• Tidak ada hasil yang ditemukan

Daris Tamin

Dalam dokumen Journal of Ethics and Character (Halaman 33-57)

Abstrak: Penelitian ini bertujuan untuk menemukan sosok guru yang menampilkan budaya pendidikan berbasis bimbingan dan konseling dalam proses pembelajaran. Penelitian ini menggunakan metode penelitian survey dengan menggunakan kuesioner sebagai alat pengumpul data pokok lalu ditindaklanjuti dan didalami secara eksplanato-ri melalui teknik wawancara mendalam dan observasi. Untuk menemukan sosok guru yang menampilkan budaya pendidikan berbasis bimbingan dan konseling, dilakukan penelusuran berdasarkan persepsi 404 siswa di empat sekolah di empat kota di Jawa Barat dengan basis ideologi dan kultur pendidikan yang berbeda melalui angket ter-tutup.Berdasarkan pilihan siswa ditemukan lima orang guru yang dinilai sudah menampilkan budaya pendidikan berbasis bimbingan dan konseling dalam proses pembelajaran. Kelima guru tersebut mewakili empat sekolah mas-ing-masing. Berdasarkan pendalaman secara naturalistik ditemukan bahwa keempat guru tersebut memiliki lima komponen perilaku dan sikap yang sama, yaitu; (1) filosofi hidup untuk mengabdi kepada Tuhan (Allah); (2) ke-bahagiaan hidup adalah ketika bisa taat pada Tuhan dan bisa berbuat baik pada orang lain; (3) hakikat mendidik adalah mengenalkan Tuhan kepada anak didik dan membimbing mereka untuk bermanfaat bagi diri, keluarga, dan masyarakatnya; (4) pendekatan dalam proses pembelajaran dilakukan dengan penuh kesabaran, tidak mudah marah, menunjukkan keteladan, jujur, ramah, merenungi realitas, dan mengingatkan tentang kematian; (5) sikap terhadap isu pendidikan dan profesi: anti ketidakjujuran; ujian nasional adalah bagian kecil dari ujian hidup; lebih baik tidak lulus di hadapan manusia daripada tidak lulus dihadapan Tuhan; ikut sertifikasi seperti air mengalir saja; guru jangan takut miskin; dan budaya pendidikan harus dimulai dengan kepemimpinan dari diri sendiri.

Kata Kunci:

Budaya Pendidikan, Bimbingan dan Konseling PENDAHULUAN

Masih terjadinya berbagai kasus yang terkait perilaku antagonis terhadap hakikat pendidikan, seperti kasus korupsi pejabat yang notabene berpendidikan tinggi, plagi-asi karya ilmiah oleh akademisi, menyontek massal yang dilakukan siswa dengan arahan guru dan kepala sekolah, perjokian oleh ma-hasiswa senior, jual beli ijazah tanpa kuliah oleh oknum pengelola PTS, dan tindakan ti-dak terpuji lainnya memunculkan pertanyaan besar tentang budaya apa yang sebenarnya mendominasi pendidikan nasional selama ini?

Dikatakan “budaya” dan “selama ini” merujuk pada rentang waktu yang relat-if tetapi mencakup kurun waktu yang dapat dikatakan panjang. Maksudnya, ketika seo-rang pejabat melakukan korupsi atau seoseo-rang akademisi melakukan plagiasi, maka hakikat tindakannya tersebut tidak dapat dipisahkan

dengan pengetahuan, kebiasaan dan suasana pendidikan yang telah dialaminya, baik da-lam keluarga, sekolah, maupun masyarakat. Meminjam istilah Jerome Bruner (1996) suasana seperti ini disebut dengan “folk psy-chology” atau “folk pedagogy”, yaitu kondi-si pkondi-sikologis masyarakat yang berimplikakondi-si terbentuknya kultur pendidikan dalam mas-yarakat tersebut.

