• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN

E. Keaslian Penelitian

Berdasarkan hasil penelusuran sementara dan pemeriksaan yang telah dilakukan baik di kepustakaan penulisan karya ilmiah Magister Hukum, maupun di Magister Kenotariatan Universitas Sumatera Utara (USU), menunjukkan bahwa tesis dengan judul “Analisis Hukum Pengenaan Pajak Pengambilan dan Pemanfaatan Air Bawah Tanah dan Air Permukaan Di Propinsi Riau” belum ada yang membahasnya sehingga tesis ini dijamin keasliannya sepanjang mengenai judul dan permasalahan yang diuraikan di atas sehingga penelitian ini dapat dipertanggung jawabkan.

F. Kerangka Teori dan Konsepsi 1. Kerangka Teori

Kerangka teori adalah kerangka pemikiran atau butir-butir pendapat, teori tesis mengenai suatu kasus atau permasalahan yang menjadi bahan perbandingan atau pegangan teoritis dalam penelitian.4

4M. Solly Lubis, Filsafat Ilmu dan Penelitian,Cetakan I, Bandung : Mandar Maju, 1994, hal.

80.

Ilmu hukum dalam perkembangannya tidak terlepas dari ketergantungan pada berbagai ilmu lainnya. Hal ini sebagaimana dikemukakan oleh Soerjono Soekanto bahwa perkembangan ilmu hukum selain bergantung pada metodologi, aktivitas penelitian dan imajinasi sosial, juga sangat ditentukan oleh teori.5Teori adalah untuk menerangkan atau menjelaskan mengapa gejala spesifik atau proses tertentu terjadi.

Suatu teori harus diuji dengan menghadapkannya pada fakta-fakta yang dapat menunjukkan ketidak benarannya.6

Dalam setiap penelitian harus disertai dengan pemikiran-pemikiran teoritis.

Teori adalah untuk menerangkan atau menjelaskan mengapa gejala spesifik atau proses tertentu terjadi.7Teori menguraikan jalan pikiran menurut kerangka yang logis artinya mendudukkan masalah penelitian yang telah dirumuskan didalam kerangka teoritis yang relevan, yang mampu menerangkan masalah tersebut.8

Teori diartikan sebagai ungkapan mengenai kausal yang logis diantara perubahan (variabel) dalam bidang tertentu, sehingga dapat digunakan sebagai kerangka pikir (frame of thinking) dalam memahami serta menangani permasalahan yang timbul dalam bidang tersebut.9

Fungsi teori dalam penelitian ini adalah untuk memberikan arahan atau petunjuk dan meramalkan serta menjelaskan gejala yang diamati.10

Teori negara kesatuan digunakan untuk membedakan pembagian kekuasaan secara vetikal dengan negara berbentuk federasi. Dalam hal ini dikemukakan

5Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta : UI-Press, 1986, hal. 6

6J.J.J. M. Wuisman, Penelitian Ilmu-Ilmu Sosial, Jilid I, Penyunting, M. Hisyam, Jakarta : UI Press, 1996 , Hal. 203

7Ibid, hal.122

8Made Wiratha, Pedoman Penulisan Usulan Penelitian, Skripsi dan Tesis, Yogyakarta: Andi,2006, hal. 6.

9Bintoro Tjokroamidjojo, Teori dan Strategi Pembangunan Nasional, Jakarta: CV. Haji Mas Agung, 1988, hal. 12

10Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, Bandung : Remaja Rosdakarya, 1993, hal. 35

pemikiran dari CF Strong mengenai Negara kesatuan. Dikatakan bahwa negara kesatuan adalah negara yang diorganisasi di bawah satu pemerintahan pusat. Artinya, kekuasaan apapun yang dimiliki berbagai distrik di dalam wilayah yang dikelola sebagai suatu keseluruhan oleh pemerintah pusat harus diselenggarakan menurut kebijakan pemerintah itu.11 Sementara itu menurut Apeldoorn, suatu negara disebut negara kesatuan apabila kekuasaan hanya dipegang oleh pemerintah pusat, sementara provinsi-provinsi menerima kekuasaan dari pemerintah pusat, dan provinsi-provinsi tersebut tidak mempunyai hak mandiri.12

Dalam negara-negara dengan bentuk negara kesatuan (unitary state), ditinjau dari sudut pembagian kewenangan, terdapat dua kewenangan/urusan pemerintah yakni yang tersentralisasi dan kewenangan/urusan pemerintah yang didesentralisasikan.

