• Tidak ada hasil yang ditemukan

Journal of Ethics and Character

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Journal of Ethics and Character"

Copied!
119
0
0

Teks penuh

(1)
(2)
(3)

Pembina

: Rektor Universitas Mathla’ul Anwar Banten

Prof. Dr. H. M. Bambang Pranowo, M.A.

Penanggung Jawab : Ketua LP3M Universitas Mathla’ul Anwar

Drs. H. Syihabudin, M.M.

Pemimpin Redaksi : Ade Hidayat, S.Fil., M.Pd.

Penyunting Ahli

: Dr. Ukun Kurnia, M.Pd.

Sanusi, S.E., M.M.

Drs. Jihaduddin, M.Pd.

Drs. Ali Nurdin, M.Si.

Drs. Akhsan Sukroni, M.Si.

Redaktur Pelaksana : Agus Nurcholis Saleh, M.Ud.

Enci Zarkasih, M.Pd.

Drs. H. Hatami Kastura, S.Pd.I.

Yasser Arafat, M.Pd.

Tata Usaha

: Nasrullah, S.Ip.

Mitra Bestari

: Prof. Dr. H. Encep Syarifudin, M.A. (IAIN Serang)

Ali Nurdin, Ph.D. (UIN Sunan Gunung Djati Bandung)

Hilman Latif, Ph.D. (Univ. Muhammadiyah Yogyakarta)

Penerbit :

Lembaga Penelitian, Pengembangan, dan Pengabdian pada Masyarakat (LP3M) Universitas Mathla’ul Anwar Banten

Alamat Redaksi:

Jl. Raya Labuan KM. 23, Cikaliung, Saketi, Pandeglang 42273 Telp. (0253) 401307; Fax. (0253) 401308

Email: jep@unmabanten.ac.id Website: www.unmabanten.ac.id

(4)

SALAM REDAKSI

Riak-riak pemikiran etika pada dekade sekarang kembali mendapat momennya. Hal ini disebabkan oleh semakin bisingnya persoalan kemanusiaan yang berkait kelindan dengan pe-mikiran etika, akhlak, perilaku, ataupun bahasa lain yang mewakilinya. Riak pepe-mikiran ini me-mang sangat dirindukan, mengingat semakin akutnya persoalan kemanusiaan kita. Keterde-sakan akan pentingnya pil pengetahuan tersebut sebagai obat mujarab semua persoalan yang diakibatkan oleh ulah manusia yang tanpa batas. Ngakunya memberdayakan Sumber Daya Alam dan Manusia, tapi nyatanya mengeksploitasi alam dan justru menindas manusia.

Renungan pemikiran manusia ini mengingatkan kepada kita semua akan sisi lain ke-manusiaan kita. Atau sekedar menertawakan atas ulah dan perilaku sadis kita, dibalik re-nungan segala bentuk niatan motivasi awal kita berkehendak. Sekaligus mengingatkan kepada dunia kampus yang janganlah hanya menjadi pencetak robot-robot sarjana pekerja pekerja, yang mengenyampingkan sisi-sisi akhlak kemanusiaan. Atau kalau tidak demiki-an, maka masyarakat ilmiah kita hanya akan menghasilkan para robot pekerja yang berti-tel: Sarjana Ekonomi, hanya akan menjadi ekonom penindas masyarakat. Sarjana Fisipol, hanya menjadi politikus penipu masyarakat. Sarjana Kesehatan, hanya menjadi “pelayan” kesehatan yang berbasis untung dan rugi. Sarjana Agama, hanya menjadi pengusung ka-pitalisasi agama dan lembaga keagamaan. Na’udzubillah… Manusia seakan hadir dalam sesosok “robot” yang bengis, sadis, tanpa perasaan, dan mencabik-cabik setiap nurani dan budi pekerti.

Kriminalitas dan Kekerasan sesama manusia adalah nadi yang setiap hari berdetak. Sedangkan, dunia semakin sesak dengan polusi dan bahan kimia yang membunuh. Lalu di-manakah peran pendidikan sebagai guru terbaik penuntun umat manusia? Berawal dari latar belakang di atas, jurnal ini mewujud untuk kedua kalinya. Sekedar berikhtiar dalam rangka merekonstruksi ulang dalam membentuk manusia yang paripurna. Manusia yang cerdas otak-nya, lembut hatiotak-nya, dan terampil tangannya. Kami menyadari usaha praksis di lapangan be-rawal dari kesadaran pengetahuan di bangku ilmiah.

Dalam jurnal ini kami mengawali pembaca dengan mengajak pembaca berselancar mena-fakuri tulisan pertama dari Ade Hidayat yang berjudul Persepsi dan Perilaku Mahasiswa dalam Pendidikan Karakter. Tulisan ini menjadi gerbang pembuka pembahasan mengenai riset implementasi perjalanan pendidikan karakter di Universitas Mathla’ul Anwar (UNMA) Banten. Sebuah usaha dalam renungan etika bersama mengenai pentingnya uswah hasanah, yang secara paripurna, perlu ada skenario pembiasaan yang dilakukan secara terstruktur dan sistemik dalam membangun kebiasaan positif, tidak hanya bagi mahasiswa namun juga bagi seluruh pimpinan, dosen dan karyawan. Sehingga, pembelajaran harus dimaknai tidak hanya sebagai aktivitas perkuliahan di kelas, namun seluruh proses dan interaksi yang terjadi di da-lam maupun di luar kampus.

(5)

Tulisan kedua, pembaca diajak untuk berselancar mengenai etika gender dalam local genius masyarakat Sunda. Kearifan Sunda memberikan pemahaman utuh mengenai pentin-gnya harmoni dalam relasi gender. Sejarah etika feminisme Barat hanyalah cukup member-ikan gambaran yang menohok mata kepada kita, betapa konsepsi feminismenya hanyalah melahirkan sebuah gerakan dan pemberontakan dari perempuan kepada lawan jenisnya. Tulisan Heri Mohamad Tohari yang berjudul Feminisme Sunda Kuno, memberikan renun-gan menyentuh betapa relasi gender dalam masyarakat Sunda Kuno menempatkan perem-puan pada ruang terhormat dalam balutan harmoni yang justru tidak menindas kaum la-ki-laki. Tulisan ketiga, dari Daris Tamin membawakan judul Guru dan Budaya Pendidikan Berbasis Bimbingan dan Konseling, memotret sistem budaya sekolah untuk menemukan sosok etika guru yang menampilkan budaya pendidikan berbasis bimbingan dan konseling dalam proses pembelajaran.

Selanjutnya, tulisan keempat dari Eko Supriatno berjudul Proses Pembelajaran PKn Melalui Pemanfaatan Internet dalam Peningkatan Hasil Belajar Siswa. Bahwa untuk mencerdaskan siswa dalam Pendidikan Kewarganegaraan bisa memanfaat fasilitas apapun, tak terkecuali internet. Kemudian tulisan kelima dari Mardiah Hapsah berjudul Globalisa-si Erotika Media, mengajak pembaca mengkritiGlobalisa-si berbagai iklan di televiGlobalisa-si yang ternyata banyak mengekploitasi seksualitas kaum hawa untuk menarik pelanggan. Para “penjaja” kapitalisme membuat iklan berwajah seks demikian masif melabrak batas norma dan etika untuk dipertontonkan khalayak, tak terkecuali anak-anak, maka tidak heran berbagai kasus pelanggaran moral marak terjadi di negeri ini. Tentu saja ini menjadi kekhawatiran kita bersama.

Tulisan keenam tidak kalah menariknya, mengusung judul Profesionalisme Guru dan Kenangan Siswa Terhadap Guru, penulis Agus Nurcholis Saleh mengajak pembaca seakan mengenang kembali memori akan sosok guru ketika masa-masa di bangku sekolah. Sosok guru profesional dijabarkan luas dalam tulisan ini, dan tentunya seorang guru profesional akan menempati ruang khusus di relung hati terdalam “mantan” siswanya. Dilanjutkan dengan tulisan ketujuh yang menutup manis oleh tulisan dari Sri Mulyanah, Munir Satiar, dan Hadi Arifin berjudul Pengaruh Kepribadian Guru PAI Terhadap Akhlak Siswa. Tu-lisan ini kembali menegaskan pembaca akan pentingnya kepribadian guru dalam memben-tuk watak atau karakter (akhlak) siswa.

Semoga dengan kehadiran jurnal kedua ini menjadi obat penawar akan dahaga kita semua yang merindukan sosok-sosok manusia baru yang memiliki Etika dan Budi Pekerti yang luar biasa. Kehadiran jurnal yang belia ini, menandai minimnya sebuah pengalaman. Serasa kepala ini bersimpuh memohon maklum atas segala noda dan kekurangan yang hadir dalam jurnal ini. Teriring doa semoga jurnal ini bermanfaat untuk sekalian pembaca.

Salam hangat, Redaksi

(6)

DAFTAR ISI

iv

Salam Redaksi

vi

Daftar Isi

1

Ade Hidayat

Persepsi dan Perilaku Mahasiswa dalam Pendidikan Karakter:

Studi Deskripsi di FKIP UNMA Banten Tahun 2013

13

Heri Mohamad Tohari

Feminisme Sunda Kuno:

Studi Interpretasi Kritis Akulturasi Nilai-Nilai Kesetaraan

Gender Sunda-Islam dalam Carita Pantun Sri Sadana

27

Daris Tamin

Guru dan Budaya Pendidikan Berbasis Bimbingan dan Konseling

51

Eko Supriatno

Proses Pembelajaran PKn Melalui Pemanfaatan Internet

dalam Peningkatan Hasil Belajar Siswa:

Studi di Madrasah Aliyah An-Nizhomiyyah Labuan Kab. Pandeglang.

77

Mardiah Hapsah

Globalisasi Erotika Media:

Studi Kritis terhadap Etika Seksualitas Iklan Televisi

93

Agus Nurcholis Saleh

Profesionalisme Guru dan Kenangan Siswa terhadap Guru:

Studi di Program Studi Pendidikan Matematika FKIP UNMA Banten

103 Sri Mulyanah, Munir Satiar, Hadi Arifin

Pengaruh Kepribadian Guru PAI Terhadap Akhlak Siswa:

Studi Analisis di MDA Miftahul Hidayah Carita

(7)

PERSEPSI DAN PERILAKU MAHASISWA DALAM

PENDIDIKAN KARAKTER

(STUDI DESKRIPSI DI FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU

PENDIDIKAN UNIVERSITAS MATHLA’UL ANWAR BANTEN TAHUN 2013)

Ade Hidayat

ABSTRAK: Penelitian ini bertujuan untuk (1) mengetahui persepsi mahasiswa Fakultas Keguruan dan Ilmu Pen-didikan Universitas Mathla’ul Anwar Banten terhadap penPen-didikan karakter dalam pelaksanaan visi FKIP UNMA Banten, (2) mengetahui strategi penerapan visi FKIP UNMA Banten, (3) mengetahui perilaku mahasiswa sebagai proses dan hasil penerapan visi FKIP UNMA Banten tersebut.

