da sebuah strategi atau cara berpikir tertentu yang bisa anda pertimbangkan ketika anda menghadapi sebuah simptom,
terutama ketika anda menangani orang lain, yakni sikap curiga. Saya sering memulai dengan kecurigaan semacam itu ketika berurusan dengan simptom seseorang. Dengan maksud untuk melakukan penggalian dan
menemukan akar masalah, kita bisa berangkat dari asumsi bahwa sebuah simptom atau penyakit tertentu pastilah memberikan keuntungan-keuntungan tersendiri kepada penderitanya. Karenanya orang itu terus-menerus
memperparah penyakitnya. Setidaknya, dengan mempertahankan simptom itu ia menjadi lebih bisa mengendalikan keadaan.
Pertanyaaannya, jika seseorang mendapatkan keuntungan dari simptom yang diidapnya, kenapa ia membutuhkan terapi?
Ketika anda membahas sisi menguntungkan sebuah simptom, anda sesungguhnya sedang membicarakan sesuatu yang terjadi di level bawah sadar. Anda tahu, seringkali ada ketidakselarasan antara pikiran sadar dan bawah sadar. Anda bisa mengatakan “ya” ketika jawaban sesungguhnya yang anda inginkan adalah “tidak”. Anda bisa mengangguk ketika sesungguhnya ingin menggeleng. Anda mengatakan “tak ada masalah” padahal
sesungguhnya “sungguh-sungguh ada masalah, kau menjengkelkan sekali.” Seseorang bisa datang untuk sesi terapi, tetapi sesungguhnya ia tidak ingin simptomnya disingkirkan, sebab ia mendapatkan keuntungan dari sana. Dalam kasus anak yang tidak suka matematika, mungkin ia akan
mengembangkan rasa pusing di kepalanya begitu melihat halaman-halaman buku yang berisi angka-angka. Rasa pusing ini akan menjadi alasan kuat yang membuatnya terhindar dari segala urusan dengan matematika. Orangtuanya tidak akan memaksanya belajar matematika karena anak itu sudah pusing begitu melihat buku matematika.
Jadi, saya kira ada baiknya kadang-kadang kita menaruh curiga bahwa gejala tertentu yang muncul pada seseorang sesungguhnya adalah upaya orang itu untuk menjadikan dirinya lebih kuat untuk menghadapi masalah. Sakit kepala membuat anak itu mengalahkan matematika. Perilaku sakit-sakitan membuat seseorang mendapatkan perhatian yang sangat ia inginkan. Mungkin ia pernah mempunyai pengalaman dicampakkan. Keadaan mudah kalut pada seorang perempuan mungkin merupakan jalan terbaik bagi orang itu untuk selalu menjadi pusat perhatian suami.
Dengan penyakit tertentu orang mengekspresikan keunggulannya. Dengan penyakit yang diidapnya, orang secara tidak sadar menunjukkan bahwa dialah sang pemegang kendali. Tetapi bagaimanapun itu cara mengendalikan situasi yang memperburuk diri sendiri. Dengan
mengembangkan simptom tertentu, orang bisa mengatasi situasi tertentu yang ia ingin mengalahkannya, tetapi sekaligus ia merusak dirinya untuk situasi lain secara keseluruhan. Karena itulah secara sadar ia membutuhkan terapi, tetapi kebutuhan ini bisa sangat bertentangan dengan bawah sadarnya yang menghendaki simptom itu tetap terpelihara sebab ia dibutuhkan.
Langkah terbaik yang perlu dilakukan untuk itu adalah penyelarasan antara kehendak sadar dan bawah sadar. Dan sekarang kita bisa kembali sejenak pada kalimat setup EFT, “Meskipun saya mengidap masalah X...,
saya menerima keadaan saya apa adanya.” Dengan berbagai variasi, kalimat
setup itu adalah upaya awal membangun keselarasan antara pikiran sadar dan bawah sadar. Saya pernah berhadapan dengan beberapa orang yang
tampaknya enggan dengan kalimat setup semacam itu karena terdengar negatif. Sedikit penjelasan membuat orang-orang yang enggan itu bisa menerima dan mengucapkannya.
