• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KEWENANGAN PEMUNGUTAN PAJAK

A. Dasar Hukum Pemungutan Pajak Daerah

Pajak adalah gejala masyarakat, artinya bahwa pajak hanya terdapat dalam masyarakat. Jika tidak ada masyarakat tidak ada pajak. Pernyataan seperti sangat tepat sekali, karena pajak digunakan untuk membiayai kepentingan umum yang akhirnya juga mencakup kepentingan pribadi individu seperti kepentingan rakyat, pendidikan, kesejahteraan rakyat, pendidikan, kemakmuran rakyat dan sebagainya.21 Sehingga pajak merupakan salah satu alat untuk mencapai tujuan negara sebagaimana yang diamanatkan dalam Pembukaan UUD 1945 pada alinea keempat yang diantaranya berbunyi:22

”…melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia serta untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia…”

Selanjutnya untuk mencapai tujuan negara tersebut dilakukan pemungutan pajak yang dilakukan oleh pemerintah. Dalam hukum positif Indonesia yang menjadi landasan hukum pemungutan pajak adalah Pasal 23A UUD 1945 setelah amandemen keempat yang berbunyi:

”Pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan Negara

21Rochmat Soemitro, Pengantar Singkat Hukum Pajak, Cet. 2, (Bandung: Eresco, 1992), hal. 1-2

22Indonesia, Undang-Undang Dasar 1945, Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945.

diatur dengan undang-undang.”

Dan agar ada kepastian dalam proses pengumpulannya dan berjalannya pembangunan secara berkesinambungan, maka sifat pemaksaannya harus ada dan rakyat itu sendiri telah menyetujuinya dalam bentuk undang-undang.23

Sebaliknya bila ada pungutan yang namanya pajak namun tidak berdasarkan undang-undang, maka pungutan tersebut bukanlah pajak tetapi lebih tepat disebut sebagai perampokan.24

Peraturan mengenai pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa harus diatur dengan Undang-Undang (UU). Berdasarkan hierarki norma hukum yang berlaku di Indonesia, UU menempati posisi nomor dua, yakni setelah UUD 1945.

Hierarki norma hukum, menurut penjelasan Kelsen, berjenjang dan berlapis-lapis dalam suatu hierarki tata susunan, dimana suatu norma yang lebih rendah berlaku, bersumber, dan berdasar pada norma yang lebih tinggi, demikian seterusnya sampai kepada suatu norma yang tidak dapat ditelusuri lebih lanjut dan bersifat hipotesis dan fiktif, yaitu norma dasar. Dengan menggariskan bahwa pajak diatur dengan UU, UUD 1945 hendak memastikan pemungutan pajak dikendalikan juga oleh rakyat melalui Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Lebih lanjut, setelah perumusan peraturan pajak disetujui oleh perwakilan rakyat, maka dapat dianggap bahwa tidak ada lagi pemungutan yang bersifat memaksa dalam lingkup nasional.

Maka pemungutan uang kepada rakyat di luar yang diatur dalam UU dapat

23 Richard Burton dan Wirawan B. Ilyas, Hukum Pajak, Edisi Pertama, (Jakarta: Salemba Empat, 2001), hal. 5.

24Chidir Ali, Hukum Pajak Elementer, Cet. 1, (Bandung: PT Eresco, 1993), hal. 60-65.

digolongkan sebagai perampokan sebagaimana pepatah yang sudah lazim kita dengar:

tax without law is robbery.25

Dalam rangka meningkatkan kemampuan keuangan daerah agar dapat melaksanakan otonomi khususnya yang berasal dari pajak daerah dan retribusi daerah, Pemerintah menetapkan berbagai kebijakan perpajakan daerah, diantaranya dengan menetapkan UU No.28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah yang kemandirian daerah. Dalam UU tersebut, pajak daerah dan retribusi daerah menjadi salah satu sumber pendapatan daerah yang penting guna membiayai pelaksanaan pemerintahan daerah sehingga terdapat perluasan objek pajak daerah dan retribusi daerah serta adanya pemberian diskresi (keleluasaan) dalam penerapan tarif.

