• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengaturan dan Pemanfaatan Tanah Ulayat di Desa Pamah

BAB II EKSISTENSI TANAH HAK ULAYAT MARGA PINEM

D. Pengaturan dan Pemanfaatan Tanah Ulayat di Desa Pamah

Dalam hal mengatur tanah ulayat di Desa Pamah memiliki caranya sendiri- sendiri (Kecamatan Tanah Pinem). Di Desa Pamah tanah hak ulayat diurus oleh masyarakat Desa Pamah Kecamatan Tanah Pinem, sedangkan pengetua Desa Pamah hanya sebatas mengawasi saja. Dahulu, tanah ulayat di Desa Pamah lebih banyak berupa tanah pertanian, dan hutan, tetapi seiring dengan perkembangan jaman dan pembangunan yang pesat pada saat ini banyak tanah yang tidak bisa dimanfaatkan lagi sebagai lahan pertanian namun dijadikan tempat tinggal dan areal perkebunan.76

Perubahan tanah ulayat dari tanah pertanian ini terjadi karena disekitar tanah ulayat tersebut sudah berubah menjadi areal perkebunan. Untuk tanah-tanah ulayat di Desa Pamah yang sudah bisa dimanfaatkan lagi sebagai lahan pertanian, maka dari itu diperlukan lagi inisiatif daripada pengurus untuk mengubah fungsi daripada tanah

76Wawancara dengan Andhy Soesanto Pinem jabatan kepala desa Pamah Kecamatan Tanah

tersebut agar tanah tersebut tetap bermanfaat dan yang terpenting dapat memberikan hasil yang diperuntukan demi kepentingan masyarakat. Tanah ulayat di Desa Pamah yang merupakan tanah produktif, pihak pengurus tanah sudah mulai mengambil suatu tindakan yaitu dengan melestarikan bersama-sama dengan masyarakat desa pamah, sehingga tanah ulayat tersebut dapat terjaga dan terlindungi.77 Adapun tugas dan kewajiban Kepala Desa adalah memimpin penyelenggaraan Pemerintah Desa; membina kehidupan masyarakat Desa; membina perekonomian Desa; memelihara ketentraman dan ketertiban masyarakat; mendamaikan perselisihan masyarakat di Desa; dan mewakili desanya di dalam dan di luar pengadilan dan dapat menunjuk kuasa hukumnya.

Dalam lingkungan masyarakat adat di Desa Pamah masih dikenal adanya hak ulayat/hak masyarakat adat atas tanah yang merupakan hak persekutuan adat, di mana kewenangan penguasaan atas tanah tersebut dipegang oleh Kepala Desa dan pemangku adat. Di dalam hak ulayat diakui pula adanya hak atas tanah perseorangan. Wewenang penggunaan tanah selalu disertai dengan kewajiban sehingga dalam pemanfaatan tanah tidak hanya berguna bagi individu tetapi juga memberi manfaat bagi warga persekutuan. Bilamana kewajiban atas penguasaan tanah ulayat tidak dipenuhi atau tidak ada tanda-tanda adanya hubungan seseorang dengan tanah, maka penguasa adat berhak untuk mengambilnya dan status itu kembali menjadi hak ulayat dan seterusnya dapat diberikan kepada warga persekutuan yang lain. Hukum Adat

77 http://raimondfloralamandasa.blogspot.com/2008/07/eksistensi-hak-ulayat-dalam-hukum-

dalam masyarakat Adat marga pinem Desa Pamah pada dasarnya tidak membedakan hak antara warga masyarakatnya dengan warga luar sehubungan dengan pemilikan dan penguasaan atas tanah ulayat.

Tanah ulayat di Desa Pamah yang berupa tanah pertanian, tanah tersebut diolah oleh warga yang diberikan kewenangan untuk mengolah, dan nanti hasil dari pengolahan tanah pertanian tersebut sebagian diserahkan kepada penyakap/penggarap dan sebagian lagi untuk kepentingan Desa Pamah.