Ni’matul Huda mengatakan bahwa desentralisasi adalah strategi mendemokratisasi sistem politik dan menyelaraskan pencapaian pembangunan berkelanjutan yang merupakan isu yang selalu ada dalam praktik administrasi publik.13Menurut Undang-undang nomor 32 tahun 2004, desentralisasi dimaknai sebagai penyerahan wewenang pemerintah oleh pemerintah kepada daerah otonom untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia. Ada batasan mengenai konsep desentralisasi yaitu terdapat proses penyerahan (transfer) kekuasaan dari pemerintah pusat (the national capital) dengan dua variasi yaitu (1) melalui dekonsentrasi (delegasi) kepada pejabat instansi

11C.F. Strong, Konstitusi-Konstitusi Politik Modern: Studi Perbandingan tentang Sejarah dan Bentuk-Bentuk Konstitusi di Dunia, Nusamedia, Bandung, Cetakan Kedua, 2008, hlm. 87.

12Tim Penyusun, Otonomi atau Federalisme, Dampaknya Terhadap Perekonomian, Pustaka Sinar Harapan, Harian Suara Pembaharuan, Jakarta, 2000, hlm. 14.

13Ni’matul Huda, Hukum Pemerintahan Daerah, Nusamedia, Bandung, 2009, hlm. 66.

vertikal di daerah atau (2) melalui devolusi (pengalihan tanggung jawab) kekuasaan pada pemeritahan yang memiliki otoritas pada daerah tertentu atau lembaga-lembaga otonom di daerah.

Hakekat otonomi daerah adalah adanya kewenangan yang lebih besar dalam pengurusan maupun pengelolaan daerah termasuk di dalamnya pengelolaan keuangan. Dalam konteks otonomi daerah, desentralisasi dimaksudkan agar daerah lebih mampu mengembangkan inisiatif dan kreativitas daerah dan sumberdayanya untuk mendorong pertumbuhan ekonomi, meningkatkan pelayanan kepada masyarakat dan meningkatkan pemberdayaan masyarakat. Penyelenggaraan otonomi daerah dilaksanakan dengan memberikan kewenangan yang luas, nyata dan bertanggung jawab kepada daerah secara proporsional yang diwujudkan dengan pengaturan, pembagian dan pemanfaatan sumberdaya nasional yang berkeadilan serta perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah.

Dalam penjelasan Pasal 156 ayat (1) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah menyebutkan bahwa

“Keuangan daerah adalah semua hak dan kewajiban daerah yang dapat dinilia dengan uang dan segala sesuatu berupa uang dan barang yang dapat dijadikan milik daerah yang berhubungan dengan pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut”.

Daerah diberikan hak untuk mendapatkan sumber keuangan yang antara lain berupa kepastian tersedianya pembiayaan dari Pemerintah sesuai dengan urusan pemerintah yang diserahkan, kewenangan memungut dan mendayagunakan pajak dan restribusi daerah dan hak untuk mendapatkan hasil bagi sumber-sumber daya nasional

yang berada didaerah, hak untuk mengelola kekayaan daerah dan mendapatkan sumber-sumber pendapatan lain yang sah.14

Kemandirian keuangan daerah (otonomi fiscal) menurut Abdul Halim15 menunjukkan kemampuan pemerintah daerah dalam membiayai sendiri kegiatan pemerintahan, pembangunan dan pelayanan kepada masyarakat yang telah membayar pajak dan retribusi sebagai sumber pendapatan yang diperlukan daerah. Kemandirian keuangan daerah dapat diwujudkan dengan meletakan dasar-dasar pembiayaan daerah di atas kekuatan sendiri. Keuangan daerah merupakan salah satu dasar kriteria untuk mengetahui secara nyata kemampuan daerah dalam mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri secara mandiri.

