• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KEWENANGAN PEMUNGUTAN PAJAK

C. Kontribusi Pajak Air Permukaaan dan Pajak Air bawah

Pendapatan asli daerah hanya merupakan salah satu komponen sumber penerimaan keuangan negara disamping penerimaan lainnya berupa dana perimbangan, pinjaman daerah dan lain-lain penerimaaan yang sah juga sisa anggaran tahun sebelumnya dapat ditambahkan sebagai sumber pendanaan penyelenggaraan pemerintahan di daerah. Keseluruhan bagian penerimaan tersebut setiap tahunnya tercermin dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah. Meskipun PAD tidak seluruhnya dapat membiayai APBD, namun porsi PAD terhadap total penerimaan tetap merupakan indikasi keuangan suatu pemerintah daerah.69

69R. Santoso Brotodihardjo, Pengantar Ilmu Hukum Pajak, ed. ke-3 Bandung: Refika Aditama, 1998, hal. 20

Menurut Undang-Undang No. 33 tahun 2004, pendapatan asli daerah adalah penerimaan yang diperoleh dari sumber-sumber didalam daerahnya sendiri yang dipungut berdasarkan peraturan daerah sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku.

Pajak Air Bawah Tanah/Air Permukaan merupakan salah satu faktor pendukung dalam pencapaian target Pendapatan Asli Daerah yang sangat penting guna membiayai penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan, maka perlu dijaga dan dilestarikan agar keberadaannya dapat memenuhi kebutuhan hidup masyarakat. Untuk mewujudkannya, Pemerintah Daerah perlu melakukan upaya pengaturan agar pemanfaatan Air Bawah Tanah/Air Permukaan dapat mendukung peningkatan Pendapatan Asli Derah.

Pembayaran pajak merupakan perwujudan dari kewajiban kenegaraan dan peran serta wajib pajak untuk secara langsung dan bersama-sama melaksanakan kewajiban perpajakan yang digunakan untuk pembiayaan negara dan pembangunan nasional. Sesuai dengan falsafah undang-undang perpajakan, membayar pajak bukan hanya merupakan kewajiban tetapi merupakan hak dari setiap warga negara untuk ikut berpartisipasi dalam bentuk peran serta terhadap pembiayaan Negara dan pembangunan nasional.

Tanggung jawab atas kewajiban pembayaran pajak, sebagai pencerminan kewajiban kenegaraan dibidang perpajakan berada pada anggota masyarakat sendiri untuk memenuhi kewajiban warga negara tersebut.

Penegakan hukum dalam perpajakan akan mempunyai korelasi yang positif dengan kesuksesan penerimaan pajak. Artinya, pelaksanaan penegakan hukum pajak secara tegas dan konsisten akan mampu menciptakan kepatuhan yang lebih dari wajib pajak, yang bermuara pada peningkatan penerimaan dari sektor pajak. Pemberian sanksi bagi pelanggar ketentuan perpajakan dimaksud untuk mencegah tingkah laku yang tidak dikehendaki sehingga akan tercapai kepatuhan yang lebih dari wajib pajak.

Penegakan hukum dalam UU No. 28 Tahun 2009 Tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah diwujudkan melalui pemberian sanksi yaitu berupa pengenaan sanksi administrasi Pajak antara lain : sanksi berupa bunga dan / atau denda.70

Pajak Air Bawah Tanah dan Air Permukaan di wilayah Propinsi Riau yang dipungut, dapat dilihat dari kontribusi cukup besar bagi Pendapatan Asli Daerah Riau dari penerimaan Pajak Air Bawah Tanah dan Air Permukaan.

Tabel 3

Kontribusi Penerimaan Pajak Pengambilan dan Pemanfaatan Air Bawah Tanah /Air Permukaan

Propinsi Riau 2005-2009

No Tahun P3ABT/AP PAD Kontribusi

1 2005 10.717.277.000 769.561.690.000 0,13%

2 2006 12.067.377.000 964.641.290.000 0,12%

3 2007 12.282.904.000 1.257.093.510.000 0,09%

4 2008 14.186.434.000 1.477.547.430.000 0,09%

5 2009 13.358.941.000 1.451.957.630.000 0,09%

Sumber : Dinas Pendapatan Daerah Provinsi Riau

70Lihat Pasal 100 ayat (1) huruf c UU No. 28 tahun 2009 Tentang Pajak Daerah Dan Retribusi Daerah

Pada Tabel diatas menunjukkan bahwa penerimaan Pajak Pajak Pengambilan dan Pemanfaatan Air Bawah Tanah/Air Permukaan Propinsi Riau dari tahun ke tahun terjadi peningkatan. Namun, untuk kontribusinya terhadap PAD masih rendah.

