian inter nasional, dan amerika Serikat” (hlm. xv). Dalam hal stabilitas politik, ia me nga takan bahwa sistem demokratis, dengan mem beri suatu ruang bagi oposisi dan ekspresi politik, “jauh lebih kebal terhadap pergolakan revolusioner besar dibanding sistem oto riter” (hlm. 29). Pendek kata, bagi huntington, demokrasi ada lah suatu kebaikan bukan hanya karena hakikatnya sebagai penge jawantahan hasrat tertinggi manusia (kebebasan), melain kan juga karena fungsinya sebagai prasyarat bagi perdamaian dan stabilitas.
The Third Wave memperlihatkan pada kita bahwa proses
demokratisasi memiliki fluktuasi dan gelombangnya sendiri. Sebuah gelombang demokratisasi adalah “sebuah kumpulan transisi” menuju pemerintahan demokratis “yang terjadi dalam suatu periode waktu tertentu...". (hlm. 15). Bagi huntington, tiga gelombang telah terjadi di dunia modern. Gelombang per tama dan kedua diikuti oleh apa yang dia sebut sebagai “ge lom bang pembalikan”, yakni kembalinya sekelompok negara ke da lam rezimrezim yang tidak demokratis.
Gelombang pertama terjadi antara 1828 dan 1926. Ia ber mula ketika pemerintah aS menghapuskan syaratsyarat ke pemilikan dan mengakui hak pilih universal orang dewasa bagi 50 persen populasi lakilaki kulit putihnya pada pemilu presiden 1828. Gelombang ini berakhir setelah Perang Dunia I ketika Mussolini, hitler, Salazar berkuasa dan memperkenalkan ben tuk baru otoritarianisme di Eropa.
Gelombang kedua terjadi antara 1943 dan 1962. Gelombang ini bermula ketika tentara Sekutu mengalahkan Jerman, Italia
BAB I: INDIvIDUALISME DAN UTOPIA
138
dan Jepang. Gelombang ini juga ditandai oleh munculnya negaranegara baru di asia, afrika, dan amerika Latin yang lepas dari kekuasaan kolonial. Banyak dari negaranegara baru ini mencoba untuk mempraktikkan gagasangagasan demokratis dengan membentuk suatu jenis prosedur demokratis. Ge lom bang pembalikan bermula ketika eksperimeneksperimen de ngan demokrasi di negaranegara baru ini gagal, dan oto ritarianisme militer atau birokratis mulai menghantui seba gian besar dari negaranegara itu.
Gelombang ketiga mulai pada april 1974. Gelombang ini ber mula, sebagaimana yang dengan cerdas dikemukakan huntington, ketika sebuah stasiun radio memutar lagu “Gran dola Vila Morena” di Lisbon, Portugis. Lagu ini merupakan suatu sinyal untuk memulai suatu gerakan militer yang meng ak hiri kediktatoran Portugis. Setelah gerakan di Portugis ini, gerakangerakan demokratis di seluruh dunia mendapatkan ke kuat annya dan muncul sebagai pemenang. Di yunani, Kara man lis memperoleh suara mayoritas dari rakyat dan me run tuhkan monarki. Di Spanyol, Juan Carlos dan Suarez mem peroleh per setujuan umum untuk membentuk majelis baru. Di Filipina, Ny. Aquino memimpin rakyat menghancurkan rezim Marcos. Di negaranegara Komunis, Gorbachev mem peroleh kekuasaan un tuk mempersiapkan revolusi yang mengu burkan sebagian be sar rezim totaliter di Rusia dan Eropa timur. Singkatnya, me nurut huntington, setelah april 1974, “rezimrezim demokratis meng gan tikan rezimrezim otoriter di sekitar 30 negara di Eropa, asia, dan amerika Latin. Dan di negarane gara lain, be gitu ba nyak liberalisasi yang terjadi da lam rezimrezim oto riter” (hlm. 21).
Mengapa gelombang ketiga ini terjadi? Menurut huntington, ada lima faktor yang memainkan peran yang pen ting dalam memunculkan gelombang ketiga tersebut.
Pertama, legitimasi rezimrezim otoriter yang menurun. Sebagai akibat melambungnya harga minyak pada awal dan
139
HUNTINGTON: DARI KETERATURAN KE DEMOKRASI
akhir 1970an, rezimrezim otoriter menghadapi krisis ekonomi. Dengan sedikit pengecualian, menurut huntington, kebijakan kebijakan rezimrezim tersebut untuk mengatasi krisis ini seringkali menjadikan keadaan ekonomi mereka memburuk; angka inflasi yang tinggi, depresi yang berkepanjangan, dan utang yang semakin besar merupakan contohcontoh hasil kebijakan mereka. Karena semua inilah legitimasi mereka me lemah. Di Filipina, misalnya, 90 persen minyaknya merupakan hasil impor. Ketika krisis minyak terjadi, Marcos terpaksa semakin ba nyak meminjam dari lembagalembaga keuangan inter nasional. Ia harus menukar lebih banyak sumberdayasum berdaya eko nomi negeri itu dengan dollar untuk membeli mi nyak. hasilnya: dari 1980 dan seterusnya, pendapatan per ka pita di Filipina terusme nerus menurun; dan legitimasi Marcos semakin merosot saat krisis ekonomi ini semakin besar. Pen deknya, ketidak mam puan untuk memecahkan krisis eko no mi ini memperlemah alas an mengapa rakyat harus terus men dukung rezim oto riter.
Kedua, perkembangan ekonomi. Selama 1950an dan 1960an, dunia mengalami pertumbuhan ekonomi yang sebe lumnya belum pernah terjadi. Sebagai akibatnya, pada 1960an, misalnya, angka GNP negaranegara berkembang naik ratarata di atas 5 persen. Pada 1970an, pertumbuhan ekonomi glo bal ini meningkatkan zona transisi ekonomi, dari level $300$500 sebelumperang ke kisaran $500$1.000. Pertum buhan eko nomi ini, menurut huntington, memiliki korelasi positif dengan pertumbuhan demokrasi dalam dua hal. Di satu sisi hal ini me munculkan:
Sebuah perekonomian baru yang jauh lebih beragam, kom pleks, dan saling terkait, yang semakin sulit dikontrol oleh rezimrezim otoriter. Perkembangan ekonomi tersebut
BAB I: INDIvIDUALISME DAN UTOPIA
140
di luar negara dan suatu kebutuhan fungsional untuk me
mindahkan pembuatan keputusan. (hlm. 65; huruf miring ditambahkan)
Di sisi lain, hal ini mendorong perluasan kelas menengah: “bagian masyarakat yang semakin besar yang terdiri atas orang orang bisnis, kaum profesional, para pengusaha, para guru, para pegawai negeri, manajer, teknisi, dan para pendeta” (hlm. 66). Dengan kata lain, pertumbuhan ekonomi menyuburkan benihbenih demokrasi dengan menciptakan dan memperluas masyarakat sipil.
Ketiga, berubahnya peran Gereja Katolik Roma. Pada 1970an, Paus menjadi lebih eksplisit dalam mengutuk pelang garan hakhak asasi manusia. Pada 1979, yohanes Paulus II secara tersurat menyatakan gereja sebagai pengawal kebebasan. Dengan demikian, di negaranegara di mana gereja Katolik memiliki basis yang kuat (yakni, Polandia, Filipina, amerika