• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV KENDALA DAN UPAYA MENGATASI KENDALA

A. Kendala-Kendala Yang ada Dalam Pengambilan Dan

Konsekuensi dari hak mengatur dan mengurus rumah tangga atas inisiatif sendiri, pemerintah daerah perlu dilengkapi dengan alat perlengkapan daerah yang dapat mengeluarkan peraturan-peraturannya, yaitu Peraturan Daerah (Perda).

Kewenangan pemerintah daerah dalam membentuk sebuah peraturan daerah berlandaskan pada Pasal 18 ayat (6) Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang menyatakan, “Pemerintahan daerah berhak menetapkan peraturan daerah dan peraturan-peraturan lain untuk melaksanakan otonomi dan tugas pembantuan”. Keberadaan peraturan daerah merupakan conditio sine quanon atau syarat absolut/syarat mutlak dalam rangka melaksanakan kewenangan otonomi tersebut. Peraturan daerah merupakan bagian integral dari konsep peraturan perundang-undangan.

Dengan diberikannya kewenangan kepada daerah untuk menggali potensi dari daerahnya sendiri dalam meningkatkan PAD, banyak bermunculan Peraturan Daerah (Perda) tentang pungutan pajak, ada yang terealisasi dengan baik sehingga fungsi pajak sebagai fungsi Budgeter dan fungsi reguleren tercapai, namun ada juga Peraturan Daerah yang tidak terealisasi dengan baik dan tidak memberi kontribusi

yang besar bagi peningkatan PAD. Langkah pembuatan Perda harus memperhatikan syarat-syarat yang diperlukan sehingga tidak mengabaikan aspek hukumnya.

Pada awalnya, Pajak Pemanfaatan Air Bawah Tanah dan Air Permukaan merupakan salah satu penerimaan pemerintah daerah propinsi Riau dari pajak daerah.

Pajak Pengambilan dan Pemanfaatan Air Bawah Tanah dan Air Permukaan telah ditetapkan untuk menjadi Pajak Propinsi berdasarkan dengan Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2000 yang salah satu jenis pajak propinsi yaitu Pajak Pengambilan dan Pemanfaatan Air Bawah tanah dan Air Permukaan. Namun dengan dikeluarkannya UU No. 28/2009, Pajak Pemanfaatan Air Bawah Tanah dan Air Permukaan dipisahkan menjadi dua jenis pajak daerah yang berbeda, yakni Pajak Air Permukaan sebagai Pajak Daerah Provinsi dan Pajak Air Tanah sebagai Pajak Daerah Kabupaten/Kota. Jadi, dengan berlakunya UU tersebut, Pajak Air Bawah Tanah (ABT) resmi diserahkan pengelolannya ke kabupaten/kota.

Saat ini Peraturan Daerah yang baru tentang Pemungutan Pajak Air Permukaan dan Air Bawah Tanah belum diterbitkan oleh Pemerintah Daerah di Propinsi Riau. Ini berarti bahwa pihak Pemerintah Daerah di Propinsi Riau masih menggunakan Peraturan Daerah yang lama untuk memungut Pajak Air Permukaan. Belum dikeluarkannya Peraturan Daerah tersebut dikarenakan masih dalam proses pembahasan oleh pihak pemerintah kabupaten/kota.

Namun demikian, diberlakukannya Perda No. 16 Tahun 2002 untuk pemungutan Pajak Air Bawah Tanah dan Air Permukaan masih dimungkinkan dengan Perda tersebut. Sebagaimana disebut dalam Pasal 180 ayat (1) UU no. 28

Tahun 2009 Tentang pajak dan dan Retribusi Daerah bahwa Peraturan Daerah tentang Pajak Daerah mengenai jenis Pajak provinsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dan jenis Pajak kabupaten/kota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 180 ayat (3) Peraturan Daerah Provinsi tentang Pajak Pengambilan dan Pemanfaatan Air Bawah Tanah dan Air Permukaan tetap berlaku paling lama 1 (satu) tahun sejak diberlakukannya Undang-Undang ini, sepanjang Peraturan Daerah Kabupaten/Kota tentang Pajak Air Tanah belum diberlakukan berdasarkan Undang-Undang ini.

Selain itu, dalam pelaksanaan kegiatan pemungutan Pajak Air Bawah Tanah dan Air Permukaan pada Kantor Pendapatan Daerah melibatkan beberapa instansi, yaitu: Dinas Pendapatan Daerah (Dispenda) sebagai unit yang menetapkan besarnya pajak terutang dengan menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Daerah (SKPD), Badan Pengendalian Dampak Lingkungan Daerah Provinsi dan Kota Pekanbaru yang berwenang di bidang pengawasan dan pengendalian lingkungan dalam pemanfaatan air bawah tanah, serta Dinas Pertambangan sebagai instansi yang berwenang memberikan izin eksplorasi, pengawasan/pengendalian dan penertiban pemanfaatan air bawah tanah.