Ini berarti bahwa Pemerintah Daerah Propinsi Riau selalu berusaha meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang bersumber dari Pajak.

Bagi Propinsi Riau, Berdasarkan Peraturan Daerah Propinsi Riau Nomor 16 Tahun 2002 tentang Pajak Air Bawah Tanah dan Air Permukaan, penerimaan pendapatan Pajak Air Bawah Tanah dan Air Permukaan yang dipungut melalui Kantor Pendapatan Propinsi Riau. Melalui Instansi tersebut, dapat dilihat jumlah penerimaan Pajak Air Bawah Tanah dan Air Permukaan sebagaimana terlihat pada tabel berikut :

Tabel 4

Penerimaan P3ABT/AP di Propinsi Riau tahun 2009

No Kantor/Pos Pelayanan

Pendapatan Prop. Riau

P3ABT/AP

1 Pekan Baru 5.960.682.747

2 Dumai 1.555.484.410

3 Duri 1.117.614.950

4 Perawang 3.590.448.670

5 Bengkalis 1.214.137.124

Sumber : Dinas Pendapatan Daerah Provinsi Riau

Dari tabel di atas terlihat bahwa perolehan Pajak Air Bawah tanah dan Air Permukaan tahun 2009 untuk kota Pekanbaru memberikan kontribusi terbesar yaitu sebesar Rp 5.960.682.747 ,- dibandingkan dari penerimaan di beberapa Kabupaten dan Kota di Propinsi Riau.

Pajak Air Bawah Tanah / Air Permukaan merupakan salah satu faktor pendukung dalam pencapaian target Pendapatan Asli Daerah yang sangat penting guna membiayai penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan, maka perlu dijaga dan dilestarikan agar keberadaannya dapat memenuhi kebutuhan hidup masyarakat. Untuk mewujudkannya, Pemerintah Daerah perlu melakukan upaya pengaturan agar pemanfaatan Air Bawah Tanah/Air Permukaan dapat mendukung peningkatan Pendapatan Asli Derah.

Hasil wawancara dengan salah satu pegawai kantor Dinas Pendapatan Daerah Propinsi Riau, bahwa dari tahun 2005 sampai dengan tahun 2009 penerimaan pajak pengambilan dan pemanfaatan air permukaan tidak pernah mencapai target yang telah ditetapkan berdasarkan APBD.71

Anggaran pendapatan dan belanja daerah ( APBD) adalah rencana keuangan tahunan pemerintahan daerah yang ditetapkan dengan peraturan daerah. APBD merupakan dasar pengelolaan keuangan daerah dalam masa 1 (satu) tahun anggaran terhitung mulai 1 Januari sampai dengan tanggal 31 Desember. Kepala daerah mengajukan rancangan Perda tentang APBD disertai penjelasan dan dokumen-dokumen pendukungnya kepada DPRD untuk memperoleh persetujuan bersama.

Rancangan Perda provinsi tentang APBD yang telah disetujui bersama dan rancangan Peraturan Gubernur tentang penjabaran APBD sebelum ditetapkan oleh Gubernur paling lambat 3 (tiga) hari disampaikan kepada Menteri Dalam Negeri untuk

71 Kutipan wawancara dengan H. Zainal. Z. SH, Msi, Pegawai Dinas Pendapatan Daerah Pekanbaru, 8 Januari 2011

dievaluasi. Rancangan Perda kabupaten/kota tentang APBD yang telah disetujui bersama dan rancangan Peraturan Bupati/Walikota tentang Penjabaran APBD sebelum ditetapkan oleh Bupati/Walikota paling lama 3 (tiga) hari disampaikan kepada Gubernur untuk dievaluasi.