Penelitian ini dilaksanakan di FKIP UNMA Banten pada bulan Juli sampai September 2013. Penelitian meng-gunakan metode pendekatan deskriptif kualitatif. Sumber data berasal dari mahasiswa, dosen dan pimpinan FKIP UNMA Banten. Teknik pengambilan responden yang digunakan yaitu teknik purposive sampling. Sedangkan teknik pengumpulan data yang digunakan yaitu observasi langsung, wawancara, dan analisis dokumen.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa: (1) Pemahaman responden mengenai penjabaran visi unggul dan ber-akhlakul karimah sangat beragam. Namun hal ini disepakati sebagai kriteria ideal yang harus ada dalam kepriba-dian pendidik, yang diharapkan dimiliki oleh mahasiswa FKIP sebagai calon guru. Unggul dan ber-akhlakul karimah yang berarti berkarakter terpuji dan ideal dijabarkan sebagai keseimbangan antara IQ, SQ, dan EQ yang mampu diaplikasikan dalam pemikiran, sikap, maupun perilaku praksis dalam kehidupan sehari-hari, yang mengarah pada perubahan positif bagi dirinya dan orang lain atau masyarakat. (2) Untuk membentuk calon pendidik yang unggul dan ber-akhlakul karimah, pendidikan karakter dilaksanakan secara bertahap melalui kurikulum, program dan ke-bijakan, penciptaan lingkungan yang sehat dan kondusif, keteladanan serta pengawasan. Pendidikan karakter bukan merupakan mata kuliah khusus, melainkan terintegrasi dalam kurikulum dan pengajaran. Dosen berperan penting sebagai figur teladan bagi mahasiswa. (3) Pendidikan karakter islami (akhlakul karimah) dalam segi fisik sudah dijalankan, seperti diatur melalui kebijakan berbusana, tetapi pendidikan karakter juga terhambat karena budaya non-edukatif seperti kecurangan mahasiswa dalam ujian dan tugas yang dianggap wajar. FKIP belum menetapkan kriteria resmi evaluasi pendidikan karakter, sehingga penilaian keberhasilan hanya sampai pada pengamatan indi-vidual. Mahasiswa belum mengaplikasikan nilai-nilai akhlakul karimah secara optimal, karena kurang paham atas makna akhlakul karimah, belum terbentuknya kesadaran pribadi, belum ada contoh yang bisa diteladani, serta kurang ada sosialisasi lebih lanjut terkait dengan program dan kebijakan.

Kata kunci:

Persepsi, Perilaku, Pendidikan Karakter, Mahasiswa PENDAHULUAN

Krisis multi dimensi yang dialami bang-sa Indonesia bang-saat ini telah memberi dampak yang besar dalam berbagai tatanan kehidupan bangsa. Banyak yang mengatakan bahwa ma-salah terbesar yang dihadapi bangsa Indone-sia adalah terletak pada aspek moral. Aksi ke-kerasan, teror, korupsi, dan berbagai perilaku tidak jujur lainnya telah menjadi sebuah kela-tahan kolektif. Melihat kondisi bangsa

sema-cam itu, pendidikan yang menjadi basis dan wadah pembentukan karakter, jelas mengh-adapi tantangan yang makin rumit dan kom-pleks.

Pendidikan merupakan salah satu modal dasar pembangunan nasional di setiap neg-ara, termasuk di Indonesia. Pembangunan nasional di Indonesia dipahami memiliki dua dimensi global. Pertama yang berdimensi fisik material, dan yang kedua berkaitan den-gan aspek mental spiritual. Secara fisik

(8)

ma-terial, walau bagaimanapun pembangunan di Indonesia dapat dikatakan sudah menca-pai tingkat keberhasilan yang cukup tinggi. Namun dalam hal mental spiritual, nam-paknya masih harus terus ditingkatkan. Berbagai upaya untuk meningkatkan keber-hasilan pembangunan nasional di bidang mental spiritual ini dilaksanakan melalui sektor pendidikan. Bahkan dalam UU RI No. 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) Bab II Pasal 2 yang me-negaskan, bahwa pendidikan nasional ber-tujuan mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencer-daskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertak-wa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandi-ri, dan menjadi warga negara yang demokra-tis dan bertanggung jawab.

Isi ketentuan yuridis formal di atas mengandung indikasi tentang betapa pen- tingnya pola pembinaan yang tidak hanya mengandalkan kecerdasan saja, melainkan mengasah kemampuan kematangan di luar kecerdasan kognitif seperti: keagamaan, mo-ralitas, pengendalian diri, kepribadian, akh-lak mulia, dan sebagainya.

Pada tahun 2010 Balitbang Kemendiknas, merespon pentingnya wacana tersebut dalam grand tema yang disebut, “Pengembangan Pendidikan Budaya dan Karakter Bangsa”. Budaya yang dimaksud memiliki pengertian sebagai keseluruhan sistem berfikir, nilai, moral, norma dan keyakinan (belief) manu-sia yang dihasilkan masyarakat. Sedangkan karakter adalah watak, tabiat, akhlak, atau kepribadian seseorang yang terbentuk dari hasil internalisasi berbagai kebajikan (vir-tues) yang diyakininya dan digunakannya se-bagai landasan untuk cara pandang, bersikap, dan bertindak (Kemendiknas, 2010).

Pendidikan budaya dan karakter bangsa adalah usaha bersama di berbagai tingkatan

pendidikan yang dilakukan secara bersama oleh semua staf pengajar (guru dan dosen) dan pimpinan sekolah dan perguruan tinggi, melalui semua mata pelajaran dan mata kuli-ah, dan menjadi bagian yang tak terpisahkan dari budaya sekolah dan kampus. Program ini mencoba untuk mengkombinasikan: olah pikir, olah hati, olah rasa/karsa, dan olah raga. Semua kombinasi ”olah” ini bermuara terhadap nilai-nilai luhur dan perilaku berk-arakter.

Adapun yang menjadi sumber nilai-nilai tersebut menurut Balitbang Depdiknas ada-lah:

Agama: nilai-nilai pendidikan budaya dan karakter bangsa harus didasarkan pada nilai-nilai dan kaidah yang berasal dari agama.

Pancasila: Pendidikan budaya dan karak-ter bangsa bertujuan mempersiapkan peserta didik menjadi warga negara yang lebih baik, yaitu warga negara yang memiliki kemam-puan, kemauan, dan menerapkan nilai-nilai Pancasila dalam kehidupannya sebagai war-ga newar-gara.

Budaya: tidak ada manusia yang hidup bermasyarakat yang tidak didasari oleh nilai-nilai budaya yang diakui masyarakat terse-but. Nilai-nilai budaya tersebut dijadikan dasar dalam memberi makna terhadap suatu konsep dan arti dalam komunikasi antarang-gota masyarakat tersebut.

Tujuan Pendidikan Nasional; tujuan pendidikan nasional adalah sumber yang paling operasional dalam pengembangan pendidikan budaya dan karakter bangsa dibandingkan ketiga sumber yang disebut-kan di atas.

Sedangkan Nilai-nilai dalam Pendidikan Budaya dan Karakter Bangsa yang dikon-sepsikan ke dalam delapan belas nilai oleh Balitbang Depdiknas. Kedelapan belas nilai tersebut adalah: (1) Religius; (2) Jujur; (3) Toleransi; (4) Disiplin; (5) Kerja Keras; (6) Kreatif; (7) Mandiri; (8) Demokratis; (9) Rasa Ingin Tahu; (10) Semangat Kebangsaan;

(9)

(11) Cinta Tanah Air; (12) Menghargai Prestasi; (13) Bersahabat/Komunikatif; (14) Cinta Da-mai; (15) Gemar Membaca; (16) Peduli Lingku- ngan; (17) Peduli Sosial; 18) Tanggung-jawab.

Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) Universitas Mathla’ul Anwar (UNMA) Banten merupakan sebuah Lembaga Pendi-dikan Tenaga KependiPendi-dikan (LPTK), yang didirikan untuk mencetak tenaga-tenaga pendidik yang handal dan profesional. Un-tuk menghasilkan tenaga pendidik yang baik maka diperlukan lembaga pendidikan yang baik pula. Kualitas pendidikan ditandai oleh kualitas lulusan LPTK, sehingga kualitas LPTK harus senantiasa dibangun dan dikem-bangkan agar menghasilkan lulusan yang berkualitas pula. Dalam konteks membangun karakter calon generasi bangsa, penyiapan calon tenaga pendidik profesional yang berkarak-ter tentunya memiliki korelasi yang tinggi. Sebab setiap calon pendidik dewasa ini ditun-tut memiliki kemampuan dalam membina karakter peserta didiknya, sehingga pembi-naan karakter mahasiswa calon tenaga pen-didik harus merupakan bagian yang tidak ter-pisahkan dari pendidikan profesional tenaga pendidik selama di lingkungan kampus. Oleh karena itu FKIP UNMA Banten mengusung visi menjadi LPTK yang unggul dan berakh-lakul karimah dalam pengembangan sumber-daya manusia dan pengembangan masyarakat.

Nilai akhlakul karimah bersumber dari agama (Islam). Akhlakul karimah atau atau disebut juga akhlak islamiyah adalah suatu sistem akhlak yang berpedoman kepada Al-Qur’an dan Hadits. Dengan demikian kriteria baik dan buruknya suatu perbuatan tidak lep-as dari garis Al-Qur’an dan Hadits (Mulyadi, 1997: 9).

Akhlak juga sering disebut dengan ting-kah laku, perangai, budi pekerti. Menurut Yatimin Abdullah, akhlakul karimah merupa-kan tanda kesempurnaan iman seorang kepada Allah. Akhlakul karimah dilahirkan berdasar-kan sifat-sifat terpuji. (Abdullah, 2007: 40).

Kriteria nilai-nilai akhlakul karimah menurut Said Agil Husin (2003: 42) terli-hat pada kebiasaan: (1) untuk melaksanakan shalat berjamaah; (2) menegakkan sikap di-siplin; (3) memelihara kebersihan; (4) men-jaga ketertiban; (5) memelihara kejujuran; (6) bersikap saling tolong menolong.

Grand design unggul dan ber-akhlakul karimah (berkarakter terpuji—kuat dan ide-al) seperti dalam kriteria di atas ternyata belum dapat dilaksanakan dengan optimal. Realita di lapangan masih banyak ditemu-kan penyimpangan-penyimpangan perilaku sebagai bukti adanya kesenjangan antara in-dikator nilai berkarakter kuat dan ideal den-gan pelaksanaan praktis di lapanden-gan. Denden-gan demikian penelitian ini dilakukan untuk mengetahui bagaimana jalannya proses pen-didikan karakter dan hasil perilaku sebagai upaya mencapai visi akhlakul karimah di FKIP UNMA Banten.

