DaRI PERSPEKtIF tEOREtIS, karya Gaventa, Power and
Power-lessness, menarik karena ia melancarkan tantangan langsung
ter hadap kaum pluralis: para teoretisi politik yang seringkali di sebut sebagai kaum liberal, yang dianggap sebagai para teoretisi terkemuka dalam ilmu politik utama sejak Perang Dunia II.
Dengan mendasarkan rumusan teoretisnya terutama dari Lukes dan Gramsci, Gaventa mengklaim bahwa orangorang ber sikap tidak aktif dalam kondisi ketidaksetaraan yang begitu besar bukan karena mereka menginginkannya. Penerimaan me reka adalah akibat dari hubunganhubungan kekuasaan: me re ka dipaksa untuk tidak aktif. Mereka merasa tak berdaya, ce mas, lemah—karena itu mereka tidak melakukan sesuatu yang secarapolitiksignifikanuntukmengubahpenderitaanekonomi mereka.
Bagi Gaventa, seperti halnya bagi Lukes, salah satu ke lemahan utama dari kaum pluralis terletak dalam argumen bah wa tidak bertindak berarti kepuasan, atau kurang memiliki ke ke cewaan terhadap sistem sosial secara umum (orangorang mem butuhkan suatu tingkat kekecewaan tertentu untuk berani menghadapi risiko melakukan pemberontakan). argumen ini, menurut Gaventa, menjadikan kaum pluralis abai terhadap ke
BAB I: INDIvIDUALISME DAN UTOPIA
118
nyataan bahwa kekuasaan berfungsi menjaga kekuasaan: elite elite yang berkuasa berusaha untuk menjaga kekuasaan mereka dengan membuat orangorang yang mereka kuasai tunduk, de ngan menanamkan bentukbentuk gagasan tertentu yang tidak kritis dalam pikiran orangorang yang mereka kuasai. Dengan de mikian, kaum pluralis, bagi Gaventa, akan menyalahkan para korban jika mereka bersikap tidak aktif ketika ketidaksetaraan terjadi.
Seberapa berhasil Gaventa dalam menyerang posisi teoretis kaum pluralis? Kelemahan apa yang ada dalam rumusan teo retis Gaventa sendiri jika hal ini digunakan untuk memahami bukan hanya suatu kasus spesifik di Lembah Appalachian melainkan juga suatu masyarakat yang lebih besar dan kom pleks?
***
Sebelum kita membahas pertanyaanpertanyaan di atas, kita perlu bersikap adil terhadap kaum pluralis. Penjelasan Gaventa tentang posisi teoretis kaum pluralis diletakkan sede mikian rupa sehingga menjadikan posisi kaum pluralis tersebut tampak lemah.
Secara umum, kaum pluralis mendasarkan teoriteori me reka pada tradisi liberal dalam pemikiran politik.1 Mereka ter uta ma berutang kepada John Stuart Mill dan Joseph Schumpeter. Dari John Stuart Mill mereka belajar bahwa manusia mampu memutuskan apa yang baik bagi dirinya sendiri. Setiap manusia adalah hakim terbaik bagi kepentingannya sendiri. Para politisi mungkin mengajari orangorang apa yang perlu di la kukan atau apa yang perlu dipikirkan (ini sudah menjadi kebiasaan para politisi). Namun, pada akhirnya, pertimbangan “rasional” orangorang itulah yang penting: mereka bisa setuju 1 Penjelasan saya tentang kaum pluralis di sini sebagian besar diambil dari Ricci (1971)
119
MEMBELA KAUM PLURALIS
atau tidak setuju dengan para politisi tersebut, bergantung pa da ke pentingan mereka sendiri. Keputusan orangorang tersebut mungkin “salah”. Mereka mungkin tertipu. Namun mereka ti dak mungkin salah selamanya (mungkin mudah untuk menipu para pemilih sekali atau dua kali, namun mustahil melakukan hal ini selamanya): manusia belajar dari pengalaman mereka. Dari Joseph Schumpeter, kaum pluralis belajar bahwa apa yang disebut elite berkuasa yang padu itu tidak ada.2
Kelompokkelompok elite bersaing dalam memengaruhi ke putusan publik tentang berbagai macam isu sosial. Dalam ma syarakat, sum berdaya (sebagai dasar tindakan politik) dan kepentingan (sebagai tujuan aktoraktor politik) beragam—dan karena itulah terdapat pluralisme elite. Karya Robert a. Dahl tentang dina mika politik lokal di New haven, yale (1963), bisa dilihat se ba gai suatu usaha yang bagus yang memperkuat ga gasan Schumpeterian tentang elite ini.
