• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II EKSISTENSI TANAH HAK ULAYAT MARGA PINEM

B. Hak Milik Menurut Hukum Adat

Dalam hubungannya dengan tanah, menurut hukum Adat tertanam suatu kepercayaan bahwa bagi setiap kelompok masyarakat hukum adat, tersedia suatu lingkungan tanah sebagai pemberian dari sesuatu kekuatan gaib sebagai pendukung kehidupan kelompok dan para anggotanya sepanjang zaman. Artinya bukan hanya untuk kepentingan satu generasi tapi melainkan untuk generasi berikutnya dari kelompok hukum adat tersebut. Lingkungan yang merupakan faktor pendukung kehidupan kelompok dan para anggotanya adalah kepunyaan bersama masyarakat hukum adat. Hak kepunyaan secara bersama disebut beschikkingsrecht (lingkungan kekuasaan) yang diterima dalam perundang-undangan sebagai hak ulayat yang merupakan hak atas penguasaan atas tanah yang tertinggi dari masyarakat hukum adat. Kelompok masyarakat adat ini merupakan kesatuan yang mempunyai wilayah tertentu, mempunyai kesatuan hukum, mempunyai penguasa dan memiliki kekayaan

tersendiri.45

Hak ulayat berlaku keluar dan ke dalam. Berlaku keluar, karena bukan warga masyarakat hukum pada prinsipnya tidak diperbolehkan turut mengenyam/menggarap tanah yang merupakan wilayah persekutuan yang bersangkutan. Hanya dengan seizin persekutuan serta membayar ganti rugi orang luar dapat memperoleh kesempatan untuk ikut serta menggunakan tanah ulayat. Berlaku ke dalam, karena hanya persekutuan dalam arti seluruh warganya yang dapat memetik hasil dari tanah beserta segala tumbuhan dan binatang yang hidup dalam wilayah persekutuan. Hak persekutuan itu pada hakikatnya membatasi kebebasan usaha para warga sebagai perorangan, demi kepentingan persekutuan.46

Seiring dengan perkembangan kehidupan, maka penggunaan tanah ulayat tidak hanya digunakan untuk memenuhi kebutuhan bersama, tetapi juga anggota masyarakat diperbolehkan menggunakan sebagian tanah ulayat untuk dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan masing-masing. Proses penguasaan individu ini terus berlangsung secara turun temurun dan diakui oleh masyarakat hukum adat.Selama dalam penggunaan tanah tersebut sesuai dengan peraturan yang berlaku maka anggota masyarakat lain harus menghormatinya dan tidak boleh mengganggunya. Apabila diterlantarkan dalam jangka waktu tertentu, atau diperlukan untuk kepentingan yang lebih luas, maka penguasa adat dapat menentukan peruntukan dan penggunaan selanjutnya.

Lahirnya pemilikan tanah bagi individu umumnya diawali pembukaan tanah yang diberitahukan kepada kepala persekutuan hukum dan diberikan tanda bahwa tanah itu akan digarap. Tanda itu, merupakan tanda pelarangan sehingga hasil pohon, tanah ataupun rumah yang ada hanya untuk yang berkepentingan saja, orang lain tidak boleh menggunakan dan mengambil hasilnya. Bentuk usaha seperti ini bersifat sementara, merupakan hak

45Patittingi Farida.Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adatwww.asdarfh.wordpress.com diakses

3 Juli 2012

memungut hasil (genotsrecht), setelah panen ditinggalkan dan menggarap tanah di tempat lain yang belum pernah dibuka. Walaupun hak memungut hasil hanya satu sampai dua musim saja, hal ini tidak menghilangkan hubungan antara penggarap dengan tiap-tiap ladang yang pernah digarap, Biasanya setelah tiga tahun penggarap kembali ke ladang yang ditinggalkan sehingga hubungan ini dapt diwariskan ke anak cucunya. Ladang berpindang bersifat ladang milik. Dengan demikian hak milik diperoleh dengan pembukaan tanah, setelah lebih dulu dibuat tanda-tanda batasnya.47

Dalam konsepsi hak bersama, para anggota masyarakat diliputi suasana magis religius(pemikiran yang melihat kejadian-kejadian atau usul-usul tidak berdasarkan pada pemikiran yang bersifat rasional atau akal) sebagai keyakinan bahwa tanah merupakan karunia dari Tuhan Yang Maha Esa, karena itu mereka menyadari kewajibanya untuk menjaga, menggunakan, serta memelihara dengan baik sesuai dengan norma-norma sebagai kristalisasi nilai luhur kehidupan yang telah dibentuk dan dihormati dulu. Berdasarkan uraian di atas maka dapat disimpulkan bahwa mengenai proses lahirnya hak individu yang merupakan awal kepemilikan atas tanah menurut hukum adat, pada dasarnya meliputi unsur:48