Masing-masing instansi tersebut memiliki kewenangan dan kepentingan sendiri-sendiri yang terkait dengan ketentuan peraturan perUndang-Undangan yang menjadi payung hukum dalam pelaksanaan kegiatan instansi tersebut. Oleh sebab itu untuk mendukung optimalisasi penerimaan Pajak Air Bawah Tanah diperlukan koordinasi secara efektif dan efisien dari instansi-instansi yang terkait dalam pengambilan dan pemanfaatan Pajak Air Bawah Tanah, sehingga para

pemilik sumur bor (wajib pajak) dapat didata secara rinci guna memperkecil peluang terjadinya pencurian air bawah tanah yang dapat mengancam lingkungan dan penghindaran pajak yang berkaitan dengan pembayaran pajak air bawah tanah. Belum optimalnya koordinasi dalam pengambilan dan pemanfaatan air bawah tanah ini akan menyebabkan terhambatnya penerimaan Pajak Air Bawah Tanah dan bahkan dapat menjadikan potensi terjadinya penghindaran Pajak Daerah yang seharusnya diterima oleh Pemerintah Provinsi Riau.

Di dalam suatu sistem kerja organisasi yang melibatkan lebih dari satu instansi , tidak akan berjalan dengan lancar apabila tidak ada koordinasi yang baik. Ini berarti koordinasi merupakan hal yang penting untuk tercapainya tujuan. Demikian juga dalam hal pemungutan Pajak Air Bawah Tanah yang dilakukan oleh pihak Dinas Pendapatan Propinsi Riau yang berkoordinasi dengan instansi yang terkait dan saling kontrol antara satu dengan lainnya, antara lain dengan unit Pelayanan Pajak Air Bawah Tanah, disamping itu dari pihak Pemerintah Propinsi Riau selain Dispenda juga terdapat Dinas Pertambangan dan Badan Pengendalian Dampak Lingkungan Daerah Propinsi Riau, dituntut untuk mampu melakukan koordinasi yang baik atau efektif.

Keseluruhan instansi yang berkoordinasi dengan Dinas Pendapatan Propinsi Riau saling melakukan koordinasi antara instansi terkait satu dengan yang lainnya dalam sistem yang sama dalam melakukan mekanisme pelayanan. Instansi-instansi yang berkoordinasi dengan kantor pendapatan daerah Kota/Kabupaten pekanbaru, mempunyai tugas dan kewajiban masing-masing yang saling terkait dalam sistem

yang sama, jika salah satu sistem yang tidak berjalan maka pemungutan pajak didapat tidak akan optimal.75

Dengan demikian dapat dikatakan bahwa pada Kantor Dinas Pendapatan Propinsi Riau, seharusnya instansi-instansi yang saling mendukung satu dengan yang lainnya dalam tugas dan fungsinya masing-masing, sebab apabila ternyata tidak saling berkoordinasi dengan baik antar instansi, maka tujuan bersama tidak akan tercapai dan pemungutan pajaknya tidak optimal. Koordinasi pemungutan pajak pengambilan dan pemanfaatan air bawah tanah melibatkan instansi-instasi yang terkait, walaupun instansi terkait tersebut memiliki kepentingan masing-masing, tetapi untuk terlaksananya koordinasi yang efektif atau baik, masing-masing instansi dapat mengarahkan kepentingannya pada tujuan bersama. Kemudian pada akhirnya kepentingan tersebut akan melebur menjadi satu tujuan yang dapat dihubungkan karena adanya saling ketergantungan.

Dalam koordinasi pemungutan pengambilan dan pemanfaatan pajak air bawah tanah antar Dinas Pendapatan Daerah dengan Dinas Pertambangan dan Badan Pengendalian Dampak Lingkungan, wewenang, tanggung jawab serta tugas masing-masing instansi dalam pelaksanaan pemungutan pajak pengambilan dan pemanfaatan air bawah tanah, menurut Kepala Kantor Dinas/Pendapatan Provinsi Riau sudah menunjukkan adanya koordinasi sehingga tumpang tindih dan kesimpang siuran dapat dihindari. Kantor pendapatan daerah Kota/Kabupaten yang berwenang

