• Tidak ada hasil yang ditemukan

INDIVIDuaLISME SERING dianggap sesuatu yang negatif, yang di sejajarkan dengan egoisme (sikap egois) atau egosentrisme. Orang yang dianggap individualistik biasanya orang itu diang­ gap hanya memikirkan dirinya sendiri, bahkan seraya otomatis di anggap melanggar hak­hak masyarakat.

Konsepsi terhadap paham penting ini memang sering di sa­ lah pahami. Padahal, sebenarnya paham ini sangat sederhana. Ia mengakui fakta yang alamiah bahwa setiap manusia dalam me mandang dunia di sekitarnya selalu memakai kacamata atau persepsi dirinya sendiri. tidak ada orang yang mencoba melihat dunia ini lewat pikiran dan mata orang lain—selain karena me­ mang­tidak­mungkin­demikian­berdasarkan­bangunan­fisik­ma­ nu sia.

ada sebuah contoh gampang yang pernah diberikan oleh adam Smith, pemikir ekonomi yang dianggap sebagai ”Bapak Ka pitalisme”. Coba lihat, kata Smith, kalau misalnya ada seribu orang mati di Cina, anda yang di Inggris mungkin malam itu bisa tidur lelap. tapi coba jika pada saat yang sama jari ke ling­ king anda tergores sedikit dan kemudian memar atau bernanah. Ma ka rasa sakit itu mungkin akan membuat anda semalaman ti dak bisa tidur karena memikirkan jari kelingking anda itu.

BAB I: INDIvIDUALISME DAN UTOPIA

48

atau misalnya anda diberi pilihan yang ekstrem: kalau an­ da disuruh memilih antara kehilangan jari kelingking anda besok pagi karena dipotong atau dua puluh orang meninggal di Cina. Mana yang akan anda selamatkan: kelingking anda atau nyawa dua puluh orang itu? Mungkin anda relakan ke ling­ king anda. tapi dilemanya: anda berpikir tentang sakitnya kelingking anda itu. Nah, itu berarti anda tidak salah me mi kir­ kan kelingking anda. Karena bagaimanapun manusia harus berpikir, dia harus melalui bangunan dirinya.

Individualisme sebagai sebuah paham sebenarnya mulai dari fakta sederhana itu. Dia tidak ingin mengingkarinya de­ ngan berkata bahwa, “Lupakan dirimu atau jangan pikirkan di rimu, tapi pikirkan masyarakat yang lebih besar.” Memikirkan diri sendiri itu jangan disamakan dengan egoisme. Jadi yang bisa dilakukan bahwa dalam melihat masalah dan dilema­di le­ ma masyarakat, jangan ingkari kepentingan individu; jangan ing kari cara berpikir masing­masing individu dalam melihat per soalan dan kepentingannya.

Saya pernah memberi contoh sederhana tentang Siti Nurbaya, yang dipaksa oleh ayahnya untuk kawin dengan lelaki yang bukan pilihannya, Datuk Maringgih. Sang ayah bisa bilang bahwa perjodohan paksa tersebut untuk kepentingan keluarga, padahal kita tahu itu demi penyelesaian utang­piutang. tetapi apapun alasan di luar Siti Nurbaya, pemaksaan itu sebenarnya tidak mengakui individu sang anak yang boleh memilih bagi di rinya sendiri. Jadi individualisme itu bukan berarti seseorang harus egosentris. Itu sekadar pengakuan bahwa manusia dalam melihat persoalan tidak melalui kacamata orang lain.

Dan hal itu tidak berarti harus bertentangan dengan ma­ sya rakat. Justru masyarakat akan sangat beruntung jika indi­ vidu­individu yang ada di dalamnya, yang membentuk ma sya­ ra kat itu adalah individu­individu yang matang, dewasa, yang mampu memilih bagi dirinya sendiri. Masyarakat semacam

49

INDIvIDU DAN MASyARAKAT

itulah sebenarnya yang terbaik. Bukan masyarakat yang diko­ mando oleh seseorang—bisa ayah, paman, pemimpin politik, pe mimpin agama atau apapun—yang memaksakan kehendak bagi individu­individu dalam proses beragam pilihan dalam ke­ hi dupan.