Kebijakan pajak daerah dan retribusi daerah untuk kemudian dilaksanakan berdasarkan prinsip demokrasi, pemerataan dan keadilan, peran serta masyarakat, dan akuntabilitas dengan memperhatikan potensi daerah.

Pajak Pemanfaatan Air Bawah Tanah dan Air Permukaan semula merupakan jenis pajak daerah Kabupaten/Kota berdasarkan UU No. 18/1997, kemudian ditarik dan dijadikan pajak daerah Provinsi berdasarkan UU No. 34/2000. Namun dalam perkembangan terbaru berdasarkan UU No. 28/2009, Pajak Pemanfaatan Air Bawah Tanah dan Air Permukaan dipisahkan menjadi dua jenis pajak daerah yang berbeda, yakni Pajak Air Permukaan sebagai Pajak Daerah Provinsi dan Pajak Air Tanah

25http://bukabukaanpajak.wordpress.com/2010/02/17/tentang-pasal-23-a-uud-1945/akses tanggal 22 Februari 2011

sebagai Pajak Daerah Kabupaten/Kota. Jadi, dengan berlakunya UU tersebut, Pajak Air Bawah Tanah (ABT) resmi diserahkan pengelolannya ke kabupaten/kota.

Pasca pembaharuan UU No.34 Tahun 2000 menjadi UU No.28 Tahun 2009, Pajak Propinsi kemudian ditetapkan sebanyak 5 (lima) jenis pajak, yaitu:26

1. Pajak Kendaraan Bermotor dan Kendaraan di Atas Air

2. Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor dan Kendaraan di Atas Air 3. Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor

4. Pajak Air Permukaan 5. Pajak Rokok.

Sementara itu, jenis pajak Kabupaten/Kota ditetapkan 11 (sebelas) jenis pajak Kabupaten/Kota yang baru, yaitu :27

1. Pajak Hotel;

2. Pajak Restoran;

3. Pajak Hiburan;

4. Pajak Reklame;

5. Pajak Penerangan Jalan;

6. Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan;

7. Pajak Parkir;

8. Pajak Air Tanah;

9. Pajak Sarang Burung Walet;

26Lihat Pasal 2 ayat (1) UU No. 28 Tahun 2009 Tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah

27Lihat Pasal 2 ayat (2) UU No. 28 Tahun 2009 Tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah

10. Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan; dan 11. Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan.

Pengertian pemungutan pajak daerah dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah pasal 1 ayat 49 adalah “suatu rangkaian kegiatan mulai dari penghimpunan data objek dan subjek pajak, penentuan besarnya pajak yang terutang sampai kegiatan penagihan pajak atau retribusi kepada wajib pajak atau wajib retribusi serta pengawasan penyetorannya”.

Ketergantungan Daerah yang sangat besar terhadap dana perimbangan dari pusat dalam banyak hal kurang mencerminkan akuntabilitas Daerah. Pemerintah Daerah tidak terdorong untuk mengalokasikan anggaran secara efisien dan masyarakat setempat tidak ingin mengontrol anggaran Daerah karena merasa tidak dibebani dengan Pajak.

Untuk meningkatkan akuntabilitas penyelenggaraan otonomi daerah, Pemerintah Daerah seharusnya diberi kewenangan yang lebih besar dalam perpajakan dan retribusi.

Berkaitan dengan pemberian kewenangan tersebut sesuai dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang-Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah, perluasan kewenangan perpajakan dan retribusi tersebut dilakukan dengan memperluas basis pajak Daerah dan memberikan kewenangan kepada Daerah dalam penetapan tarif.

Pembagian kewenangan dalam pemerintahan yang bersifat desentralistis disadari sangat diperlukan dan tepat untuk diterapkan di Negara yang memiliki sebaran wilayah kepulauan yang luas dengan keanekaragaman budaya seperti Indonesia ini. Di samping memudahkan koordinasi dalam permerintahan, sistem desentralisasi lebih demokratis karena implementasi kekuasaan diselaraskan dengan karakter budaya dan kebiasaan daerah masing-masing.28

Pembagian kewenangan/ fungsi (Power Sharing) antara pusat dan daerah dalam menyelenggarakan pemerintahan, pelayanan masyarakat dan pembangunan menjadi semakin jelas dengan diberikannya porsi peranan daerah yang lebih besar jika dibandingkan dengan pusat.