Anda tahu, kalimat setup itu pada dasarnya adalah pengakuan oleh seseorang, tanpa disadari oleh orang yang mengucapkannya, bahwa ia memang memiliki masalah, dan ia bisa menerima dirinya, menerima keadaannya, dan menerima kenyataan bahwa ia memang punya masalah. Keselarasan semacam ini akan menjadi landasan yang kokoh untuk sesi terapetik yang sebentar lagi dijalankan.
Aspek
Mari kita mulai dari satu pertanyaan: Apakah efek penyembuhan melalui EFT berlangsung permanen atau bersifat sementara dan akan kambuh pada hari berikutnya?
Jawaban untuk pertanyaan pertama, efek terapetik yang ditimbulkan oleh EFT berlangsung permanen sejauh seluruh aspek yang melandasi
permasalahan telah disasar semuanya. Jika suatu penyakit kambuh lagi, ada dua kemungkinan untuk menjelaskan fenomena tersebut. Pertama, ada kemunculan aspek baru yang menyebabkan munculnya kembali simptom, sehingga tampaknya simptom itu kambuh lagi. Padahal yang terjadi
sebenarnya adalah bahwa kemunculan aspek baru itu menyebabkan munculnya kembali simptom serupa yang sebelumnya sudah pernah dibereskan. Kedua, memang belum semua aspek disasar habis, sehingga simptom yang sama masih bisa muncul kembali.
Dalam buku panduannya tentang resep baku EFT, Gary Craig
mencontohkan penanganan terhadap seseorang yang fobia laba-laba. Setelah prosedur EFT diterapkan, ketakutan seseorang terhadap laba-laba menghilang. Tetapi rupanya itu hanya terselesaikan sebagian, karena ketika melihat laba-laba bergerak orang itu kembali ketakutan. Penjelasannya, selama
berlangsungnya sesi EFT, orang itu memikirkan sosok laba-laba yang statis, tanpa gerakan. Nah, ketika ia melihat laba-laba yang bergerak, ia tetap
disasar, sehingga akibatnya penangan dengan EFT seperti tidak bekerja pada orang itu.
Tiga contoh kasus berikut ini saya pikir akan semakin memperkaya pemahaman anda mengenai aspek-aspek yang melandasi suatu simptom dan bagaimana kita harus menemukan aspek-aspek tersebut untuk mendapatkan penyelesaian yang tuntas.
Contoh Kasus 2. Nyeri di Pundak Kanan Hilang dalam Satu Sesi
Dalam penanganan ini saya menggunakan Prosedur Ringkas dengan pertimbangan bahwa tampaknya akan sulit bagi saya untuk menerapkan prosedur standar pada pasien saya ini.
Tati, 53 tahun, datang kepada saya suatu sore; ia berpenampilan sederhana dan seperti itu pula ia menjalani hidupnya. Kepada saya ia mengatakan bahwa sudah seminggu ia merasa sakit sekali
menggerakkan lengan kanannya. Ada nyeri di persendian bahu dan ia tidak tahu kenapa bisa begitu. “Tiba-tiba saja lengan saya nyeri sekali kalau digerakkan,” katanya.
Tak lama kemudian kami langsung menyasar simptom itu. “Sebelum kita melakukan penotokan, sekarang saya hanya ingin tahu apakah anda bisa menerima keadaan anda apa adanya, ikhlas pada keadaan anda,” kata saya. “Dan apakah anda menyayangi diri anda apa pun keadaan anda?”
Ia mengangguk.
“Jadi anda bisa menerima keadaan anda apa adanya?” tanya saya. “Bisa,” katanya.
“Dan karena itu anda mau menerima keadaan anda apa adanya?” “Ya.”
“Mau?” “Mau.”
“Dan anda menyayangi diri anda apa pun keadaan anda?” “Ya.”
Tanpa mengawalinya dengan pernyataan pembuka yang diucapkan tiga kali, saya langsung menotok dan memintanya mengucapkan
“nyeri” pada setiap titik yang saya totok. Nyerinya berkurang, tetapi ia masih belum leluasa menggerakkan tangannya.
Saya mengulangi lagi dan memintanya mengucapkan “masih ada nyeri.” Nyerinya makin berkurang, tetapi belum hilang sama sekali. Saya mengulanginya lagi dan ada pengurangan tetapi tidak banyak.
Sekali lagi saya mengulangi. Dan kali ini seperti tidak ada pengurangan. “Mungkin besok sudah akan hilang rasa nyerinya,” katanya. “Sekarang sudah jauh lebih enak.”
