Agus Nurcholis Saleh
Abstrak: Penelitian ini bertujuan untuk: (1) mengkaji apa yang membuat guru begitu dimuliakan, dan (2) apakah saat ini posisi guru masih demikian dikenang, ataukah profesional itu hanya ada dalam aturan.
Penelitian ini dilakukan di Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Mathla’ul Anwar Banten, se-jak bulan Januari 2013 sampai bulan September 2013. Metode utama yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif kualitatif. Adapun pendekatan yang digunakan adalah sociological approach, dimana peneliti akan mengajak responden untuk mengingat kembali ingatan mereka saat di kelas-kelas sekolah, dan hubungannya secara sosial dengan para gurunya.
Hasil penelitian menunjukkan ada beragam pendapat responden tentang sosok guru yang masih dikenangnya sampai sekarang. Dari beragam pendapat tersebut, dapat penulis deskripsikan pada tiga kelompok, yaitu guru dike-nang karena: (1) menjadi sosok “protagonis”; (2) menjadi sosok “antagonis”; (3) berkesan antagonis, tetapi menjadi baik karena ketegasan.
Kata Kunci:
Profesionalisme Guru, Kenangan Siswa PENDAHULUAN
Saat dahulu, posisi guru demikian terhor-mat di masyarakat. Meskipun terlihat hidup sederhana dan “melarat”, guru sama terhor-matnya dengan kiai yang menjadi sesepuh di masyarakat. Kemanapun guru itu pergi, masyarakat dengan senang hati mengundang guru itu untuk sekadar singgah sebentar di rumahnya. Kemuliaan yang diberikan oleh masyarakat dijawab oleh guru dengan sikap dan perilaku yang baik serta terhormat. Seka-li profesi guru telah ditekuni, tak ada lagi pe-luang untuk berpindah profesi, meskipun di-tuntut oleh penambahan materi.
Penghormatan masyarakat terhadap guru tidak muncul dengan tiba-tiba. Disamping kare-na profesinya yang begitu mulia, melawan guru adalah dosa, apalagi anak-anaknya telah diberi-kan wawasan pendididiberi-kan serta dibimbing untuk berpendidikan. Bahkan, orang tua demikian
percaya dengan menyerahkan anak-anaknya ke sekolah, untuk dididik oleh guru, tanpa syarat apapun. Guru mendapatkan tempat yang terhormat karena guru telah menun-aikan kewajibannya dalam memenuhi hara-pan masyarakat. Banyak orang tua yang tidak sempat lagi mendidik anak-anaknya secara optimal, dan sangat mempercayakan pendi-dikan anaknya kepada sekolah (guru). Penga-suhan yang baik dari guru direspon baik den-gan peninggian posisi guru di masyarakat.
Secara profesi, guru adalah pekerjaan yang memuliakan. Namun secara ekonomi, guru tak bisa dijadikan tumpuan mata penca-harian. Hal ini menjadi dilema yang seringkali “merusak” subjek pendidikan, dimana peser-ta didik seringkali menjadi korban dari ke-tiadaan komitmen profesional seorang guru dalam mengemban tugasnya. Serbuan glo-balisasi dan modernism yang melanda dunia ini semakin memperparah dilema tersebut.
Agus Nurcholis Saleh
Saat ini, terbukti sudah bahwa banyaknya sekolah, tingginya tingkat pendidikan, dan alokasi anggaran pendidikan yang maksimal, tidak membuat output sekolah terjamin kom-petensinya.
Bahkan, petinggi negeri ini pernah men-yampaikan pernyataan bahwa pelaku korup-si adalah orang-orang yang berpendidikan tinggi, dan alumni dari kampus ternama di Indonesia. Artinya, pendidikan yang tidak menyentuh manusia sampai ke jati dirinya, hanya akan memberikan peluang manusia untuk melakukan kejahatan dengan bantuan ilmu pengetahuan.