Semua penerimaan dan pengeluaran pemerintahan daerah dianggarkan dalam APBD dan dilakukan melalui rekening kas daerah yang dikelola oleh Bendahara Umum Daerah. Penyusunan, pelaksanaan, penatausahaan, pelaporan, pengawasan dan pertanggungjawaban keuangan daerah diatur lebih lanjut dengan Perda yang berpedoman pada Peraturan Pemerintah.

Secara garis besar, peraturan berisikan hak dan kewajiban, tindakan yang diperkenankan dan tidak diperkenankan oleh masyarakat. Agar peraturan tersebut dipatuhi, maka harus ada penerapan sanksi bagi pelanggarnya. Sebagaimana John Austin dengan analytical legal positivism nya memberikan ajaran positivisme yuridis bahwa hukum merupakan perintah-perintah dalam bentuk peraturan-peraturan formal dari penguasa yang sah suatu Negara dan keberlakukannya dipaksakan. Kalau tidak, maka dijatuhi sanksi, sehingga unsur-unsur hukum menurut Austin antara lain :72

1. Penguasa.

2. Perintah

3. Kewajiban, dan 4. Sanksi

72 Andre Ata Ujan, Filsafat Hukum (Membangun Hukum Membela Keadilan), Yogyakarta:

Kanisius, 2009), hlm. 67

Hukum yang disebut sebenarnya (yang dengan tepat disebut hukum) adalah suatu jenis perintah (species of commands) yang berasal dari satu sumber tertentu dimana pihak lain dituntut untuk melaksanakannya jika tidak ingin dibebankan dengan sesuatu yang tidak enak yang berupa sanksi. Kewajiban yang disebut sebenarnya, mengharuskan suatu perintah untuk dilaksanakan. Tiap hukum positif dibuat oleh seseorang yang berdaulat atau oleh satu badan yang terdiri dari beberapa orang yang berdaulat untuk keperluan anggota-anggota dari masyarakat politik yang merdeka, dimana penguasa atau badan hukum tersebut di atas, mempunyai kedaulatan yang penuh yang memegang kekuasaan tertinggi.

Suatu perintah berbeda dengan keinginan. Keduanya dibedakan oleh kekuatan dan tujuan dari pihak yang memerintah atau menyatakannya untuk menimbulkan suatu kemalangan atau suatu penderitaan dalam hal keinginan atau perintah tersebut diabaikan. Jika seseorang tidak dapat atau tidak ingin melukai atau memberikan beban penderitaan bagi orang lain yang tidak menuruti perintahnya, maka keinginan orang tersebut bukanlah suatu perintah (command), meskipun keinginan tersebut dinyatakan dalam suatu kalimat perintah. Namun jika seseorang dapat atau ingin menyakiti atau memberi suatu penderitaan bagi orang lain yang tidak tunduk atau menuruti keinginannya, maka ekspresi atau keinginan orang tersebut sama dengan suatu perintah (command). Kemalangan atau penderitaan yang diberikan dalam hal suatu perintah tidak dituruti inilah yang disebut sebagai sanksi. Dan untuk memfungsikan hukum dengan sanksi adalah merupakan ciri formal yang menonjol

dari sistem hukum. Sehingga jika memandang dari suatu kenyataan bahwa suatu sistem hukum adalah merupakan suatu kesatuan yang memang memberikan sanksi-sanksi.

Dari perspektif teori hukum pajak, dalam P3ABTAP mempunyai 2 (dua) fungsi pajak, yaitu fungsi budgeter dan fungsi regulerend (mengatur). Dalam pelaksanaan fungsi budgeter, P3ABTAP ditujukan untuk memasukkan dana ke kas daerah yang nantinya akan digunakan sebagai sumber pembiayaan bagi penyelenggaraan urusan pemerintahan daerah. Selain fungsi budgeter, pajak juga memiliki fungsi regulerend (mengatur).73 Realisasi fungsi regulerend P3ABTAP bahwa pajak ini digunakan sebagai usaha pemerintah untuk turut campur dalam menyelenggarakan tujuan-tujuan pemerintah di bidang air bawah tanah dan air permukaan.

Pengenaan PPPABT secara langsung dapat mencegah atau menghalangi masyarakat menggambil dan memanfaatkan air bawah tanah secara berlebihan.