Kami kembali mengobrol. Saya menanyakan kabar keluarganya. Suaminya meninggal kira-kira enam bulan sebelumnya. “Ia meninggal begitu mudah,” katanya. “Orang yang baik, ia meninggal dengan cara yang sangat mudah.”
“Orang yang baik, meninggal dengan mudah,” saya mengulangi ucapannya. Karena itu anda bisa melepasnya dengan perasaan lega....”
“Saya ikhlas,” katanya. Dan ia menceritakan proses kematian suaminya yang ia bilang sangat mudah itu.
“Ia suami yang bisa diandalkan?” tanya saya. “Sangat bisa diandalkan,” katanya.
“Yah, jadi sekarang anda kehilangan orang yang sangat bisa diandalkan,” kata saya. “Apakah urusan-urusan anda menjadi lebih repot tanpa dia?”
“Lebih repot,” katanya. “Tapi semuanya baik-baik saja.” “Menjadi lebih repot,” kata saya. “Kehilangan orang yang bisa diandalkan. Itu seperti kehilangan tangan kanan, bukankah begitu? Atau ada perumpamaan lain yang lebih tepat?”
“Ya, seperti itu,” katanya. “Rasanya memang seperti kehilangan tangan kanan yang selama ini selalu sanggup melakukan banyak hal.”
Saat itu saya segera meraih telapak tangannya, mengetuk-ngetuk titik karate, dan memintanya menirukan ucapan saya. “Meskipun saya
kehilangan suami saya, dan itu seperti kehilangan tangan kanan, dan itu menjadikan saya sedikit repot....” Selanjutnya kami melakukan
penotokan dengan frase pengingat berselang-seling. Ujung alis: “Kehilangan suami.”
Bawah mata: “Sedikit repot.”
Bawah hidung: “Tidak leluasa bergerak.” Dagu: “Kehilangan suami.”
Ujung Selangka: “Kehilangan tangan kanan.” Bawah ketiak: “Saya terima apa adanya.”
Ujung alis: “Meskipun susah menerima apa adanya.” Samping mata: “Kehilangan suami.”
Bawah mata: “Kehilangan tangan kanan.” Bawah hidung: “Tidak leluasa bergerak.” Dagu: “Saya memilih ikhlas.”
Ujung Selangka: “Meskipun susah ikhlas.” Bawah ketiak: “Kehilangan suami.”
Lalu saya memintanya menarik napas dalam-dalam dan
menghembuskannya panjang. Sesi ini berakhir menyenangkan. “Saya tahu bahwa saya harus iklahs melepaskan kepergian suami saya dan ikhlas dengan itu. Tetapi sekarang ini saya benar-benar merasa lega. Dada saya terasa lapang sekali,” katanya.
Dan ia kembali leluasa menggerakkan tangan kanannya. Rasa nyeri di pundaknya hilang sama sekali.***
Contoh Kasus 3. Asthma Sejak Kecil Hilang dalam Satu Sesi
Ilustrasi berikut ini berasal dari laporan penanganan yang dilakukan oleh Aileen Nobles, seorang Master EFT dari AS. Sebuah contoh lain bagaimana keajaiban EFT datang dari ketepatan menemukan akar masalah.
Ini kisah tentang bagaimana seorang klien mengakhiri siksaan asma yang dideritanya sepanjang hayat hanya dalam satu sesi.
Jan menemui saya karena masalah keluarga, dan juga demi mendapatkan keberanian untuk meninggalkan pasangannya setelah 15 tahun mereka hidup bersama.
Saat kami mengerjakan beberapa hal tentang isu tersebut, nafas perempuan ini menjadi makin lama makin sesak dan bunyinya mendecit-decit. Ia minta maaf dan mengatakan bahwa ia perlu menggunakan pelega pernafasannya.
Saya bertanya berapa lama ia menderita asma dan ia bilang sejak kecil. Bertahun-tahun ia keluar masuk ruang gawat darurat, dan ia hanya bisa pasrah dengan itu. Ketika saya mengatakan bahwa mungkin itu bisa disembuhkan, ia sangat antusias.
Kami segera mulai totokan:
“Meskipun napas saya tersengal-sengal, itu tidak masalah, saya bisa menghargai dan menerima diri saya apa adanya.”
“Meskipun dada saya terasa sesak, itu tidak masalah....” “Meskipun saya merasa seperti tercekik, itu tidak masalah....”
