“Manusia terlahir bebas, dan di mana pun ia terkekang... Bagaimana hal ini bisa terjadi? Saya tidak tahu. apa yang bisa menjadikan hal ini sah? Saya yakin saya bisa menjawab pertanyaan ini.”
INI aDaLah KaLIMat PEMBuKa The Social Contract karya Rousseau. Dengan kalimatkalimat tersebut JeanJacques Rousseau mengajukan pertanyaan politik yang paling radikal dan mengandaikan bahwa semua rezim politik yang ada tidak sah. Kalimatkalimat tersebut merupakan pertanyaan paling modern di masa Rousseau. Pernyataan itu adalah pedang yang memenggal otoritas kekuasaan tradisional.
Voltaire mengecam tuhan. Rousseau mendelegitimasi para penguasa. Para philosophers (Diderot, Voltaire) mengingin kan reformasi, Rousseau menginginkan revolusi. Ia mengan jurkan “suatu bentuk asosiasi” di mana tiaptiap anggotanya se pe nuh nya menyerahkan dirinya pada komunitas itu, dan pa da saat yang sama hanya menaati dirinya sendiri dan tetap be bas serta otentik—paradoksnya yang terkenal adalah: “tiaptiap orang menyerahkan dirinya kepada semua [orang], tidak me nyerahkan dirinya kepada siapapun.” Ia menganggap masyarakat sipil
111
KONTRAK SOSIAL: PEDANG ROUSSEAU
mem perbudak individu. “Bentuk asosiasinya”, atau kontrak sosialnya, dengan demikian merupakan suatu penyelamatan po litik yang sepenuhnya menyelesaikan konflik antara individu dan masyarakat, atau warganegara yang bebas dan negara. Ba ginya, hanya dalam asosiasi ini manusia dapat benarbenar mendapatkan kebebasan sipilnya. Di sini manusia diubah dari sematamata seekor “binatang yang terbatas dan bodoh” men jadi sesosok “makhluk yang cerdas dan bermoral”.
Namun jenis asosiasi baru apa yang ditawarkan Rousseau? Jawaban dari pertanyaan ini sangat ambigu. Saya cenderung ber pikir bahwa, seperti yang akan saya tunjukkan nanti, kon sekuensikonsekuensi pemikirannya dalam Social Contract cenderung totalitarian. Ia mengganti otoritas tatanan lama de ngan sebuah komunitas politik baru yang totalitarian. Memang, seperti yang dikemukakan Robert Nisbet (1973), Rousseau membebaskan manusia dari masyarakat lama dan korup—na mun dalam melakukan hal ini ia menem patkan m a nusia di ba wah kungkungan sebuah negara yang sangat kuat dan mung kin tak terbatas. Dengan kata lain, “ben tuk aso siasi nya” tersebut me rupakan suatu format politik di mana seorang raja baru dan modern, tanpa banyak rintangan dari masingmasing wargane gara, dapat dengan mudah menya lahgunakan kekuasa an politik atas nama kehendak umum. Rousseau tidak memberi perlin dungan pribadi atau individual terhadap ke ma ha kuasaan ke kuasa an politik tersebut. Dalam pengertian ini, bukan tidak ber dasar untuk setuju dengan Sir henry Sumner Maine (1886) bahwa kehendak umum Rousseau sebenarnya “tidak lebih da ri pada hak ilahiah lama sang raja dalam bentuk baru”.
tentu saja, bukan tanpa alasan untuk berpikir bahwa da lam beberapa hal Social Contract Rousseau memberikan dasar bagi sebuah komunitas politik yang lebih demokratis. Kita dapat menemukan aspek ini dalam argumennya tentang supre masi hukum. Bagi Rousseau, manusia bebas ketika ia mematuhi
BAB I: INDIvIDUALISME DAN UTOPIA
112
hukum, dan bukan manusia. Di sini hukum—dan bukan para elite yang berkuasa—adalah otoritas tertinggi. Dalam Letter
from the Mountain, yang dikutip oleh Sartori (1958), Rousseau
mengatakan, “Nasib kebebasan sama dengan nasib hu kum; ia hidup atau binasa bersamanya. hukum adalah pelak sanaan kehendak umum: hukum berasal dari rakyat, dari sema ngat rakyat.” Dengan demikian Rousseau telah bergeser dari tradisi hukum kodrat—ia berpindah dari ius naturale Grotius ke hukum yang disetujui oleh kehendak umum. hukum adalah rekaman kehendakkehendak rakyat; dan karena itu hu kum tidak pernah tidak adil, karena rakyat tidak pernah tidak adil kepada diri mereka sendiri. Di sini konsep modern tentang kesetaraan dalam hakhak hukum—yang merupakan salah satu syarat paling penting sebuah komunitas politik yang de mokratis—menemukan pengungkapannya yang paling kuat dan bernas.