Dalam penelitian ini, yang menjadi ru-musan masalah adalah (1) bagaimana persep-si mahapersep-siswa terhadap pendidikan karakter dalam pencapaian visi FKIP UNMA Banten, (2) bagaimana strategi penerapan pendidikan karakter dalam upaya mencapai visi FKIP UNMA Banten (3) bagaimana perilaku maha-siswa di FKIP UNMA Banten sebagai proses dan hasil penerapan pendidikan karakter da-lam upaya mencapai visi FKIP UNMA Banten tersebut.

Penelitian ini bertujuan untuk (1) mengetahui persepsi mahasiswa terhadap pendidikan karakter dalam pelaksanaan visi FKIP UNMA Banten; (2) mengetahui strate-gi penerapan atau implementasi pendidikan karakter dalam upaya mencapai visi FKIP UNMA Banten; (3) mengetahui perilaku ma-hasiswa FKIP UNMA Banten sebagai proses dan hasil penerapan pendidikan karakter da-lam upaya mencapai visi FKIP UNMA Banten tersebut.

(10)

TINJAUAN PUSTAKA

Pendidikan karakter dapat dimaknai sebagai pendidikan nilai, pendidikan budi pekerti, pendidikan moral, pendidikan watak, yang bertujuan mengembangkan ke-mampuan peserta didik untuk memberi-kan keputusan baik buruk, memelihara apa yang baik, dan mewujudkan kebaikan itu da-lam kehidupan sehari-hari dengan sepenuh hati (Winataputra, 2010: 8). Pembentukan dan pengembangan karakter sebagai upaya pendidikan diharapkan dapat memberikan dampak positif baik bagi individu secara per-sonal maupun bagi lingkungannya. Hal ini sesuai pendapat Megawangi (2004) bahwa pendidikan karakter adalah sebuah usaha un-tuk mendidik anak-anak agar dapat mengam-bil keputusan dengan bijak dan mempraktik-kannya dalam kehidupan sehari-hari, sehingga mereka dapat memberikan kontribusi positif terhadap lingkungan.

Menurut Kementerian Pendidikan Na-sional (2010: 3) karakter adalah watak, tabi-at, akhlak, atau kepribadian seseorang yang terbentuk dari hasil internalisasi berbagai kebajikan (virtues) yang diyakini dan digu-nakan sebagai landasan untuk cara pandang, berpikir, bersikap, dan bertindak. Terminolo-gi karakter sedikitnya memuat dua hal yaitu nilai-nilai (values) dan kepribadian. Sebagai suatu cerminan dari kepribadian yang utuh, karakter mendasarkan diri pada tata nilai yang dianut masyarakat. Tata nilai yang men-dasari pemikiran serta perilaku individu ini ditanamkan dengan proses internalisasi nilai yang sesuai dengan budaya yang dianut oleh masyarakat. Proses internalisasi inilah yang kemudian membentuk karakter seorang indi-vidu.

Sebagai upaya untuk meningkatkan kese-suaian dan mutu pendidikan karakter, Kemen-terian Pendidikan Nasional mengembangkan grand design pendidikan karakter untuk seti-ap jalur, jenjang, dan jenis satuan pendidikan. Grand design menjadi rujukan konseptual dan

operasional pengembangan, pelaksanaan, dan penilaian pada setiap jalur dan jenjang pendi-dikan.

Konfigurasi karakter dalam konteks to-talitas proses psikologis dan sosial-kultur-al tersebut dikelompokan dsosial-kultur-alam: olah hati (spiritual and emotional development), olah pikir (intellectual development), olah raga dan kinestetik (physical and kinesthetic de-velopment), dan olah rasa dan karsa (affective and creativity development). Pengembangan dan implementasi pendidikan karakter perlu dilakukan dengan mengacu pada grand de-sign tersebut (Muslich, 2011).

Pendidikan karakter bertujuan untuk meningkatkan mutu penyelenggaraan dan hasil pendidikan di sekolah yang mengarah pada pencapaian pembentukan karakter dan akhlak mulia peserta didik secara utuh, ter-padu, dan seimbang, sesuai standar kompe-tensi lulusan.

Melalui pendidikan karakter diharapkan peserta didik mampu secara mandiri mening-katkan dan menggunakan pengetahuannya, mengkaji dan menginternalisasi serta mem-personalisasi nilai-nilai karakter dan akhlak mulia sehingga terwujud dalam perilaku se-hari-hari (Muslich, 2011).

Akhlakul karimah atau akhlak mulia disebut juga akhlak islamiyah adalah suatu sistem akhlak yang berpedoman kepada Al-Qur’an dan Hadits. Dengan demikian kri-teria baik dan buruknya suatu perbuatan tidak lepas dari garis Al-Qur’an dan Hadits (Mulyadi, 1997: 9).

Kata akhlak merupakan bentuk dari kata khuluq dalam bahasa arab mempunyai asal kata yang sama dengan yang Khalik (Pencipta, Allah) dan makhluk, semuanya itu berasal dari kata khalaqa (menciptakan). Dengan demikian kata khuluq dan akhlak ti-dak hanya mengacu kepada penciptaan atau kejadian manusia melainkan mengacu juga pada konsep penciptaan alam semesta se-bagai makhluk.

(11)

Dari pengertian etimologis (bahasa) akh-lak bukan saja merupakan tata aturan atau norma perilaku yang mengatur hubungan an-tar sesama manusia dengan tuhan dan alam semesta. Selain itu di dalam kata akhlak men-cakup pengertian terciptanya keterpaduan an-tara kehendak Khalik dengan perilaku makhluk. Artinya tata perilaku seseorang terhadap orang lain dan lingkungannya disebut mengandung nilai akhlak, manakala tindakan atau perilaku tersebut didasarkan kepada kehendak Allah SWT, karena itu sesuai tuntunan akhlak, segala motivasi tindakan (niat) harus mengacu kepada semangat takwa kepada Allah (taqwallah).

Said Agil Husin (2003: 42) memberi-kan tips agar akhlakul karimah dapat terim-plementasi dengan baik pada peserta didik, yaitu dengan menanamkan kebiasaan: (1) untuk melaksanakan shalat berjamaah; (2) menegakkan sikap disiplin; (3) memelihara kebersihan; (4) menjaga ketertiban; (5) me-melihara kejujuran; (6) bersikap saling to-long menoto-long.

Dalam konteks lembaga pendidikan, FKIP UNMA Banten merumuskan visi men-jadi LPTK penghasil dan pengembang tenaga kependidikan “yang unggul dan berakhlakul karimah” dalam pengembangan sumberdaya manusia dan pengembangan masyarakat.

Rumusan unggul dan berakhlakul kari-mah mengandung cita-cita dan nilai yang merupakan proses sekaligus usaha, yang digambarkan dengan serangkaian kegiatan dan sasaran lembaga, sehingga akan meng-hasilkan lulusan dalam bidang ilmu pendi-dikan dan keguruan berkualitas yang cer-das intelektual, emosional, spiritual, moral, dan sosial. Visi lembaga pendidikan akan menentukan sejauh mana program pendi-dikan karakter berhasil diterapkan di da-lam lingkungan kampus. Visi FKIP UNMA Banten sebagai idealisme dan cita-cita yang secara konkret menjadi pedoman perilaku dan sumber motivasi, sehingga setiap civitas akademika di FKIP UNMA Banten semakin tumbuh dan berkembang secara utuh.

Untuk merealisasikan visi tersebut, maka FKIP UNMA Banten merumuskan misinya sebagai berikut:

1) Menyelenggarakan pendidikan tinggi berkualitas di bidang ilmu pendidikan dan keguruan dengan kompetensi utama tenaga pendidik dan kependidikan yang unggul

2) Mengembangkan iptek melalui penelitian mutakhir di bidang ilmu pendidikan dan keguruan.

3) Menerapkan dan mendayagunakan iptek pendidikan untuk mencapai kualitas pendi-dikan Banten unggul dan berkelanjutan.

Keunggulan bersama profesionalisme dan etika (akhlak) menurut Mohamad Surya (2010) merupakan tiga pilar utama untuk mengembangkan profesionalitas pendidik. Keunggulan meliputi empat hal, yaitu: (1) berkomitmen untuk senantiasa berada dalam koridor tujuan; (2) memiliki kecakapan dalam bidangnya, baik kecakapan potensial maupun kecakapan aktual; (3) memiliki motivasi kuat untuk menjadi yang pertama dan terbaik da-lam bidangnya; dan (4) senantiasa melakukan perbaikan secara terus menerus.

Pilar utama yang kedua, yaitu profesion-alisme terwujud dalam: (1) passion for knowl-edge, yaitu semangat untuk selalu menambah pengetahuan baik melalui cara formal mau-pun informal; (2) passion for business, yaitu semangat untuk melakukan kegiatan secara sempurna dalam tugas dan misinya; (3) pas-sion for service, yaitu semangat memberikan pelayanan terbaik terhadap pihak yang men-jadi tanggung jawabnya; dan (4) passion for people, yaitu semangat untuk mewujudkan pengabdian kepada orang lain atas dasar ke-manusiaan.

Pilar ketiga adalah etika yang terwujud dalam karakter atau watak sekurang-ku-rangnya ada enam unsur esensial,yakni: (1) truthworthiness, yaitu kejujuran atau dapat dipercaya dalam keseluruhan kepribadian dan perilakunya; (2) responsibility, tanggung jawab

(12)

terhadap diri, profesi dan lingkungannya (keluarga, lembaga, bangsa, dan Tuhan); (3) respect, sikap menghormati siapapun yang terkait langsung ataupun tidak langsung da-lam tugas profesi; (4) fairness, melaksanakan tugas secara konsekuen sesuai dengan keten-tuan peraturan yang berlaku; (5) care, yaitu penuh kepedulian terhadap berbagai hal yang terkait dengan tugas profesi; dan (6) citizen-ship, yaitu menjadi warga negara yang me-mahami seluruh hak dan kewajibannya serta mewujudkannya dalam perilaku profesi.

Nursyam (2009) menggambarkan kepribadian dan akhlak mulia pada peserta didik meliputi kriteria: (1) Tanggung Jawab; (2) Kedisiplinan; (3) Percaya diri; (4) Kom-petitif; (5) Sopan Santun; (6) Hubungan So-sial; (7) Kejujuran; (8) Kegiatan Ibadah. (9) Kesehatan; (10) Kebersihan. Kesepuluh kri-teria tersebut digunakan sebagai pedoman penskoran sebagai berikut:

Visi FKIP UNMA Banten untuk menja-di LPTK penghasil dan pengembang tenaga kependidikan “yang unggul dan ber-akhlakul karimah”, dijelmakan menjadi misi, sebagai rumusan operasional akan tujuan (goal) yang ingin direalisasikan secara nyata. Visi dan misi tersebut kemudian menjadi dasar penetapan tujuan-tujuan yang ingin dicapai oleh FKIP UNMA Banten.