Ketidakmampuan seseorang untuk men-gendalikan diri dan tahan (sustain) atas sega-la bentuk godaan untuk mesega-lakukan korupsi, plagiasi, perjokian, jual-beli ijazah, dan per-ilaku-perilaku antagonis terhadap hakikat dan tujuan pendidikan tidak bisa dilepaskan dari pengaruh kultur pendidikan yang pernah dilaluinya. Sebagian kalangan ada yang ber-dalih bahwa kasus korupsi pejabat atau plagi-asi akademisi merupakan kasus yang bersifat individual dan bukan produk kultur pendi-dikan. Sebagai manusia, siapapun bisa saja terjerembab dalam kekhilafan dan kesalahan.

Alasan tersebut logis dan dapat diterima akal sehat, tetapi kasus “nyontek massal” dalam Ujian Nasional (UN) yang berulang kali terja-di dan secara massive melibatkan guru, kepa-la sekokepa-lah serta pejabat Dinas Pendidikan merupakan fakta bahwa kultur antagonisme terhadap hakikat pendidikan memang be-nar-benar telah dan sedang terjadi.

Program nasional sertifikasi guru dan dosen menjadi fenomena yang semakin men-guatkan dugaan berlangsungnya budaya yang dalam istilah Sunaryo Kartadinata (2012) disebut kultur pendidikan yang sedang ti-dak sehat atau perilaku “sakit” yang titi-dak menguntungkan kehidupan bangsa. Istilah perilaku “sakit” sungguh tepat untuk meng-gambarkan perilaku oknum guru yang lebih memilih mengikuti berbagai seminar demi mendapatkan sertifikat ketimbang melak-sanakan amanah mengajar di kelas. Bahkan, jika tidak sempat mengikuti seminarnya, sert-ifikat bisa didapatkan dengan cara membeli dari panitia seminar yang lazimnya melebih-kan jumlah cetamelebih-kan sertifikat untuk melayani permintaan dari partisipan-partisipan “gaib” tersebut.

Fenomena perilaku antagonisme pen-didikan dalam program sertifikasi guru juga bisa dilihat dari ditemukannya sejumlah do-kumen portofolio berupa ijazah, surat-surat keputusan dan sertifikat janggal adalah be-berapa contohnya. Intinya, sertifikasi yang dirancang untuk merangsang peningkatan kinerja guru justru yang terjadi adalah seba-liknya. Pasca lulus sertifikasi, kinerja guru malah menurun.

Selanjutnya, kasus perjokian. Berita ten-tang terten-tangkapnya joki dalam ujian masuk perguruan tinggi terkemuka selalu muncul se-tiap tahunnya. Perjokian SNMPTN biasanya dilakukan oleh mahasiswa yang tentunya memiliki kemampuan unggul dan bukan ma-hasiswa “biasa-biasa”. Kadang-kadang per-jokian dilakukan oleh non-mahasiswa, teta-pi joki tersebut biasanya telah mengantongi jawaban soal yang dibocorkan oleh oknum

Daris Tamin

panitia. Fenomena ini kian menguatkan ter-jadinya budaya pendidikan yang antagonis dengan hakikat pendidikan itu sendiri.

Gambaran mengenai perilaku tidak se-hat dalam pendidikan tidak hanya muncul melalui indikator korupsi, plagiasi, perjokian, jual beli ijazah, dan menyontek massal saja. Tetapi, konsep CIBI (Ke-Cerdasan Istimewa dan Ke-Berbakatan Istimewa) dan RSBI yang tengah dikembangkan Kementerian Pen-didikan dianggap akan menimbulkan keti-dakseimbangan dan tidak memiliki dampak pembimbingan dan pengasuhan. Sunaryo Kartadinata (2012: 8) secara kritis menjelas-kan bahwa program pendidimenjelas-kan akselera-si dalam kelas-kelas eksluakselera-si telah semakin menjauhkan praktik pendidikan dari esensi ilmu dan hakikat pendidikan, tak terkecuali landasan-landasan normatif dalam UU No. 20/2003, dan bahkan mengingkari hakikat manusia itu sendiri.