Sebagai konsekuensi dari hak mengatur dan mengurus rumah tangga atas inisiatif sendiri, maka pemerintah daerah perlu dilengkapi dengan alat perlengkapan daerah yang dapat mengeluarkan peraturan-peraturannya, yaitu Peraturan Daerah (Perda). Kewenangan pemerintah daerah dalam membentuk sebuah peraturan daerah berlandaskan pada Pasal 18 ayat (6) Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang menyatakan, “Pemerintahan daerah berhak menetapkan peraturan daerah dan peraturan-peraturan lain untuk melaksanakan otonomi dan tugas pembantuan”. Keberadaan peraturan daerah merupakan conditio sine quanon atau syarat absolut/syarat mutlak dalam rangka melaksanakan kewenangan otonomi tersebut. Peraturan daerah harus dijadikan pedoman bagi pemerintah daerah dalam

28Departemen Keuangan ( Tinjauan Pelaksanaan Hubungan Keuangan Pusat Dan Daerah), Di dalam Buku Tjip Ismail, Pengaturan Pajak Daerah Di Indonesia, Yellow Printing, Jakarta, Edisi Kedua, 2007, Hal 1

melaksanakan urusan-urusan di daerah.29 Disamping itu peraturan daerah juga harus memberikan perlindungan hukum bagi rakyat di daerah. Peraturan daerah merupakan bagian integral dari konsep peraturan undangan. Peraturan perundang-undangan tingkat daerah diartikan sebagai peraturan perundang-perundang-undangan yang dibentuk oleh pemerintah daerah atau salah satu unsur pemerintahan daerah yang berwenang membuat peraturan perundang-undangan tingkat daerah. Selanjutnya menurut Suko Wiyono, peraturan daerah merupakan penjabaran lebih lanjut dari peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi serta merupakan peraturan yang dibuat untuk melaksanakan peraturan perundang-undangan yang ada diatasnya dengan memperhatikan ciri khas masing-masing daerah. Peraturan daerah dilarang bertentangan dengan kepentingan umum, peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi serta Perda daerah lain.30

Dengan diberikannya kewenangan kepada daerah untuk menggali potensi dari daerahnya sendiri dalam meningkatkan PAD, banyak bermunculan Peraturan Daerah (Perda) tentang pungutan pajak, ada yang terealisasi dengan baik sehingga fungsi pajak sebagai fungsi Budgeter dan fungsi reguleren tercapai, namun ada juga Peraturan Daerah yang tidak terealisasi dengan baik dan tidak memberi kontribusi yang besar bagi peningkatan PAD. Langkah pembuatan Perda harus memperhatikan syarat-syarat yang diperlukan sehingga tidak mengabaikan aspek hukumnya.

29Mahendra Putra Kurnia, dkk, Pedoman Naskah Akademik PERDA Partisipatif, Kreasi Total Media, Yogyakarta, 2007, hal. 55

30Muhammad Ikhwan, Teori Desentralisasi (Pembagian Urusan Pemerintahan di Indonesia) http://studihukum.blogspot.com/2011/01/urgensi-partisipasi-publik-dalam_10.html akses tanggal 17 Februari 2011

Oleh sebab itu, diharapkan peran dan perhatian pemerintah dalam pembuatan Peraturan Daerah (PERDA) tentang pungutan pajak, sehingga masyarakat tidak merasa terbebani dan menjadikan pajak sebagai hal yang menakutkan. Pembuatan peraturan perundang-undangan perpajakan adalah suatu perbuatan menentukan peraturan/norma hukum yang mengikat umum, karenanya harus dilakukan dengan cermat, hati-hati dan mempertimbangkan berbagai segi secara komprehensif.