Salah satu contoh adalah pemanfaatan tanah ulayat di Minangkabau sebagaimana diadopsi menjadi asas utama pembentukan Perda TUP adalah “jua indak makan bali, gadai indak makan sando” yang maksudnya bahwa tanah ulayat tidak dapat diperjualbelikan dan tidak dapat dipindahtangankan pada orang lain. Tetapi masyarakat boleh memanfaatkannya, mengelola, mengolah dan menikmati hasil dari tanah ulayat yang kepemilikannya tetap menjadi milik komunal dan tidak dapat dijadikan milik pribadi. Filosofi ini menegaskan bahwa hubungan antara masyarakat Minangkabau dengan tanah ulayat bersifat abadi. Pemanfaatan tanah ulayat bagi kepentingan anggota masyarakat adat dilakukan berdasarkan hukum adat. Pemanfaatan tanah ulayat bagi kepentingan umum dilakukan “sesuai dengan ketentuan yang berlaku”, Perda TUP tidak menjelaskan apakah yang dimaksud dengan “sesuai dengan ketentuan yang berlaku” itu didasarkan kepada hukum adat atau kepada hukum nasional. Bila mengacu kepada hukum nasional maka akan merujuk kepada Perpres 36/2005 juncto Perpres 65/2006 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Demi Kepentingan Umum. Perpres ini sejak kelahirannya banyak dikritik oleh kalangan masyarakat sipil sebab dianggap sebagai landasan legitimasi perampasan tanah masyarakat. Pemanfaatan tanah ulayat bersama atau oleh pihak luar (pemerintah atau investor) bila berakhir masa perjanjiannya akan kembali kepada masyarakat adat sesuai dengan adagium “Kabau tagak kubangan tingga, pusako pulang ka nan punyo, nan tabao sado luluak nan lakek di badan. Tanah ulayat tetap menjadi milik dari masyarakat adat. Yang dibawa oleh pengusaha adalah hasil-hasil usaha yang diperoleh dari mengelola tanah ulayat. Setelah usaha selesai maka tanah dikembalikan kepada masyarakat adat.78

78 http://yancearizona.wordpress.com/2008/11/12/perda-tanah-ulayat-sumatera barat/ diakses

E. Keberadaan Hak Masyarakat Adat / Ulayat di Desa Pamah

Di Indonesia keberadaan hak ulayat ini ada yang masih kental, ada yang sudah menipis dan ada yang sudah tidak ada sama sekali. Akan tetapi eksistensi tanah ulayat itu sendiri masih diakui. Hal ini dapat dilihat dari masih adanya pengakuan terhadap tanah ulayat yang diatur dalam Undang-undang Pokok Agraria UU No. 5 Th. 1960. Adapun bunyi ketentuan yang mengukuhkan eksistensi hak ulayat adalah Pasal 3 UUPA yang menyatakan :

“Dengan mengingat ketentuan-ketentuan dalam Pasal 1 dan 2, pelaksanaan hak ulayat dan hak-hak yang serupa itu dari masyarakat-masyarakat Hukum Adat, sepanjang menurut kenyataannya masih ada, harus sedemikian rupa, sehingga sesuai dengan kepentingan nasional dan negara berdasarkan atas persatuan bangsa, serta tidak boleh bertentangan dengan Undang-undang dan peraturan-peraturan (hukum) lain yang lebih tinggi”.

Dengan adanya ketentuan Pasal 3 UUPA sebagaimana disebutkan di atas dapat diketahui bahwa secara hukum hak ulayat ini diakui sehingga keberadaannya sah menurut hukum. Oleh karena itu hak ulayat masih tetap dapat dilaksanakan oleh masing-masing masyarakat hukum adat yang memilikinya.