PPPABT memiliki unsur yang dapat digunakan untuk mengendalikan pendayagunaan air bawah tanah, yaitu Nilai Faktor sebagaimana telah dijelaskan di atas. Nilai Faktor bersifat menghambat dan memberatkan pengguna air.74

Dalam pelaksanaan pemungutan pajak P3ABTAP, pemerintah daerah dalam hal ini Gubernur melalui Peraturan Daerah memerintahkan kepada Dispenda untuk melakukan pemungutan pajak P3ABTAP. Namun seiring tidak tercapainya target merupakan gambaran kurang efektifnya kinerja Dispenda dalam mengelola kegiatan

73Bohari, Pengantar Hukum Pajak, Rajawali Pers, Jakarta, 2004, hlm. 133.

74Kutipan wawancara dengan Kepala Kantor Dinas Pendapatan Kota Pekanbaru, H. Said Auzir Aziz, Gedung Kantor Pendapatan Daerah Kota Pekanbaru (SAMSAT), 8 Januari 2011.

pemungutan. Dikatakan hal tersebut sebagai kurang efektifnya kinerja Dispenda dikarenakan menurut ketentuan yang ada, jumlah PAD merupakan batas minimal yang harus dicapai. Kurang efektifnya kinerja Dispenda tersebut dikarenakan produktivitas para aparat pelaksana pemungutan rendah. Untuk itu diperlukan penerapan tindakan disiplin yang ketat, artinya akan dikenai hukuman atau sanksi sesuai dengan tingkatan kesalahan. Sanksi tersebut dapat berupa teguran lisan, teguran tertulis ataupun dengan melakukan pergantian pimpinan sebab itu merupakan tanggung jawab yang harus dipenuhi.

Oleh karena itu, dalam menetapkan target pendapatan pajak daerah diperlukan peraturan daerah oleh pemerintah daerah untuk melakukan ekstensifikasi Pajak Air Bawah Tanah dan Air Permukaan, dimana ketiadaan Peraturan Daerah dapat menyebabkan terkendalanya daerah dalam melakukan pelaksanaan penyelenggaraan Pemerintahan Daerah dan kebijakan daerah terhadap pemungutan Pajak Air Bawah Tanah dan Air Permukaan. Kestabilan kondisi daerah akan memberikan peluang bagi daerah untuk mengoptimalkan pencapaian target yang didukung oleh kemampuan aparatur pemungutan pajak dalam penerapan disiplinnya.

Penegakan hukum dalam perpajakan akan mempunyai korelasi yang positif dengan kesuksesan penerimaan pajak. Artinya, pelaksanaan penegakan hukum pajak secara tegas dan konsisten akan mampu menciptakan kepatuhan yang lebih, yang bermuara pada peningkatan penerimaan dari sektor pajak. Pemberian sanksi untuk mencegah tingkah laku yang tidak dikehendaki sehingga akan tercapai kepatuhan yang lebih baik dalam pemugutan pajak.

BAB IV

KENDALA DAN UPAYA MENGATASI KENDALA DALAM

PENGAMBILAN DAN PEMANFAATAN PAJAK AIR PERMUKAAN DAN AIR BAWAH TANAH DI PROPINSI RIAU

A. Kendala-Kendala Yang ada Dalam Pengambilan Dan Pemanfaatan Pajak Air Bawah Tanah dan Air Permukaan di Propinsi Riau

Konsekuensi dari hak mengatur dan mengurus rumah tangga atas inisiatif sendiri, pemerintah daerah perlu dilengkapi dengan alat perlengkapan daerah yang dapat mengeluarkan peraturan-peraturannya, yaitu Peraturan Daerah (Perda).

Kewenangan pemerintah daerah dalam membentuk sebuah peraturan daerah berlandaskan pada Pasal 18 ayat (6) Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang menyatakan, “Pemerintahan daerah berhak menetapkan peraturan daerah dan peraturan-peraturan lain untuk melaksanakan otonomi dan tugas pembantuan”. Keberadaan peraturan daerah merupakan conditio sine quanon atau syarat absolut/syarat mutlak dalam rangka melaksanakan kewenangan otonomi tersebut. Peraturan daerah merupakan bagian integral dari konsep peraturan perundang-undangan.

