Pikiran yang sama, yang telah menyebabkan timbulnya masalah, tidak mungkin kita gunakan untuk menyelesaikan masalah itu.
- Albert Einstein
nda telah memahami bahwa pikiran dan tubuh saling berkaitan melalui respons energi tubuh terhadap apa yang berlangsung dalam pikiran. Dan ketika pikiran anda cukup sering
membangkitkan respons kekacauan pada energi tubuh, anda harus cepat waspada mengenai hal itu, sebab itu berarti anda sedang menabung masalah bagi diri anda sendiri.
Oke, kita akan membicarakan nanti perihal bagaimana anda bisa
membuka diri terhadap segala kebaikan. Sekarang, mari kita membuat latihan sejenak. Silakan anda ambil pena dan kertas, cari tempat yang tenang untuk menulis, dan tuliskan apa saja kejadian buruk yang pernah anda alami sejak anda kecil hingga sekarang. Berapa banyak kejadian negatif yang bisa anda ingat dalam waktu satu jam? Apakah 50, 75, atau 100, atau lebih dari 100?
Kemudian lakukan sebaliknya. Dengan pena dan kertas anda, ingat-ingat dan tuliskan kejadian menyenangkan yang anda alami sejak anda kecil hingga hari ini. Berapa banyak yang bisa anda tuliskan dalam satu jam? Hanya 10, atau 20, atau 25, atau tidak sebanyak kejadian negatif yang telah anda tulis sebelumnya?
Pada umumnya orang lebih mudah mengingat-ingat kejadian buruk dan lebih susah mengingat kejadian-kejadian menyenangkan. Itu mengindikasikan bahwa pada dasarnya hal-hal negatif lebih melekat di dalam pikiran kita
dibandingkan dengan hal-hal positif. Di luar itu, pikiran kita juga pintar mengubah apa yang semula merupakan kejadian menyenangkan menjadi kenangan buruk beberapa waktu kemudian. Contoh untuk ini gampang kita dapatkan. Pada seseorang yang putus cinta, misalnya, segala peristiwa indah yang dulu ia alami bersama pacarnya kini menjadi kenangan buruk semata. Segala pengalaman menyenangkan tiba-tiba hanya berfungsi untuk
mengingatkan betapa malang dirinya, betapa menyebalkan bekas pacarnya itu, betapa brengseknya, betapa kebahagiaan telah dirampok dari dirinya, dan sebagainya.
Jika anda belum mengerjakan latihan di atas dan ingin terus melanjutkan membaca buku ini, lakukan sebebas yang anda inginkan. Hanya saya
mengingatkan bahwa nanti anda tetap perlu melakukan latihan itu, demi
mengetahui seberapa banyak hal yang harus dibereskan dengan prosedur EFT, dan seberapa banyak lagi yang harus dikuatkan.
Sekarang, ingat-ingat mungkin anda kenal satu atau dua orang di antara teman-teman anda yang memperlihatkan penampilan seolah-olah ia tidak
pernah mengalami kejadian yang menyenangkan sepanjang hidupnya. Anda bisa mengingat-ingat bagaimana orang-orang semacam ini menampilkan dirinya, memperlihatkan tarikan napasnya, dan memperdengarkan keluhan-keluhannya. Apa pendapat anda? Ya, ia tampak seperti sedang memikul seluruh penderitaan yang ada di muka bumi dan memang seluruh detail penampilannya menunjukkan itu. Dan terhadap orang seperti itu anda tidak mungkin memberi anjuran, misalnya, “Berpikirlah positif." Mereka mungkin akan membalas, setidaknya dalam hati, “Enak saja kau bicara begitu karena tidak mengalami sendiri apa yang kualami. Coba kau menjadi aku."