75Kutipan wawancara dengan Kepala Kantor Dinas Pendapatan Kota Pekanbaru, H. Said Auzir Aziz, Gedung Kantor Pendapatan Daerah Kota Pekanbaru (SAMSAT), 8 Januari 2011

melakukan proses pemungutan dan unit yang menetapkan pembayaran pajak air bawah tanah. Kantor Pendapatan Daerah tesebut tersebar di Riau yaitu terdiri dari 12 tempat kedudukan, dan Pos Pelayanan Pendapatan Daerah ada 10 tempat kedudukannya. Secara teknis kantor dan Pos pelayanan tersebut yang memungut dan Dinas Pendapatan Daerah propinsi sebagai Koordinator. Kemudian Dinas Pertambangan yang berwenang melakukan pengawasan dalam pemakaian air bawah tanah, serta Badan Pengendalian Lingkungan yang berwenang memberikan izin pengambilan dan pemanfaatan pajak air bawah tanah.76

Dalam pengelolaan PAD, ada banyak faktor yang menjadi penghambat, sehingga potensi penerimaan yang ditemukan atau yang diperoleh sulit untuk direalisasikan. Permasalahan dalam proses pengelolaan penerimaan PAD untuk setiap jenis penerimaan terdapat perbedaan cara penanganan atau pengelolaannya.

Adapun kendala pertama yang dihadapi dalam Pengambilan dan Pemungutan Pajak Air Bawah Tanah dan Air Permukaan adalah pemungutan pajak tersebut terbatas hanya bisa dilakukan sampai 31 desember 2010, sepanjang Peraturan daerah Kabupaten/Kota provinsi riau tentang Pajak Air Bawah tanah telah diterbitkan tetapi belum diberlakukan Perda Kabupaten/Kota mengenai Pajak Air Bawah Tanah.

Adanya kewajiban pertanggungjawaban pemerintah secara contrario merupakan wujud perlindungan hukum dari negara melalui aparatnya terhadap warga negara atau rakyatnya. Dengan kata lain, pendapat Hans Kelsen secara tersirat pada hakikatnya

76Kutipan wawancara dengan Kepala Kantor Dinas Pendapatan Kota Pekanbaru, H. Said Auzir Aziz, Gedung Kantor Pendapatan Daerah Kota Pekanbaru (SAMSAT), 8 Januari 2011

mengakui keberadaan dari konsep negara hukum, yang menurut Sri Soemantri Martosoewignjo memiliki ciri-ciri sebagai berikut :

a. bahwa pemerintah dalam melaksanakan tugas dan kewajibannya harus berdasar atas hukum atau peraturan perundang-undangan;

b. adanya jaminan terhadap hak-hak asasi manusia (warga negara);

c. adanya pembagian kekuasaan dalam negara;

d. adanya pengawasan dari badan-badan peradilan (recthsterlijke controle)77 Peraturan Daerah merupakan penjabaran lebih lanjut dari peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi serta merupakan peraturan yang dibuat untuk melaksanakan peraturan perundang-undangan yang ada diatasnya dengan memperhatikan ciri khas masing-masing daerah. Peraturan Daerah dilarang bertentangan dengan kepentingan umum, peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi serta Perda daerah lain. Hans Kelsen memberikan definisi peraturan undangan di tingkat daerah sebagai berikut, “Peraturan perundang-undangan tingkat daerah diartikan sebagai peraturan perundang-perundang-undangan yang dibentuk oleh pemerintah daerah atau salah satu unsur pemerintah daerah yang berwenang membuat peraturan perundang-undangan di daerah”.

Selain itu, kendala-kendala yang didapat dalam Pengambilan dan Pemungutan Pajak Air Bawah Tanah dan Air Permukaan adalah masih kurangnya informasi dan sosialisasi terhadap dinamika kebijakan pajak daerah yang dapat menimbulkan

77 R. Sri Soemantri M., Bunga Rampai Hukum Tata Negara Indonesia, Penerbit Alumni, Bandung, 1992, hlm. 29

kurang kepedulian dari warga masyarakat untuk segera membayar pajak daerah tatkala mendekati jatuh tempo. Serta masih rendahnya pengetahuan dan pemahaman masyarakat tentang P3ABTAP yang menyebabkan kurangnya kesadaran hukum.

Kesadaran hukum dalam masyarakat belumlah merupakan proses sekali jadi, melainkan merupakan suatu rangkaian proses yang terjadi tahap demi tahap kesadaran hukum masyarakat sangat berpengaruh terhadap kepatuhan hukum, baik secara langsung maupun tidak langsung. Faktor kesadaran hukum ini sangat memainkan peran penting dalam perkembangan hukum artinya semakin lemah tingkat kesadaran masyarakat, semakin lemah pula kepatuhan hukumnya sebaliknya semakin kuat kesadaran hukumnya semakin kuat pula faktor kepatuhan hukum.

Sehingga proses perkembangan dan efektifitas hukum dapat dirasakan langsung oleh masyarakat.

B. Upaya Mengatasi Kendala Dalam Pengambilan Dan Pemanfaatan Pajak Air