Dengan diberikannya kewenangan kepada daerah untuk menggali potensi dari daerahnya sendiri dalam meningkatkan PAD, banyak bermunculan Peraturan Daerah (Perda) tentang pungutan pajak, ada yang terealisasi dengan baik sehingga fungsi pajak sebagai fungsi Budgeter dan fungsi reguleren tercapai, namun ada juga Peraturan Daerah yang tidak terealisasi dengan baik dan tidak memberi kontribusi

yang besar bagi peningkatan PAD. Langkah pembuatan Perda harus memperhatikan syarat-syarat yang diperlukan sehingga tidak mengabaikan aspek hukumnya.

Pada awalnya, Pajak Pemanfaatan Air Bawah Tanah dan Air Permukaan merupakan salah satu penerimaan pemerintah daerah propinsi Riau dari pajak daerah.

Pajak Pengambilan dan Pemanfaatan Air Bawah Tanah dan Air Permukaan telah ditetapkan untuk menjadi Pajak Propinsi berdasarkan dengan Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2000 yang salah satu jenis pajak propinsi yaitu Pajak Pengambilan dan Pemanfaatan Air Bawah tanah dan Air Permukaan. Namun dengan dikeluarkannya UU No. 28/2009, Pajak Pemanfaatan Air Bawah Tanah dan Air Permukaan dipisahkan menjadi dua jenis pajak daerah yang berbeda, yakni Pajak Air Permukaan sebagai Pajak Daerah Provinsi dan Pajak Air Tanah sebagai Pajak Daerah Kabupaten/Kota. Jadi, dengan berlakunya UU tersebut, Pajak Air Bawah Tanah (ABT) resmi diserahkan pengelolannya ke kabupaten/kota.

Saat ini Peraturan Daerah yang baru tentang Pemungutan Pajak Air Permukaan dan Air Bawah Tanah belum diterbitkan oleh Pemerintah Daerah di Propinsi Riau. Ini berarti bahwa pihak Pemerintah Daerah di Propinsi Riau masih menggunakan Peraturan Daerah yang lama untuk memungut Pajak Air Permukaan. Belum dikeluarkannya Peraturan Daerah tersebut dikarenakan masih dalam proses pembahasan oleh pihak pemerintah kabupaten/kota.

Namun demikian, diberlakukannya Perda No. 16 Tahun 2002 untuk pemungutan Pajak Air Bawah Tanah dan Air Permukaan masih dimungkinkan dengan Perda tersebut. Sebagaimana disebut dalam Pasal 180 ayat (1) UU no. 28

Tahun 2009 Tentang pajak dan dan Retribusi Daerah bahwa Peraturan Daerah tentang Pajak Daerah mengenai jenis Pajak provinsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dan jenis Pajak kabupaten/kota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 180 ayat (3) Peraturan Daerah Provinsi tentang Pajak Pengambilan dan Pemanfaatan Air Bawah Tanah dan Air Permukaan tetap berlaku paling lama 1 (satu) tahun sejak diberlakukannya Undang-Undang ini, sepanjang Peraturan Daerah Kabupaten/Kota tentang Pajak Air Tanah belum diberlakukan berdasarkan Undang-Undang ini.

Selain itu, dalam pelaksanaan kegiatan pemungutan Pajak Air Bawah Tanah dan Air Permukaan pada Kantor Pendapatan Daerah melibatkan beberapa instansi, yaitu: Dinas Pendapatan Daerah (Dispenda) sebagai unit yang menetapkan besarnya pajak terutang dengan menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Daerah (SKPD), Badan Pengendalian Dampak Lingkungan Daerah Provinsi dan Kota Pekanbaru yang berwenang di bidang pengawasan dan pengendalian lingkungan dalam pemanfaatan air bawah tanah, serta Dinas Pertambangan sebagai instansi yang berwenang memberikan izin eksplorasi, pengawasan/pengendalian dan penertiban pemanfaatan air bawah tanah.

