• Tidak ada hasil yang ditemukan

Dasar Hukum Pengalihan Hak Atas Tanah Ulayat

BAB IV KONSEKUENSI DENGAN TERJADINYA PERALIHAN

B. Dasar Hukum Pengalihan Hak Atas Tanah Ulayat

Pelaksanaan pembangunan sebagai wujud dari pertumbuhan dan perkembangan suatu daerah selalu berimplikasi pada meningkatnya kebutuhan akan lahan. Kebutuhan akan lahan ini terus meningkat karena sifatnya yang tidak terbatas, sedangkan disisi lain ketersediaan lahan terbatas. Fenomena ini terus berkembang sehingga seringkali menimbulkan kesulitan dalam penyediaan lahan untuk kepentingan pembangunan. Hal ini mengakibatkan nilai dan harga lahan terus meningkat sehingga penguasaan/okupasi atas lahan bagi masyarakat dewasa ini mengalami pergeseran nilai dari fungsi sosial ke fungsi ekonomi, sehingga lahan merupakan komoditi ekonomi yang harus dikuasai baik secara legal maupun ilegal.

Alasan pembangunan untuk mengambil tanah rakyat, sudah sering kali digunakan pemerintah dan pihak penguasa untuk menguasai tanah rakyat. Salah satu tanah yang dianggap milik pemerintah, sehingga boleh diambil sewenang- wenang oleh pemerintah adalah tanah ulayat. Tanah ulayat sebenarnya bukan milik pemerintah, dan bukan pula milik orang tertentu. Tanah ulayat ini diadakan untuk meningkatkan kesejahteraan seluruh masyarakat, sehingga tiadanya kepemilikan berarti bahwa semua masyarakat boleh memanfaatkan tanah itu untuk kepentingannya. Biasanya pengelolaan tanah ulayat ini dimiliki oleh suku atau kelompok adat tertentu, dimana tanah ulayat itu berada. Oleh karena itulah tanah ulayat biasanya identik dengan tanah milik adat dan pengaturannya dilakukan oleh masyarakat hukum adat. Karena adat itu berbeda-beda antara suku yang satu dengan yang lain, maka pengaturan tanah ulayat juga berbeda- beda, tergantung dari suku yang menguasai tanah ulayat tersebut.95

Di Indonesia keberadaan hak ulayat ini ada yang masih kental, ada yang sudah menipis dan ada yang sudah tidak ada sama sekali. Akan tetapi eksistensi tanah ulayat itu sendiri masih diakui. Hal ini dapat dilihat dari masih adanya pengakuan terhadap

95H.M. Koesnoe, 2000,Prinsip-Prinsip Hukum Adat tentang Tanah, Surabaya, Ubaya Press,

tanah ulayat yang diatur dalam Undang-undang Pokok Agraria UU No. 5 Th. 1960. Adapun bunyi ketentuan yang mengukuhkan eksistensi hak ulayat adalah Pasal 3 UUPA yang menyatakan : “Dengan mengingat ketentuan-ketentuan dalam Pasal 1 dan 2, pelaksanaan hak ulayat dan hak-hak yang serupa itu dari masyarakat- masyarakat Hukum Adat, sepanjang menurut kenyataannya masih ada, harus sedemikian rupa, sehingga sesuai dengan kepentingan nasional dan negara berdasarkan atas persatuan bangsa, serta tidak boleh bertentangan dengan Undang- undang dan peraturan-peraturan (hukum) lain yang lebih tinggi”. Dengan adanya ketentuan Pasal 3 UUPA sebagaimana disebutkan di atas dapat diketahui bahwa secara hukum hak ulayat ini diakui sehingga keberadaannya sah menurut hukum. Oleh karena itu hak ulayat masih tetap dapat dilaksanakan oleh masing-masing masyarakat hukum adat yang memilikinya.

Penduduk asli Desa Pamah seperti suku karo semuanya mempunyai tanah ulayat yang bisa dimanfaatkan untuk memakmurkan anggota sukunya. Dasar hukum yang kuat tentang keberadaan hak ulayat, membuat masyarakat hukum adat mempunyai hak untuk mempertahankan tanah ulayat. Oleh karena itu jika ada pihak lain yang ingin menggunakan tanah adat, harus melalui pelepasan adat sesuai dengan adat suku yang menguasai tanah ulayat tersebut. Akan tetapi dalam prakteknya, pemerintah sering kali bersikap tidak adil kepada masyarakat hukum adat dengan cara mengambil alih tanah adat, tanpa melalui pelepasan adat. Hal ini dilakukan pemerintah dalam rangka memberikan konsesi kepada perusahaan besar untuk mengelola tanah ulayat atau untuk melakukan kegiatan pembangunan lainnya.

Padahal tanah yang diambil alih itu dipergunakan oleh masyarakat hukum adat untuk mencari penghidupan dari pertanian. Hal ini membuat masyarakat hukum adat yang menggantungkan pencahariannya dari tanah tersebut menjadi kehilangan sumber penghidupannya. Namun atas kesewenang-wenangan tersebut, masyarakat hukum adat tidak dapat berbuat apa-apa. Hal ini dikarenakan, ketika masyarakat protes, maka kekerasanlah yang mereka terima, dan bukan penyelesaian yang baik. Dalam hal ini telah terjadi pengeksploitasian atas sumberdaya alam secara besar-besaran untuk kepentingan pemilik modal besar tanpa memperhatikan hak kehidupan sosial ekonomi masyarakat hukum adat yang tanah ulayatnya dirampas.