Dalam ungkapan lain, dalam konteks masyarakat, paham individualisme itu menekankan bahwa hendaknya individu atau hak­hak individu itu dipertimbangkan atau dijamin, bukan digerus atau dikalahkan oleh apa yang disebut kepentingan umum. Dalam bangunan tata masyarakat modern dan demo­ kra tis, biasanya yang disebut kepentingan paling dasar individu­ individu itu dijamin pada bab­bab konstitusi. Selalu begitu. Jadi, apa saja yang tidak boleh dipaksa oleh umum dijelaskan garisnya. Kita sebenarnya sudah menerimanya sejak 1945, de­ ngan Pasal 28 uuD, tapi kita masih ragu­ragu. Belum benar­ be nar clear-cut, atau secara tegas dan penuh. Dengan aman­ demen terhadap uuD 45 itu, kita sudah bersikap clear-cut, bah wa ada hak­hak dasar individu: hak bicara, hak untuk hi­ dup, hak untuk mencari kebahagiaan, life, liberty, and

happi-ness.­ Inilah­ definisi­ dasar­ tentang­ hak­hak­ individu­ itu,­ tidak­

bo leh dirampas oleh siapapun, termasuk oleh negara.

tetapi tentu saja selalu ada situasi ketika hak­hak ini un­ tuk sementara bisa ditangguhkan. Contoh yang paling klasik adalah: dalam sebuah bioskop yang gelap, anda tidak boleh ber teriak ”api!”, karena orang bisa kaget, panik, keluar bersa­ ma an, ada yang terinjak­injak dan mungkin mati. Jadi, kebe­ bas an itu bisa dibatasi jika kebebasan itu mengancam hidup orang lain. Inilah yang disebut John Stuart Mill sebagai a very

simple principle of liberty,­karena­dalam­filosofi­kebebasan­se­

lalu ada pertanyaan: di mana batasnya? Mill, pada pertengahan abad­ ke­19,­ memberikan­ definisi­ yang­ amat­ jelas­ dan­ sangat­ ter kenal, yaitu bahwa kebebasan individu berakhir manakala kebebasan itu mengancam hak hidup atau hak orang lain. Ini­

BAB I: INDIvIDUALISME DAN UTOPIA

50

lah prinsip dasarnya, meskipun penjabarannya sangat kompleks dan mengikuti perkembangan zaman.

Misalnya dalam soal merokok. tahun 1960­an tidak ada larangan merokok di ruangan, apalagi tahun 1950­an. Dalam po litik dulu ada istilah smoke-filled room—untuk menunjuk keputusan politik dilakukan dalam ruangan yang penuh asap rokok. Bayangkanlah amerika atau di Eropa di musim dingin, yang mengharuskan semua jendela ditutup. Dan semua orang di ruang­ruang rapat itu merokok, karena belum ada larangan. Baru pada 1970­an, terutama 1980­an, mulai ada aturan ten­ tang larangan merokok di ruangan tertutup. Lalu pada 1990­an larangan itu diperluas, meliputi restoran. tahun 2000­an di California, di bar pun orang tidak boleh merokok. Ini jelas pembatasan kebebasan.

tapi pembatasan itu diterima karena muncul teori ke dok­ teran yang baru: bahwa kalau anda merokok di ruang seperti itu, anda membahayakan hidup orang lain, sehingga kebebasan merokok harus dibatasi. Itu contoh yang paling gampang. tentu saja ada beberapa hal praktis tentang kebebasan yang masih diperselisihkan batas­batasnya, tetapi semua menerima prinsip umumnya, yakni bahwa kalau seseorang tidak memba ha yakan kehidupan orang lain, dia harus bebas memilih bagi dirinya.

Keberanian dalam hal memberi kebebasan pada individu, yang di banyak negara dijamin oleh konstitusi, sesungguhnya juga didasarkan pada asumsi atau pada kepercayaan bahwa manusia itu sebetulnya bisa atau cenderung berbuat baik. Kita, atau “Masyarakat timur”, dalam hal ini kadang bersikap am­ bivalen. Kita sering berkata bahwa kita percaya pada sifat baik dalam diri manusia, the goodness of people, of human being. tetapi kita tidak percaya bahwa mereka mampu memilih buat di rinya. Kita ingin ngatur hidup orang—gaya ber pa kai annya, gaya rambutnya. Jadi kita tidak percaya bahwa mereka bisa me nentukan pilihannya sendiri.