Pemungutan pajak akan berjalan secara efektif dan efisien dengan memperhatikan setidaknya 4 (empat) syarat agar tercapai keadilan dan kepastian hukum. Syarat-syarat tersebut adalah Syarat-syarat yuridis, Syarat-syarat ekonomis, Syarat-syarat finansial dan Syarat-syarat sosiologis.31

Hak terhadap air merupakan asasi setiap manusia. Undang-Undang dasar 1945 Pasal 33 ayat (2) menjamin hak dasar tersebut, Pasal 33 ayat (2) berbunyi “ Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”. Ini berarti negara harus dapat menjamin dan menyelenggarakan penyediaan air yang menjangkau setiap individu warga negara. Itulah sebabnya negara harus dapat membatasi/mengendalikan pemakaian air bawah tanah tersebut agar kebutuhan setiap individu akan air selalu dapat dipenuhi. Untuk dapat mengendalikannya pemerintah daerah mengenakan pajak atas pengambilan air bawah tanah tersebut.

31Muqodim, Perpajakan, Buku Satu, Edisi ke 2 (Revisi), UII Press dan EKONISIA, Yogyakarta, 1999, Hal 2.

Berdasarkan Pasal 95 ayat (1) disebutkan bahwa “Pajak ditetapkan dengan Peraturan Daerah”. Peraturan Daerah tentang Pajak paling sedikit mengatur ketentuan mengenai:32

a. Nama, objek, dan Subjek Pajak;

b. Dasar pengenaan, tarif, dan cara penghitungan pajak;

c. Wilayah pemungutan;

d. Masa Pajak;

e. Penetapan;

f. Tata cara pembayaran dan penagihan;

g. Kedaluwarsa;

h. Sanksi administratif; dan i. Tanggal mulai berlakunya.

Peraturan Daerah tentang Pajak dapat juga mengatur ketentuan mengenai:33 a. pemberian pengurangan, keringanan, dan pembebasan dalam hal-hal tertentu

atas pokok pajak dan/atau sanksinya;

b. tata cara penghapusan piutang pajak yang kedaluwarsa; dan/atau

c. asas timbal balik, berupa pemberian pengurangan, keringanan, dan pembebasan pajak kepada kedutaan, konsulat, dan perwakilan negara asing sesuai dengan kelaziman internasional.

32Lihat Pasal 95 ayat (3) UU No. 28 Tahun 2009 Tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah

33Lihat Pasal 95 ayat (3) UU No. 28 Tahun 2009 Tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah

Salah satu jenis pajak provinsi dalam undang-undang tersebut adalah Pajak Air Permukaan. Dengan demikian, maka kewenangan untuk memungut pajak air permukaan dimiliki oleh pemerintah daerah tingkat I atau Pemerintah Provinsi.

Namun demikian, undang-undang pajak daerah masih memberikan batasan-batasan mengenai hal-hal yang dapat diatur dalam peraturan daerah sehubungan dengan Pajak Air Permukaan. Dalam pasal 21 ayat (2) UU Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, undang-undang mengecualikan objek pajak air pemukaan, ”pengambilan dan/atau pemanfaatan Air Permukaan untuk keperluan dasar rumah tangga, pengairan pertanian dan perikanan rakyat, dengan tetap memperhatikan kelestarian lingkungan dan peraturan perundang-undangan.” Pemerintah daerah juga diberi kewenangan lanjutan dalam butir b. ayat tersebut untuk menambahkan pengambilan dan/atau pemanfaatan Air Permukaan dalam Peraturan Daerah. Kewenangan lain yang diberikan oleh undang-undang kepada pemerintah daerah adalah untuk menetapkan Nilai Perolehan Air Permukaan. Nilai Perolehan Air Permukaan adalah dasar pengenaan Pajak Air Permukaan. Hal itu diatur dalam pasal 23 ayat (1) Undang-Undang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. Besarnya Nilai Perolehan Air Permukaan sebagaimana dimaksud diatas ditetapkan dengan Peraturan Gubernur sesuai pasal 23 ayat 4 Undang-undang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah.