1. Penguasaan secara individu dan turun temurun

2. Penguasaan itu digunakan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya

3. Pemanfaatan tanah dengan tetap memelihara keselarasan kepentingan individu dan masyarakat

4. Memperoleh pengakuan dari penguasa adat dan dihormati oleh tetangga berbatasan dan masyarakat adat lainnya

47Rustandi Ardiwilaga, 1962,Hukum Agraria Indonesia, Masa Baru, Jakarta, hal 47-48 48Soerojo Wignjodipoere,Op.Cit, hal 37

5. Penguasa adat mempunyai kewenangan mengatur peruntukan dan penguasaan tanah

6. Ada hubungan yang bersifat “magis religius” antara manusia dan tanah

Kehati-hatian terhadap roh halus tersebut mempunyai dampak yang positif terhadap tanah, dimana mereka tidak mau merusak tanah, mereka takut melakukan pelanggaran-pelanggaran yang telah ditentukan oleh ketua Persekutuan Hukumnya, karena jika dilanggar akan merupakan perlakuan jahat terhadap roh tersebut.

Hubungan seperti di atas menghambat pula pada hubungan antara individu, dimana jika terjadi seseorang yang membuka tanah/lahan dan dapat dipertahankan lebih dari waktu 1 atau 2 kali musim panen, maka hubungan antara individu dengan tanahnya tersebut dipandang sebagai hubungan yang lebih erat lagi sehingga lama kelamaan timbul pengakuan bahwa tanah tersebut telah direstuai sebagai miliknya. Akibat selanjutnya timbul perkembangan dari hak ulayat menjadi hak milik menurut hukum adat.

Desa Pamah hal semacam inipun ada dijumpai, dimana para pendatang yang tidak semarga dengan marga tanah selaku pendiri desa, bagi mereka juga diberi lahan oleh marga tanah tersebut untuk dimanfaatkan. Namun oleh karena pada pendatang ini secara terus menerus memanfaatkan lahan tersebut, sehingga pada akhirnya tanah- tanah tersebut menjadi hak milik bersama dari pendatang yang khususnya marganya

sendiri. Dengan demikian tiap-tiap kelompok marga inipun telah mempunyai tempat atau memiliki tanah sendiri.49

Tanah ulayat di Desa Pamah ini tidak boleh diperjual belikan kecuali tetapi dilindungi dan dilestarikan, umpamanya salah seorang dari warga persekutuan tidak membutuhkan tanah tersebut, maka tanah itu kembali jatuh kepada desa.

Dalam hal pemilikan tanah bagi masyarakat pendatang seperti tersebut di atas, selain meminta izin terlebih dahulu kepada pihak penguasa tanah untuk mendapatkan lahan, maka di Tanah Karo untuk memiliki tanah bagi para pendatang ini, mereka mengawini atau ketemu jodoh dengan salah satu keluarga marga tanah atau turunannya, sehingga dengan posisi sebagai anak beru (menantu) dari marga tanah tersebut, maka akan ada kemungkinan ia dapat memiliki atau menggunakan tanah di desa tersebut.

Bukan tidak ada kejadian bahwa, marga tanah di sesuatu desa karena memiliki tanah yang cukup luas, sehingga dalam mengurus tanah perladangan agak malaas. Sebaliknya para pendatang rajin bekerja, sehingga akhirnya tanah yang dikuasai para pendatang ini kadang-kadang lebih luas dari tanah yang dimiliki oleh golongan marga tanah itu sendiri.

Bertitik tolak dari keterangan-keterangan di atas maka dapatlah kita ketahui bahwa penggunaan tanah ini diawasi oleh kepala persekutuan hukum, dimana masyarakat hukum atau para warganya boleh memanfaatkan secara bebas tanah-tanah

49Wawancara dengan Sehat Sontoyo Pinem, jabatan Penentua adat Desa Pamah Kecamatan

belukar/hutan di dalam batas hak ulayat, masyarakat adat boleh memungut hasil hutan, berburu atau mengembala. Terhadap orang asing yang ingin menggunakan tanah adat harus dengan izin persekutuan hukum dengan membayar bunga tanah. Jika penggunaan hak pakai tersebut di atas tidak dipergunakan lagi oleh masyarakat adat, maka tanah itu kembali kepada desa dan pengulu desalah yang berhak untuk menentukan penggunaannya kembali.

C. Tinjauan Umum Pengaturan Hak Ulayat Dalam Hukum Tanah Nasional