Jika ditelusur menuju akar permasalah-annya, maka pihak yang mendapatkan tudu-han dari paradoks kekacauan itu adalah guru yang tidak profesional. Indonesia pernah mempunyai sejarah ketika pengangkatan guru bantu sekolah, yang syarat-syaratnya begitu longgar. Dengan alasan terdesak oleh kebutuhan, kata profesionalisme menjadi terabaikan. Konsekuensinya, tidak pernah ada peningkatan output menjadi outcome dari banyak sekolah di Indonesia. Apalagi, sekolah tidak pernah menerapkan aturan ke-naikan kelas secara ketat tanpa sedikitpun ruang untuk “kasihan”.
Kita harus ingat, jika guru disejajarkan dengan profesi lain yang profesional, maka tak ada cerita seorang dokter diangkat dari pendidikan non-dokter. Seseorang akan ter-pilih menjadi pengemudi karena ia teruji dan kompeten untuk melaksanakan tugas menge-mudi. Pesawat akan mengalami gagal ter-bang jika pilotnya bukan ahli menerter-bangkan pesawat. Namun demikian, cerita itu tidak berlaku untuk guru. Rekruitmen guru tidak-lah seketat dokter, pengemudi, dan pilot. Sia-papun boleh menjadi guru, meski tidak ada keteladanan sama sekali.
Memang, Indonesia sudah memfasilitia-si pendidikan guru, supaya mereka ahli dan kompeten dalam mengelola system pendi-dikan. Tapi kenyataannya, aturan ketat yang
diberlakukan pemerintah mendapatkan “per-lawanan” dari guru itu sendiri. Akhirnya, pe-merintah dan para guru lebih senang memu-puk konflik dibandingkan duduk bersama mencari solusi. Lantas, bagaimana dengan kualitas produk yang dikreasinya jika fasili-tator dan aparat, yang diberikan kewenangan mengelola pendidikan, masih bermasalah.
Ujian Nasional dan sertifikasi adalah ba-gian dari konflik di atas. Negara menghara-pkan peningkatan kualitas guru dari adanya sertifikasi. Namun demikian, guru menjadi lebih sibuk mengurusi hal-hal yang adminis-tratif dibandingkan dengan tugas yang sub-stantive. Ada guru yang jujur menyatakan bahwa tugas administratif lebih besar pors-inya dibandingkan dengan tugas mendidik. Setali tiga uang dengan ujian nasional. Gu-ru-guru merasakan betapa berat beban yang harus ditanggung dari adanya ujian nasional. Tuntutan dan harapan di satuan tingkat pen-didikan begitu lebar perbedaannya. Kebaikan dan idealita malah dibalas dengan ketida-kmampuan pengelolaan di tingkat satuan pendidikan, bahkan dalam mengelola dirinya sendiri.
Dengan demikian, istilah profesionalisme menjadi jauh panggang dari api. Profession yang mengandung arti yang sama pekerjaan yang memerlukan keahlian, tidak menjadi actual dalam kenyataannya. Empat kompe-tensi yang diamanatkan oleh undang-undang menjadi kitab suci yang terlalu ideal untuk dilaksanakan. Di sisi guru, mereka tidak menyadari bahwa itulah konsekuensi yang harus dijalankan ketika memilih profesi se-bagai guru.
Pendidikan kita dewasa ini menunjuk-kan kecenderungan-kecenderungan sebagai berikut: pertama, memperlakukan peser-ta didik sebagai objek. Guru adalah otoripeser-tas tertinggi keilmuan dan indoktrinator. Kedua, materi ajar bersifat subject oriented. Ketiga, manajemen pendidikan masih baru dalam transisi sentralistik menuju desentralistik.