Kaitannya dengan CIBI, Sunaryo Karta-dinata (2012: 10) menjelaskan bahwa harus dihindari, terutama dalam usia muda, ter-jadinya gejala “Cartesian Split” yang menim-bulkan ketidakseimbangan antara perkem-bangan fisik dengan intelektual. Sedangkan kaitannya dengan RSBI, Sunaryo Kartadinata (2012: 12) menjelaskan bahwa secara filosofis mengingkari hakikat pendidikan dan ma-nusia karena internasionalisasi pendidikan menjadi bersifat diskriminatif dan ekslusif.

Selain kasus-kasus di atas, sebenarnya ada beberapa fenomena lain yang layak diper-timbangankan sebagai perilaku antagonisme terhadap hakikat pendidikan. Fenomena pertama adalah acara istighotsah menjelang UN. Seluruh stakeholder sekolah dan siswa biasanya dilibatkan dalam acara ini. Me-manjatkan doa untuk keselamatan dan kes-uksesan adalah perbuatan yang dibolehkan bahkan memang semestinya demikian. Teta-pi, jika istilah dan acaranya menjadi istig-hotsah, maka antagonisme mulai dirasakan. Aromanya bisa tercium dari makna istighot-sah itu sendiri. Istilah ini merujuk pada suatu

Guru dan Budaya Pendidikan

kondisi yang sangat luar biasa (extraordi-nary) akibat musibah sehingga seluruh an-ggota komunitas menjadi tidak berdaya seh-ingga perlu memohon pertolongan yang luar biasa kepada Yang Mahakuasa.

Pertanyaannya kemudian, apakah UN sudah menjadi kondisi darurat dan diang-gap musibah yang harus disikapi dengan is-tighotsah? Sungguh sebuah ironi ketika UN yang bertujuan mulia untuk mendapatkan feedback dari proses pendidikan demi kondi-si yang lebih baik dianggap sebagai mukondi-sibah atau wabah yang membahayakan. Barangkali karena dipersepsi sebagai sesuatu yang mem-bahayakan maka cara-cara curang dalam UN menjadi boleh dilakukan.

Fenomena kedua adalah program-pro-gram pendidikan yang disponsori oleh pe-rusahaan rokok, seperti program beasiswa pendidikan, seminar, dan lain-lain. Jika dia-nalisa dari sudut pandang bantuannya semua akan sepakat atas kemanfaatannya. Tetapi jika direnungi secara mendalam, sebenarn-ya di dalamnsebenarn-ya terdapat ironisme karena yang digunakan dari komoditi bisnis rokok sama sekali tidak memberi manfaat bahkan bahayanya sangat besar bagi segala aspek ke-hidupan terutama masa depan generasi masa depan bangsa.

Sumbangan rokok bagi pendapatan neg-ara melalui cukainya diakui sangat yang ting-gi. Setiap tahunnya, Kementerian Kesehatan mendapat dana bagi hasil cukai tembakau (DBH-CHT) sebesar 2% dari total penerimaan cukai tembakau. Faktanya, setiap tahun dana bagi hasil tersebut tidak sebanding dengan dampak negatif dari merokok. Pada tahun 2011, Kementerian Kesehatan mendapatkan bagi hasil sebesar 1,2 Triliyun Rupiah. Se-buah angka yang sangat besar. Tetapi, pada tahun yang sama, Kementerian Kesehatan harus mengeluarkan dana medis sebesar 18,5 Triliyun Rupiah untuk penyakit yang diaki-batkan oleh rokok (www.indonesia.kontan. co.id, [Kamis, 28 Juli 2011]). Jadi, sebenarn-ya Pemerintah dan raksebenarn-yat tidak mendapatkan keuntungan dari rokok tersebut.