51

INDIvIDU DAN MASyARAKAT

Bahwa sekali atau dua kali mereka salah, itu lebih baik di anggap sebagai proses belajar ketimbang anda yang harus menentukan pilihan mereka, misalnya mereka harus pakai jilbab dan sebagainya. Padahal, dengan semangat

ngatur-nga-tur itu,­implikasinya­secara­filosofis,­kita­tidak­percaya­bahwa­

mereka mampu memilih buat dirinya sendiri; kita mau bilang, “tuhan sudah pilihkan a buat kamu, agama sudah pilihkan B buat kamu.” Kita mau limpahkan semua paket itu, sehingga yang tersisa pada individu hanyalah kepatuhan terhadap atur­ an­aturan yang ada. Kita mau patuh, tentu saja. Masyarakat yang individualis itu sebenarnya masyarakat yang patuh pada atur an yang dianggap masuk akal dan diputuskan secara ber­ sama. Di jalan mereka tertib pada aturan umum. Kita di sini mau kepatuhan, tapi pada saat kita harus patuh, kita sangat liar.

***

Dilihat dari sudut lain, antara motif individual dan ke pen­ tingan masyarakat itu juga sering terjadi ”keanehan”. Milton Friedman, pemenang Nobel Ekonomi 1978, pernah bilang bahwa biasanya kegiatan­kegiatan ekonomi itu dimulai dengan motif individual, motif pribadi, yang dalam perjalanannya ke­ mu dian menguntungkan orang banyak. Inilah yang sering ter­ jadi ketimbang sebaliknya: orang yang semula berpretensi atau berkata bahwa semua kegiatannya bukan buat dirinya sendiri me lainkan buat orang banyak, ternyata justru merugikan ma­ sya rakat; jadi, masyarakat yang diatasnamakan itu dirugikan, dan dia secara pribadi diuntungkan, diperkaya. Kasusnya yang ekstrem adalah korupsi. tapi di luar soal korupsi juga banyak ka sus semacam itu.

Dalam hal ini kita bisa melihat fakta yang tak terbantah bahwa di negeri­negeri yang paling kaya cenderung juga men­ jadi negeri­negeri yang paling bebas. Kebebasan dan kesejah­

BAB I: INDIvIDUALISME DAN UTOPIA

52

teraan ekonomi itu rupanya berhubungan. Penjelasannya ma­ cam­macam. Selain memakai penjelasan Friedman, kita juga bi sa menengok contoh yang paling klasik yang sudah diberikan adam Smith dua ratus tahun silam. Waktu itu dia bicara soal penjual roti. Dia bertanya, “Dari mana kita dapat roti setiap ha ri?” Dengan hanya lima sen, sangat gampang kita beli roti di pasar. Kalau kita melanggan di rumah, roti diantar ke rumah kita. Pendeknya kita dapat makan roti. apakah karena pedagang atau penjual roti ini mau menolong kita atau penjual roti itu sebenarnya mau mencari untung buat dirinya sendiri? ternyata penjual dan pemilik pabrik yang mengantar roti itu mencari ke untungan buat dirinya sendiri.

Nah, sistem ekonomi tersusun dari begitu banyak penjual, pencari, pedagang roti, dan macam­macam pedagang lainnya, dan semua ini mencari untung bagi dirinya sendiri, tetapi akibatnya ada suplai pada masyarakat. Kita dapat ini, kita jual itu; saling membeli dan saling menjual. Ketersediaan roti atau beras bagi masyarakat dengan demikian jadi tercukupi. Itulah yang disebut masyarakat yang interaksi ekonominya bebas. Setiap orang mencari untung bagi diri masing­masing. Dan dengan cara itu, kebutuhan semua orang ternyata tercukupi; se mua orang pun bahagia karena merasa dimudahkan.

Justru harus kita ragukan atau curigai kalau ada orang ber teriak­teriak, “hei, saya mengantarkan roti ini sebenarnya bukan untuk mencari untung! Saya mau kasih saja roti ini pa­ da kalian, hai para konsumenku.. Saya tidak mau untung. Saya mau rugi...” Orang itu pasti gila—atau setidak­tidaknya mu na­ fik.­ Dalam­ sejarah,­ ada­ sistem­ yang­ pernah­ mencoba­ cara­ itu­ de ngan berbagai variasi. ada sistem komunisme di Soviet, Ci­ na, Korea utara, Vietnam, dan Kuba.

Cara yang kemudian meluas ke sistem sosial dan politik itu kemudian runtuh semua, atau tetap terbelakang dibanding negeri­negeri lain. Di Cina, Mao dulu pernah bilang (adaptasi

53

INDIvIDU DAN MASyARAKAT

dari Lenin) bahwa kita harus menciptakan manusia­manusia baru. Sebelumnya, di Soviet, Lenin ingin menciptakan manusia­ manusia sosialis yang tidak memikirkan kepentingan dirinya, te tapi memikirkan kepentingan rakyat banyak, kaum buruh. Mereka lupa pada fakta dasar tentang manusia yang, menurut data­data biologis, sosio­bologis, sudah berumur lebih dari se­ juta tahun dalam bentuknya yang sudah mulai modern. Jadi, Mao, Lenin, dan orang­orang yang sealiran dengan mereka pasti tidak akan mampu mengubah manusia. tidak ada nama­ nya manusia baru itu.