Kewenangan terakhir yang cukup penting yang diberikan oleh undang-undang mengenai pajak air permukaan adalah mengenai pengaturan tarif. Dalam Pasal 24 ayat (2) UU PDRD dinyatakan bahwa Tarif Pajak Air Permukaan ditetapkan dengan Peraturan Daerah. Namun demikian dalam ayat (1) pasal tersebut dibatasi bahwa

Tarif Pajak Air Permukaan ditetapkan paling tinggi yang ditetapkan pemerintahan daerah adalah sebesar 10% (sepuluh persen).34

Sebagai landasan hukum pemungutan pemanfaatan dan pengambilan air bawah tanah di satu sisi, peranan tersebut memudahkan daerah untuk melaksanakan pemungutannya karena tidak diperlukan lagi mencari bentuk untuk menyusun peraturan pelaksanaanya. Daerah mempunyai wewenang yang cukup besar dalam pengaturan pajak air bawah tanah. Apabila ketidakadilan sebagai akibat dari pelaksanaan ketentuan-ketentuan yang diatur dalam produk-produk sebelumnya, daerah memiliki kewenangan untuk melakukan koreksi atau perbaikan-perbaikan. Pajak air bawah tanah memerlukan pengaturan yang lebih luwes, menciptakan kondisi yang memungkinkan terjadinya pergerakan menuju penyesuaiaan antara fiskus dan wajib pajak, sehingga wajib pajak dapat merasa ditempatkan pada posisi yang sejajar dengan petugas-petugas pajak.

Bahwasanya Peraturan Daerah tentang pajak provinsi dan pajak daerah merupakan kebijakan yang dikeluarkan oleh Propinsi atau Daerah masing-masing, oleh sebab itu nominal atau nilainya antar propinsi dan Daerah tidak sama.

Saat ini Peraturan Daerah yang baru tentang Pemungutan Pajak Air Permukaan dan Air Bawah Tanah belum diterbitkan oleh Pemerintah Daerah Propinsi Riau dan Pemerintah Daerah Kota/Kabupaten. Dalam artian bahwa saat ini pihak Pemerintah Daerah Propinsi dan Pemerintah Daerah Kota/Kabupaten masih menggunakan

34 Derry Patra Dewa, http://derrypatra.wordpress.com/tag/environment/akses tanggal 17 Februari 2011

Peraturan Daerah yang lama untuk memungut Pajak Air Bawah Tanah danAir Permukaan. Hal ini disebabkan belum dikeluarkannnya Peraturan Daerah mengenai pemungutan Pajak Air Bawah Tanah danAir Permukaan. Belum dikeluarkannya Peraturan Daerah tersebut dikarenakan masih dalam proses pembahasan oleh pihak pemerintah kabupaten/kota.35 Menjabarkan amanat UU No. 28 Tahun 2009 tentang Pajak dan Retribusi Daerah, pemerintah daerah harus segera melakukan revisi perda-perda yang tidak sejalan dengan UU tersebut.

Untuk lebih meningkatkan daya guna dan hasil guna Pemungutan dan Pemanfaatan Air Bawah Tanah dan Air Permukaan di Daerah Propinsi Riau yang diatur dengan Undang-Undang yang kemudian diatur melalui Peraturan Pemerintah selanjutnya melalui Keputusan Menteri dan Peraturan Daerah. Pajak Pengambilan dan Pemanfaatan Air Bawah Tanah dan Air Permukaan yang Dasar Hukum pemungutan pengambilan dan pemanfaatannya adalah Undang-Undang No. 28 Tahun 2009 Tentang Pajak Daerah Dan Retribusi Daerah, Undang-Undang No. 12 Tahun 2008 Tentang Pemerintah Daerah, Peraturan Pemerintah No. 65 Tahun 2001 Tentang Pajak Daerah, Peraturan Daerah Propinsi Riau No. 16 Tahun 2002 tentang Pajak Pengambilan Dan Pemanfaatan Air Bawah Tanah Dan Air Permukaan, serta keputusan Gubernur Riau No. 48 Tahun 2002 tentang Petunjuk Pelaksanaan Peraturan Daerah Propinsi Riau No. 16 Tahun 2002 tentang Pengambilan Dan Pemanfaatan Air Bawah Tanah dan Air Permukaan, Keputusan Gubernur Riau No. 3

35Kutipan wawancara dengan Kepala Kantor Dinas Pendapatan Kota Pekanbaru, Drs. Fauzi Atan M.Si, Gedung Kantor Pendapatan Daerah Kota Pekanbaru (SAMSAT), 8 Januari 2011

Tahun 2003 tentang Nilai Perolehan Air Sebagai Dasar Penetapan Pajak Pengambilan dan Pemanfaatan Air Bawah Tanah dan Air Permukaan dan Peraturan Daerah Propinsi Riau No. 6 Tahun 2006 tentang Pengelolaan Air Tanah dan Air Permukaan. Peraturan Daerah Kota Pekanbaru Nomor 4 Tahun 2004 tentang Pengelolaan Air Bawah Tanah dan Peraturan Daerah Propinsi Riau Nomor 6 Tahun 2006 tentang Pengelolaan Air Tanah dan Permukaan.