Kemandirian tersebut dapat dicapai antara lain dengan mengurangi ketergantungan keuangan pada pemerintah pusat.

Pajak pada dasarnya merupakan iuran yang berupa uang atau barang yang dipungut oleh penguasa berdasarkan norma hukum. Pajak ditetapkan oleh pemerintah, dapat dipaksakan tapi tidak ada jasa balik dari negara secara langsung.

Pengenaan pajak di Indonesia dapat dikelompokkan menjadi dua bagian, yaitu pajak negara dan pajak daerah. Pajak negara adalah pajak yang dipungut untuk kepentingan negara atau pemerintah pusat. Termasuk dalam pajak negara ini adalah Pajak Penghasilan (PPh), Pajak Pertambahan Nilai (PPN), Pajak Penjualan atas Barang

14Soepomo Prodjoharjono, http://pomphy.blogspot.com/2008/11/konsep-keuangan-daerah.html, dikases tanggal 18 Februari 2011

15Abdul Halim, Bunga Rampai : Manajemen Keuangan Daerah, Edisi Pertama, Yogyakarta : UPP AMP YKPN, 2001, hal. 128

Mewah (PPnBM), Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) dan Bea Materai. Sedangkan pajak daerah adalah pajak yang dipungut daerah berdasarkan peraturan pajak ditetapkan oleh daerah untuk kepentingan pembiayaan rumah tangga daerah.

Undang-Undang pajak sebagai bagian dari hukum yang mengikat warga negara merupakan elemen penting dalam menunjang pembangunan ekonomi. Pembangunan ekonomi adalah kegiatan yang berlangsung terus menerus dan berkesinambungan yang bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat di segala bidang. Untuk itu agar dapat merealisasikan tujuan tersebut perlu banyak memperhatikan masalah pembiayaan pembangunan. Salah satu usaha untuk mewujudkan kemandirian suatu bangsa atau negara dalam pembiayaan pembangunan ekonomi yaitu dengan cara menggali sumber dana yang berasal dari dalam negeri berupa pajak. Pajak digunakan untuk membiayai pembangunan tersebut, bahkan pajak dalam suatu pemerintahan dianggap sebagai satu-satunya sumber pendapatan negara untuk pembiayaan kegiatan pemerintahan. Jika tidak ada pemasukan dari sisi pajak maka tidak ada kegiatan pemerintahan. 16Adapun definisi atau pengertian pajak menurut Rochmat Soemitro : pajak adalah iuran rakyat kepada kas negara berdasarkan Undang-Undang (yang dapat dipaksakan) dengan tiada mendapat jasa timbal atau kontraprestasi yang langsung dapat ditunjukkan dan yang digunakan untuk membayar pengeluaran umum.17 Sehingga hukum pajak merupakan suatu aturan yang ditetapkan oleh pemerintah guna mencukupi pengeluaran dalam anggaran belanja negara.

16Boediono. Ekonomi Makro, Yogyakarta, BPFE,Cetakan ke-20, 2001, hal.110

17Mardiasmo, Perpajakan, Yogyakarta: ANDI, Edisi Revisi XII, 2004, hal.1

Menurut Adam Smith sebagaimana dikutip oleh Mansury, terdapat empat asas dalam perpajakan yang dikenal dengan Adam Smith’s four cannons of taxation, yaitu sebagai berikut :18

1. Keadilan (equity), yang berarti bahwa pajak yang dikenakan kepada orang-orang pribadi harus adil dan merata, sesuai dengan kemampuannya untuk membayar dan besarnya manfaat yang diterima. Maknanya, distribusi beban pajak harus adil, dimana setiap wajib pajak harus membayar sesuai dengan bebannya yang wajar. Pemerintah lewat kebijaksanaan fiskal dapat mempengaruhi pilihan-pilihan mengenai distribusi pendapatan dan kekayaan, sehingga distribusi pendapatan dan kekayaan yang wajar dapat tercapai (equitable distribution of income and wealth).