Selain itu, dari Schumpeter, kaum pluralis belajar bahwa mes kipun ekonomi dan politik sangat berkaitan, masingmasing harus dilihat sebagai suatu wilayah yang otonom.3 Gagasan ini mem buka jalan bagi kaum pluralis untuk meyakini bahwa jika sebuah sistem secara ekonomi tidak setara, hal itu tidak niscaya berarti bahwa ia juga secara politik represif. Ketidaksetaraan eko nomi pada dasarnya bisa hadir bersama dengan demokrasi politik. apa yang dibutuhkan sebuah sistem untuk menjadi de mokratis, selain persaingan elite untuk merebut hati rakyat, adalah aturan permainan yang adil dan perlindungan terhadap hakhak politik dasar.
2 Marx, Mosca, dan Michels mengandaikan bahwa elite berkuasa yang padu itu ada, karena keharusan di wilayah produksi, atau karena hukum organisasi yang kom pleks, atau karena logika pengelompokan politik.
3 Dalam capitalism, Socialism, and Democracy (1950) karya Schumpeter, kapitalisme dan sosialisme adalah wilayah ekonomi, sedangkan demokrasi adalah wilayah politik. “Politik tidak tergantung ekonomi” dipahami dari argumennya bahwa demokrasi bisa berkembang baik dalam kapitalisme maupun sosialisme. tidak satu hal pun dalam wilayah ekonomi yang dapat memengaruhi wilayah politik secara deterministik.
BAB I: INDIvIDUALISME DAN UTOPIA
120
Gagasan inilah dasar argumen bahwa tindakan politik ti dak niscaya berkaitan dengan hasilhasil di wilayah ekonomi. Karena itu, kaum pluralis berpendapat bahwa meskipun terda pat tindakantindakan politik yang kuat yang mendukung kebi jakankebijakan yang lebih distributif, hasilnya dalam bentuk berbagai kebijakan tidak niscaya akan mengubah kondisi keti daksetaraan ekonomi tersebut. apa yang juga mung kin ada lah bahwa meskipun hanya terdapat partisipasi politik yang sangat lemah, kondisi ketidaksetaraan tersebut mungkin ber ubah.
Semua itu adalah beberapa gagasan dasar yang menjadi san daran posisi kaum pluralis. untuk bisa sungguhsungguh mem bongkar pandangan kaum pluralis, gagasangagasan terse but ha rus ditunjukkan sebagai gagasangagasan yang salah. Karya Gaventa, jika karya tersebut dipahami sebagai sebuah kar ya teore tis, bisa dilihat sebagai usaha untuk melakukan hal tersebut.
Pertama, tentang eliteelite yang berkuasa. Dalam bidang yang ia pelajari, eliteelite berkuasa bagi Gaventa terutama ber arti para pemimpin lokal dalam organisasiorganisasi lokal (partai, perusahaan, serikat buruh, gereja, sekolah, pemerintah lo kal, dll.). Eliteelite tersebut, menurut Gaventa, mungkin tam pak beragam “di puncak”. Namun, “dilihat dari bawah”, elite elite tersebut tampak “pada dasarnya seragam”.