Masing-masing instansi tersebut memiliki kewenangan dan kepentingan sendiri-sendiri yang terkait dengan ketentuan peraturan perUndang-Undangan yang menjadi payung hukum dalam pelaksanaan kegiatan instansi tersebut. Oleh sebab itu untuk mendukung optimalisasi penerimaan Pajak Air Bawah Tanah diperlukan koordinasi secara efektif dan efisien dari instansi-instansi yang terkait dalam pengambilan dan pemanfaatan Pajak Air Bawah Tanah, sehingga para

pemilik sumur bor (wajib pajak) dapat didata secara rinci guna memperkecil peluang terjadinya pencurian air bawah tanah yang dapat mengancam lingkungan dan penghindaran pajak yang berkaitan dengan pembayaran pajak air bawah tanah. Belum optimalnya koordinasi dalam pengambilan dan pemanfaatan air bawah tanah ini akan menyebabkan terhambatnya penerimaan Pajak Air Bawah Tanah dan bahkan dapat menjadikan potensi terjadinya penghindaran Pajak Daerah yang seharusnya diterima oleh Pemerintah Provinsi Riau.

Di dalam suatu sistem kerja organisasi yang melibatkan lebih dari satu instansi , tidak akan berjalan dengan lancar apabila tidak ada koordinasi yang baik. Ini berarti koordinasi merupakan hal yang penting untuk tercapainya tujuan. Demikian juga dalam hal pemungutan Pajak Air Bawah Tanah yang dilakukan oleh pihak Dinas Pendapatan Propinsi Riau yang berkoordinasi dengan instansi yang terkait dan saling kontrol antara satu dengan lainnya, antara lain dengan unit Pelayanan Pajak Air Bawah Tanah, disamping itu dari pihak Pemerintah Propinsi Riau selain Dispenda juga terdapat Dinas Pertambangan dan Badan Pengendalian Dampak Lingkungan Daerah Propinsi Riau, dituntut untuk mampu melakukan koordinasi yang baik atau efektif.

Keseluruhan instansi yang berkoordinasi dengan Dinas Pendapatan Propinsi Riau saling melakukan koordinasi antara instansi terkait satu dengan yang lainnya dalam sistem yang sama dalam melakukan mekanisme pelayanan. Instansi-instansi yang berkoordinasi dengan kantor pendapatan daerah Kota/Kabupaten pekanbaru, mempunyai tugas dan kewajiban masing-masing yang saling terkait dalam sistem

yang sama, jika salah satu sistem yang tidak berjalan maka pemungutan pajak didapat tidak akan optimal.75

Dengan demikian dapat dikatakan bahwa pada Kantor Dinas Pendapatan Propinsi Riau, seharusnya instansi-instansi yang saling mendukung satu dengan yang lainnya dalam tugas dan fungsinya masing-masing, sebab apabila ternyata tidak saling berkoordinasi dengan baik antar instansi, maka tujuan bersama tidak akan tercapai dan pemungutan pajaknya tidak optimal. Koordinasi pemungutan pajak pengambilan dan pemanfaatan air bawah tanah melibatkan instansi-instasi yang terkait, walaupun instansi terkait tersebut memiliki kepentingan masing-masing, tetapi untuk terlaksananya koordinasi yang efektif atau baik, masing-masing instansi dapat mengarahkan kepentingannya pada tujuan bersama. Kemudian pada akhirnya kepentingan tersebut akan melebur menjadi satu tujuan yang dapat dihubungkan karena adanya saling ketergantungan.

Dalam koordinasi pemungutan pengambilan dan pemanfaatan pajak air bawah tanah antar Dinas Pendapatan Daerah dengan Dinas Pertambangan dan Badan Pengendalian Dampak Lingkungan, wewenang, tanggung jawab serta tugas masing-masing instansi dalam pelaksanaan pemungutan pajak pengambilan dan pemanfaatan air bawah tanah, menurut Kepala Kantor Dinas/Pendapatan Provinsi Riau sudah menunjukkan adanya koordinasi sehingga tumpang tindih dan kesimpang siuran dapat dihindari. Kantor pendapatan daerah Kota/Kabupaten yang berwenang