Saya tahu bahwa ia telah hidup bersama lelaki pasangannya selama kira-kira 15 tahun dan ingin sekali mengakhiri hubungan itu... namun ia takut. Itu hubungan yang sangat mencekik dan serangan asmanya serta merta muncul ketika kami mengerjakan masalah hubungan itu.
“Meskipun saya terbebani “Joe” di dada saya dan ia begitu berat sehingga saya merasa tidak bisa bernapas, saya mampu tetap menghargai dan menerima diri saya apa adanya.”
Kami melakukan satu putaran utuh dengan prosedur standar untuk menyasar masalah “Saya membawa “Joe” di dada saya dan
saya tidak bisa bernafas.” Hanya ada sedikit penurunan intensitas,
dari 10 menjadi 7 atau 8.
Kami kemudian melakukan Prosedur 9 Gamut saat ia
memusatkan diri pada perasaan takutnya untuk meninggalkan Joe. Kami melanjutkan totokan dengan frase:
“Saya takut pada reaksinya.” “Saya takut sendirian.”
“Saya takut mendapatkan serangan asma dan tidak ada orang yang mendampingi saya.”
Kami kemudian berpindah ke kenangan masa kanak-kanaknya, rasa sendirian di masa itu, dengan ibu yang betul-betul hanya
memikirkan diri sendiri. Ia bisa mengingat kejadian-kejadian khusus yang ia alami. Ia kemudian memaafkan ibunya yang tidak sesuai dengan harapannya, dan ia bisa menerima ibunya yang tidak
Kami kemudian menotok kemarahannya pada diri sendiri yang tidak cukup kuat untuk meninggalkan Joe. (Ia telah beberapa tahun mencoba mengakhiri hubungan.) Saat ia mengetuk titik karate chop saya memintanya membayangkan jerat ketergantungan, ketakutan, dan ketercekikannya pada Joe. Kemudian ia membayangkan dirinya sendiri melepaskan jerat itu satu demi satu. Napasnya kini jauh lebih bersih dan intensitas penderitaannya turun ke angka 1 atau 2.
Kami melanjutkan dengan menotok perasaan takutnya akan kebebasan yang bisa muncul ketika ia sudah berhasil membebaskan diri dari hubungan yang menyesakkan dengan Joe. Ia berterima kasih pada perasaan tercekik dan perasaan takutnya dan merestui kedua perasaan itu untuk pergi meninggalkannya. Setelah itu kami melakukan penotokan dengan isu perasaan kuat, perasaan baik, menarik nafas kehidupan dalam-dalam, dan siap untuk menghadapi awal baru.
Untuk pertama kali dalam hidup, sejauh yang bisa ia ingat, Jan mengalami keadaan di mana napasnya tidak berdecit selama lebih dari dua bulan... dan... ia akhirnya memutuskan hubungan yang
menyesakkan dengan kekasih yang telah 15 tahun hidup bersamanya. Aileen Nobles
Contoh Kasus 4. Takut Ketinggian yang Tidak Kunjung Hilang
Ilustrasi ketiga ini saya ambilkan dari pengalaman Gary Craig sendiri, sang pelopor teknik ini. Gary biasa mendemonstrasikan penanganan pada para peserta dalam setiap workshop yang ia adakan. Berikut ini adalah penanganan yang ia lakukan di salah satu workshopnya.
Ini kasus mengenai fobia terhadap ketinggian yang tidak hilang sampai kami membereskan isu-isu yang kelihatannya tidak
berhubungan dengan simptom tersebut. Kasus semacam ini, yakni sebuah simptom yang dilandasi oleh “isu-isu yang tampaknya tidak
berhubungan” tergolong dalam kasus langka dan sesungguhnya memang tidak sering muncul. Tetapi, bagaimanapun, kita perlu menyadari segala kemungkinan.
Pada akhir hari pertama (Sabtu), dalam workshop dua hari yang saya adakan di LA, saya meminta Darlene dan beberapa orang yang memiliki fobia terhadap ketinggian untuk maju ke panggung.
Workshop kami berlangsung di ruangan lantai dua sebuah gedung. Jadi kami bisa menguji hasil pekerjaan kami—setidaknya untuk mereka yang fobianya bisa terpicu oleh ketinggian sedang seperti ini.