Selain kerugian dari bagi hasil cukai rokok tersebut, Pemerintah dan rakyat diha-dapkan pada kerugiaan yang lebih besar lagi, baik secara fisik maupun psikologis. Keru-gian yang dimaksud adalah bahwa melalui rokok ternyata menjadi gerbang masuk un-tuk datangnya bahaya-bahaya yang lebih be-sar dan dahsyat. Hasil penelitian membukti-kan bahwa merokok adalah langkah pertama untuk langkah-langkah penggunaan Napza berikutnya. Setelah rokok, biasanya diikuti dengan minum alkohol, lalu meningkat lagi dengan shabu, seks bebas dan pada akhirn-ya narkoba suntik (www.fkm.ui.ac.id, [12 November 2009]). Jika sudah bersentuhan dengan penyakit akibat penyalahgunaan nar-kotika dan HIV AIDS, maka biaya yang akan dikeluarkan Pemerintah akan sangat besar lagi, baik untuk pengobatan maupun untuk pencegahan.

Pemanfaatan dana dari Corporate So-cial Responsibility (CSR) perusahaan rokok untuk program-program pendidikan seperti seminar, beasiswa pendidikan, dan olahraga dan kesenian sebenarnya hanya kamuplase belaka. Pemanfaatan dana dari perusahaan rokok dapat dianggap sebagai perilaku men-gambil manfaat yang sedikit tetapi mengab-aikan bahaya besar yang sedang mengancam di depan mata. Mengingat bahaya yang men-gancam akibat konsumsi rokok, dunia pen-didikan seharusnya memberikan edukasi ke-pada masyarakat untuk menjauhi rokok dan mendorong Pemerintah untuk mengeluarkan kebijakan untuk menekan produksi rokok pada tingkat yang serendah-rendahnya.

Kultur yang sedang “sakit” dan tidak me-nguntungkan kehidupan bangsa karena an-tagonismenya terhadap hakikat pendidikan terbentuk dalam jangka waktu yang relatif panjang. Arusnya yang mengalir panjang telah membangun budaya yang di dalamnya meli-batkan aspek-aspek utama dalam peradaban manusia, baik keyakinan, pola pikir, sikap dan kepribadian, dan tingkah lakunya.

Sunaryo Kartadinata (2012: 17) men-jelaskan bahwa untuk menyehatkan kondisi kultur yang sedang sakit ini harus dimulai dari pemulihan kembali mindset dan worl-dview yang utuh tentang pendidikan serta pemahaman yang mendalam tentang praktik penyelenggaraan pembelajaran yang mendi-dik, sehingga mampu membina kinerja guru dan sekolah secara utuh. Pemulihan kondisi yang kultur yang sakit tidak dapat dilakukan dengan hanya memberikan pembinaan se-cara birokratikadministratif semata, tetapi perlu terapi dan pemulihan mindset bahwa pembinaan kerja guru dan sekolah bukanlah pemenuhan prosedur dan standar bukti fisik belaka, melainkan aktualisasi pembelajaran yang mendidik yang terwujud dalam transak-si guru dalam keragaman peserta didik.

Inilah titik awal penyehatan kondisi kul-tur pendidikan yang sedang tidak sehat terse-but. Upaya tersebut tidak dapat dilakukan secara parsial tetapi harus melibatkan semua unsur pendidikan mulai dari hulu sampai hilir. Intinya, menurut Sunaryo Kartadi-nata (2012: 13-14) upaya pendidikan harus mampu mewujudkan masyarakat yang waras (sane society) sebagai masyarakat yang ber-takwa, berdaya saing, dan berdaya tahan hidup. Kecerdasan, karakter, dan keimanan adalah kekuatan utuh yang harus dibangun melalui pendidikan untuk membawa bangsa memiliki masa depan dalam kemandirian, berdaya saing, dan berdaya tahan hidup. Da-lam prosesnya kekuatan utuh tersebut dapat dikembangkan untuk mengubah pola-pola perilaku yang sudah mengakar dan dianggap tidak baik dan tidak menguntungkan melalui terapi kultural dalam upaya-upaya pendi-dikan.