Seseorang yang hidup dengan memikul semua jenis penderitaan yang ada di muka bumi, setidaknya ia merasa begitu, tentu tidak mungkin kita minta untuk berpikir positif. Ia tidak tahu caranya. Yang ia bisa lakukan adalah terus-menerus memperbesar perasaan menderita dan secara permanen
menambahkan beban pada pikirannya sendiri sehingga apa yang ia pikul kian hari kian berat. Saya kira ia juara dunia dalam urusan memperparah dirinya sendiri. Ia mendapatkan medali emas karena prestasinya sebagai orang yang paling menyedihkan di dunia. Peribahasa "Sudah jatuh tertimpa tangga" sepertinya tidaklah cukup. Bagi para pemikul penderitaan, hidup adalah sesuatu yang lebih dari itu. Mungkin peribahasa bagi mereka bunyinya agak berbeda: "Sudah jatuh tertimpa tangga, lalu kecebur selokan, diserempet truk sampah, lalu masih pula ditagih utang, dan seterusnya."
Jadi bagaimana kita meminta orang yang merasa dirinya seperti itu agar selalu berpikir positif?
Pikiran Buruk: Virus Ganas yang Mudah Menular
Jika anda kenal orang-orang seperti itu dan anda tega menjauhi mereka, saya akan menyarankan agar anda jauhi saja mereka. Terdengar kejam? Apa boleh buat. Anda tidak bisa menyalahkan orang yang menyarankan agar anda menjauhi virus ganas.
Pikiran buruk, anda tahu, memiliki watak seperti virus ganas yang mudah menular dan menjalar ke mana-mana. Ketika anda bergaul dengan orang yang merasa dirinya memikul semua masalah, anda hanya akan disodori keluhan demi keluhan dan orang seperti itu diam-diam akan menyusupkan cara pandang negatifnya ke pikiran anda. Ia akan terus-menerus meminta anda mempercayai cara pandangnya melalui kebutuhannya untuk dipahami, diberi empati, dibenarkan bahwa hidup memang seperti yang apa dipikirkannya. Semakin dekat anda dengan orang seperti itu, anda akan semakin berusaha memahami semua hal tentang dia dan mungkin membenarkannya. Maka berhati-hatilah bahwa anda mungkin mengambil beberapa hal dari dia.
Hal yang sama tentu saja berlaku pada pikiran baik. Ia juga mudah menular, dan tentu saja tertular hal-hal yang baik adalah sesuatu yang patut disyukuri. Dengan pikiran yang senantiasa baik, anda akan terhindar dari tindakan memerangkap diri sendiri pada kungkungan emosi negatif.
Celakanya, konon orang lebih mudah tertular sesuatu yang buruk ketimbang yang baik. Itu juga tampaknya berkaitan dengan kecenderungan pikiran manusia yang lebih awet untuk menyimpan ingatan-ingatan buruk.
Saya kira anda sangat paham bahwa anjuran untuk mempertahankan pikiran-pikiran baik akan jauh lebih mudah diucapkan ketimbang dijalankan.
Dan pada kenyataannya kita sudah sering mendengar orang mengatakan, “Berpikirlah positif,” dan di rak-rak toko buku anda bisa menjumpai pelbagai judul buku yang mencoba meyakinkan anda perihal kekuatan berpikir positif. Namun urusannya sering tidak semudah itu. Sering ada pertentangan di dalam diri kita, yang berlangsung tanpa kita sadari, sehingga meski kita menyepakati anjuran semacam itu dan meyakini bahwa sebaiknya memang kita selalu berpikir positif, kita sendiri tidak pernah bisa sungguh-sungguh menjalankan anjuran yang sepele itu.
Itu sama halnya dengan kesadaran kita bahwa akan lebih baik sekiranya kita tidak menunda-nunda pekerjaan atau urusan selagi waktunya masih
longgar. Anda tahu itu anjuran yang baik, tetapi bukankah lebih banyak orang yang suka menunda-nunda pekerjaan meskipun ia tahu, dan mungkin sudah berkali-kali mengalami, betapa repotnya menyelesaikan pekerjaan ketika waktunya sangat mepet. Mungkin bahkan ia sudah berkali-kali berjanji pada diri sendiri untuk tidak melakukan penundaan, tetapi ia toh selalu pandai melupakan janjinya sendiri dan pada gilirannya kepepet-pepet lagi.