Setelah satu dua putaran EFT, banyak yang mulai melihat ulang ketakutan mereka terhadap ketinggian dan menjadi lebih fokus. Ada yang takut menyeberangi jembatan, takut ada hal-hal yang rubuh menimpa mereka, takut karena trauma tertentu, dan sebagainya. “Perubahan” reaksi ini sangat umum dan ketika kita mulai menyadarinya maka kita akan lebih mudah membereskannya. Kadang fobia merupakan tabir untuk menutupi isu-isu lain.
Dalam kasus Darlene, saya memintanya untuk berdiri dekat pintu terbuka sekitar 10 kaki dari pagar lantai. Kemudian, selagi saya bekerja dengan orang-orang lain untuk menangani berbagai variasi dari “takut ketinggian”, Darlene saya minta untuk menotok dirinya sendiri dengan isu, “makin dekat ke pagar”, “memandangi pagar”, dan sebagainya. Saya pernah melakukan hal ini sebelumnya dan hasilnya memuaskan.
Namun, fobia Darlene tidak berubah dan ia tetap sangat tidak nyaman berdiri di dekat pagar. Bagi pendatang baru yang belum berpengalaman, ini mungkin tampak sebagai kegagalan—sesuatu yang memalukan, yang menyebabkan orang menyerah menghadapi kliennya. Tidak semudah itu bagi praktisi berpengalaman untuk begitu saja melempar handuk. Sebaliknya, mereka memikirkan pertanyaan-pertanyaan seperti....
“Kenapa tidak berhasil?” “Apa yang menghambat ini” “Isu apa yang belum kami tembak?”
Maka, saya menyarankan kepada Darlene untuk tetap tinggal setelah workshop sehingga kami bisa menggali isunya lebih lanjut. Kami berdiri beberapa kaki dari pagar dan terus menotok hal-hal umum, seperti... takut mendekati pagar, takut jatuh, takut melihat ke bawah, dan sebagainya. Hasilnya? Nihil. Tidak ada kemajuan sama
sekali setelah kami menyelesaikan beberapa putaran. Maka saya mulai memeriksa isu lain yang mungkin memberikan sumbangan terhadap fobianya dengan mengajukan pertanyaan seperti...
“Jika ada alasan lain di belakang ketakutan ini, apa kira-kira?” “Ketakutan ini mengingatkan anda pada apa?” “Jika anda bisa hidup lagi, orang seperti apa atau kejadian seperti apa yang tidak ingin anda temui?”
Setelah beberapa menit dengan penggalian ini, Darlene mengatakan bahwa ia selalu merasa terkekang dalam hidupnya. Seingat saya, ada persoalan ayah-anak yang menyumbang lahirnya perasaan terkekang itu. Jadi, sekalipun tampaknya terlalu jauh untuk menghubungkan “perasaan terkekang” dengan “takut ketinggian”, kami mulai menotok “perasaan terkekang” dan hal-hal yang berhubungan dengannya.
Fobianya lenyap dan ia dengan penuh percaya diri melangkah ke arah pagar dan memandanginya dengan sangat tenang. Gerak tubuhnya rileks, begitu juga suaranya dan sikapnya. Ini benar-benar perubahan harfiah—pembebasan diri dari emosi yang menghambat. Menakjubkan untuk dilihat.
Pekerjaan ini sering beres dalam sekejap. Darlene bukan satu-satunya orang yang mengalami pembebasan cepat. Dalam banyak kasus, saya menyaksikan klien-klien saya tersenyum dan
mengatakan, “Sesuatu baru saja terjadi; dan tampaknya saya tidak lagi terganggu.” Dan mereka benar. Isu yang semula menjadi beban berat kini tidak lagi mempengaruhinya. Reaksi-reaksi takut,
kenangan yang mengganggu, mimpi buruk, sakit kepala, dan seluruh simptom yang berhubungan dengan itu lenyap.
Dalam kasus Darlene, kita harus menemukan isu sebenarnya. Yang muncul sebagai masalah adalah takut ketinggian. Nyatanya, hal itu lebih merupakan simptom dari isu lain yang lebih dalam, yakni “perasaan terkekang”.
Pagi selanjutnya, saya menanyakan apakah Darlene tidak
berkeberatan untuk menguji kualitas pekerjaan dengan naik ke lantai empat dan memandang dari pagar. Ia sangat rileks dengan itu dan sangat berminat—demi membuktikan bahwa ia tidak lagi punya masalah. Karena itu kami perlu pergi ke kamar hotel seseorang untuk membuktikannya. Karena sungkan, kami mengurungkannya.