Ruang-ruang yang dapat dimasuki sebagai upaya terapi kultural, atau dalam istilah Su-naryo Kartadinata (2012: 19) disebut dengan “rongga resureksi” atau rongga kebangkitan pendidikan mencakup semua aspek mulai dari penegasan ilmu pendidikan sebagai di-siplin ilmu, riset dan pengembangan, diagnosa

Daris Tamin

kebijakan dan regulasi pendidikan, penga-kajian sistem manajemen, pengembangan jejaring pendidikan sampai peningkatan kapasitas LPTK. Berpijak pada semangat dan ide-ide cemerlang untuk memulihkan kultur pendidikan yang sedang sakit demi menuju kebangkitan pendidikan di Indone-sia sebagaimana dikemukakan oleh Sunaryo Kartadinata (2012) maka perlu kiranya diter-jemahkan dan ditindaklanjuti dengan riset-riset dan tindakan-tindakan nyata.

Salah satu riset dan pengembangan yang dapat dilakukan adalah pengembangan kul-tur pendidikan berbasis bimbingan dan kon-seling untuk mengembangkan manusia berk-arakter dan beradab. Pemaduan konsep kultur pendidikan dengan bimbingan dan konseling menuju peradaban manusia yang berkarakter dalam suatu riset dan pengembangan diang-gap tepat karena di dalamnya terdapat inti (essence/central/most important) dari ide-alisme pendidikan dan peradaban manusia. Integrasi semua terminologi tersebut akan dimulai dari hakikat manusia. Sedangkan se-cara fenomenologis, sebagaimana dijelaskan Sunaryo Kartadinata (2011: 47), pendidikan merupakan proses interaksi yang selalu ber-hadapan dengan kepribadian manusia yang sedang berada dalam proses menjadi untuk menemukan keberadaan dirinya.

Sebagai makhluk yang diciptakan sebagai entitas yang penuh potensi sekaligus juga memiliki kelemahan dan keterbatasan, secara alamiah manusia memerlukan bantuan untuk menavigasi hidupnya menuju perkembangan optimum dan mencapai kemandirian dalam hidupnya. Bentuk bantuan dan navigasi terse-but dilakukan dalam upaya pedagogis yang dilakukan oleh pengampu layanan pendidikan yang memiliki pemahaman yang komprehen-sif tentang hakikat manusia, baik dari aspek organobiologis, sosio-kultural, psiko-eduka-tif, maupun spiritual. Selain itu, pengampu layanan pendidikan tersebut memiliki kecaka-pan atau keterampilan dalam berkomunikasi secara interpersonal dengan manusia lainnya.

Guru dan Budaya Pendidikan

Maka layanan pendidikan yang dimaksud adalah bimbingan dan konseling. Di sinilah letak esensi bimbingan dan konseling dalam membangun kultur pendidikan yang sehat menuju manusia yang berkarakter dan be-radab sebagai tujuan akhir.

Penelitian ini dirancang untuk mengem-bangkan budaya pendidikan melalui proses pembelajaran, di mana guru atau pendidik menggunakan pendekatan, model, strategi, dan teknik komunikasi interpersonal yang berbasis pada prinsip-prinsip bimbingan dan konseling. Sebagai elemen yang pal-ing berpengaruh secara signifikan terhadap perkembangan peserta didik, guru berpoten-si membangun kultur pendidikan yang se-hat kemudian menularkannya kepada siswa, baik yang secara langsung (instructional) menyentuh perilaku personal dan sosial siswa maupun yang hanya memberikan dampak pengiring (nurturant effects) saja.

TINJAUAN PUSTAKA

Pengertian Budaya Pendidikan

Pendidikan pada hakikatnya adalah proses kebudayaan. Young Pai (1990: 37) menyatakan bahwa setiap kebudayaan selalu berusaha un-tuk mengabadikan dirinya sampai menye-barkan pemikiran (deliberate transmission) tentang apa saja yang dianggap bermanfaat, seperti pengetahuan (knowledge), keyakinan/ kepercayaan (beliefs), kecakapan/keterampi-lan (skills), perilaku (behaviors), dan sikap (attitudes).