Jika setiap orang bisa dengan mudah mengikuti sebuah anjuran, tentu masalahnya menjadi sepele. Pada orang yang suka menunda-nunda, kita tinggal bilang, “Janganlah menunda-nunda. Selesaikan urusanmu selagi waktunya longgar.” Jika pikiran manusia bisa memproses dengan mudah setiap anjuran yang dianggap baik, tentu saja untuk segala masalah kita hanya perlu memberi nasihat dan urusan beres. Namun, sebagaimana komputer tidak bisa memproses data yang tidak dikenali oleh program-program yang terinstal padanya, otak kita tidak bisa memproses masukan yang tidak dikenali oleh
program-program yang kita instalkan kepadanya.
Jadi program apa yang anda instalkan ke dalam otak anda? Apakah program “memang sudah begini takdir saya”, atau program “tak ada yang
bisa dipercaya di dunia ini”, atau program “Kita hidup dalam kelimpahan setiap hari”? Dan apakah kita memilih sendiri program kita?
Komunikasi yang Buruk dan Implikasinya
Demi keadilan, karena ini hidup kita sendiri dan kita yang menjalaninya, mestinya kita memiliki hak sepenuhnya untuk memilih program terbaik bagi diri kita sendiri. Tetapi seringkali tidak demikian kenyataannya. Sering bukan kita sendiri saja yang menentukan program apa yang hendak kita masukkan ke dalam pikiran kita. Mula-mula orang tua kita yang memasukkan program mereka ke dalam pikiran kita. “Jangan nakal!” atau “Kalau kau ke jalanan, bakalan diculik orang”, “Jangan bicara dengan orang yang tidak dikenal”, dan sebagainya. Itu program-program awal yang mungkin kita terima saat kita kanak-kanak sebelum usia sekolah. Tujuannya? Tidak lain agar anda meyakini bahwa dunia di luar rumah anda adalah dunia yang tidak aman. Bahwa setiap orang tak dikenal adalah penculik. Apa kalau bukan itu?
Oke, mungkin apa yang ingin pesan yang ingin disampaikan oleh orang tua bukanlah itu, tetapi esensi komunikasi seringkali bukanlah pada apa yang disampaikan si penutur. Makna terpenting dari komunikasi adalah respons yang dikembangkan oleh si penerima pesan. Jika penerima pesan
mengembangkan respons takut pada dunia luar, maka tak ada yang bisa menyalahkan dia. Jika ia terus-menerus mempertahankan sikap curiganya
pada orang yang tidak dikenal, ia tidak keliru juga sebab ia hanya menjalankan program yang dimasukkan oleh orang tua ke dalam batok kepalanya.
Kesimpulannya, sejak sekarang berhati-hatilah pada kata-kata anda. Apa yang anda tuturkan akan membawa implikasi yang bisa sangat jauh dari apa yang anda maksudkan. Ketika anda menyampaikan sesuatu, orang lain tidak hanya menerima pesan yang tersurat, tetapi ia juga akan menerima pesan tersirat dari apa yang anda sampaikan.
Ketika akal kita semakin berkembang, dan pergaulan kita semakin meluas, semakin banyak pula pihak-pihak yang ikut menginstalkan program mereka ke otak kita. Mereka adalah teman-teman kita, tetangga kita, guru kita, dan sebagainya. Sementara orang tua terus berusaha mempertahankan
program yang mereka masukkan ke pikiran kita.
Seseorang yang berasal dari keluarga miskin, misalnya, mungkin akan sering diingatkan oleh orang tuanya, dengan berbagai cara, agar “Sebaiknya selalu becermin, siapa diri kita. Kita ini orang miskin, jangan ngelunjak, jangan berpikir muluk-muluk.” (Implikasinya, jika anda berasal dari keluarga miskin, maka jadilah orang miskin yang baik. Dan orang miskin yang baik tidak perlu memiliki pikiran atau keinginan yang muluk-muluk. Termasuk dalam kategori yang muluk-muluk ini saya kira adalah jika si anak memiliki keinginan untuk menjadi kaya, atau menyimpan keyakinan bahwa ia berhak kaya.)