Visi dan misi juga menjadi dasar acuan bagi penyusunan kebijakan dengan pendeka-tan pendidikan karakter yang menjunjung nilai-nilai keunggulan dan akhlakul karimah. Lebih lanjut, disusun strategi/pendekatan un-tuk melaksanakan pendidikan karakter ses-uai dengan program dan kebijakan yang telah ditetapkan. Dalam pelaksanaan inilah akan terlihat bagaimana perilaku mahasiswa dalam kehidupan kampus, sehingga dari keseluruhan pelaksanaan pendidikan karakter yang meliputi program maupun kurikulum dalam kehidupan kampus, akan menghasilkan output mahasiswa yang unggul dan ber-akhlakul karimah.

No. Aspek Indikator

1. Tanggung Jawab melaksanakan tugas dengan penuh kesadaran dan melakukan upaya maksimal untuk hasil terbaik.

2. Kedisiplinan Tertib dalam berpakaian, tepat waktu melaksanakan tugas, dan tidak pernah terlambat se-suai dengan tata tertib.

3. Percaya Diri bertanya dan menyampaikan pendapat, tidak mudah menyerah, dan bekerja mandiri dengan ke-mampuannya.

4. Kompetitif berusaha untuk maju dan menunjukan semangat yang tinggi, memiliki keingintahuan yang tinggi, serta berani bersaing.

5. Sopan Santun santun dalam bersikap dan berbicara, sopan dalam berpakaian, serta melaksanakan budaya senyum, sapa dan salam.

6. Hubungan Sosial menjaga hubungan baik dengan teman, pengajar/pegawai, selalu membantu/menolong temannya, serta selalu bekerjasama dalam kegiatan positif di sekolah atau kampus.

7. Kejujuran jujur dalam perkataan dan perbuatan, dan tidak mau menyontek pada waktu ulangan atau ujian dalam keadaan apa pun.

8. Kegiatan Ibadah melaksanakan ibadah keseharian baik yang diwajibkan maupun yang dianjurkan sesuai dengan tuntunan agama

9. Kebersihan menjaga kebersihan diri (dalam berpakaian, kebersihan rambut, kuku, gigi, alat tulis, tas, dll), dan lingkungan (tidak membuang sampah sembarangan, tidak mencoret meja dan kursi, dll)

10. Kesehatan menjaga kesehatan dan senang berolahraga, menghindari rokok dan narkoba demi kese-hatan, dan berpenampilan sehat dan bugar.

(Sumber: Nursyam, 2009. Panduan Penilai Akhlak Mulia dan Kepribadian SMAN 78 Jakarta)

Ade Hidayat

(13)

Gambar 1. Skema Kerangka Berpikir

HASIL DAN PEMBAHASAN

FKIP UNMA Banten dilihat dari lulusan dan jumlah mahasiswa merupakan fakultas terbesar di UNMA Banten. FKIP sebagai salah satu fakultas di lingkungan kampus Univer-sitas Mathla’ul Anwar Banten beralamatkan di Jl. Raya Labuan KM. 23 Cikaliung, Keca-matan Saketi Kabupaten Pandeglang, Banten di mana fakultas ini letaknya paling belakang atau di sebelah barat. Fakultas ini berbatasan selatan dengan gedung Fakultas Teknologi Pertanian, kemudian sebelah timurnya ber-turut-turut ada gedung perpustakaan, Fakul-tas Ekonomi, dan FakulFakul-tas Ilmu Komputer. Saat ini di FKIP terdapat 3 program studi, sebagai berikut:

Program studi Pendidikan Matematika (S1) berdiri berdasarkan SK. Izin Penyeleng-garaan dari Departemen Pendidikan Nasion-al Direktorat JendrNasion-al Pendidikan dengan no-mor 4225/D/T/2004. yang telah dilakukan perpanjangan izin berdasarkan SK. Perpan-jangan Kementerian Pendidikan Nasional dan Kebudayaan Koordinasi Perguruan Tinggi

Persepsi dan Perilaku Mahasiswa

METODE

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Juli sampai September 2013 dilakukan meng-gunakan pendekatan deskriptif kualitatif. Sumber data berasal dari responden yakni (1) mahasiswa, dosen, pimpinan fakultas (dekan dan wakil dekan), pimpinan program studi (kaprodi), staf dan karyawan FKIP UNMA Banten; (2) perilaku atau aktivitas respon-den; (3) kondisi dan situasi lingkungan FKIP UNMA Banten; serta (4) dokumen dan gam-bar yang terkait dengan pelaksanaan pendi-dikan karakter dalam pencapaian visi FKIP UNMA Banten.

Responden diambil dengan teknik purpo-sive sampling, yakni memilih responden yang dianggap mengetahui informasi dan masalah yang akan diteliti secara mendalam dan dapat dipercaya untuk menjadi sumber data yang mantap. Teknik pengumpulan data dilakukan dengan wawancara mendalam, observasi, dan analisis dokumen.

Validitas data menggunakan trianggulasi sumber. Analisis data menggunakan teknik analisis data interaktif yaitu dengan tahapan: pengumpulan data, reduksi data, penyajian data, penarikan kesimpulan, dan verifikasi.

(14)

Swasta Wilayah IV No. 3529/D/T/K-IV/2010 berlaku sampai 2014. Program studi Pendi-dikan Matematika telah berhasil terakredita-si oleh Badan Akreditaterakredita-si Naterakredita-sional Perguruan Tinggi (BAN-PT) berdasarkan SK BAN-PT No-mor: 039/BAN-PT/Ak-XIV/S1/2011.

Program studi Pendidikan Bahasa Inggris (S1) berdiri berdasarkan SK. Izin Penyeleng-garaan dari Departemen Pendidikan Nasional Direktorat Jendral Pendidikan dengan nomor 1823/D/T/2005. Prodi Pendidikan Bahasa Inggris telah dua kali melakukan perpan-jangan izin, berdasarkan SK. Perpanperpan-jangan yang terdiri dari: (1) SK. Depdiknas Direk-torat Jendral Pendidikan Tinggi No.1805/ D/T/2008 berlaku sampai 2011; (2) SK. Kementerian Pendidikan Nasional dan Kebu-dayaan Koordinasi Perguruan Tinggi Swasta Wilayah IV No. 10620/D/T/K-IV/2012 ber-laku sampai 2015. Program studi Pendidikan Bahasa Inggris telah berhasil terakreditasi oleh Badan Akreditasi Nasional Perguruan Tinggi (BAN-PT) berdasarkan SK BAN-PT Nomor: 041/BAN-PT/Ak-XIV/S1/2011.

Program studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia (S1) berdiri berdasarkan SK. Izin Penyelenggaraan dari Departemen Pendidikan Nasional Direktorat Jendral Pen-didikan dengan nomor 115/D/T/2001. Pada perjalanannya, Prodi Pendidikan Bahasa In-ggris telah tiga kali melakukan perpanjangan ijin, berdasarkan SK perpanjangan yang ter-diri dari: (1) SK Depdiknas Direktorat Jen-dral Pendidikan Tinggi No.2509/D/T/2004 berlaku sampai 2008; (2) SK. Depdiknas Koordinasi Perguruan Tinggi Swasta Wilayah IV No. 2250/D/T/K-IV/2009 berlaku sama-pi 2013; dan (3) SK. Depdiknas Koordina-si Perguruan Tinggi Swasta Wilayah IV No. 14326/D/T/K-IV/2013 berlaku samapi 2017. Program studi Pendidikan Bahasa dan Sas-tra Indonesiatelah berhasil terakreditasi oleh Badan Akreditasi Nasional Perguruan Tinggi (BAN-PT) berdasarkan SK. BAN-PT Nomor: 039/BAN-PT/Ak-XIV/S1/2011.

Sesuai dengan rumusan masalah dalam penelitian ini, yang pertama yakni mengenai persepsi terhadap pendidikan karakter. Dari data yang diperoleh menunjukkan bahwa pe-mahaman responden baik mahasiswa, dosen, pimpinan program studi, dan pimpinan fakultas atas makna unggul dan akhlakul karimah sangat beragam. Namun mereka su-dah mengarah pada satu pemahaman, yakni bahwa sebagai sebuah LPTK, rumusan visi dipahami sebagai kriteria ideal yang harus melekat dalam kepribadian seorang pendi-dik, yang diharapkan dapat dimiliki oleh ma-hasiswa FKIP sebagai calon pendidik (guru), yang dapat memberikan kekhasan (keunggu-lan) pada dirinya, sehingga dapat dibedakan dengan mahasiswa dari fakultas lain. Namun warga kampus sebagai sasaran dari visi FKIP ini belum sepenuhnya mencerminkan sikap yang unggul dan ber-akhlakul karimah. Seperti pengakuan salah seorang responden yang mengaku sekedar mengetahui visi ung-gul dan berakhlakul karimah sebagai slogan teoritis saja, namun belum mengetahui prak-sis apa yang harus dilakukan sebagai kon-sekuensi aplikatifnya.

Inti dari rumusan ber-akhlakul karimah menurut para responden yang kemudian dipahami sebagai kriteria yang harus dimi-liki oleh seorang pendidik, ialah keseimban-gan antara IQ, SQ, dan EQ di mana mampu mengaplikasikannya dalam pemikiran, sikap, maupun perilaku praksis terkait dengan kebebasan yang bertanggungjawab dalam memberikan keputusan dalam kehidupan se-hari-hari. Keseimbangan di antara ketiganya akan membentuk pribadi dengan mentalitas yang kuat dan perilaku yang mengarah pada perubahan positif baik bagi dirinya maupun bagi orang lain di sekitarnya.

Selanjutnya, rumusan masalah yang kedua mengenai strategi penerapan pen-didikan karakter, diintegrasikan melalui melalui kebijakan yang programatik, mau-pun dengan keteladanan interpersonal serta

(15)

penciptaan lingkungan yang sehat dan kondu-sif. Keteladanan merupakan hal yang sangat penting, di mana menjadi bentuk visual yang jelas sebagai praksis pendidikan karakter. Keteladanan merupakan bagian penting da-lam rangka membangun dan mengembang-kan karakter unggul dan ber-akhlakul karimah selain melalui proses pemberian pemahaman (understanding), penguatan (reinforcement), dan hukuman (punishment) (Santrock, 2007: 449). Keteladanan menurut responden, bukan hanya memberikan teladan, tetapi bagaimana bisa menjadikan dirinya sebagai teladan. Dalam hal ini, dosen mengambil peran penting, namun banyaknya tuntutan yang harus dipenuhi seorang dosen dalam pembelajaran di kelas maupun di luar kelas, terkadang membuatnya lalai dalam tugasnya menjadi teladan bagi mahasiswanya. Hal ini dikemukakan oleh responden, bahwa tidak semua dosen dapat dijadikan sebagai teladan. Artinya ada dosen, satu atau beberapa yang responden anggap belum bisa memenuhi kri-teria sebagai sosok yang pantas untuk dite-ladani.