Klaim ini, jika benar, merupakan pukulan berat bagi kaum pluralis. Sayangnya, jika kita mengkaji penjelasan Gaventa se cara cermat, sulit untuk tidak melihat bahwa terdapat lubanglubang besar dan argumenargumen yang lemah dalam pen jelasannya. Bagaimana bisa para pebisnis, kaum liberal, ka um komunis, para akitivis serikat buruh yang bekerja di Clear Fork Valley dilihat sebagai anggota kekuasaan konspirasi yang sama?
Kenyataan bahwa mereka semua tidak mengangkat isuisu yang, bagi si pengamat, relevan dalam mengubah keadaan ke tidaksetaraan tersebut tidak cukup memadai untuk membuat kita menyimpulkan bahwa mereka adalah bagian dari suatu
121
MEMBELA KAUM PLURALIS
ke kuasaan konspirasi yang sama. untuk memperlihatkan bah wa temuantemuannya dalam satu kasus tertentu di wilayah ter tentu (jika hal ini benar secara empiris) juga relevan untuk mempelajari kasuskasus lain di tempattempat lain, Gaventa perlu mengembangkan suatu rumusan teoretis yang memberi dasar bagi kita untuk memahami, misalnya, bahwa kepentingan kepentingan para pebisnis (mereka yang yakin pada usaha yang bebas) dan kaum komunis (mereka yang mendukung peng hapusan hak milik) adalah sama.
Gaventa tidak membuat rumusan teoretis ini. Menurut sa ya, ia tidak melakukannya karena hal itu akan membawa dia pada posisi yang sangat sulit: Ia dapat dengan mudah dianggap abai terhadap sejarah pertarunganpertarungan politik besar selama abad ke20.4
Dalam sejarah politik aS, pemberlakuan akta Wagner pada 1935 bukan merupakan dampak dari kesepakatan yang har monis antara serikatserikat buruh dan kaum industrialis, melainkan merupakan dampak dari pertarungan yang panjang dan menyakitkan antara keduanya (lihat Goldman, 1956)]. Se buah teori yang memperlihatkan bahwa kepentingankepen tingan utama kaum Marxis radikal, para aktivis serikat buruh, dan kaum industrialis pasar bebas pada dasarnya sama dalam me melihara suatu bentuk hubungan kekuasaan tertentu, baik regional maupun nasional, akan memunculkan banyak perta nyaan yang sulit, jika bukan mustahil, untuk dijawab.
Secara empiris, ketika Gaventa mencoba untuk memper lihatkan bahwa para pemimpin lokal di Clear Folk Valley pada dasarnya seragam, ia gagal meyakinkan kita bahwa tidak ada 4 Salah satu pertarungan politik paling penting pada abad ini terjadi di negaranegara kapitalis maju dalam mengusung perjuangan kaum miskin, kaum buruh, dan me reka yang lemah. hal ini menyebabkan terbentuknya negara kesejahteraan, ekonomi cam puran, di hampir semua negara tersebut. akan lucu jika berkata, misalnya, bah wa dalam pertarunganpertarungan besar ini kepentingan para pemimpin buruh dan para pemimpin bisnis adalah sama.
BAB I: INDIvIDUALISME DAN UTOPIA
122
jalan lain yang mungkin yang membawa kita pada kesimpulan bahwa mereka, para pemimpin lokal tersebut, pada dasarnya tidak seragam. Pada awal dan pertengahan 1930an, menurut Gaventa, ada gelombang pasang aktivisme politik di wilayah itu. Kaum liberal utara datang ke lembah itu dan, bersama de ngan para pemimpin liberal lokal, berusaha untuk membantu para penambang yang tertindas dengan mengangkat isuisu tentang hakhak sipil (misalnya kebebasan berekspresi). Para pemimpin dan aktivis buruh tersebut, lokal dan nasional, terle pasdarikonflikkonflikinternalmerekayangmenyakitkan,ber hasil mengusung kepentingan para penambang lokal itu untuk mendapatkan tunjangan pensiun yang lebih baik, gaji yang lebih baik, dll. (bukan tanpa ketidaksepakatan dari para pe mimpin perusahaan).