Profesionalisme Guru dan Kenangan Siswa
Akibatnya, pendidikan kita mengisolasi diri dari kehidupan riil yang ada di luar sekolah, kurang relevan antara yang diajarkan dengan kebutuhan dalam pekerjaan, terlalu konsen-trasi pada pengembangan intelektual yang tidak sejalan dengan pengembangan individu sebagai satu kesatuan yang utuh dan berk-pribadian. Keempat, proses pembelajaran di-dominasi oleh tuntutan untuk menghapalkan dan menguasai pelajaran sebanyak mungkin guna menghadapi ujian, dan pada kesempa-tan tersebut peserta didik harus mengeluar-kan apa yang telah dihapalmengeluar-kan (Kunandar, 2011: 20).
Oleh karena itu, wajar jika masih banyak pihak yang mempertanyakan profesional-isme guru. Bukan karena ia sarjana Biologi yang kemudian mengajar Kimia atau Fisika, ataupun guru IPS yang mengajar Bahasa In-donesia. Lebih dari itu, mari kita selidiki apa-kah subjek pendidikan kita telah merasa puas ataukah belum dengan guru-guru yang terse-dia saat ini.
Penelitian ini ingin menyelidiki, apa yang membuat guru begitu dimuliakan, dan apakah saat ini posisi guru masih demikian dikenang, ataukah profesional itu hanya ada dalam aturan. Penelitian sederhana ini ingin membuktikan: “Apa yang membuat guru ma-sih ada dalam kenangan”.
LANDASAN TEORI
Guru adalah sosok manusia yang memiliki pengetahuan dan keterampilan, memiliki pan-dangan yang luas, memberikan ilmu pengeta-huan kepada anak didik baik formal maupun non-formal (Djamarah, 2000: 31). Guru ada-lah seorang pengajar, yang bekerja di dalam kelas untuk memberikan pengetahuan kepada murid di dalam sebuah lembaga pendidikan. Guru adalah seseorang yang kaya dengan pengalaman pendidikan atau dalam mem-berikan dasar untuk menambah kemampuan
dan mengembangkan yang lainnya seseorang yang hadir dan membuat perjanjian dengan mereka (Syarifudin, 2003: 8).
Menurut Undang-undang Repulik Indo-nesia No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pen-didikan Nasional, guru merupakan tenaga profesional yang bertugas merencanakan dan melaksanakan proses pembelajaran, menilai hasil pembelajaran, melakukan hasil bimbin-gan dan pelatihan serta melakukan penelitian dan pengabdian kepada masyarakat, teruta-ma bagi pendidik di perguruan tinggi.
Guru dalam peranannya, dapat ditinjau dalam arti yang luas dan dalam arti yang sempit. Dalam arti yang luas, guru mengem-ban peranan sebagai ukuran kognitif, sebagai agen moral, sebagai inovator, dan kooperatif (Hamalik, 2003: 44). Dalam tugas kognitif-nya, guru bertugas menyampaikan pengeta-huan dan berbagai keterampilan kepada gen-erasi muda. Guru harus mendidik masyarkat untuk melek huruf, cerdas menulis, dan pan-dai berhitung.
Sebagai agen moral, guru harus menjadi teladan dan mengajak peserta didiknya untuk membiasakan diri dengan sikap dan perilaku yang positif. Selain itu, harus menjadi motor penggerak dalam menghindarkan dari per-buatan-perbuatan kriminal dan menyimpang dari ukuran masyarkat. Sebelum siswanya mengikuti, gurunya harus menjadi model yang baik dalam sikap keseharian.
Guru sebagai inovator, memiliki tugas untuk melakukan perubahan dan pengem-bangan dalam pendidikan sehingga terjadi perubahan baru yang mengarah pada pen-ingkatan kualitas sumber daya manusia. Ke-majuan ilmu pengetahuan dan teknologi ha-rus dijawab oleh guru dengan kreativitas ide dan ide itu mudah diterapkan di masyarakat. Paling tidak, guru harus menyebarluaskan gagasan-gagasan baru, dan terus mengajak siswa untuk mengembangkan inovasinya.