Komunikasi yang tidak beres semacam ini juga merupakan faktor penyumbang bagi ketidaknyamanan diri kita. Implikasi buruk dari sebuah
pesan adalah satu hal. Masalah lain dalam komunikasi, yang berkontribusi besar bagi kerumitan hidup, adalah kesalahpahaman, ketidakmampuan
mengungkapkan diri, diabaikan, tidak diberi hak berpendapat, dan sebagainya. Itu semua akan menyebabkan kekacauan energi dalam tubuh kita dan
membangkitkan berbagai emosi negatif.
Berkaitan dengan masalah komunikasi ini, latihan kita selanjutnya adalah menuliskan segala “program buruk” yang terinstal di benak kita. Silakan anda mengingat sebanyak mungkin “program-program buruk” yang selama ini membuat anda bergerak ke arah yang serba keliru dan menjadikan anda tidak bisa berfungsi optimum. Itu semua nanti akan anda hapus dengan EFT dan anda bisa menggantinya dengan program baru yang terbaik menurut
keputusan anda sendiri.
Bagaimanapun anda berhak mendapatkan performa puncak anda. Dan sekarang anda memiliki EFT, sebuah alat bantu yang efektif untuk
mewujudkan apa yang anda harapkan terjadi pada diri anda. Apa pun keadaan anda sekarang, anda berhak menjadi manusia baru, sepenuhnya baru sesuai dengan gambaran terbaik yang bisa anda bayangkan.
Untuk itu kita akan melihat apa yang membuat seseorang lebih beruntung dibandingkan orang lain, lebih berprestasi dibandingkan orang lain, dan lebih bernasib baik dibandingkan orang lain. Sudah banyak pembahasan tentang ini, dan sudah banyak buku diterbitkan—termasuk The Secret yang sangat laris— untuk memberitahu kita tentang bagaimana mendatangkan hanya kebaikan di dalam kehidupan kita. Di sini saya hanya akan membahas yang sesuai dengan lingkup pembicaraan kita, yakni apa yang membuat seseorang lebih
berprestasi (dalam segala hal) dibandingkan orang lain, dari sudut pandang EFT.
Antara Juara dan Pecundang
Anda sering mendengar ada orang “bermental juara” dan ada orang yang bermental sebaliknya, meskipun saya jarang pernah mendengar ada
olahragawan yang selalu disebut-sebut memiliki mental pecundang. Dalam kompetisi di lapangan bulutangkis, misalnya, ketika dua orang saling
berhadapan di lapangan, keduanya memiliki kemampuan teknik dan kekuatan stamina yang berimbang, siapakah yang berhak memenangi pertandingan? Jawabannya mudah: ialah pebulutangkis yang bisa menjalani pertandingan di level tertinggi permainannya. Dan yang mampu melakukan hal itu, yakni tampil di level tertinggi keterampilannya, hanyalah orang yang rileks, yang berhasil membebaskan dirinya dari kungkungan emosi negatif yang
menghambat penampilannya.
Mungkin seseorang tampak sangat meyakinkan ketika latihan, tetapi di lapangan pertandingan, ia bisa saja kehilangan sebagian besar kehebatan yang dipertontonkannya pada saat latihan. Kita tahu bahwa ada atmosfer berbeda, ada tekanan berbeda, dan ada situasi berbeda yang dirasakan oleh seorang pemain ketika ia tampil pada sebuah pertandingan besar. Faktor-faktor itu tidak muncul dalam sesi latihan. Dalam sebuah pertandingan yang
menentukan, pebulutangkis itu mendengarkan sorak-sorai dan mungkin kekecewaan penonton yang memadati tempat duduk stadion. Itu mungkin membuatnya lekas gugup dan karena itu pukulannya menjadi tidak akurat; ia
mungkin merasa gampang panik ketika ketinggalan angka dan putus asa ketika ketinggalannya makin jauh; ia mungkin selalu merasa takut kalah, dan ia selalu merasakan bahwa di pertandingan resmi kakinya menjadi lebih berat dibandingkan di saat latihan, sebagainya.