Bagi saya, dan saya yakin juga bagi sebagian besar kaum pluralis, contoh kecil tentang adanya pemimpinpemimpin yang berbeda dengan berbagai kepentingan yang juga berbeda ini cukup memperlihatkan bahwa tidak ada elite penguasa yang se ragam di lembah tersebut. Bagi Gaventa, kita tahu, perbe daanperbedaan tersebut tidak memadai. Gaventa terlalu ba nyak menuntut: baginya, apa yang terjadi tampaknya adalah bahwa kecuali jika terdapat seorang pemimpin yang memimpin para penambang untuk memberontak demi membalikkan sis tem ekonomi, kita tidak bisa berkata bahwa tidak ada yang disebut sebagai elite berkuasa yang seragam.
***
Sekarang tentang ketidakaktifan dalam kondisi ketidakse taraan. Dalam penjelasan di bukunya, Gaventa tidak mem beri penjelasan secara khusus jenis tindakan apa yang diper lukan untuk memecahkan persoalan ketidaksetaraan terse but. Di beberapa bagian buku itu kita medapatkan kesan bahwa apa yangiamaksuddengantindakanyangsignifikanuntukmeng
123
MEMBELA KAUM PLURALIS
ubah kondisi ketidaksetaraan adalah pemberontakan besar besaran untuk mengganti struktur produksi industrialkapitalis tersebut.
apakah memadai jika menyimpulkan bahwa karena jenis pemberontakan tersebut tidak ada, orangorang dengan demi ki an tunduk begitu saja dan tidakaktif? Jawabannya bergantung pada konsepsi kita tentang sebab ketidaksetaraan dan bentuk tindakan yang yang bisa memecahkan masalah itu. andaikan bah wa seseorang tidak memiliki kebencian Gaventa terhadap kaum kapitalis industri, andaikan bahwa seseorang percaya bah wa kapitalisme industri tidak niscaya jahat dan bukan me rupakan sumber ketidaksetaraan di lembah tersebut (keyakinan ini, menurut saya, masih harus dibuktikan secara empiris da lam kasuskasus tertentu di wilayah itu), keseluruhan struktur argumen Gaventa tentang tindakan dan nontindakan tersebut akan sangat kurang bisa dipertahankan.
Orang bisa saja percaya bahwa tanpa pemberontakan ter hadap keseluruhan struktur kapitalisme industri tersebut, re formasireformasi bertahap mungkin dilakukan dalam ma syarakatmasyarakat kapitalis, lokal atau nasional. Di sini tin dakantindakan “sederhana” seperti pemungutan suara, pe mi lihan para pemimpin lokal, dan penguatan pemerintahan lo kal dianggap berkaitan, secara tidak langsung (yakni tidak de terministik), dengan proses reformasi bertahap tersebut.
Gaventa tidak memberikan bukti apapun bahwa orang orang tidak memilih apa yang mereka anggap sebagai para wa kil mereka dalam organisasiorganisasi lokal (apa yang tam paknya diandaikan Gaventa adalah bahwa orangorang salah me milih karena mereka “ditipu” oleh para elite penguasa). Da lam hal ini, kaum pluralis berargumen bahwa karena orang orang tersebut benarbenar memberikan suara mereka, dan ka rena para elite penguasa tidak seragam, sistem politik terse but tidak mandek karena kepasifan. Mereka mungkin memilih
BAB I: INDIvIDUALISME DAN UTOPIA
124
para pemimpin yang salah, atau menanggapi isuisu yang sa lah—namun hal ini tidak berarti bahwa mereka tidak aktif atau sematamata tunduk pada kondisi ketidaksetaraan tersebut. Selain itu, hal ini juga tidak berarti bahwa, jika ketidaksetaraan tersebut terus terjadi, tindakantindakan politik “sederhana” itu (misalnya pemungutan suara, pemilihan para pemimpin lokal) harus dianggap sebagai tindakantindakan “salah” yang dida sarkan pada kesadaran yang salah. Seperti telah saya per lihatkan di atas, bagi kaum pluralis, tindakantindakan politik tidak niscaya berkaitan dengan hasilhasil kebijakan di wilayah ekonomi.