2. Kepastian (certainty), bahwa pajak harus mengandung kepastian hukum, dan tidak ditentukan secara sewenang-wenang.

3. Tepat waktu dan memudahkan (convenience), dimana penagihan dilakukan tepat waktu sehingga tidak memberatkan wajib pajak dan bila perlu diperbolehkan membayar secara cicilan.

4. Ekonomis dan efisien (economy and efficient), dimana biaya pemungutan oleh petugas pajak serta biaya untuk memenuhi kewajiban bagi wajib pajak hendaknya sekecil mungkin. Kemudahan administrasi perpajakan. Struktur pajak yang efisien berkaitan dengan apa yang disebut biaya administrasi pajak

18R. Mansury, Pajak Penghasilan Lanjutan, Jakarta: Ind-Hill-Co, hal. 4

(administration cost) dan biaya kepatuhan (compliance cost). Semakin kecil biaya administrasi pajak dan biaya kepatuhan, semakin efisien struktur pajak.

Air merupakan sumber kehidupan. Semua makhluk membutuhkan air. Untuk kepentingan manusia, makhluk hidup dan kepentingan lainnya, ketersediaan air dari segi kualitas maupun kuantitas mutlak diperlukan.

Air bawah tanah merupakan barang milik bersama (common goods). Manfaat dari barang tersebut tidak hanya dirasakan oleh 1(satu) individu saja, melainkan oleh seluruh anggota masyarakat, dan setiap orang akan mengkonsumsi barang tersebut secara berlebihan (over use) jika tidak ada yang mengatur atau membatasinya, sehingga dalam jangka panjang cadangan air bawah tanah atau potensi air bawah tanah tidak dapat seluruhnya dipulihkan dengan serapan air hujan. Ini disebabkan karena air hujan yang tidak dapat terserap semua oleh permukaaan tanah, akibat tertutup oleh bangunan dan gedung-gedung.

Air bawah tanah masuk dalam kategori kekayaan bersama (common property).

Peranan pemerintah dalam hal ini adalah mengendalikan penggunaan barang bersama tersebut agar tercapai kepuasan bersama yang optimal (pareto optimal) dalam jangka pendek maupun dalam jangka panjang.

Pajak pengambilan dan pemanfaatan air bawah tanah dan air permukaan adalah pajak yang dikenakan kepada orang/badan yang mengambil air bawah tanah atau air permukaan.

Pajak PPABT dipungut di wilayah tempat air berada. Pungutan pajak PPABT bertujuan selain untuk menambah Pendapatan Asli Daerah (PAD) juga untuk mengendalikan pengambilan air bawah tanah.

Pemungutan Pajak Pengambilan dan Pemanfaatan Air Bawah Tanah dan Air Permukaan tidak semata-mata dalam rangka peningkatan pendapatan asli daerah, akan tetapi lebih diutamakan lagi untuk kepentingan pengendalian lingkungan dan mempertahankan ekosistem akibat pengambilan dan pemanfaatan air bawah tanah dan air permukaan.

Pajak PPABT adalah pajak langsung ditinjau dari segi administratif yaitu pajak yang dikenakan atas Surat Ketetapan Pajak (Kohir) dan Pengenaannya dilakukan secara berkala (periodik).

2. Konsepsi

Konsepsi yang dimaksud disini adalah kerangka konsepsional merupakan bagian yang menjelaskan hal-hal yang berkaitan dengan konsep yang digunakan penulis. Konsep diartikan sebagai kata yang menyatakan abstraksi yang digeneralisasikan dari hal-hal yang khusus,19 yang disebut dengan definisi operasional.