Dalam pertandingan yang sesungguhnya, hambatan terbesar bagi
seseorang untuk bermain di level tertinggi adalah “urusan mental”. Di wilayah inilah EFT bekerja. Dengan menyingkirkan semua hambatan mental yang ada padanya, seseorang bisa dengan dengan rileks menjalani pertandingannya pada level terbaik miliknya. Ia bisa memukul tanpa hambatan mental yang menyebabkannya kehilangan akurasi; ia bisa melangkahkan kakinya dengan ringan sebagaimana yang ia tunjukkan pada saat latihan; ia bisa menunjukkan sikap rileks dalam situasi apa pun dan tidak pernah menunjukkan
keputusasaan—sebuah kualitas yang membuat kita memujinya sebagai orang yang bermental baja atau bermental juara.
Penting untuk diingat, meskipun dengan EFT kita bisa mengupayakan seorang atlet bermain di level tertinggi keterampilannya, tetapi EFT itu sendiri tidaklah mencetak juara. Level tertinggi keterampilan setiap orang berbeda-beda, dan itu tergantung dari bakat masing-masing orang, ketekunannya meningkatkan keterampilan, penguasaan teknis permainan, dan sebagainya. Anda tidak bisa mengembangkan keterampilan sekenanya dan berharap menjadi juara dengan penotokan EFT. Prosedur ini tidak mencetak seorang juara. Ia jelas tidak akan mengambil porsi yang di luar wilayahnya. Wilayah EFT sangat jelas: ia menjadikan orang berfungsi lebih optimum sehingga bisa tampil di level tertinggi keterampilan yang ia kuasai. Dan ia bekerja baik pada
atlet profesional maupun amatir atau bahkan atlet kelas kampungan. Pada tingkat keterampilan masing-masing, mereka akan bisa menampilkan level tertinggi mereka.
Contoh Kasus 1. Juara Lomba Pidato
Di tingkat “kecil-kecilan”, saya punya pengalaman menarik dengan anak saya, saat itu baru empat setengah tahun, ketika ia hendak mengikuti lomba berpidato bahasa Inggris yang diadakan oleh lembaga kursus tempat ia seminggu tiga kali belajar. Lomba dibuka untuk umum dan dua minggu sebelum lomba anak saya sudah memberitahu bahwa ia akan ikut. “Silakan,” kata saya.
Sebenarnya saya agak takut ia mengikuti lomba apa pun, karena ia pasti ingin menang dan mendapatkan hadiah. Saya tidak tahu apa jadinya jika ia kalah dan gagal mendapatkan hadiah. Bagaimana ia memahami kekalahannya jika itu terjadi? Bagaimana perasaannya ketika melihat teman-temannya menerima piala sementara ia tidak? Apakah pengalaman kalah di usia dini baik bagi dia nantinya? Apakah dia tidak memendam kekecewaan mendalam? Saya risau memikirkan itu semua, sementara anak saya tidak kunjung bisa menghafal kalimat wajib yang harus ia “pidatokan” di panggung.
“Coba kau pidato di depanku, Nak,” kata saya dua hari sebelum lomba. Ia tampak malu dan tidak mau membuka mulut. Saya
membujuknya beberapa kali agar ia mau berpidato di depan saya, tetapi tetap saja saya gagal. Apakah ia takut saya marah karena ia tidak hafal? Saya mulai mencurigai kemungkinan itu.
“Kau takut padaku?” tanya saya. Ia menggeleng.
“Kupikir tak ada masalah meskipun kau takut,” kata saya. Ia mulai agak rileks, tetapi masih belum mau
mendemonstrasikan kehebatannya berpidato. Saya mengulangi lagi bahwa tidak ada masalah kalau toh ia takut saya marah. Ia masih belum yakin betul dengan ucapan saya.
“Kau takut karena tidak hafal?” tanya saya. Ia mengangguk.
“Kurasa tidak ada masalah meskipun kau tidak hafal.”
Pada saat itu saya membayangkan menotoknya dengan isu “sulit menghafal”. Ia berdiri di depan saya, tidak percaya diri, dan
kemudian mulai berpidato. Mungkin di luar dugaannya sendiri, ia ternyata bisa mengucapkan kalimat wajib itu tanpa ada kesalahan. Saya memberinya tepuk tangan.“Oh, ternyata kau hafal meskipun takut kepadaku,” kata saya.