Kasus terkuat yang disajikan Gaventa untuk menyangkal kaum pluralis adalah penjelasannya bahwa karena terdapat ma nipulasi kekuasaan yang begitu besar dan sistematis yang dila kukan praktis oleh semua elite lokal dan nasional, orangorang di lembah tersebut tidak dapat berpikir atau bertindak “secara tepat” sesuai dengan “kepentingan terbaik” mereka. Kekuasaan ber fungsi untuk memanipulasi kekuasaan: rakyat dengan de mikian dibiarkan tak berdaya, lemah, tunduk.
Sekali lagi, jika benar, penjelasan ini merupakan suatu pu kulan berat bagi kaum pluralis, karena tidak ada pertimbangan “rasional” yang bisa dilakukan dalam kondisi manipulasi ke kuasa an yang begitu besar dan sistematis (tidak ada, misalnya, pilihanpilihanalternatifyangsignifikanbagirakyatuntukber pikir). Namun di sini kita harus sangat berhatihati. Menuduh se seorang melakukan suatu manipulasi kekuasaan yang begitu besar dan sistematis merupakan suatu hal besar. Bagaimana Gaventa menopang tuduhan ini?
Gaventa percaya bahwa sekolahsekolah lokal (lembaga yang oleh kaum pluralis dianggap sebagai salah satu lembaga pa ling penting guna meningkatkan kemampuan manusia dalam memilih apa yang terbaik bagi diri mereka) me ru pakan salah satu alat kontrol dan manipulasi oleh para elite in dustri. Namun
125
MEMBELA KAUM PLURALIS
sangat aneh bahwa dalam menyajikan salah satu kasusnya yang mungkin terkuat, Gaventa samasekali tidak menjelaskan dengan cara apa kita harus melihat dan memahami proses manipulasi dalam sekolahsekolah ini. apa yang ia ka takan hanyalah bahwa sekolahsekolah dikontrol dan dimanipulasi karena sangat sering eliteelite industri meng ang kat para guru dan membayar pemeliharaan bangunganba ngunan sekolah. Jika kita setuju dengan jenis argumen sim plistik ini, kita harus percaya bahwa pada dasarnya semua pro fesor di universitas ame rika tidak mampu berpikir kritis ter hadap kapitalisme in dustri atau negara yang didasarkan pa da ekonomi kapitalis.
Contohcontoh lain juga menarik. Para pemimpin liberal yang, seperti telah saya katakan sebelumnya, ingin men du kung perjuangan untuk menegakkan kebebasan berekspresi di lembah tersebut oleh Gaventa dianggap sebagai bagian dari para elite konspiratif yang memanipulasi rakyat. alasannya: perjuangan untuk menegakkan kebebasan berekspresi tersebut me nyimpangkan perhatian rakyat dari persoalanpersoalan “riil”. Namun bagaimana kita bisa memahami apa itu persoalan persoalan “riil” rakyat tanpa pertamatama memberi mereka kebe basan untuk mengungkapkan kehendak mereka? Di sini Gaventa tampak tidak memahami pelajaran besar yang bisa am bil dari sejarah despotisme—persoalanpersoalan “riil” rak yat sangat sering dimanfaatkan oleh para despot untuk me mak sa rakyat untuk tidak mengungkapkan kehendak mereka.