Secara langsung, FKIP menciptakan se-buah pendekatan pendidikan karakter melalui kurikulum dan program yang disusun. Hal ini sesuai dengan pendapat responden bahwa visi unggul dan akhlakul karimah harus terinte-grasi dalam kurikulum setiap program stu-di. Pendidikan karakter bukan berarti harus menjadi satu mata kuliah khusus. Melainkan kurikulum harus mencakup mata kuliah-mata kuliah yang di dalamnya berisi tentang pen-didikan karakter dengan nilai-nilai karakter prioritas yang ingin ditanamkan kepada ma-hasiswa. Secara tidak langsung, FKIP melak-sanakan pendidikan karakter dengan cara menciptakan lingkungan moral yang sehat. Hal ini, dilakukan dengan penerapan disiplin kuliah. Seperti wajib mengikuti perkuliahan minimum 75 persen dari jumlah minggu yang terjadwal dalam semester yang bersangkutan, khusus untuk kegiatan praktikum mahasiswa harus mengikuti 100 persen kegiatan, kecuali

ada kegiatan lain disertai keterangan yang sah. Kemudian, mahasiswa yang mengi-kuti kegiatan perkuliahan dan memasuki lingkungan kampus diwajibkan berpakaian rapi, sopan dan bersepatu, dilarang memakai kaos oblong, celana robek dan Sandal. Untuk mahasiswa putri yang beragama Islam wa-jib mengenakan jilbab/kerudung yang rapih (tata tertib mahasiswa FKIP UNMA Banten, 2013). Kedisiplinan pun tidak hanya diterap-kan pada mahasiswa saja, dosen pun ditun-tut untuk melaksanakan perkuliahan sesuai jadwal, dan jika karena suatu hal dosen tidak dapat melaksanakan sesuai jadwal, dosen wajib memberitahukan kepada mahasiswa dan mengusahakan waktu lain sebagai peng-ganti dengan sepengetahuan ketua Program studi sehingga kehadiran dosen tetap 100 persen (Pedoman Akademik FKIP UNMA Banten, 2013).

Pendidikan karakter di FKIP melibatkan kontrol dan pengawasan dari berbagai pihak, baik dari pembuat kebijakan sendiri, maupun dari dosen sebagai pendidik. Pengawasan ini berupaya mengantisipasi tindakan-tindakan di luar nilai karakter yang diharapkan, serta memberikan teguran awal bagi bentuk tinda-kan tersebut.

Selanjutnya, berdasarkan rumusan ma-salah yang ketiga, terkait dengan nilai-nilai karakter apa saja yang ingin ditanamkan FKIP kepada para mahasiswanya, tidak dapat dilepaskan dari situasi dan konteks sosial di mana pendidikan karakter tersebut diterap-kan. Mengingat bahwa FKIP sebagai LPTK, yaitu lembaga pendidikan yang mendidik dan membelajarkan mahasiswanya untuk menjadi guru atau pendidik, maka nilai-nilai yang dipilih berkaitan erat dengan kepribadi-an ideal ykepribadi-ang diharapkkepribadi-an dapat dimiliki oleh seorang guru.

Berikut ini adalah nilai-nilai karakter yang menjadi patokan di FKIP UNMA Banten, serta perilaku yang dilakukan oleh mahasiswa:

(16)

Secara personal, mahasiswa belum mampu mengaplikasikan nilai-nilai karakter prioritas yang diharapkan FKIP untuk men-capai berkarakter unggul dan ber-akhlakul karimah secara optimal, sehingga masih per-lu beberapa perbaikan. Hal ini terbukti dari munculnya beberapa penyimpangan, salah satunya adalah adanya budaya non-eduka-tif seperti anggapan bahwa kecurangan yang merupakan tindakan tidak jujur mahasiswa baik dalam ujian maupun tugas adalah hal yang wajar. Kurang optimalnya mahasiswa dalam mengaktualisasikan nilai-nilai karakter tersebut disebabkan oleh beberapa faktor, an-tara lain kekurangpahaman mahasiswa atas makna keunggulan dan akhlakul karimah, be-lum terbentuknya kesadaran pribadi, bebe-lum adanya contoh yang bisa dijadikan teladan, dan kurang adanya sosialisasi lebih lanjut ter-kait dengan program maupun kebijakan.

Pendidikan karakter agar tetap berjalan memerlukan adanya proses evaluasi untuk memperbaiki kinerjanya selama ini. Penilaian

pendidikan karakter di FKIP yang diakui belum mempunyai parameter secara pasti, menunjukkan sulitnya menilai keseluruhan proses belajar mahasiswa yang indikasin-ya adalah perkembangan kepribadian. Pe-nilaian terhadap pendidikan karakter di FKIP ialah melihat sejauh mana pengetahuan itu mengubah sikap, perilaku yang koheren dengan konsep sebuah lembaga yang men-didik. Pada hakihatnya, pendidikan karakter membutuhkan penilaian dari individu se-bagai bentuk refleksi perilaku sesuai dengan nilai-nilai moral yang diyakininya, serta dari komunitas yang menilai sejauh mana struk-tur lingkungan pendidikan mampu menum-buhkan karakter moral setiap individu dalam sistem tersebut.

Penilaian pendidikan karakter diarah-kan pada perilaku dan tindadiarah-kan, budiarah-kan se-kedar pengetahuan dan pemahaman yang dimengerti dan dikatakan saja. FKIP sebagai pelaksana pendidikan karakter belum men-etapkan kriteria resmi penilaian pendidikan karakter, sehingga setelah perjalanan kurang lebih 5 tahun pendidikan karakter ini sejak

Ade Hidayat

Tabel 2. Indikator dan nilai karakter prioritas yang diterapkan di FKIP UNMA Banten Definisi

Operasional Komponen Indikator OperasionalIndikator Nilai Karakter

Visi FKIP UNMA Banten Unggul dan Berakhlakul Karimah Keunggulan Kecakapan Kompetitif Gemar membaca Rasa ingin tahu

Kekhasan Kreatif Inovatif Keteladanan Kesederhanaan Bersahaja Respek Kedekatan Bersahabat Komunikatif Pelayanan Optimal Responsif

Kepribadian Komitmen

Tanggung Jawab Kejujuran Kerja keras Displin Cerdas Spiritual Religius

(17)

dicetuskan, evaluasi keberhasilan pendidikan karakter hanya sampai pada pengamatan in-dividual dosen dan pembuat kebijakan serta beberapa riset. Dan sebagai hasil pengamatan tersebut diperoleh hasil bahwa telah ada per-baikan-perbaikan yang ditunjukkan melalui perubahan perilaku yang lebih positif, seper-ti kesantunan dalam berpenampilan, seper- tinda-kan curang responden yang berkurang, serta peningkatan kedisiplinan.

Indikator yang ditetapkan kemudian se-bagai nilai-nilai karakter prioritas yang ingin ditanamkan FKIP dalam diri mahasiswanya menjadi satu-satunya pegangan bagi pe-nilaian sejauh mana pendidikan karakter berhasil dilaksanakan.

PENUTUP

Sesuai temuan dari rumusan masalah yang pertama, ditemukan bahwa pemaha-man responden mengenai penjabaran visi berakhlakul karimah sangat beragam. Na-mun visi ini disepakati sebagai kriteria ide-al yang harus melekat dide-alam kepribadian seorang pendidik, yang diharapkan dapat dimiliki oleh mahasiswa FKIP sebagai calon guru. Berakhlakul karimah dijabarkan se-bagai keseimbangan antara IQ, SQ, dan EQ yang mampu diaplikasikan dalam pemikiran, sikap, maupun perilaku praksis yang menga-rah pada perubahan positif bagi dirinya dan orang lain di sekitarnya.

Pada rumusan masalah yang kedua, untuk membentuk calon pendidik yang berakhlakul karimah, dilaksanakan secara bertahap dan berkesinambungan dengan pendekatan pen-didikan karakter melalui kurikulum, program dan kebijakan, penciptaan lingkungan yang sehat dan kondusif, serta keteladanan. Pen-didikan karakter bukan merupakan satu mata kuliah khusus, melainkan terintegrasi dalam kurikulum. Dosen mengambil berperan pent-ing dalam pelaksanaan pendidikan karakter, terutama sebagai teladan (role model) bagi mahasiswa, serta melakukan pengawasan.

Kemudian rumusan masalah ketiga yakni mahasiswa belum mampu mengaplikasikan nilai-nilai karakter prioritas yang diharap-kan FKIP untuk mencapai visi unggul dan ber-akhlakul karimah secara optimal. Pen-didikan karakter belum dilaksanakan secara optimal di FKIP UNMA Banten, karena ter-hambat oleh beberapa hal. Pelaksanaan pen-didikan karakter masih terlalu menekankan pada segi fisik yang terlihat dari cara ber-penampilan mahasiswa. Pendidikan karakter juga terhambat karena budaya non-edukatif seperti anggapan bahwa kecurangan maha-siswa dalam ujian maupun tugas adalah hal yang wajar. FKIP juga belum menetapkan kriteria resmi evaluasi pendidikan karakter, sehingga penilaian keberhasilan pendidikan karakter hanya sampai pada pengamatan in-dividual.

Setelah mengadakan penelitian dan pengkajian tentang pendidikan karakter di FKIP UNMA Banten, peneliti memberikan saran-saran:

1. Bagi mahasiswa

Mahasiswa sebaiknya lebih memahami posisinya sebagai seorang calon pendidik, untuk memperbaiki diri dengan pembe-lajaran dan pembiasaan bersikap, bertin-dak dan berperilaku yang menunjukkan keunggulan dan karakter terpuji (akhlakul karimah), selama proses perkuliahan di FKIP.

2. Bagi dosen

Dosen perlu lebih merefleksi, mengevaluasi, dan memperbaiki diri sehingga dapat men-empatkan diri untuk menjadi figur teladan bagi mahasiswa. Dosen juga perlu menga-dakan pendekatan dan pengawasan yang lebih personal, bersahaja dan bersahabat/ komunikatif, sehingga menjadi pribadi yang menyenangkan dan disukai mahasiswa. 3. Bagi fakultas

Baik staf kependidikan maupun pimpinan fakultas dan program studi perlu melaku-kan evaluasi diri terkait dengan pelaksanaan pendidikan karakter yang masih berjalan.