Selain itu, Rousseau menghamparkan dasar bagi kedaulatan rakyat (atau lebih tepatnya kedaulatan massa). Kekuasaan po litik yang sah baginya merupakan turunan dari keinginan rakyat. Dan keinginan rakyat, seperti hukum, tidak bisa salah. Ka rena itu, apa yang diperlukan adalah suatu pengungkapan diri umum (yang dalam konsepsi modern harus dipahami se bagai pemilihan umum atau revolusi) untuk menguak keinginan rakyat yang sebenarnya. Dengan populisme romatik ini, Rousseau, seperti saya katakan di atas, mendelegitimasi raja dan rezimrezim lama—dan karena itu membantu memper siapkan basis filosofis bagi revolusi masa depan. Dengan kata lain, Rousseau memberikan pedang kepada massa untuk meng hancurkan singgasana raja absolut mereka.
Namun, semua ini tidak menghilangkan kolektivisme ro mantik dalam Contract Social, yang dengan mudah dapat mem benarkan kekuasaan sosial dan politik totalitarian. hal ini da pat ditemukan jika kita mengkaji secara teliti penjelasan
113
KONTRAK SOSIAL: PEDANG ROUSSEAU
Rousseau tentang konsep dia yang terpenting, yakni kehendak umum. Bagi Rousseau, kehendak umum bukanlah jumlah ke hen dak individu, atau kehendak mayoritas, atau kehendak se mua (omnes ut singuli). Ia adalah kehendak intensi umum (omnes ut universi), yang hanya dapat disingkapkan jika tiap tiap individu mengasingkan dirinya dari orang lain (berlaku se perti atom dalam masyarakat) dan menyisihkan semua ke pentingan pribadinya. Kehendak umum tersebut adalah suatu kualitas tersembunyi—ia adalah suatu kebenaran Platonik yang memiliki eksistensi obyektifnya sendiri. Setelah kehendak umum itu ditemukan, diejawantahkan, melalui “suara hati yang mur ni”, ia menjadi berdaulat. Lebih jauh, yang berdaulat ini utuh, tak dapat dihilangkan, dan tidak bisa diwakili oleh organ badan politik apapun. Setiap orang dengan demikian harus sepe nuhnya tunduk pada yang berdaulat ini. Dan siapapun yang menolak untuk mematuhinya harus dipaksa untuk me la kukan hal itu oleh seluruh badan politik—di sini orang tersebut hanya “dipaksa untuk menjadi bebas”, karena pengejawantahan kehendak umum tersebut merupakan satusatunya penye la matan politik bagi manusia terhadap kebebasannya.
Kini, kita harus mengajukan beberapa pertanyaan seder hana: bagaimana kita mengetahui kehendak umum itu—jika orangorang mengungkapkan opini mereka tentang beberapa persoalan umum? Bagaimana kita yakin bahwa hal itu adalah ke hendak sejati mereka, dan bukan kehendak para demagog yang meyakinkan orangorang apa dan bagaimana berpikir? Ba gaimana kita tahu bahwa rakyat mengungkapkan kehendak mereka dengan “kesadaran murni” mereka? terhadap perta nyaanpertanyaan ini, penjelasanpenjelasan Rousseau kurang memadai dan tidak jelas. Kita mungkin dapat menemukan ja waban utamanya dari kalimat penting ini: “Kita selalu meng inginkan apa yang baik bagi kita, namun kita tidak selalu me ngetahui apa itu.” Jadi, untuk membantu menemukan “hal
BAB I: INDIvIDUALISME DAN UTOPIA
114
yang baik bagi kita” ini Rousseau kemudian menoleh ke pem buat undangundang, yang akan menemukan hal yang “baik bagi kita” (kehendak umum) tersebut. Lebih jauh, pembuat undangundang itu juga akan “menciptakan suatu jenis manusia baru, seorang makhluk yang murni politik, tanpa suatu kepen tingan dan loyalitas apapun” bagi diri individual dan asosiasi pribadinya selain bagi komunitas politiknya.
Pendek kata, jawaban Rousseau bukan hanya kontradiktif, namun juga malah membenarkan peran sebuah kelompok suatu komunitas politik untuk bertindak seperti penemu sejati kebenaran, yang akan menghancurkan wilayah kehidupan in divi dual dan pribadi, dan menjadikan seluruh rakyat tunduk hanya pada satu entitas politik kolektif. Dengan demikian, Rousseau membuka kemungkinan untuk membenarkan seorang despot dan tiran totalitarian yang mengklaim bahwa mereka adalah perwujudan kehendak umum tersebut, atau bahwa diri merekalah yang tahu apa yang diinginkan rakyat. Despot dan tiran ini mungkin menghancurkan setiap individu yang me nentang mereka tanpa rasa bersalah.