Agus Nurcholis Saleh
Untuk mendapatkan keberhasilan dalam menjalankan peran, ketiga tugas tersebut di atas, harus dilaksanakan oleh guru dengan kooperatif. Guru bukan hanya sebagai pe-narik dari gerbong yang tidak mau bergerak. Tapi bagaimana caranya supaya guru mudah menstimulasi subjek didik karena kemauan yang timbul sendiri dari subjek didik. Keber-hasilan itulah yang memberikan status guru sebagai profesional.
Guru yang profesional dituntut untuk mampu mengelola lingkungan belajar. Artin-ya, guru harus membawakan tugasnya secara rasional dan humanis. Guru harus mampu merangsang kreasi dan imajinasi dari setiap subjek didik, dan itu berlangsung dalam sua-sana yang nyaman dan tentram. Tidak ada salahnya jika guru berperan sebagai pem-bantu dalam mengungkap pengalaman bela-jar setiap siswa. Guru juga membantu setiap siswa untuk mampu beradaptasi terhadap perubahan lingkungan, serta membantu ter-jadinya proses belajar yang serasi dengan ke-butuhan dan keinginan.
Guru tidak cukup hanya memiliki penge-tahuan tentang media pendidikan, tetapi juga harus memiliki keterampilan memilih dan menggunakan serta mengusahakan media itu dengan baik. Untuk itu guru perlu men-galami latihan-latihan secara kontinyu dan sistematis, baik melalui pre-service maupun melalui in-service training. Sebagai fasilita-tor, guru hendaknya mampu mengusahakan sumber belajar yang berguna serta dapat menunjang pencapaian tujuan dan proses belajar mengajar, baik yang berupa narasum-ber, buku teks, majalah, ataupun surat kabar (Usman, 2002: 11).
Guru berkewajiban untuk menciptakan iklim kelas, membuka wawasan siswa, dan mempermudah siswa memahami dirinya ke-napa harus belajar. Guru harus berani men-dobrak siswa untuk tidak terkurung dalam sifat malu dan tidak berani mengemukakan gagasan. Guru harus ingat bahwa indikator
keberhasilan dalam mendidik bukan dalam nilai siswa yang maksimal, melainkan dalam aktualisasi intelektual dan sikap siswa dalam bergaul dan bermasyarakat.
Sebagai profesi, guru harus memenuhi tiga kriteria profesional: memenuhi kode etik sebagai acuan dalam melaksanakan tugas, memiliki objek layanan yang tetap, dan diakui oleh masyarakat karena memang diperlukan jasanya oleh masyarakat (Usman, 2002: 15).
Istilah profesionalisme berasal dari kata profesi, yang artinya suatu bidang pekerjaan yang ingin atau akan ditekuni oleh seseorang. Profesi juga dapat diartikan sebagai suatu jabatan atau pekerjaan tertentu yang men-syaratkan pengetahuan dan keterampilan khusus yang diperoleh dari pendidikan aka-demis yang intensif (Rusman, 2012: 15-16).
Profesi adalah suatu pekerjaan atau ja-batan yang menuntut keahlian tertentu. Artinya, suatu pekerjaan atau jabatan yang disebut profesi tidak dapat dipegang oleh sembarang orang, tetapi memerlukan persia-pan melalui pendidikan dan pelatihan secara khusus (Kunandar, 2011: 45).
Seiring dengan tanggung jawab profe-sional pengajar dalam proses pembelajaran, maka dalam melaksanakan kegiatan pem-belajaran setiap guru dituntut untuk selalu menyiapkan segala sesuatu yang berhubun-gan denberhubun-gan program pembelajaran yang akan berlangsung. Tujuannya adalah agar kegiatan pembelajaran berjalan efektif dan efisien, yai-tu yai-tujuan akhir yang diharapkan dapat dikua-sai oleh semua peserta didik (Uno dan Moha-mad, 2011: 1).