(18)

Program dan kebijakan harus dilak-sanakan dengan bentuk aturan yang jelas, agar dapat diterapkan secara efek-tif. Pelaksanaan pendidikan karakter per-lu perbaikan sistem maupun lingkungan, sehingga pihak FKIP sebaiknya menyusun sistem evaluasi yang dapat menilai keber-hasilan pendidikan karakter, agar selalu mengalami peningkatan dan kemajuan. Juga perlu diadakan sosialisasi lebih lan-jut mengenai berbagai program dan ke-bijakan yang dilaksanakan FKIP dalam proses pendidikan karakter.

Secara paripurna, perlu ada skenario pembiasaan yang dilakukan secara terstruk-tur dan sistemik dalam membangun ke-biasaan positif, tidak hanya bagi mahasiswa namun juga bagi seluruh pimpinan, dosen dan karyawan. Pembelajaran harus dimaknai tidak hanya sebagai aktivitas perkuliahan di kelas, namun seluruh proses dan interaksi yang terjadi di dalam maupun di luar kam-pus. Karenanya, interaksi di luar kelas pun merupakan bagian inheren dari peran dan ek-sistensi mahasiswa yang tak boleh bertabrakan satu dengan yang lain sehingga kesatupaduan pribadi (bukan split personality) mahasiswa dalam berpikir dan bertindak di dalam dan di luar kelas dapat terbangun.

DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, Yatimin. (2007). Studi Akhlak Da-lam Perspektif Al Qur’an. Jakarta: Sinar. Grafika Offset

Asmani, J.M. (2011). Buku Panduan Inter-nalisasi Pendidikan Karakter di Sekolah. Yogyakarta: Diva Press.

Badan Penelitian dan Pengembangan Kuriku-lum, Kementerian Pendidikan Nasional. (2010). Pengembangan Pendidikan Bu-daya dan Karakter Bangsa Pedoman Se-kolah. Jakarta: Kementerian Pendidikan Nasional.

Badan Penelitian dan Pengembangan Kuriku-lum, Kementerian Pendidikan Nasional. (2011). Pedoman Pelaksanaan Pendidikan Karakter (Berdasarkan Pengalaman di Satuan Pendidikan Rintisan). Jakarta: Ke-menterian Pendidikan Nasional.

Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Uni-versitas Mathla’ul Anwar. (2013). Buku Pe-doman Akademik Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan tahun 2013/2014.

Husaini, Adian. (2007). Pendidikan Karakter: Penting Tapi Tidak Cukup! [online]. Terse-dia: http://www.academia.edu/3779494/ PENDIDIKAN_KARAKTER_Penting_ Tapi_Tidak_Cukup [12 Mei 2013]

Husin, Said Agil Husin. (2003). Aktualisasi Nilai-Nilai Qur’ani, dalam system pendi-dikan Islam. Jakarta: Ciputat Press.

Johnson, D.P. (1986). Teori Sosiologi Klasik dan Modern. Jakarta: Gramedia.

Koesoema, Doni. (2007). Pendidikan Karakter Strategi Mendidik Anak di Zaman Global. Jakarta: Gramedia Widiasarana Indonesia. Muslich, M. (2011). Pendidikan Karakter: Men-jawab Tantangan Krisis Multidimension-al. Jakarta: Bumi Aksara.

Nursyam. (2009). Panduan Penilaian Akhlak Mulia dan Kepribadian SMAN 78 Jakar-ta [online]. Tersedia: http://sman78-jkt. sch.id/sumberbelajar/dokumen/PAN-DUAN%20PENILAIAN%20AKHLAK%20 MULIA%20DAN%20KEPRIBADIAN.pdf [12 Mei 2013]

Sunarto, K. (2004). Pengantar Sosiologi (edisi revisi). Jakarta: Lembaga Penerbit Fakul-tas Ekonomi UniversiFakul-tas Indonesia.

Santrock, John. (2007). Lifespan Development (Perkembangan Masa Hidup). Jakarta: Er-langga.

Surya, Mohammad (2010). “Profesionalitas Guru Berbasis Keunggulan dan Karakter”. Jurnal Wacana Pendidikan STKIP Garut, 5, (6), 1-4.

Sutopo, H.B. (2006). Metodologi Penelitian Kualitatif. Surakarta: Universitas Sebelas Maret.

Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional. (2009). Bandung: Focus Media.

Penulis:

Ade Hidayat, S.Fil., M.Pd.

Alumnus Jurusan Ilmu Filsafat UGM (S1) dan Program Studi Bimbingan dan Konseling Sekolah Pascasarjana (S2) UPI Bandung. Sehari-hari sebagai dosen di FKIP Universitas Mathla’ul Anwar Banten.

(19)

PENDAHULUAN

Dalam sejarah manusia, tidak ada ide yang lahir dalam ruang hampa. Pola-pola hubungan yang ada di masyarakat (termasuk pola hubungan gender) akan selalu dilihat se-bagai konstruk historis yang tersusun dalam suatu ruang sosial dan waktu tertentu. Pada umumnya munculnya sebuah ide merupa-kan respon kritis terhadap kondisi sebuah masyarakat. Hal ini juga berlaku pada fakta sejarah bahwa faham kesetaraan gender (ter-utama sejarah feminisme generasi pertama) lahir akibat pandangan misogyny (sebelah mata atau membenci) perempuan di tempat kelahirannya itu sendiri, yakni Barat.

Berdasarkan penelitian Syamsudin Arif, dari periode Klasik sampai Modern ternyata Barat memiliki masa kelam dalam hal me-mandang citra dan kedudukan perempuan yang tidak setara dengan laki-laki (Syarif, 2011: 15-16). Dan hal ini juga dipertegas oleh literatur feminis Angela Davis, yakni: Wom-en, Race, andClass (1982), yang mendapati sebuah pemetaan bahwa perjuangan kaum perempuan tersebut dilatarbelakangi oleh perjuangan kelas: Mayoritas kaum putih yang menganggap rendah wanita kulit hitam.

FEMINISME SUNDA KUNO:

STUDI INTERPRETASI KRITIS AKULTURASI NILAI-NILAI

KESETARAAN GENDER SUNDA-ISLAM DALAM CARITA

PANTUN SRI SADANA

Heri Mohamad Tohari

Abstrak: Masyarakat Sunda belum memiliki basis epistemologis yang kuat dan khas mengenai diskursus femi-nisme, padahal alam pikiran Sunda menempatkan posisi perempuan dalam tempat yang agung, salah satunya dalam mitologi Sri Sadana.Hasil dari pengolahan data menunjukkan kesimpulan bahwa gejala feminisme dalam carita pantun Sri Sadana mewujud bukan dalam bentuk feminisme sebagai sebuah gerakan, tetapi feminisme sebagai se-buah nilai/ide.Carita Pantun Sri Sadana mengandung makna-makna (meaning) yang dominan berupa makna sim-bolik, estetik, dan etika (tatakrama).Mitologi Sri Sadana sebagai local wisdom Orang Sunda telah memberikan pen-didikan nilai yang luar biasa, bahwasanya alam pikiran manusia Sunda telah menempatkan perempuan dalam posisi yang sangat terhormat.

Kata Kunci:

Feminisme, Sunda, Akulturasi, Gender, Islam

Barat sadar akan kekeliruannya terse-but, hal ini mengakibatkan perjuangan fem-inisme seakan mendapatkan momennya da-lam dekade kontemporer ini, dimana sejarah feminisme memasuki gerbang feminisme generasi kedua. Feminisme lanjutan ini mempertanyakan lebih daripada ketidakse-taraan sosial yang dialami wanita, tetapi juga mengamati struktur ideologis (Lechte, 2001: 201). Sehingga, peneliti berkeyakinan bahwa perjuangan feminisme di Barat, adalah se-buah kewajaran sebagai bentuk perjuangan yang sangat mendesak untuk segera dilaku-kan.Mengingat perempuan dalam lokus ke-budayaan Barat pada waktu itu memang be-rada pada posisi yang termarginalkan.

Argumentasi di atas, cukup menyentak dan membuat peneliti mulai bertanya tentang makna perempuan. Apakah makna (mean-ing) perempuan di setiap tempat itu sama atau berbeda. Lantas, kalaupun berbeda, mengapa “barang dagangan” feminisme begitu laku da-lam sebuah kultur yang berbeda dari tempat feminisme itu lahir dan berkembang. Alhasil, mengapa sekarang feminisme begitu dipuja di Indonesia dan tempat dimana perempuan sudah begitu dimulyakan dalam relasi gender

(20)

Heri Mohamad Tohari

di masyarakatnya (baca: Indonesia). Berbe-da dengan lahirnya feminisme di Barat yang berangkat dari alasan ketertindasan kaum perempuan, ada berbagai argumentasi faktu-al yang merujuk mengapa posisi perempuan secara culture di Indonesia mendapatkan proporsi yang begitu terhormat dalam relasi gender. Jadi, kalau begitu perjuangan femi-nisme dari Barat, dalam konteks kebudayaan Indonesia, menurut peneliti tiada lain bagai mengajari itik berenang.

Di Indonesia gerakan feminisme lebih dikenal dengan istilah emansipasi. Frekuensi pembahasannya akan mengalami peningka-tan cukup drastis manakala peningka-tanggal 21 April tiba. Bangsa Indonesia mengenang hari itu dengan istilah Hari Kartini, sebab pada bu-lan tersebut lahir puteri Indonesia bernama Kartini yang kemudian dianggap menjadi pen-gusung “emansipasi perempuan”. Berbagai pi-hak menyemarakan bulan ini dengan tema-te-ma seputar perempuan, baik dalam bentuk perayaan-perayaan yang menampilkan atau menonjolkan sisi-sisi keperempuanan, mau-pun tulisan-tulisan di media cetak, disku-si-diskusi dan seminar.

Klaim keberatan terhadap pengkultusan cerita Kartini, peneliti mengajukan argumen-tasi bahwa dari sisi relasi laki-laki dan perem-puan dalam masyarakat cacah Jawa ketimpa-ngan seperti yang diceritakan Kartini terasa berlebihan. Lihat saja saat menggarap sawah atau kebun yang sejak berabad-abad menjadi pencaharian rakyat Jawa. Selalu sawah akan digarap bersama antara laki-laki dan perem-puan. Selalu ada pembagian peran. Misalnya, laki-laki mencangkul, perempuan menyiangi rumput, tandur (menanam benih padi), dsb.

Berziarah ke alam sejarah perempuan di Indonesia sebelum Kartini adalah sesuatu yang mengasyikan untuk terus ditelusuri. Kemun-culan tokoh Cut Nyak Dien bagi peneliti seb-etulnya cukup mengherankan.Bagaimana bisa dalam masyarakat yang didominasi laki-laki (patriarki) dapat muncul seorang panglima perang perempuan. Jelas membutuhkan suatu

revolusi sosial untuk munculnya seorang seperti Cut Nyak Dien dalam masyarakat patriarki. Nyatanya Cut Nyak Dien bukan tokoh rekayasa ataupun tokoh ciptaan Belanda.