Pernyataan yang sama juga disampaikan sejak lama oleh Edward B. Tylor (1929) dalam karyanya “Primitive Culture” bahwa kebu-dayaan mempunyai tiga komponen strategis, yaitu sebagai tata kehidupan (order), suatu proses (process), dan visi tertentu (goals), maka pendidikan merupakan proses pembu-dayaan. Tidak ada proses pendidikan tanpa ke-budayaan dan tanpa adanya masyarakat; seba-liknya tidak ada kebudayaan dalam pengertian

proses tanpa adanya pendidikan. Theodore Brameld (1957) menyatakan bahwa keterkai-tan antara pendidikan dengan kebudayaan berkenaan dengan satu urusan yang sama, yaitu pengembangan nilai. (Ki Supriyoko, 2003: 1).

Keterkaitan yang erat antara kultur den-gan pendidikan sebenarnya dapat lebih ter-gambar jika analisa dilakukan pada proses pembelajaran di sekolah. Sebab, persekolah-an pada hakikatnya adalah wahpersekolah-ana bagi se-tiap individu untuk belajar dengan kekhasan kultur masing-masing, baik dalam mere-spon dan mengekspresikan perasaan kepada teman dan guru serta dalam membangkit-kan semangat atau membesarmembangkit-kan hati ketika mendapatkan kondisi yang tidak menyenang-kan (unhappy). Proses inilah yang disebut dengan enculturative dalam proses pendi-dikan (Young Pai, 1990: 39).

Namun, ketika proses enculturative itu terjadi, pada saat yang sama juga terjadi proses acculturative yang disebabkan karena proses interaksi di sekolah telah mendorong terjadinya kontak antar individu. Young Pai (1990: 39) menjelaskan bahwa dalam pros-es acculturative di sekolah akan mendorong suatu kultur untuk memodifikasi kulturnya ketika kontak dengan kultur yang dominan. Sebagai contoh, ketika perilaku antagonisme menjadi sangat dominan dalam interaksi di sekolah maka kultur minoritas akan terki-kis (deficits) sehingga munculnya suasana yang tidak menyenangkan dan kecenderun-gan adanya tindak kejahatan akan lebih ce-pat terjadi. Selanjutnya Young Pai (1990: 39) menjelaskan bahwa fakta pada persekolahan di Amerika membuktikan bahwa para siswa cenderung lebih mudah menerima dan bela-jar pada kultur yang dominan daripada pada kultur yang tidak dominan atau alien culture.

Jerome Bruner (1996) menjelaskan bah-wa kultur pendidikan berkembang bersama tema-tema yang berkaitan dengan psikolo-gi budaya yang berimplikasi langsung pada pendidikan. Psikologi budaya berhubungan

dengan: (1) bagaimana individu menggu-nakan perasaan dan kesadaran terhadap dunia (lingkungan) di sekitarnya; dan (2) bagaimana individu mengikatkan diri den-gan peran makna-makna (meaning) dalam sistem yang sudah berlaku tetap (establish-ment), dengan keyakinan-keyakinan (be-liefs), nilai-nilai (values), dan simbol-simbol (symbols) budaya pada umumnya.

Keterkaitan antara psikologi, kultur, dan pendidikan memang sangat erat karena sub-jek kajian ketiga terminologi tersebut sama, yaitu manusia. Menurut Matsumoto & Juang (2008: 3), esensi dari psikologi memiliki dua tujuan, yaitu membangun tubuh pengetahuan (body of knowledge) melalui pemahaman perilaku manusia dan membangun tubuh pengetahuan dan cara menerapkan pengeta-huan tersebut serta tentang bagaimana cara mengintervensi manusia dalam kehidupan-nya. Sedangkan kultur, Matsumoto & Juang (2008: 13) menjelaskan bahwa kultur adalah makna-makna dan informasi yang muncul dalam hubungan manusia dengan jaringan sosialnya. Jadi, berdasarkan pandangan Mat-sumoto & Juang (2008) tersebut, ilmu psi-kologi tidak mungkin ada jika manusia tidak berbudaya.