Darlene akhirnya menguji hasil pekerjaan kami atas kemauannya sendiri dan ia menulis surat kepada saya.
Gary Craig
Hai Gary,
Ini Darlene Malott. Saya mengikuti seminar di Studio City, 23 dan 24 September. Anda menangani fobia saya terhadap ketinggian di hari Sabtu. Pada hari Minggu kita akan mengujinya dari lantai 4 tetapi satu-satunya cara untuk itu adalah pergi ke kamar salah seorang tamu hotel sehingga itu tidak jadi kita lakukan. Namun, saya bilang saya akan senang hati mengujinya suatu saat untuk ketinggian di atas lantai dua. Pada akhir pekan saya mendapatkan kesempatan itu.
Akhirnya saya bahkan bisa naik sedikit lebih tinggi dari lantai 4. Saya bersama sekelompok orang mendaki puncak Eagle Rock di Sedona. Sungguh menakjubkan. Tak ada rasa takut melihat ke
bawah, tidak ada vertigo. Satu-satunya ketakutan adalah ketika saya terpeleset di bibir jurang. Saya pikir itu ketakutan yang wajar. Itu terjadi saat kami turun.
Yah, ini sekadar memberitahukan bahwa saya telah mengujinya.
Terima kasih banyak.
Darlene Malott
Perlunya Ketekunan
Sebagai pendatang baru di EFT, jam terbang anda mungkin masih kurang untuk bisa menemukan aspek-aspek spesifik dan menyasar semuanya satu demi saru dengan Prosedur Standar. Tak ada masalah. Yang anda perlukan hanya mempercayai apa yang anda rasakan dan menyasarnya dengan Prosedur Standar itu. Bawah sadar anda tahu apa yang sedang anda lakukan. Anda mungkin menyasar “perasaan” ini dengan kalimat setup: “Meskipun saya
memiliki perasaan seperti ini, saya menerima diri saya dengan tulus dan apa adanya” dan menggunakan “perasaan ini” sebagai frase pengingat.
Harap dipahami bahwa sebagian besar masalah yang ditangani dengan Prosedur Standar tidak dipenuhi banyak aspek. Kebanyakan masalah mudah dikenali dan mudah sekali diatasi. Tetapi sekiranya ada satu masalah yang membandel dan anda tidak bisa menemukan aspek spesifiknya, maka anda bisa melakukan 3 putaran Prosedur Standar untuk menyingkirkan “perasaan ini” atau “masalah ini” sekali sehari (sekitar 3 menit per hari) selama 30 hari Bawah sadar anda memiliki caranya sendiri untuk melakukan apa yang terbaik dan anda terbebaskan dari masalah itu bahkan sebelum genap 30 hari.
Demikiianlah, EFT adalah prosedur yang sangat fleksibel dan sering akan membawa anda untuk menyelesaikan masalah-masalah yang berada di luar jangkauan pikiran sadar anda.
Lakukan Spesifik jika Memungkinkan
Cara terbaik menerapkan EFT adalah menggunakan prosedur tersebut untuk menyasar isu-isu spesifik. Dengan begitu anda bisa menangani sampai ke angka 0 rasa takut, rasa sakit, ingatan buruk, dan sebagainya, dan
menyingkirkan itu semua dari diri anda. Dengan menyasar isu-isu spesifik, itu berarti anda masuk ke lapisan dasar dan mengangkat akar masalah.
Satu terbaik untuk meningkatkan kemampuan anda menerapkan EFT secara spesifik adalah dengan melakukannya pada diri anda sendiri.
Bagaimanapun, sebelum anda menotok orang-orang lain, alangkah baiknya anda menyingkirkan semua, atau sebanyak mungkin, emosi negatif yang
menumpuk dalam diri anda. Anda memiliki teknik ampuh untuk itu dan saya kira anda sendiri berhak menikmati keajaiban yang bisa diwujudkan oleh EFT pada diri anda.
Dan anda hanya perlu melakukannya sekarang juga. Siapkan waktu
beberapa menit setiap hari. Hanya dibutuhkan waktu satu bulan untuk bekerja beberapa menit setiap hari dengan EFT dan anda akan menjadi manusia baru yang terbebas dari emosi-emosi negatif anda.