Lebih menarik lagi, tradisi perempuan berkiprah di ruang publik bahkan menja-di pemimpin Negara, bukan barang baru di Aceh.Pemimpin kerajaan Aceh antara 1641-1699 adalah perempuan. Mereka mas-ing-masing Sri Ratu Tajul Alam Safiatudin Johan Berdaulat (1641-1675), Sri Ratu Nurul Alam Naqiatuddin (1675-1678), Sri Ratu Za-kiatuddin Inayat Syah (1678-1688), dan Sri Ratu Kamalat Syah (1688-1699) (Hasyim, 1977: 35).

Begitulah akar tradisi bangsa kita yang menempatkan perempuan dalam posisi yang luhur.Misalnya, dalam kasus masyarakat Padang yang menganut sistem matrilineal. Filosofi adat Minang yang menguntungkan bagi perempuan seperti filosofi adat basanding syara (Arivia, 2007:12).

Dalam konteks kesundaan, perempuan Sunda atau perempuan Pasundan, memiliki posisi penting dan terhormat dalam perike-hidupan Sunda. Dia bersifat mandiri dan mampu melindungi diri dalam eksistensinya bersama laki-laki. Bahkan dalam mitos asal usul hari atau Dongéng Poé, laki-laki dianggap pelengkap. Karena awal hari adalah perem-puan bernama Robayah atau Rebo, lalu hari menjadi sempurna sebagai hasil perkawinan primordialnya dengan Jumantawal dari Ujung Lautan, Salasa dari Baratang Geni dan Kemis dari Nagara Atas Angin. Lalu lahirlah Senen, Ahad dan Saptu (Ziaulhaq, 2012: 1).

Ladang dalam masyarakat Sunda, dise-but huma. Dalam masyarakat Jawa (sawah), ada omah yang berarti “rumah”. Tetapi di pulau Mentawai, huma berarti “kam-pung”. Padanan antara “ladang”, “rumah” dan “kampung”, menunjukkan pentingnya ladang dalam masyarakat Sunda. Karena ru-mah itu perempuan, maka bagian terpenting rumah juga bersifat perempuan. (Sumardjo, 2003: 281-283).

(21)

Feminisme Sunda Kuno

Begitulah awal kesejarahan perempuan yang terdapat dalam pantun-pantun Sunda dalam masyarakat Sunda Kuno. Persoalannya, kalau kemudian masyarakat Sunda juga ber-sawah, apakah nilai-nilai sawah akan mema-suki sistem nilai Sunda? Kalau Islam kemu-dian menjadi agama orang Sunda, apakah nilai-nilai Islam akan mengganti nilai-nilai ladang dan sawahnya?

Akulturasi nilai-nilai Sunda dan keis-laman sebenarnya telah berurat akar pada zaman Sunda Lama yang terdapat dalam pan-tun-pantun Sunda. Pantun yang memuat soal keislaman terdapat di Sri Sadana atau yang terkenal juga dengan sebutan Sulandjana. Berbeda dengan pantun-pantun yang ada, pantun ini menyebutkan Allah SWT sebagai Pencipta segala-galanya. Sebelum segala se-suatu ada, yang ada adalah uwung-uwung awing-awang. Lalu muncullah Nur Muham-mad. Dari Nur Muhammad terciptalah para malaikat, jin, setan, serta bumi dan langit.

Kemudian Allah SWT memerintahkan empat malaikat untuk membentuk jasad manusia dari unsur api, angin, tanah, dan air. Maka terciptalah wujud Rama Adam dan kemudian terciptalah Ibu Hama dari rusuk kiri Rama Adam yang dicampur ke-empat unsur tersebut. Setelah menciptakan alam semesta dan manusia, maka Allah SWT menitikkan Tiga Air Mata, yang kemudian menjelma menjadi tiga manusia yang diberi nama: Jaka Sadana, Sri Sadana, dan Rambut Sadana (Rosidi, 1970:4). Dari menstruasi Sri Sadana yang jatuh ke tanah muncullah segala jenis tanaman non padi di tanah Sunda.

Analisis peneliti terhadap cerita pantun ini, tiga tetes Air Mata Allah SWT tentulah bu-kan ajaran Islam.Namun, dalam konteks kon-teks filsafat ketuhanan dikenal dengan istilah emanasi yang nantinya menjurus ke arah pantheisme.Segala yang ada merupakan ba-gian dari Yang Esa. Adapun padi dalam cerita tersebut diceritakan dari anak aseksual Rama Adam dan Ibu Hawa yakni Nyi Pohaci yang meneteskan darah mentrsuasinya ke tanah.

Padi adalah kehidupan atau makanan pokok orang Sunda.Adanya padi justru berasal dari “sesuatunya” perempuan. Peneliti bisa mem-buktikan bahwa dalam penelusuran literatur klasik manapun, dalam konteks menstru-al taboo, perempuan selmenstru-alu saja mengmenstru-alami proses isolasi dan pengucilan dalam struktur kebudayaan. Namun justru dari kisah men-strual taboo Sunda Kuno, justru perempuan mendapat tempat yang terhormat. Kisah Sri Sadana yang justru memberikan penjelasan yang luar biasa dimana perempuan cukup di-hormati.

Kisah Sri Sadana menunjukkan sebuah fakta sejarah baru mengenai pola pikir manu-sia Sunda Kuno. Tidak terjadi gejala menyun-dakan Islam sama sekali. Yang terjadi ada-lah “mengislamkan Sunda”, namun Sunda tidak mau kehilangan esensi kesundaannya. Ini menunjukkan betapa kuatnya faham “lam” di masyarakat Sunda. Kebudayaan da-lam bentuk “luar” diterima, namun esensi kesundaannya dipertahankan. Walaupun se-bagai sebuah gejala akulturasi, niscaya akan terjadi paradok, yakni patrilineal vs matri-lineal, atau dalam konteks cerita Sri Sadana ada dinamika pergulatan creation ex nihilo vs emanasi. Namun, peneliti berkeyakinan penamaan sinkretisme adalah sebuah gejala yang kurang tepat karena substansi keduanya (Sunda dan Islam) tidak berubah.

Berangkat dari cerita pantun Sunda Kuno ini, peneliti bisa mengambil benang merah berupa nilai-nilai kesetaraan gender. Terang pula prinsip kesetaraan yang dipegang masyarakat Sunda sama sekali berbeda dengan kesetaraan gender yang diajarkan Barat-Sekuler. Kesetaraan gender yang di-gadang-gadang para aktivis perempuan yang melabrak norma-norma budaya dan agama. Sementara yang tumbuh di kalangan perem-puan Sunda adalah kesadaran yang berporos pada budaya. Budaya yang tumbuh berdamp-ingan dengan prinsip-prinsip Islam. Oleh kare-na itu, berangkat dari uraian di atas peneliti memberanikan diri melakukan pembahasan

(22)

dengan judul: Feminisme Sunda Kuno (Studi Interpretasi Kritis Akulturasi Nilai-Nilai Ke-setaraan Gender Sunda-Islam dalam Carita Pantun Sri Sadana).

METODE

Metode penelitian tesis ini menggu-nakan metode kualitatif deskriptif, dengan model analisis kritis data melalui pengum-pulan data tipe studi literer, yakni cara-cara yang digunakan oleh peneliti dengan meng-himpun kemudian menginterpretasikan semua data dan referensi teks/pustaka. Pe-nelitian ini berusaha menjawab pertanyaan penelitian yang berbunyi: pertama seperti apakah proses, bentuk akulturasi budaya Sunda Islam dalam carita pantun Sunda Sri Sadana. Kedua, nilai-nilai kesundaan apa yang terdapat pada carita pantun Sunda Sri Sadana dikaitkan dengan kesetaraan gen-der. Ketiga, nilai-nilai Islami apakah yang melekat pada carita pantun Sri Sadana. Dan keempat, sikap perempuan Sunda seperti apakah yang mencerminkan nilai Sunda Is-lami berbasis kesetaraan gender.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Peneliti menghadapi sebuah persoalan kebahasaan, untuk sekedar mencari padanan kata yang pas untuk mewakili sepak terjang perjuangan perempuan di Sunda. Padanan kata yang mendekati perjuangan perempuan tersebut adalah dengan menggunakan istilah “feminisme”. Namun ada kelemahan dalam penggunaan istilah ini yakni, feminisme yang lahir dan berkembang dari istilah Barat, di mana feminisme lahir dari kesadaran kon-struksi masyarakat yang menindas dan me-meras perempuan (Bhasin dan Khan, 1995:4). Perjuangan perempuan di Barat lahir justru dari misogyny atau penyebelahan mata terha-dap perempuan (Syarif, 2011:14).

Heri Mohamad Tohari

Peneliti keukeuh untuk terus menggu-nakan istilah feminisme dalam mengupas persoalan pergerakan perempuan di Sunda karena salah satunya, ada sudut definisi femi-nisme yang mengartikulasi sebagai pola relasi laki-laki dan perempuan dalam masyarakat, serta bagaimana hak, status, dan kedudukan perempuan di sektor domestik dan publik (Muslikhati, 2004:17). Sehingga peneliti ber-keyakinan istilah ini tepat digunakan hanya untuk memotret pola relasi laki-laki dan per-empuan dalam masyarakat Sunda, yang seja-rah kebudayaannya pun tidak pernah mem-perbincangkan ada kasus penindasan dalam relasi gendernya. Feminisme Sunda adalah feminisme yang berangkat dari definisi dan konstruksi masyarakat yang setara tanpa membenturkan relasi gender yang berbeda dengan Barat.

Temuan makna yang digunakan oleh pe-neliti dalam membedah pantun Sri Sadana antara lain pantun ini didominasi oleh mak-na-makna simbolik, estetik, dan etika. Keti-ga makna ini terdapat dan menjawab semua pertanyaan penelitian ini. Proses dan bentuk akulturasi budaya Sunda Islam dalam pan-tun Sunda Sri Sadana dalam konteks kesu-sastraan mengandung makna simbolik dan estetik. Adapun nilai-nilai kesundaan apa yang terdapat pada pantun Sunda Sri Sadana dikaitkan dengan kesetaraan gender adalah kajian makna etika. Begitupun nilai-nilai Is-lami yang melekat pada pantun Sri Sadana menggunakan bedah analisis temuan makna etika. Sikap perempuan Sunda yang mencer-minkan nilai Sunda Islami berbasis kese-taraan gender tersebut memunculkan peso-na dan citra unggul perempuan Sunda. sosok mojang priangan merupakan sosok perem-puan Sunda terkenal dengan kecantikan fisik, fashionable, menempati pos penting jabatan, dll. Hal ini merupakan temuan mak-na estetik dan etik. Lebih lanjut mengemak-nai petualangan makna apa yang akan dibedah dalam penelitian ini akan dijelaskan dalam bentuk tabel, antara lain:

(23)

Feminisme Sunda Kuno

Akulturasi Budaya Sunda-Islam dalam Tafsir Pantun Sunda Sri Sadana

Pantun dalam konstruksi masyarakat Sunda memiliki sifat sakral yang selalu dikait-kan dengan upacara penghormatan pada le-luhur.Sehingga, bentuk pertunjukan Pantun biasanya masih diikat dengan struktur per-tunjukan yang baku dengan lakon yang se-lalu berkisar tentang raja-raja Sunda atau legenda masyarakat Sunda. Secara umum pola pertunjukan Pantun dapat diurutkan sebagai berikut: penyediaan sesajen; ngukus (membakar kemenyan); mengumandang-kan rajah pamunah; babak cerita dari pem-bukaan hingga penutupan; ditutup dengan mengumandangkan rajah pamungkas.