Selain itu, Rousseau, seperti yang dikemukakan J.L. talmon (1955), gagal melihat bahwa sebuah kehendak sangat mung kin tiranik, “sekalipun diinginkan oleh semuanya, dan bahwa akan sama jahatnya bagi yang berdaulat untuk diperintah secara tiranik oleh ‘dirinya sendiri’ ataupun oleh pihak lain”. Dalam kasus ini, setiap individu akan menjadi tiran maupun bu dak. Rakyat bisa bodoh terhadap diri mereka sendiri, jika bukan terhadap orangorang lain. Opini rakyat bisa salah, de ngan berbagai implikasi kejahatan (misalnya dalam eforia massa, dalam tekanan yang sangat besar, dalam perang, dll.). Stalin, dalam Perang Dunia II, dianggap oleh rakyat Rusia se bagai pahlawan nasional. hitler, di tahuntahun pertama Pe rang Dunia II, dipandang oleh rakyat Jerman sebagai seorang pe mimpin yang mengembalikan kebanggaan nasional mereka.
115
KONTRAK SOSIAL: PEDANG ROUSSEAU
Dan sekarang ini, Slobodan Milosevic dan Radovan Karadzic, para penjagal Serbia, dianggap oleh rakyat Serbia sebagai pe lin dung kehendak rakyat. Jika sebuah kelompok dari rakyat mem benci kelompok yang lain, kehendak umum Rousseau sangat mungkin menjadi suatu sarana bagi para pemimpin des potik untuk melakukan pembantaian massa.
Rousseau tidak bersikap kritis terhadap kekuasaan politik.
Contract Socialnya terlalu kuat bersandar pada negara (ko mu
nitas politik, bangunan politik) sebagai sumber kemajuan sosial dan moral. Penyelamatan politik suatu masyarakat sipil yang korup baginya hanya mungkin jika terjadi “suatu pe nye rahan absolut dari para individu, dengan semua hak dan ke kuat annya, kepada komunitas sebagai suatu keseluruhan”. Keya kinan total dan romantiknya terhadap kolektivitas meng han curkan kemungkinan pengakuan akan eksistensi kehidupan pribadi dan individual. Ia begitu tergetarkan oleh majelis publik Romawi, di mana kemauan publik berkuasa. Baginya, negara ha rus memaksa setiap individu untuk luluh dalam kemauan publik ini demi kebaikannya sendiri. Di sinilah Rousseau mem berikan jalan termudah bagi negara untuk melakukan kontrol totalitarian terhadap seluruh masyarakat.
Dalam hal ini Rousseau jelas sangat berbeda dari para filsuf liberal Inggris. Locke, misalnya, tidak banyak memberi peran kepada negara selain menjamin hak milik dan kehidupan rakyat. Dan hobbes, dengan kejelasannya yang brilian, me nya takan bahwa satusatunya tugas yang harus diemban ke kuasa an politik adalah menjaga ketertiban dan stabilitas ma sya rakat. Parafilsufinitidakbanyakmemberikekuasaankepadanegara untuk ikut campur dalam urusanurusan masyarakat sipil. Pen dekkata,tradisifilsafatkebebasanadalahsebuahtradisiskeptis isme terhadap politik. Rousseau, sebaliknya, mem buka suatu ha rapan baru terhadap negara dan politik untuk memainkan peran sebagai penggerak sejarah yang progresif. Pada dirinya
BAB I: INDIvIDUALISME DAN UTOPIA
116
sendiri mungkin tidak ada yang salah dengan ha rapan ini. Na mun, dalam kasus Rousseau, kita tidak dapat me ne mukan ja waban apapun tentang bagaimana kita harus me netapkan ba tas bagi kemahakuasaan negara dan politik di wi layah sosial dan politik. Baginya, negara—badan politik ter sebut—sepe nuh nya berkuasa.
JeanJacques Rousseau dengan demikian bukahlah ayah yang tidak sah dari totalitarianisme kiri dan kanan abad ke19 dan ke20. Memang, pedangnya menghancurkan para raja, sim bol otoritas tradisional—namun pedang itu juga memberi alasan bagi kaum revolusioner populis, atau bagi setiap despot, un tuk menjalankan teror dan penindasan atas nama kehendak umum.
Daftar Rujukan
1. Robert Nisbet, The Social Philosophers—Community and
conflict in Western thought, thomas Cromwell Comp.,
1973.
2. J.L. talmon, origins of totalitarian Democracy, Secker and Warburg, 1955.
3. Sir henry Sumner Maine, Popular Government, henry holt and Comp., 1886.
4. Giovanni Sartori, Democratic theory, Praeger, 1958. 5. JeanJacquesRousseau,"TheContractSocial",dalamJean
JacquesRousseau,The Basic Political Writings, diter je mah kan oleh D.a. Cress, hacket Publishing Comp., 1987.