Pentingnya definisi operasional adalah untuk menghindarkan perbedaan pengertian atau penafsiran mendua (dubius) dari suatu istilah yang dipakai. selain itu, dipergunakan juga untuk memberikan pegangan kepada proses penelitian ini. Oleh

19Sumadi Suryabrata, Metodologi Penelitian, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1998, hal. 3.

karena itu, dalam penelitian ini, dirumuskan serangkaian kerangka konsepsi atau definisi operasional sebagai berikut :

a. Pajak Pengambilan dan Pemanfaatan Air Bawah dan Air permukaan adalah pajak yang dikenakan kepada orang/badan yang mengambil air bawah tanah atau air permukaan.

b. Air bawah tanah adalah air yang berada di perut bumi, termasuk mata air yang muncul secara alamiah di tas permukaan tanah.

c. Air permukaan adalah air yang berada dipermukaan bumi, tidak termasuk air laut, misalnya air sungai, air danau.

d. Pajak Daerah merupakan pajak yang dikelolah oleh pemerintah daerah, baik Provinsi maupun Kabupaten/ Kota yang berguna untuk menunjang pendapatan asli daerah dan hasil penerimaan tersebut masuk dalam APBD.

e. Kontribusi adalah sumbangan yang diberikan pajak daerah terhadap peningkatan anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah

G. Metode Penelitian

1. Sifat dan Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang diterapkan adalah memakai metode penulisan dengan pendekatan yuridis normatif (penelitian hukum normatif), yaitu penelitian yang mengacu kepada norma-norma hukum, yang terdapat dalam peraturan perUndang-Undangan yang berlaku sebagai pijakan normatif, yang berawal dari premis umum kemudian berakhir pada suatu kesimpulan khusus. Hal ini dimaksudkan untuk

menemukan kebenaran-kebenaran baru (suatu tesis) dan kebenaran-kebenaran induk (teoritis).

Pendekatan yuridis normatif disebut demikian karena penelitian ini merupakan penelitian kepustakaan atau penelitian dokumen yang ditujukan atau dilakukan hanya pada peraturan perUndang-Undangan yang relevan dengan permasalahan yang diteliti atau dengan perkataan lain melihat hukum dari aspek normatif.20

2. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah melalui penelitian kepustakaan (library research) untuk mendapatkan konsepsi teori atau doktrin, pendapat atau pemikiran konseptual dan penelitian pendahulu yang berhubungan dengan objek telaah penelitian ini, yang dapat berupa peraturan perUndang-Undangan, dan karya ilmiah lainnya.

3. Bahan Data

(1) Bahan hukum primer, yang terdiri dari : a. norma atau kaidah dasar.

b. peraturan perUndang-Undangan yang terkait dengan perpajakan khususnya mengenai Pajak Air Bawah Tanah dan Air Permukaan.

(2) Bahan hukum sekunder, seperti hasil-hasil penelitian, laporan-laporan, artikel, hasil-hasil seminar atau pertemuan ilmiah lainnya yang relevan dengan penelitian ini.

20Bambang Waluyo, Metode Penelitian Hukum, Jakarta: Sinar Grafika, Jakarta, hal. 13

(3) Bahan hukum tersier atau bahan hukum penunjang yang mencakup bahan yang memberi petunjuk maupun penjelasan terhadap hukum primer dan hukum sekunder, seperti kamus umum, kamus hukum, majalah dan jurnal ilmiah, serta bahan-bahan primer, sekunder dan tersier (penunjang) diluar bidang hukum, misalnya yang berasal dari bidang teknologi informasi dan komunikasi, ekonomi, filsafat dan ilmu pengetahuan lainnya yang dapat dipergunakan untuk melengkapi atau sebagai data penunjang dari penelitian ini.

4. Alat Pengumpul Data (1). Study Dokumen

Dokumen adalah data mengenai hal-hal yang berupa catatan, buku, surat kabar, majalah, dan sebagainya. Metode dokumentasi ini digunakan untuk mengumpulkan data-data tentang pajak, khususnya mengenai Pajak Air Bawah Tanah dan Air Permukaan, sebagai sumber data yang bermanfaat untuk menguji, menafsirkan, dan meramalkan.

(2). Pedoman Wawancara (Interview Guide)

Untuk mendukung data sekunder maka diperlukan wawancara terhadap informan.

Informan dalam hal ini adalah Kepala Kantor Pendapatan Daerah dan atau yang mewakili dari Kantor Pendapatan Daerah di Propinsi Riau.

Sebelum dilakukan wawancara dengan informan tersebut maka terlebih dahulu dipersiapkan pedoman wawancara. Pedoman wawancara ini mengacu pada substansi masalah dalam penelitian. Sehingga ketika dilakukan wawancara

bisa dapat mengetahui jawaban atas permasalahan yang diajukan kepada para informan tersebut.