Manusia adalah hasil evolusi panjang dengan karak te r­ istiknya sendiri, yang melihat manusia dengan kacamata di­ rinya, bukan diri orang lain. Maka sistem apapun yang dibangun tidak berdasarkan pandangan manusia yang benar dan realistis akan runtuh. Itulah yang dialami oleh sistem komunisme, ka­ re na pretensi mereka bukan cuma menciptakan sebuah sistem baru, tetapi pada fundamentalnya ingin menciptakan manusia baru dengan karakteristik baru. Manusia yang tidak memikirkan di rinya sendiri, tidak memikirkan anaknya, keluarganya, ba pak­ nya, melainkan memikirkan masyarakat sosialis. Karena itu di Cina, waktu Revolusi Kebudayaan, bapak, ibu, anak dipisah­ kan.

Ide itu sebenarnya mengikuti Plato. Dalam karya ma syhur­ nya, Republic, dia menyebut bahwa pendidikan terbaik yang ideal adalah jika anak dan ibu dipisahkan sejak awal, karena ini akan menumbuhkan pikiran­pikiran anak ber da sar kan ba­ kat­bakatnya. Ini masyarakat idealis­utopis. Jadi ini yang di­ ulang dalam bentuk baru oleh Lenin di Rusia, Mao di Cina, Pol Pot di Kamboja. Mereka mau mencetak anak­anak so sialis baru. Itu sebabnya sejak kecil, setiap bangun tidur, me reka di­ ha ruskan baca Buku Merah, kitabsuci Mao.

yang terjadi adalah tragedi kemanusiaan yang amat dah­ syat. Proses di Cina itu memakan korban puluhan juta jiwa

BAB I: INDIvIDUALISME DAN UTOPIA

54

yang kelaparan. Sistem pertanian Cina samasekali ambruk. Kolek tivisme runtuh, dan baru mulai diperbaiki kembali oleh Deng Xiao Ping, pada 1978. hasilnya sekarang cukup me nak­ jubkan, sebagai keberlanjutan dari semakin terbukanya ke be­ basan ekonomi di Cina, belum politik. Jadi kolektivisme di balik­ kan dan elemen­elemen liberalisme diperkenalkan. Sejak be be rapa belas tahun lalu, ekonomi Cina tumbuh dua digit, 11, 12, 13 persen setahun.

Di sisi lain, sistem Soviet hanya bertahan 70 tahun, jika kita hitung dari Revolusi Bolshevik 1917. Sangat singkat. Ban­ dingkanlah misalnya dengan amerika Serikat yang sudah ber­ usia 200­an tahun—tak perlulah kita bandingkan dengan Ing­ gris yang sudah terlalu lama. Jadi kemenangan sistem yang percaya pada kebebasan itu juga karena ia cocok dengan watak ma­nusia,­dan­juga­fleksibel­terhadap­perubahan.­Kuncinya­ada­ lah karena pada dasarnya keputusan diambil oleh begitu ba­ nyak individu. Sementara pada sistem komunisme, yang meng­ ambil keputusan adalah sekretariat jenderal partai (politbiro), yang hanya terdiri atas 50­an orang. Bandingkan dengan sistem pasar, di mana di dalamnya begitu banyak pedagang, penjual, dan pembeli sama­sama memutuskan yang mana paling meng­ un tungkan.

ada jutaan orang setiap hari mengambil keputusan; jutaan ke putusan berdasarkan kepentingan diri masing­masing. Dan pa radoksnya lagi, sistem yang sangat bebas ini justru yang sa­ ngat­teratur.­Ia­dinamis,­fleksibel,­cepat.­Dan­seperti­yang­di­ka­ ta­kan­Friedrich­Hayek,­seorang­filsuf­asal­Austria­yang­pernah­ men dapat hadiah Nobel Ekonomi, sebenarnya kepentingan diri yang dicerminkan oleh harga yang mau kita bayar itulah yang akhirnya membuat sistem yang luarbiasa, yang di dalam nya jutaan orang berinteraksi tanpa saling mengenal.