Profesionalisme menuntut guru untuk memiliki berbagai kemampuan berikut ini: 1. Mengenal secara mendalam peserta didik
yang hendak dilayani;
2. Menguasai bidang ilmu sumber bahan aja-ran, baik dari segi substansi dan metodolo-gi, maupun pengemasan bidang ilmu da-lam bentuk bahan ajar;
Profesionalisme Guru dan Kenangan Siswa
3. Menyelenggarakan pembelajaran yang mendidik, mencakup (a) perancangan program pembelajaran berdasarkan serangkaian keputusan situasional, dan (b) implementasi program pembelajaran termasuk penyesuaian jalan berdasarkan on going transactional decisions;
4. Mengembangkan kemampuan profesional secara berkelanjutan (Muslich, 2009: 7-8). 5. Guru sebagai pendidik profesional mem-punyai citra yang baik di masyarakat. Ci-tra itu diperoleh guru karena ia berhasil menunjukkan kepada masyarakat bahwa ia layak menjadi panutan atau teladan bagi masyarakat. Masyarakat akan melihat bagaimana sikap dan perbuatan guru itu sehari-hari, apakah memang ada yang pa-tut diteladani atau tidak. Bagaimana guru meningkatkan pelayanannya, meningkat-kan pengetahuannya, memberi arahan dan dorongan kepada anak didiknya. Mas-yarakat akan memperhatikan bagaimana cara guru berpakaian, berbicara serta ber-gaul dengan siswa, dengan teman-teman-nya serta anggota masyarakat lainteman-teman-nya (Soejipto dan Kosasi, 2007: 42-43).
Profesional adalah pekerjaan atau kegia-tan yang dilakukan seseorang dan menja-di sumber penghasilan (Muslich, 2009: 11). Dengan demikian, pekerjaan itu membutuh-kan keahlian, kemahiran, atau kecakapan tertentu yang memenuhi standar mutu, bah-kan lulus pendidibah-kan profesi. Menurut Oe-mar Hamalik, profesionalisme guru berarti jabatan ini memerlukan suatu keahlian khu-sus. Pekerjaan ini tidak dapat dikerjakan oleh sembarang orang tanpa memiliki keahlian sebagai guru (Hamalik, 2003: 118).
Menurut Wina Sanjaya, syarat pokok pekerjaan profesional adalah sebagai berikut: 1. Pekerjaan profesional ditunjang oleh suatu
ilmu tertentu secara mendalam yang hanya mungkin didapatkan dari lembaga pendikan yang sesuai, sehingga kinerjanya di-dasarkan kepada keilmuan yang dimilikinya,
dan dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah.
2. Suatu profesi menekankan kepada suatu keahlian dalam bidang tertentu yang spesi-fik sesuai dengan jenis profesinya sehingga antara profesi yang satu dengan yang lain-nya dapat dipisahkan secara tegas.
3. Tingkat kemampuan dan keahlian suatu profesi didasarkan kepada latar belakang pendidikan yang dialaminya dan diakui oleh masyarakat, sehingga semakin tinggi latar belakang pendidikan akademiknya semakin tinggi pula tingkat keahliannya, dan semakin tinggi pula tingkat penghar-gaan yang diterimanya.
4. Suatu profesi, selain dibutuhkan oleh mas-yarakat, memiliki dampak sosial kemas-yarakatan, sehingga masyarakat memili-ki tingkat kepekaan yang tinggi terhadap efek yang ditimbulkan dari pekerjaan pro-fesi tersebut (Sanjaya, 2005: 142-143).
Seorang guru harus menguasai bahan sebagai landasan pokok untuk keterampilan mengajar (Satori, dkk., 2008: 2.24). Seorang guru harus mengetahui, memahami, men-gaplikasikan, menganalisis, membuat sinte-sis, dan melaksanakan evaluasi dari sejumlah pengetahuan yang telah diajarkannya.