Berdasarkan Peraturan Daerah Propinsi Riau Nomor 16 Tahun 2002 tentang Pajak Pengambilan dan Pemanfaatan Air Bawah Tanah dan Air Permukaan, disebutkan beberapa pengertian sehubungan dengan Pajak Pengambilan dan Pemanfaatan Air Bawah Tanah dan Air Permukaan sebagai berikut :

1. Air bawah tanah adalah air yang berada di perut bumi, termasuk mata air yang muncul secara alamiah di atas permukaan tanah.

2. Air permukaan adalah air yang berada di atas Permukaan Bumi, tidak termasuk air laut.

Berdasarkan Peraturan Daerah Nomor 16 Tahun 2002 tentang Pengambilan dan Pemanfaatan Air Bawah Tanah dan Air Permukaan dan Peraturan Daerah Nomor 48 Tahun 2002 tentang Petunjuk Pelaksanaan Pengambilan dan Pemanfaatan Pajak Air Bawah Tanah dan Air Permukaan di Propinsi Riau.

Objek Pajak dan Wajib Pajak dalam Pajak Pengambilan dan Pemanfaatan Air Bawah Tanah dan Air Permukaan adalah sebagai berikut :

1. Wajib Pajak Pengambilan dan Pemanfaatan Air Bawah Tanah dan Air Permukaan adalah orang pribadi atau badan yang mengambil, atau

memanfaatkan, atau mengambil dan memanfaatkan air bawah tanah dan/atau air permukaan.36

2. Objek Pajak adalah :37

a. Pengambilan air bawah tanah dan/atau air permukaan b. Pemanfaatan air bawah tanah dan/atau air permukaan

c.. Pengambilan dan pemanfaatan air bawah tanah dan/atau air permukaan Dasar Pengenaan Pajak Pengambilan dan Pemanfaatan Pajak Air Bawah Tanah Dasar pengenaan Pajak Pengambilan dan Pemanfaatan Pajak Air Bawah Tanah, dengan ketentuan sebagai berikut :38

1. Dasar pengenaan Pajak Pengambilan dan Pemanfaatan Air Bawah Tanah dan Air Permukaan adalah Nilai Perolehan Air.

2. Nilai Perolehan Air dinyatakan dalam Rupiah yang dihitung menurut sebahagian atau seluruh Faktor-faktor:

a. Jenis Sumber Air

b. Tujuan Pengambilan Air c. Volume air yang diambil d. Kualitas Air

e. Luas areal tempat pengambilan air f. Musim pengambilan air

36Pasal 4 ayat (1) Peraturan Pemerintah Propinsi Riau Nomor : 16 Tahun 2002 Tentang Pajak Pengambilan Dan Pemanfaatan Air Bawah Tanah Dan Air Permukaan.

37Pasal 3 ayat (1) Peraturan Pemerintah Propinsi Riau Nomor : 16 Tahun 2002 Tentang Pajak Pengambilan Dan Pemanfaatan Air Bawah Tanah Dan Air Permukaan.

38 Pasal 5 Peraturan Pemerintah Propinsi Riau Nomor : 16 Tahun 2002 Tentang Pajak Pengambilan Dan Pemanfaatan Air Bawah Tanah Dan Air Permukaan.

g. Tingkat kerusakan lingkungan

Dikecualikan dari Objek Pajak Pengambilan dan Pemanfaatan Air Bawah Tanah dan Air Permukaan adalah :39

a. Pengambilan, atau pemanfaatan, atau pengambilan dan pemanfaatan air bawah tanah dan atau air permukaan oleh Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah

b. Pengambilan, atau pemanfaatan, atau pengambilan dan pemenfaatan air permukaan oleh BUMN dan BUMD yang khusus didirikan untuk penyelenggaraan usaha eksploitasi dan pemeliharaan pengairan serta mengusahakan air dan sumber-sumber air

c. Pengambilan atau pemanfaatan, atau pengambilan dan pemanfaatan air bawah tanah dan atau air permukaan untuk kepentingan pengairan pertanian rakyat.

d. Pengambilan dan pemanfaatan, atau pengambilan dan pemanfaatan air bawah tanah dari dan atau air permukaan untuk keperluan dasar rumah tangga dan ibadah.