Sejak saat itu ia berpidato sepanjang hari dan makin lancar. Melihatnya antusias, saya semakin takut kalau nantinya ia ternyata kalah dalam lomba. Saya tidak yakin apakah ia bisa memahami kekalahannya jika itu terjadi. Saya takut jika bahwa kekalahan itu akan membawa akibat buruk pada perkembangan emosinya kelak.
Ketakutan tersebut membuat saya terus berpikir bagaimana mempersiapkan dirinya menghadapi kekalahan. Terus terang, saya juga seperti kebanyakan orang tua lainnya yang berharap anaknya menang dalam lomba. Ia tentu akan bahagia sekali jika menang dan saya akan senang melihatnya bahagia. Tetapi saya harus juga
membuat anak saya siap menerima kekalahan dan bisa rileks dengan kemungkinan itu.
“Kau pengen menang, Nak?” tanya saya sehari sebelum lomba. “Ya, aku ingin menang, dapat piala,” katanya.
“Kurasa semua anak yang ikut lomba juga seperti itu,” kata saya. “Mereka semua ingin menang.”
“Tapi aku mau menang.”
“Kalau yang ikut banyak, tidak mungkin semuanya menang. Misalnya yang ikut lomba sepuluh anak, sementara hanya ada juara satu, dua, dan tiga, jadi ada tujuh anak lain yang kalah.”
“Aku mau menang.”
“Tidak ada masalah. Aku cuma bilang bahwa tidak semuanya menang. Pasti ada yang kalah. Kalau kau kalah, itu tidak apa-apa.”
“Tapi aku ingin menang.”
“Aku tahu, tapi tidak apa-apa kalau kau kalah.” “Tidak apa-apa kalau aku kalah?”
“Ya, tidak apa-apa. Menang tidak apa-apa. Kalah tidak apa-apa.” “Ya, kalah tidak apa-apa.”
Saya merasa tenteram ketika dia beberapa kali lagi menanyakan kepada saya, “Jadi kalah tidak apa-apa ya, Pak?”
Malam harinya, saya melakukan surrogate tapping (penotokan dari jauh, menotok diri saya sendiri untuk mewakili anak saya) dengan isu “ingin menang” dan “tidak ada masalah kalau kalah.” Sebelum dia berangkat tidur, saya ingin memastikan lagi dengan menanyakan kepadanya apakah dia senang ikut lomba. Dia
menjawab senang sekali. Dan saya mengingatkan sekali lagi bahwa tidak ada masalah jika ternyata dia tidak menang.
Keesokannya, dia bangun lebih pagi dari biasanya, dan kelihatan sangat gembira. Saya masih tetap cemas melepasnya bertarung di arena lomba. Menurut saya, ia masih terlalu kecil untuk memahami menang dan kalah. Ia hanya menginginkan hadiah dan ada
kemungkinan ia tidak mendapatkan apa yang diinginkannya. Saya mengingatkannya lagi sebelum ia berangkat bahwa tidak apa-apa kalah. “Tapi aku mau menang, Pak,” katanya. Dan pagi itu
keinginannya begitu kuat dan sama sekali tidak bisa dibengkokkan. Saya melepasnya dengan perasaan cemas dan berharap bahwa ia bisa rileks di panggung dan tetap rileks kalaupun ia kalah. Saya berpikir untuk menotoknya sekali lagi dari jauh, tetapi urung saya lakukan. Tiba-tiba saya berpikir bahwa ia mungkin perlu mengalami apa saja dan bahwa kecemasan saya sungguh tidak beralasan.
Siang hari, sekitar pukul dua, telepon dari istri saya masuk dan yang bicara ternyata anak saya. “Aku juara, Pak,” katanya. Saya senang mendengar suaranya. “Tidak apa-apa, Nak,” kata saya. Dan ia menjawab, “Ya, memang tidak apa-apa. Aku dapat piala.”
Ketika mereka tiba di rumah, istri saya menceritakan peristiwa yang membuat saya sedih. Ia bilang, tadi ada salah satu peserta, teman kursus anak saya, yang diomeli ibunya sampai nangis-nangis karena lupa sama sekali ketika berdiri di atas panggung. Bagi orang tua, anak itu mungkin memang pantas dimarahi karena menghafal