Menurut Oemar Hamalik (1989: 15), Guru yang profesional yaitu (1). Mampu mengem-bangkan tanggung jawab jabatan guru; (2). Mampu melaksanakan fungsi dan peranan guru; (3). Mampu bekerja dalam usaha men-capai tujuan pendidikan sekolah; dan (4). Mampu melaksanakan peranannya dalam proses belajar mengajar.
Guru dapat dikatakan bertanggung-jawab jika ia mampu membuat pilihan dan keputusan atas dasar nilai dan norma-nor-ma tertentu yang bersumber dari lingkun-gan sosialnya. Setiap guru yang profesional memiliki tanggungjawab dalam bidang pen-didikan yang menyangkut proses konservasi nilai, menciptakan, modifikasi dan mengkon-struksikan nilai-nilai baru.
Menurut Soekarwati guru yang memiliki kompetensi profesional adalah guru yang:
Agus Nurcholis Saleh
1. Mempunyai keahlian terhadap ilmu peng-etahuan (bahan ajar);
2. Mempunyai keahlian dalam memberikan pengajaran;
3. Mampu memberikan motivasi pada siswa; 4. Mampu menjadi manajer di kelas;
5. Mampu bertindak sebagai pemimpin; 6. Mempunyai keahlian dalam memberikan
bimbingan;
7. Mempunyai keahlian dalam memberdaya-kan lingkungan yang kondusif;
8. Mampu menjadi figur yang berwatak ing-ngarso-sung-tulodo, ing-madyo-ma-ngun-karso, dan tut wuri handayani; 9. Mampu membuat suasana kelas yang
ter-kontrol;
10. Mampu menerapkan umpan balik;
11. Mampu memberikan rasa humor agar pengajaran tidak membosankan;
12. Mampu menerapkan hasil-hasil peneli-tian, terutama berkaitan dengan bahan ajar, dan
13. Mampu melaksanakan instructional de-sign (Soekawati, 1995: 20).
Akhirnya, peningkatan profesionalisme guru ditentukan oleh guru itu sendiri. Untuk meningkatkan profesionalismenya, guru ha-rus selalu beha-rusaha untuk melakukan hal-hal sebagai berikut:
1. Memahami tuntutan standar profesi yang ada;
2. Mencapai kualifikasi dan kompetensi yang dipersyaratkan;
3. Membangun hubungan kesejawatan yang baik dan luas termasuk lewat organisasi profesi;
4. Mengembangkan etos kerja atau budaya kerja yang mengutamakan pelayanan ber-mutu tinggi kepada konstituen;
5. Mengadopsi inovasi atau mengembangkan kreatifitas dalam pemanfaatan teknologi komunikasi dan informasi mutakhir agar senantiasa tidak ketinggalan dalam ke-mampuannya mengelola pembelajaran (Mustofa, 2007: 85).
6. Upaya memahami tuntutan standar profesi yang ada harus ditempatkan se-bagai prioritas utama jika guru kita in-gin meningkatkan profesionalismenya. Berikut beberapa paradigma baru yang
harus diperhatikan oleh para guru: (a) Ti-dak terjebak pada rutinitas belaka, teta-pi selalu mengembangkan dan member-dayakan diri secara terus-menerus untuk meningkatkan kualifikasi dan kompeten-sinya, baik melalui pendidikan formal maupun pelatihan, seminar, lokakarya, dan kegiatan sejenisnya. Guru jangan ter-jebak pada aktivitas dating, mengajar, pulang, begitu berulang-ulang sehingga lupa mengembangan potensi diri secara maksimal; (b) Guru mampu menyusun dan melaksanakan strategi dan model pembelajaran yang aktif, inovatif, kreat-if, efektkreat-if, dan menyenangkan (PAIKEM) yang dapat menggairahkan motivasi bela-jar peserta didik. Guru harus menguasai berbagai macam strategi dan pendekatan serta model pembelajaran sehingga proses belajar-mengajar berlangsung dalam sua-sana kondusif dan menyenangkan.