Adapun kaitannya dengan pendidikan, Jerome Bruner (1996) memandang bahwa segala upaya guru dalam pembelajaran selalu direfleksikan kepada asumsi-asumsi umum tentang perilaku manusia berdasarkan te-ori-teori tentang belajar dan berpikir. Meru-juk pada pendangan Bruner tersebut, bahwa proses pendidikan akan berlangsung melalui pemanfaatan teori-teori tentang manusia dan perilakunya.

Pandangan guru tentang anak didiknya akan berimplikasi pada proses pembelaja-ran dan tujuan yang akan dicapai dari proses tersebut. Bruner (1996) menjelaskan bah-wa jika sisbah-wa dipandang sebagai pembelajar imitasi (peniru) maka kelulusan dan kecaka-pan akan difokuskan pada pemberian contoh dan cara demonstartif. Jika siswa dipandang

Daris Tamin

sebagai pembelajar ekspose didaktis maka siswa akan dibelajarkan untuk memperesen-tasikan fakta-fakta, prinsip-prinsip, mengin-gat, dan menerapkan.

Kemudian jika anak didik dipandang sebagai pembelajar pemikir, maka pros-es pembelajaran akan difokuskan pada pengembangan pertukaran pemahaman se-cara intersubjektif. Adapun jika anak didik dipandang sebagai orang yang memiliki pen-getahuan banyak maka penekanan proses pembelajarn akan diarahkan pada pengelo-laan suatu objek berdasarkan pengetahuann-ya. Berangkat dari pandangan Bruner (1996) bahwa sudut pandang tentang anak didik saja ternyata akan sangat berpengaruh pada proses dan hasil dari proses tersebut maka bagaimana pula dengan kultur yang jauh leb-ih luas dari paradigma, tentu pengaruhnya akan lebih besar lagi.

Pembelajaran Berbasis Bimbingan dan Konseling

Selain memandu proses pembelajaran di kelas, guru juga berfungsi fungsi dan berper-an sebagai pembimbing. Guru bukberper-an hberper-anya sebagai transformer ilmu dan pengetahuan saja tetapi lebih dari sekadar itu bahwa guru adalah transformer bagi segala tindak-tan-duknya sendiri kepada siswa. Apa yang diya-kininya akan diyakini juga oleh siswanya. Se-gala pernyataannya akan dikutip oleh siswa. Intinya, siswa akan menyerap apa saja yang ada dan ditampailkan oleh gurunya.

Dalam proses pembelajaran, guru akan bertemu dengan keunikan perilaku siswa dan segala kebutuhannya, baik fisik maupun psi-kologis. Siswa tidak hanya menuntut ilmu dan pengetahuan dari gurunya tetapi lebih dari sekadar itu bahwa siswa butuh perhatian dan perlakuan sebagai manusia. Pembelajaran yang berbasis bimbingan dan konseling ada-lah proses pendidikan yang diselenggarakan atas dasar pemahaman tentang hakikat ma-nusia yang memiliki keunikan dan membu-tuhkan perhatian dan perlakuan sebagaimana seharusnya manusia diperlakukan.

Guru dan Budaya Pendidikan

Cara pandang pembelajaran yang ber-basis bimbingan dan konseling akan berim-plikasi pada penegasan guru sebagai elemen penting dalam proses pendidikan. Muro & Kottman (1995: 53) menegaskan bahwa guru merupakan elemen penting dalam imple-mentasi program bimbingan secara kompre-hensif. Posisi guru di kelas sangat signifikan untuk: (1) mendorong siswa agar belajar dan mengembangkan diri secara positif; (2) mem-buka kebutuhan siswa terhadap pencapaian nilai individu yang lebih tinggi (3) melihat pentingnya self-image siswa secara positif, mengembangkan sikap respek, dan mema-hami perbedaan; (4) mengidentifikasi siswa berkebutuhan khusus; (5) menjadi penasihat kunci untuk membangkitkan harapan siswa; (6) memonitor prestasi akademik secara ter-buka dengan orang tua; (7) melakukan referal

Dalam dokumen Journal of Ethics and Character (Halaman 33-57)

Dokumen terkait