5. Analisis Data

Analisis data merupakan hal yang sangat penting dalam suatu penelitian dalam rangka memberikan jawaban terhadap permasalahan yang diteliti, untuk kebutuhan analisis data dalam penelitian ini. Analisis data terhadap data sekunder yang diperoleh dikumpulkan dan selanjutnya evaluasi data secara kualitatif.

Untuk selanjutnya data yang terkumpul dipilah-pilah dan di olah, kemudian di analisis dan ditafsirkan secara logis dan sistematis dengan menggunakan metode deduktif. Atas dasar pembahasan dan analisis ini maka dapat ditarik kesimpulan yang dapat digunakan dalam menjawab permasalahan dan tujuan penelitian.

BAB II

KEWENANGAN PEMUNGUTAN PAJAK PERMUKAAN DAN PAJAK AIR BAWAH TANAH BERDASARKAN UU NO 28 TAHUN 2009

A. Dasar Hukum Pemungutan Pajak Daerah

Pajak adalah gejala masyarakat, artinya bahwa pajak hanya terdapat dalam masyarakat. Jika tidak ada masyarakat tidak ada pajak. Pernyataan seperti sangat tepat sekali, karena pajak digunakan untuk membiayai kepentingan umum yang akhirnya juga mencakup kepentingan pribadi individu seperti kepentingan rakyat, pendidikan, kesejahteraan rakyat, pendidikan, kemakmuran rakyat dan sebagainya.21 Sehingga pajak merupakan salah satu alat untuk mencapai tujuan negara sebagaimana yang diamanatkan dalam Pembukaan UUD 1945 pada alinea keempat yang diantaranya berbunyi:22

”…melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia serta untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia…”

Selanjutnya untuk mencapai tujuan negara tersebut dilakukan pemungutan pajak yang dilakukan oleh pemerintah. Dalam hukum positif Indonesia yang menjadi landasan hukum pemungutan pajak adalah Pasal 23A UUD 1945 setelah amandemen keempat yang berbunyi:

”Pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan Negara

21Rochmat Soemitro, Pengantar Singkat Hukum Pajak, Cet. 2, (Bandung: Eresco, 1992), hal. 1-2

22Indonesia, Undang-Undang Dasar 1945, Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945.

diatur dengan undang-undang.”

Dan agar ada kepastian dalam proses pengumpulannya dan berjalannya pembangunan secara berkesinambungan, maka sifat pemaksaannya harus ada dan rakyat itu sendiri telah menyetujuinya dalam bentuk undang-undang.23

Sebaliknya bila ada pungutan yang namanya pajak namun tidak berdasarkan undang-undang, maka pungutan tersebut bukanlah pajak tetapi lebih tepat disebut sebagai perampokan.24

Peraturan mengenai pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa harus diatur dengan Undang-Undang (UU). Berdasarkan hierarki norma hukum yang berlaku di Indonesia, UU menempati posisi nomor dua, yakni setelah UUD 1945.

Hierarki norma hukum, menurut penjelasan Kelsen, berjenjang dan berlapis-lapis dalam suatu hierarki tata susunan, dimana suatu norma yang lebih rendah berlaku, bersumber, dan berdasar pada norma yang lebih tinggi, demikian seterusnya sampai kepada suatu norma yang tidak dapat ditelusuri lebih lanjut dan bersifat hipotesis dan fiktif, yaitu norma dasar. Dengan menggariskan bahwa pajak diatur dengan UU, UUD 1945 hendak memastikan pemungutan pajak dikendalikan juga oleh rakyat melalui Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Lebih lanjut, setelah perumusan peraturan pajak disetujui oleh perwakilan rakyat, maka dapat dianggap bahwa tidak ada lagi pemungutan yang bersifat memaksa dalam lingkup nasional.