7. Dominasi guru dalam pembelajaran di-kurangi sehingga memberikan kesempata kepada peserta didik untuk lebih berani, mandiri, dan kreatif dalam proses belajar mengajar.
8. Guru mampu memodifikasi dan memper-kaya bahan pembelajaran sehingga peserta didik menddapatkan sumber belajar yang lebih bervariasi.
9. Guru menyukai apa yang diajarkannya dan menyukai mengajar sebagai suatu profesi yang menyenangkan.
10. Guru mengikuti perkembangan ilmu pen-getahuan dan teknologi yang mutakhir se-hingga memiliki wawasan yang luas dan tidak tertinggal dengan informasi terkini. 11. Guru mampu menjadi teladan bagi peserta
didik dan masyarakat luas dengan selalu menunjukkan sikap dan perbuatan yang terpuji dan mempunyai integritas yang tinggi.
12. Guru mempunyai visi ke depan dan mam-pu membaca tantangan zaman sehingga siap menghadapi perubahan dunia yang tak menentu yang membutuhkan kecaka-pan dan kesiakecaka-pan yang baik (Kunandar, 2011: 42-43).
Profesionalisme Guru dan Kenangan Siswa
Dari beberapa point tersebut di atas, guru harus beradaptasi dengan cepat dengan din-amika global. Guru juga harus mengikuti tun-tutan perkembangan profesi dan tuntun-tutan masyarakat yang menghendaki pelayanan yang lebih baik. Cara satu-satunya untuk memenuhi standar profesi ini adalah dengan belajar secara terus menerus sepanjang hayat, dengan mem-buka diri yakni mau mendengar dan melihat perkembangan baru di bidangnya. Kemudian upaya mencapai kualifikasi dan kompetensi yang dipersyaratkan juga tidak kalah penting-nya bagi guru. Dengan dipenuhipenting-nya kualifika-si dan kompetenkualifika-si yang memadai maka guru memiliki posisi tawar yang kuat dan memenuhi syarat yang dibutuhkan. Peningkatan kualitas dan kompetensi ini dapat ditempuh melalui in-service training dan berbagai upaya lain un-tuk memperoleh sertifikasi.
Upaya membangun hubungan kesejawatan yang baik dan luas dapat dilakukan guru den-gan membina jarinden-gan kerja. Guru harus beru-saha mengetahui apa yang telah dilakukan oleh sejawatnya yang sukses. Sehingga bisa belajar untuk mencapai sukses yang sama atau bahkan bisa lebih baik lagi. Melalui networking inilah guru memperoleh akses terhadap inovasi-ino-vasi di bidang profesinya. Jaringan kerja guru bisa dimulai dengan skala sempit, misalnya mengadakan pertemuan informal kekeluar-gaan dengan sesama teman, sambil berolahra-ga, silaturahmi atau melakukan kegiatan sosial lainnya. Pada kesempatan seperti itu, guru bisa membincangkan secara leluasa kisah suksesnya atau sukses rekannya sehingga mereka dapat mengambil pelajaran lewat obrolan yang santai.
Selanjutnya upaya membangun etos kerja atau budaya kerja yang mengutamakan pelava-nan bermutu tinggi kepada konstituen merupa-kan suatu keharusan di zaman sekarang. Semua bidang dituntut untuk memberikan pelayanan prima. Guru pun harus memberikan pelayanan prima kepada konstituennya yaitu siswa, orangtua dan sekolah sebagai stakeholder. Ter-lebih lagi pelayanan pendidikan adalah terma-suk pelayanan publik yang didanai, diadakan, dikontrol oleh dan untuk kepentingan publik. Oleh karena itu guru harus mempertanggung-jawabkan pelaksanaan tugasnya kepada publik (Mustofa, 2007: 86).
Dengan demikian, yang dimaksud dengan profesionalisme guru dalam penelitian ini ada-lah bagaimana upaya guru dalam memenuhi