Meskipun pemerintah daerah diberikan kewenangan yang begitu luas, tetapi untuk menghindari hal-hal yang dikhawatirkan tidak sejalan dengan semangat otonomi daerah, maka di dalam Undang-Undang tetap diatur mengenai pengawasan yang diatur oleh pemerintah pusat. Pemerintah sebenarnya telah melakukan antisipasi

39Pasal 3 ayat (2) Peraturan Pemerintah Propinsi Riau Nomor : 16 Tahun 2002 Tentang Pajak Pengambilan Dan Pemanfaatan Air Bawah Tanah Dan Air Permukaan.

(dalam bentuk pengawasan) agar daerah tidak terlalu kreatif dalam memungut pajak sehingga otonomi daerah tidak malah menjadi momok bagi rakyat. Pengawasan tersebut berupa kewajiban pemerintah daerah untuk menyampaikan Peraturan Daerah kepada pemerintah pusat yang berwenang pula untuk melakukan pembatalan terhadap peraturan daerah yang tidak sesuai dengan Undang-undang.

Sehubungan dengan adanya peraturan kebijakan di bidang perpajakan daerah, tentu diperlukan upaya yang serius bagi pemerintah daerah Kabupaten/Kota untuk melakukan penyesuaian terhadap berbagai macam pajak daerah sesuai dengan kategori jenisnya guna menghindari adanya tumpang tindih yang berakibat dapat dibatalkannya perda tentang pajak daerah.

Seyogyanya, Peraturan Daerah Provinsi tentang Pajak Pengambilan dan Pemanfaatan Air Bawah Tanah dan Air Permukaan tetap berlaku paling lama 1 (satu) tahun sejak diberlakukannya Undang-Undang Nomor 28 tahun 2009, sepanjang Peraturan Daerah Kabupaten/Kota tentang Pajak Air Tanah belum diberlakukan berdasarkan Undang-Undang ini.40

Namun demikian, diberlakukannya Perda No. 16 Tahun 2002 untuk pemungutan Pajak Air Bawah Tanah masih dimungkinkan dengan Perda tersebut.

Sebagaimana disebut dalam Pasal 180 ayat (1) UU no. 28 Tahun 2009 Tentang pajak dan dan Retribusi Daerah bahwa Peraturan Daerah tentang Pajak Daerah mengenai jenis Pajak provinsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dan jenis Pajak kabupaten/kota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) masih tetap berlaku

40Lihat Pasal 180 ayat (3) UU No. 22 Tahun 2009 Tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah

untuk jangka waktu 2 (dua) tahun sebelum diberlakukannya Peraturan Daerah yang baru berdasarkan Undang-Undang ini.41

Pada pasal 185 UU no. 28 tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah dikatakan bahwa UU tersebut mulai berlaku sejak 1 Januari 2010, oleh sebab itu untuk berlakunya Perda pajak provinsi dan pajak daerah masih mengikuti kebijakan yang lama dan akan disesuaikan dlm jangka 2 tahun setelah UU ini diberlakukan dengan kata lain Peraturan Daerah yang baru tentang Pajak Provinsi dan Pajak Daerah akan mulai berlaku sejak 1 Januari 2012.

Pada pasal 185 UU no. 28 tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah dikatakan bahwa UU tersebut mulai berlaku sejak 1 Januari 2010, oleh sebab itu untuk berlakunya Perda pajak provinsi dan pajak daerah masih mengikuti kebijakan yang lama dan akan disesuaikan dlm jangka 2 tahun setelah UU ini diberlakukan dengan kata lain Peraturan Daerah yang baru tentang Pajak Provinsi dan Pajak Daerah akan mulai berlaku sejak 1 Januari 2012.