Maka pemungutan uang kepada rakyat di luar yang diatur dalam UU dapat

23 Richard Burton dan Wirawan B. Ilyas, Hukum Pajak, Edisi Pertama, (Jakarta: Salemba Empat, 2001), hal. 5.

24Chidir Ali, Hukum Pajak Elementer, Cet. 1, (Bandung: PT Eresco, 1993), hal. 60-65.

digolongkan sebagai perampokan sebagaimana pepatah yang sudah lazim kita dengar:

tax without law is robbery.25

Dalam rangka meningkatkan kemampuan keuangan daerah agar dapat melaksanakan otonomi khususnya yang berasal dari pajak daerah dan retribusi daerah, Pemerintah menetapkan berbagai kebijakan perpajakan daerah, diantaranya dengan menetapkan UU No.28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah yang kemandirian daerah. Dalam UU tersebut, pajak daerah dan retribusi daerah menjadi salah satu sumber pendapatan daerah yang penting guna membiayai pelaksanaan pemerintahan daerah sehingga terdapat perluasan objek pajak daerah dan retribusi daerah serta adanya pemberian diskresi (keleluasaan) dalam penerapan tarif.

Kebijakan pajak daerah dan retribusi daerah untuk kemudian dilaksanakan berdasarkan prinsip demokrasi, pemerataan dan keadilan, peran serta masyarakat, dan akuntabilitas dengan memperhatikan potensi daerah.

Pajak Pemanfaatan Air Bawah Tanah dan Air Permukaan semula merupakan jenis pajak daerah Kabupaten/Kota berdasarkan UU No. 18/1997, kemudian ditarik dan dijadikan pajak daerah Provinsi berdasarkan UU No. 34/2000. Namun dalam perkembangan terbaru berdasarkan UU No. 28/2009, Pajak Pemanfaatan Air Bawah Tanah dan Air Permukaan dipisahkan menjadi dua jenis pajak daerah yang berbeda, yakni Pajak Air Permukaan sebagai Pajak Daerah Provinsi dan Pajak Air Tanah

25http://bukabukaanpajak.wordpress.com/2010/02/17/tentang-pasal-23-a-uud-1945/akses tanggal 22 Februari 2011

sebagai Pajak Daerah Kabupaten/Kota. Jadi, dengan berlakunya UU tersebut, Pajak Air Bawah Tanah (ABT) resmi diserahkan pengelolannya ke kabupaten/kota.

Pasca pembaharuan UU No.34 Tahun 2000 menjadi UU No.28 Tahun 2009, Pajak Propinsi kemudian ditetapkan sebanyak 5 (lima) jenis pajak, yaitu:26

1. Pajak Kendaraan Bermotor dan Kendaraan di Atas Air

2. Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor dan Kendaraan di Atas Air 3. Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor

4. Pajak Air Permukaan 5. Pajak Rokok.

Sementara itu, jenis pajak Kabupaten/Kota ditetapkan 11 (sebelas) jenis pajak Kabupaten/Kota yang baru, yaitu :27

1. Pajak Hotel;

2. Pajak Restoran;

3. Pajak Hiburan;

4. Pajak Reklame;

5. Pajak Penerangan Jalan;

6. Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan;

7. Pajak Parkir;

8. Pajak Air Tanah;

9. Pajak Sarang Burung Walet;

26Lihat Pasal 2 ayat (1) UU No. 28 Tahun 2009 Tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah

27Lihat Pasal 2 ayat (2) UU No. 28 Tahun 2009 Tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah

10. Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan; dan 11. Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan.

Pengertian pemungutan pajak daerah dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah pasal 1 ayat 49 adalah “suatu rangkaian kegiatan mulai dari penghimpunan data objek dan subjek pajak, penentuan besarnya pajak yang terutang sampai kegiatan penagihan pajak atau retribusi kepada wajib pajak atau wajib retribusi serta pengawasan penyetorannya”.

Pengertian pemungutan pajak daerah dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah pasal 1 ayat 49 adalah “suatu rangkaian kegiatan mulai dari penghimpunan data objek dan subjek pajak, penentuan besarnya pajak yang terutang sampai kegiatan penagihan pajak atau retribusi kepada wajib pajak atau wajib retribusi serta pengawasan penyetorannya”.