75Kutipan wawancara dengan Kepala Kantor Dinas Pendapatan Kota Pekanbaru, H. Said Auzir Aziz, Gedung Kantor Pendapatan Daerah Kota Pekanbaru (SAMSAT), 8 Januari 2011

melakukan proses pemungutan dan unit yang menetapkan pembayaran pajak air bawah tanah. Kantor Pendapatan Daerah tesebut tersebar di Riau yaitu terdiri dari 12 tempat kedudukan, dan Pos Pelayanan Pendapatan Daerah ada 10 tempat kedudukannya. Secara teknis kantor dan Pos pelayanan tersebut yang memungut dan Dinas Pendapatan Daerah propinsi sebagai Koordinator. Kemudian Dinas Pertambangan yang berwenang melakukan pengawasan dalam pemakaian air bawah tanah, serta Badan Pengendalian Lingkungan yang berwenang memberikan izin pengambilan dan pemanfaatan pajak air bawah tanah.76

Dalam pengelolaan PAD, ada banyak faktor yang menjadi penghambat, sehingga potensi penerimaan yang ditemukan atau yang diperoleh sulit untuk direalisasikan. Permasalahan dalam proses pengelolaan penerimaan PAD untuk setiap jenis penerimaan terdapat perbedaan cara penanganan atau pengelolaannya.

Adapun kendala pertama yang dihadapi dalam Pengambilan dan Pemungutan Pajak Air Bawah Tanah dan Air Permukaan adalah pemungutan pajak tersebut terbatas hanya bisa dilakukan sampai 31 desember 2010, sepanjang Peraturan daerah Kabupaten/Kota provinsi riau tentang Pajak Air Bawah tanah telah diterbitkan tetapi belum diberlakukan Perda Kabupaten/Kota mengenai Pajak Air Bawah Tanah.

Adanya kewajiban pertanggungjawaban pemerintah secara contrario merupakan wujud perlindungan hukum dari negara melalui aparatnya terhadap warga negara atau rakyatnya. Dengan kata lain, pendapat Hans Kelsen secara tersirat pada hakikatnya

76Kutipan wawancara dengan Kepala Kantor Dinas Pendapatan Kota Pekanbaru, H. Said Auzir Aziz, Gedung Kantor Pendapatan Daerah Kota Pekanbaru (SAMSAT), 8 Januari 2011

mengakui keberadaan dari konsep negara hukum, yang menurut Sri Soemantri Martosoewignjo memiliki ciri-ciri sebagai berikut :

a. bahwa pemerintah dalam melaksanakan tugas dan kewajibannya harus berdasar atas hukum atau peraturan perundang-undangan;

b. adanya jaminan terhadap hak-hak asasi manusia (warga negara);

c. adanya pembagian kekuasaan dalam negara;

d. adanya pengawasan dari badan-badan peradilan (recthsterlijke controle)77 Peraturan Daerah merupakan penjabaran lebih lanjut dari peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi serta merupakan peraturan yang dibuat untuk melaksanakan peraturan perundang-undangan yang ada diatasnya dengan memperhatikan ciri khas masing-masing daerah. Peraturan Daerah dilarang bertentangan dengan kepentingan umum, peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi serta Perda daerah lain. Hans Kelsen memberikan definisi peraturan undangan di tingkat daerah sebagai berikut, “Peraturan perundang-undangan tingkat daerah diartikan sebagai peraturan perundang-perundang-undangan yang dibentuk oleh pemerintah daerah atau salah satu unsur pemerintah daerah yang berwenang membuat peraturan perundang-undangan di daerah”.

Selain itu, kendala-kendala yang didapat dalam Pengambilan dan Pemungutan Pajak Air Bawah Tanah dan Air Permukaan adalah masih kurangnya informasi dan sosialisasi terhadap dinamika kebijakan pajak daerah yang dapat menimbulkan

77 R. Sri Soemantri M., Bunga Rampai Hukum Tata Negara Indonesia, Penerbit Alumni, Bandung, 1992, hlm. 29

kurang kepedulian dari warga masyarakat untuk segera membayar pajak daerah tatkala mendekati jatuh tempo. Serta masih rendahnya pengetahuan dan pemahaman masyarakat tentang P3ABTAP yang menyebabkan kurangnya kesadaran hukum.

Kesadaran hukum dalam masyarakat belumlah merupakan proses sekali jadi, melainkan merupakan suatu rangkaian proses yang terjadi tahap demi tahap

Kesadaran hukum dalam masyarakat belumlah merupakan proses sekali jadi, melainkan merupakan suatu rangkaian proses yang terjadi tahap demi tahap