Semua itu mengakibatkan perbedaan kesejahteraan antara penduduk asli dengan pendatang semakin besar. Kesenjangan ini semakin tajam dengan tidak diberikannya kesempatan kepada penduduk asli untuk menduduki jabatan-jabatan penting dalam pemerintahan, walaupun penduduk asli Desa Pamah sendiri sudah banyak mempunyai SDM yang mempunyai pendidikan dan pengalaman kerja yang baik. Semua itu tetap berlaku walaupun Desa Pamah telah diberi otonomi khusus. Tetap terjadi diskriminasi penduduk lokal untuk mendapatkan hak yang sama dengan penduduk pendatang. Hal ini mengakibatkan penduduk asli mempunyai perasaan tertekan dan seakan-akan memendam bom waktu yang siap meledak setiap saat.

Adanya kesewenang-wenangan yang dialami masyarakat kaum adat baru tersalurkan setelah reformasi dikumandangkan. Adanya keterbukaan kran demokrasi telah membuat semua penduduk di Indonesia, termasuk di Desa Pamah, mempunyai kesempatan untuk mengeluarkan aspirasinya. Salah satu aspirasi yang diperjuangkan

masyarakat adalah keinginan untuk mendapatkan tanah ulayatnya kembali. Hal ini menjadi penting karena sebagai penduduk yang mayoritas mempunyai mata pencaharian sebagai petani, penduduk sangat memerlukan lahan untuk melaksanakan kegiatan pertanian. Walaupun tanah ulayat yang sudah dipergunakan itu tidak mungkin kembali lagi, akan tetapi setidak-tidaknya jika pemerintah memberikan ganti rugi atas penggunaan tanah ulayat tersebut, maka masyarakat dapat membeli tanah baru untuk melaksanakan kegiatan pertaniannya.

Hal ini juga terjadi pada masyarakat Desa Pamah. Muncul tuntutan ganti rugi terhadap tanah ulayat yang telah dipergunakan oleh pemerintah. Tuntutan untuk pemberian ganti rugi ini disikapi dengan kurang serius karena dianggap merupakan masalah lama yang dianggap sudah selesai. Akan tetapi lain halnya dengan masyarakat hukum adat yang merasa bahwa perjuangan mereka untuk mendapatkan ganti rugi atas tanah ulayatnya masih sangat relevan, mengingat sebelumnya perjuangan mereka mendapatkan ganti rugi masih belum mendapat tanggapan pemerintah.

Menurut pengetahuan pemerintah, bahwa dengan berdasarkan pada Pasal 33 ayat (3) tersebut, maka pemerintah berhak untuk mengambil alih tanah milik masyarakat hukum adat, begitu saja, tanpa harus memberi ganti kerugian. Akan tetapi mengingat masih berlakunya hukum adat dan sesuai dengan ketentuan Pasal 3 UUPA bahwa hak ulayat dan hak-hak yang serupa itu dari masyarakat- masyarakat Hukum Adat, sepanjang menurut kenyataannya masih ada, maka itu berarti bahwa hak ulayat masyarakat hukum adat itu tetap eksis. Lebih lanjut hal itu berarti bahwa, pemerintah harus mematuhi ketentuan hukum adat yang berlaku di mana tanah ulayat itu berada.96

96Ary Wahyono dkk, 2000,Hak Ulayat Laut Di Kawasan Timur Indonesia,Media Presindo,

Hak tersebut biasanya tidak hanya digunakan untuk tanah tempat tinggal,

tetapi juga tanah untuk sawah dan kebun. Hak ini sebenarnya, serupa dengan hak

milik tanah tetapi komunitas lokal mempunyai pengaruh yang lebih besar atas cara

bagaimanatanahtersebut dapat digunakan dan dialihkan.

Pada umumnya,didaerah pedesaanhakmilik adat:

1. Hanya dapat dijual bila terlebih dahulu ditawarkan kepada tetangga (dan mungkin anggota komunitas lainnya)

2. Tidak dapat dijual kepada orang dari luar komunitas (walaupun dapat disewakan berdasarkan persetujuan warga)

3. Tunduk pada hak untuk mendapatkan akses, yang dimiliki oleh tetangga dan

anggota komunitas lainnya

4. (secara teori) dapat diambil aliholehkomunitas untuk kepentingan komunitas.

Disebutkan dalam penelitian di lapangan, pembatasan hak tersebut lebih

sering dalam bentuk interaksi longgar antara warga dan geuchik, daripada sebagai aturan tetap yang berlaku dalam setiap keadaan.

Ada beberapa cara untuk memperolehtanah hakmilik adat:

1. warisan,

2. membuka dan mengusahakantanah didalam wilayah adat

Di daerah tertentu, membuka dan mengusahakan tanah hanya akan

menimbulkan hak menguasai, yang berubah mejadi hak milik melalui warisan.

Peralihan hak ulayat ke hak milik di perbolehkan asal harus keturunan dari marga pinem tersebut, terlebih dahulu harus meminta ijin kepada Simateki kuta (marga

silima). Jika telah diijinkan kepada desa untuk disahkan ke Camat. Hal itu terjadi karena perkembangan zaman sehingga banyak warga yang membuat peralihan hak untuk dijadikan agunan di Bank.97

Pengalihan yang terjadi lapangan karena ada perkawinan dari marga pinem ke marga lain dan ada pendatang yang ikut berperan dalam pengembangan Desa Pamah.

Berdasarkan wawancara tersebut bahwa di Desa Pamah pengalihanhak ulayat menjadi ulayat milik pribadi memang dimungkinkan tetapi harus melalui persyaratan- persyaratan tertentu, namun perbandingan dengan UUPA.