Sistem yang liberal itu tak perlu dikhawatirkan bakal me­ nimbulkan kekacauan. Sebab yang terjadi adalah ”kekacauan

55

INDIvIDU DAN MASyARAKAT

yang kreatif” atau situasi dinamis yang sangat kreatif (a very

creative and dynamic situation). Lihatlah ekonomi amerika

atau hongkong yang begitu dinamis, tetapi begitu cepat men ja­ min kesejahteraan rakyat. Dalam hal ini ada satu elemen yang membuat perdagangan juga penting dari segi moral dan segi ke budayaan. Ini sudah dikatakan dua abad yang lalu oleh Montesquieu,­seorang­pemikir­Prancis.­

Dulu orang menganggap bahwa perdagangan itu membuat orang serakah, materialistis, dan sebagainya. tetapi, kata Montesquieu,­ sebelum­ tumbuhnya­ sistem­ perdagangan­ atau­ pertukaran modern, yang terjadi justru adalah perang suku, pe­ rang etnis, perang agama. Orang jadi terkucil oleh perbe daan­ perbedaan yang bersifat nilai dan keyakinan. tetapi di pasar, di mana ada penjual dan pembeli, yang penting harganya co­ cok. Entah penjualnya orang arab, yahudi, atau Cina, kalau har ganya cocok kita beli. artinya, sebagai sistem, pertukar­ an yang didasarkan pada kepentingan tersebut sebenarnya membuat manusia menghilangkan prasangka. Jadi kalau mo­ del pertukaran ini menjelma menjadi sistem sosial, atau me­ no pang sis tem sosial, maka pada dirinya sendiri sistem ini ti dak mengan dung bias prejudice, yang telah turun­temurun di warisi oleh masyarakat manusia. Itulah salah satu pengaruh pen ting sis tem pertukaran yang kita sebut sebagai perdagangan modern.

Di dalam kehidupan ini memang ada banyak elemen. Kita juga tidak bisa berkata bahwa sistem pertukaran ini akan me­ rem bes ke mana­mana, ke semua aspek kehidupan. Orang ma­ sih kembali ke agama, etnik, daerah, bahkan ada yang di sebut sebagai nation state. Ini semua bercampur­aduk. tetapi yang ingin saya tegaskan di sini adalah bahwa kita ingin melihat in dividualisme dalam berbagai macam manifestasinya. Kita ti­ dak bisa dengan sederhana berkata bahwa individualisme itu anti­masyarakat, anti­kepentingan umum atau egois. Ini sebuah

BAB I: INDIvIDUALISME DAN UTOPIA

56

pa ham modern yang menurut saya menjadi salah satu dasar dari suksesnya masyarakat modern. Jadi janganlah paham ini di pandang secara sangat simplistis. Ia berhubungan dengan ber bagai macam hal dan justru menjadi salah satu kekuatan konstruktif yang progresif dalam kebudayaan dan kehidupan masyarakat modern.

Kita kemudian teringat pada Francis Fukuyama, yang bi­ lang bahwa sejarah sudah berakhir. tentu yang dia maksud bu kan sejarah dalam arti kronologis, tapi sejarah dalam arti per tarungan gagasan, antara sistem demokrasi liberal dengan ko munisme. Dengan runtuhnya komunisme, maka demokrasi li beral—yang merupakan abstraksi atau perluasan paham in­ dividualisme—menjadi pemenang, dan sejarah berakhir. Ide Fukuyama ini memang masih terlalu abstrak. tapi pada da sar­ nya dia ingin berkata bahwa pada akhirnya sistem ma sya ra kat yang ingin kita buat, setelah berputar ke mana­mana dan me­ la kukan macam­macam percobaan, akhirnya membuat kita kem bali ke kearifan lama yang benar, yang kebetulan dia na­ makan kapitalisme­liberal. Dasarnya adalah penghargaan pada ke daulatan individu, pada kebebasan masing­masing orang un­ tuk memilih. Kalau anda pakai paham itu, anda bikin sistem itu, tentu namanya kapitalisme­liberal, tidak bisa lain.

Mereka yang hidup dalam sistem itu punya kebebasan, pu­ nya kehendak untuk bebas. Itulah yang menjadi motor per­ ubahan. Ke sanalah arah sejarah. Masyarakat yang masih me­ ma kai sistem yang di dalamnya ada perbudakan, misalnya, suat u saat akan hilang. Budak­budak itu akan merdeka. Mereka akan merdeka, dalam arti akan menentukan kehendaknya sen­ diri, menjadi tuan bagi dirinya sendiri.

Itulah yang dikatakan Fukuyama. Dan kita sulit menyebut bah wa dia keliru.