Para pemimpin dan aktivis serikat buruh juga dituduh mani pulatif, kali ini karena alasan yang berbeda. Gaventa meng akui bahwa sejak 1930an hingga 1960an, dengan dibantu oleh para pemimpin serikat buruh, terjadi peningkatan kea manan kerja, upah, tunjangan pensiun, dan sistem kesehatan pe kerja. Namun bagi Gaventa ini semua hanyalah “pencapaian pen capaian pragmatis” yang hanya meningkatkan “kepatuhan buta” para pekerja.
BAB I: INDIvIDUALISME DAN UTOPIA
126
Namun apa itu “pencapaianpencapaian pragmatis”? Bagi Gaventa hal ini harus dilawankan dengan “pencapaianpen capaian substantif”. Masalahnya adalah mengapa pening katan dalam jaminan kesehatan, tunjangan pensiun, upah, dan ke aman an kerja tersebut dianggap hanya sebagai sesuatu yang prag matis, bukan substansial? apakah merupakan keputusan yang salah bagi para pekerja untuk memilih tunjangan pensiun yang lebih baik dan tempat kerja yang lebih aman? Menurut saya, di sini Gaventa telah bergerak terlalu jauh. Ia terlalu mem beri penekanan pada suatu gagasan abstrak (pemberontakan? Penghapusan struktur kapitalis?) sehingga halhal yang sangat penting dalam kehidupan para pekerja hanya dilihat sebagai sesuatu yang “pragmatis”, dengan nada peyoratif. Para pe mim pin serikat buruh tersebut, ketimbang dituduh melakukan ma nipulasi, seharusnya dilihat sebagai orangorang yang ber hasil mendukung perjuangan para pekerja untuk mendapatkan ke hidupan yang lebih baik.
Dengan menyajikan contohcontoh ini saya tidak berarti mengatakan bahwa tidak ada manipulasi kekuasaan di lembah tersebut. apa yang sedang saya kemukakan adalah bahwa Gaventa tampak terlalu mudah melancarkan pukulannya. Itu bukan cara yang baik dalam menyajikan suatu masalah yang kuat. Semua ini menjadikan kita yakin bahwa jika terdapat manipulasi kekuasaan, maka hal itu tidak akan sesistematis sebagaimana yang dikatakan Gaventa.
Masalahnya sekarang adalah: kapan kita dapat berkata bah wa manipulasi kekuasaan sedemikian besar sehingga orangorang menjadi tidak mampu membuat keputusankeputusan yang baik bagi diri mereka? Kapan kita dapat berkata bahwa ka rena tingkat manipulasi yang sedemikian besar tersebut, ke pu tus an apapun yang dibuat orang merupakan keputusan yang “salah”?
Saya harus mengakui bahwa saya masih harus mengkaji jawaban bagi pertanyaanpertanyaan ini. Namun ada satu hal
127
MEMBELA KAUM PLURALIS
yang jelas bagi saya: bagi kaum pluralis, keputusan orang orang untuk menjadi lebih setia kepada para pemimpin serikat buruh yang membantu mereka mendapatkan upah dan jaminan kesehatan yang lebih baik tersebut, dan kenyataan bahwa pada dasarnya terdapat kelompok elite yang berbedabeda di lembah tersebut, menunjukkan bahwa posisi teoretis mereka masih ha rus diperlihatkan sebagai posisi yang salah.
Daftar Rujukan
1. Gaventa, John, Power and Powerlessness, university of Illinois Press, 1980.
2. Cox, Furlong, dan Page, Power in Capitalist Society, St. Martin Press, 1985.
3. Ricci, David M., community power and Democratic
the-ory, Random house, 1971.
4. Schumpeter, Joseph, capitalism, Socialism, and
Democ-racy, harper, 1950.
5. Dahl, Robert, Who Govern?, yale university Press, 1961. 6. Goldman, Eric F., rendevouz with Destiny, Vintage Books,