Tafsir Pantun Sri Sadana lakon pantun Ki Atjeng ini, terdapat pula berbagai dongeng terkenal lain yang biasanya dikisahkan secara terpisah. Rosidi (1970:3) menafsirkan bah-wasanya Sri Sadana juga mengisahkan ten-tang:

“Djaka Sabeulah, tentang Anggana beserta kedua saudaranya Anggani dan Angganiah, tentang ular santja yang

Gambar 1. Skema Rencana Kajian Makna

tertipu oleh gagak putih dan sebagain-ya. Maka keseluruhan lakon pantun Sri Sadana Ki Atjeng ini merupakan ceri-ta berbingkai yang penuh variasi dan menurut hemat saya telah di jalin se-cara pandai pula, sehingga cerita-cerita itu isi mengisi” (hal.ii).

Peneliti mengkaji Sri Sadana dan tafsirn-ya seolah menggambarkan cerita tafsirn-yang sepo-tong-potong. Namun, apabila hal tersebut diteliti secara utuh ternyata alur cerita poton-gan tersebut menggambarkan sebuah kesatu-an tema ykesatu-ang dilontarkkesatu-an oleh skesatu-ang pembuat. Hal ini pun diakui oleh penafsir Sri Sadana ini yang mengatakan:

Sepintas lalu memang seperti cam-pur aduk dari berbagai cerita dengan berbagai latar belakang (dan asalnya juga), tapi hal itu menundjukkan pula betapa mudahnja bangsa kita men-jerap segala sesuatu jang berasal dari luar: Hindu, Sjiwa, Buda Islam, ber-temu dengan damai mendjadi orna-ment dari satu tjipta sastra (hal. ii).

(24)

Heri Mohamad Tohari

Sebagai kesenian yang hidup sejak zaman Hindu, Syiwa, Budha, sampai Islam, yang jadi anutan masyarakat, tak heran jika ungkapan dan ajaran (petuah) ki juru pan-tun merupakan pembauran kedua zaman itu. Selain isthigfar (Islam) terdengar pula ung-kapan kepada dewata, Pohaci, para karuhun (leluhur), buyut, dll. Sri Sadana memang menjadi salah satu hasil sastra orang Sun-da baheula yang melukiskan alam pikiran-nya yang plural. Disebut plural karena karya sastra ini dibangun oleh berbagai batu-bata yang tersusun oleh budaya pembentuk yang berbeda. Namun tetap saja tidak merubah substansi dasara kebudayaan Sunda. Adanya pengaruh budaya Hindu, Syiwa, Budha, dan Islam dalam kebudayaan Sunda menjadi ciri bahwa masyarakat ini sangatlah terbuka. Hal ini disebabkan oleh alam pikiran manusia Sunda yang terbuka oleh kebudayaan baru yang datang. Demi kepentingan pemfokusan penelitian ini, maka peneliti hanya akan men-jelaskan secara mendetail konsep akulturasi Sunda dan Islam dalam Sri Sadana saja.

Bukti kasat mata besarnya pengaruh Is-lam daIs-lam Pantun Sri Sadana terdapat daIs-lam sesi bubuka pembacaan pantun, yang biasa juga dibarengi dengan ritual berupa penye-diaan sesajen atau ngukus (membakar ke-menyan). Nuansa Islam tersebut jelas terlihat dalam bubuka pantun, walaupun sebenarnya tidak hanya nuansa Islam saja yang hadir tetapi menyatu dengan keyakinan masyarakat Sunda sebelumnya.

Salah satu indikator sejauh mana keber-pengaruhan tersebut, peneliti melakukan in-ventarisasi istilah keislaman yang terdapat da-lam teks Sri Sadana. Sejauh penelusuran peneliti langsung terhadap isi teks pantun Sri Sadana secara utuh yang dipantunkan oleh Ki Atjeng Tamadipura, antara lain didapati beberapa

istilah keislaman yang tampak terlihat, antara lain:

Laa ilaaha ilêloh Muhammadurasulu-loh, allohumma nawir kulubana binuri hidajatika kama nawartal ardo binuri sjamsika abadan abada birohmatika ja arhamar rohimin, kangdjeng gusti ro-sululloh, kangdjeng nabi adam, Babu hawa, Nabi sulaeman, Abu Bakar, Umar, Usman, Sajidina ali, Djabrail, Minkail, Isropil, Adjroil, astag pirulah al adim, Subhanahu wata’ala, narun, hawaun, turobun, ma’un, alhamdulillah, salat, ruku, sudjud, holdi, dan Setaniradjim. Peneliti juga melakukan inventarisasi mengenai beberapa istilah atau konsep yang telah mengalami bentuk akulturasi antara Sunda-Islam yang terdapat dalam Tjarita Sri Sadana antara lain: penciptaan manusia pertama yang terdiri dari Narun njatana seuneu, Hawaun: angina, Turobun: taneuh, ma’un: tjai (hal.9). Kemudian istilah akultur-asi muncul juga dalam: Ngadeg salat to’at ka pangeran (hal. 10), Konsep doa berupa Al-lohumma radjah pamunah (hal. 5 dan 154) dan allohumma puter bumi (hal. 6 dan 155), istilah Nabi Isis, konsep surga dan sawarga, dan kisah buah kuldi.

Indikator penting yang tidak boleh dile-watkan oleh peneliti dalam mengkaji sejauh mana akulturasi Islam dengan Sunda, adalah dengan mengukur pilar-pilar utama yang ter-dapat dalam Islam dengan pilar-pilar yang terdapat dalam teks Sunda, yang dalam hal ini adalah pantun Sri Sadana. Pilar utama dalam konsepsi doktrin Islam dikenal dengan apa yang disebut sebagai Rukun Islam. Rukun Islam ini nyata-nyata telah merasuk ke dalam pantun Sri Sadana. Walaupun dengan kema-san dan inovasi lain sebagai sebuah gejala akulturasi. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat dalam tabel berikut ini:

(25)

Feminisme Sunda Kuno

Gambar 2. Konsep Rukun Islam yang terdapat dalam Carita Pantun Sri Sadana

Mitos Penciptaan Manusia Pertama dalam Alam Pikiran Sunda.

Kisah Sri Sadana dimulai dengan mitolo-gi penciptaan jagad raya oleh dewa tertingmitolo-gi Sang Hyang Kersa, dengan kaitan yang sedikit agak aneh karena dihubungkan antara dewa ini dengan tokoh nabi Adam yang disebutkan sebagai leluhur dewa-dewi Sunda. Bagian ini sangat mungkin ditambahkan kemudian, terhadap mitologi asli Sunda, untuk mema-sukkan gagasan, mitologi dan kepercayaan Islam ke dalam sistem kepercayaan Sunda. Dewa tertinggi dalam kepercayaan Sunda Wiwitan, Sang Hyang Kersa (“Yang Berke-hendak”) disebutkan menciptakan dunia ser-ta dewa-dewi lainnya, seperti Baser-tari Sunan Ambu, dan Batara Guru (disamakan dengan dewa Siwa dalam agama Hindu). Banyak de-wa-dewi lainnya merupakan adaptasi dari dewa-dewi Hindu, seperti Indra dan Wisnu. Namun, tetap saja kisah penciptaan jagat raya dan manusia pertama dalam Sri Sadana dimulai dari pernyataan bahwa pencipta alam raya ini oleh Allah SWT. Setelah Allah SWT.

menciptakan bumi, langit, dan malaikat, un-tuk mengisi alam dunia yang masih kosong, maka Allah berkehendak untuk menciptakan makhluk lain yang nantinya akan dipercaya menghuni, mengisi, serta memelihara alam tempat tinggalnya. Sebab diyakini bumi be-lum ada penghuninya.

Senada dengan konsep Islam, Sri Sadana mengisahkan juga mengenai motivasi Allah SWT untuk membuat manusia dalam rang-ka untuk mengisi bumi-langit ini. Namun, perbedaan mendasar terletak dari bahan apa Adam itu diciptakan. Islam mengatakan bah-wa Adam oleh Allah dari segumpal tanah liat yang kering dan lumpur hitam yang dibentuk sedemikian rupa. Setelah disempurnakan bentuknya, maka ditiupkanlah roh ke dalam-nya sehingga ia dapat bergerak dan menjadi manusia yang sempurna. Berbeda dengan Sri Sadana yang mengatakan bahwa manusia diciptakan dari empat unsur.Sri Sadana me-mandang bahwa Adam justru diciptakan dari empat unsur, yakni:

Gambar

Tabel 1. Pedoman Penskoran Akhlak Mulia
Gambar 1. Skema Kerangka Berpikir
Tabel 2. Indikator dan nilai karakter prioritas yang diterapkan di FKIP UNMA Banten Definisi
Gambar 1. Skema Rencana Kajian Makna
+7

Referensi

Dokumen terkait

terutamanya dalam buku Islam and Other Faiths yang menjadi asas utama dalam kajian tentang pluralisme agama ini; kedua, penglibatan beliau secara aktif dalam

Penelitian ini hanya mengambil sampel sebagian pengguna sistem informasi akuntansi yaitu karyawan BMT di kecamatan lendah, kabupaten Kulonprogo, akan lebih baik jika

Di indonesia banyak sekali permasalahan,masalah yang sangat serius dan harus di selesaikan oleh pemerintah,di atas adalah sebagian kecil dari pemasalahan di

Agroindustri merupakan salah satu kegiatan yang bergerak pada industri agraris yang memanfaakan produk pertanian menjadi produk olahan yang bernilai ekonomi lebih

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.arya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber.... Bapak Achmad Junaidi,

Pengertian formal mengenai kredit perbankan di Indonesia terdapat dalam ketentuan Pasal 1 angka 11 Undang-Undang Perbankan Indonesia, yaitu kredit adalah penyediaan

asuhan kebidanan yang telah diberikan pada akseptor baru. kontrasepsi

in i bertuj uan agar pertanyaan tidak me ny impang dari topik yang di inginkan. Peng a matan merupakan suatu ha! yan g sangat penting digunakan dalam pe nelitian