Pada kenyataan yang ditemukan dalam masyarakat marga pinem di Kabupaten Dairi sekarang eksistensi atau keberadaan dari hak ulayat dan kekuasaan penguasa adat atas tanah ulayat menunjukkan kecendrungan semakin berkurang.

Di sinilah Kepala Desa sebagai suatu lembaga yang berfungsi menjadi badan yang dapat menyelesaikan sengketa di desa diminta untuk berperan aktif. Karena sampai saat ini belum terdapat penyelesaian tanah ulayat. Jadi ada tanah ulayat yang disewakan kepada pendatang yang hasil sewanya Rp.1,5 juta/tahun di peruntukan untuk kebutuhan masyarakat bersama. Ini lah salah satu bukti hukum adat berlaku keluar.

Di samping tanah masyarakat adat di Desa Pamah masih ada lagi tanah perladangan yang kurang rata tidak berbukit-bukit yang juga merupakan tanah masyarakat adat Desa Pamah saat ini oleh Kepala Desa atas musyawarah mufakat dengan masyarakat disewakan kepada penduduk pendatang. Kalau pada zaman Jepang tanah tersebut di atas juga disewakan kepada Jepang. Tanah yang disewakan ini bernama Perjuman (perladangan). Hasil dari sewa tanah tersebut dimasukkan ke kas desa dan digunakan untuk perbaikan Losd, jalan dan lain-lain. Mengenai luas Perjuman (perladangan) Desa Pamah menurut data di lapangan ± 1 ha. Hanya pengukuran dari Badan Pertanahan belum pernah dilakukan.79

Dengan melihat kenyataan di atas bahwa di Desa Pamah Kecamatan Tanah Pinem, keberadaan hak masyarakat Adat yang lazim disebut dengan hak ulayat sampai saat ini masih diakui keberadaannya artinya masih dikuasai secara berkelompok. Hal ini sesuai dengan bunyi Pasal 3 UUPA yang menentukan masyarakat hukum adat sepanjang menurut kenyataan masih ada, harus sedemikian rupa hingga sesuai dengan kepentingan nasional dan negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa serta tidak boleh bertentangan dengan undang-undang dan peraturan-peraturan lain yang lebih tinggi.

79Wawancara dengan Madia Ginting jabatan Tokoh masyarakat desa Pamah Kecamatan

Tanah adat disebut tanah ulayat merupakan milik dari masyarakat hukum adat yang ada di suatu wilayah yang telah mereka kuasai secara turun temurun, bisa telah mereka kuasai selama 3, atau 4 generasi atau lebih dari 5 generasi. Tanah ulayat ini sebagai tempat mereka berdiam, tanah yang telah memberi mereka kehidupan selama ini, tanah tempat mereka mengembangkan kebudayaannya dan tanah yang menjadi tempat tempat berdiamannya bagi roh-roh keluarga mereka.

Dalam masyarakat Desa Pamah juga mengenal tanah adat ini. Mungkin berbeda dengan daerah lain yang bukan berdasarkan sistem patrilineal atau tidak lagi mengakui sistem patrilineal dalam hukum adatnya, pemilik tanah adat dalam masyarakat Karo adalah kelompok marga dari pendiri kampung. Mereka ini disebut Marga Pinem, Marga Pinem ini sifatnya kolektif, yaitu semua keturunan dari marga Pinem, bukan individu. Individu sifatnya hanya mengelola tanah adat tersebut, tidak terkecuali pria atau wanita. Artinya para individu dari keturunan marga Pinem, hanya diberikan menguasai dan merawat tanah adat tersebut untuk kemudian diwariskan kepada keturunan berikutnya dari si pemilik marga berdasarkan sistem patrilineal.

Maka yang berhak mengelola adalah (1) Anak penerus marga (anak laki-laki), (2) Anak wanita, (3) Bebere dari si pemilik marga dalam hal ini diutamakan anak laki-laki. Para pembawa marga (anak laki-laki), diberi hak milik marga, artinya kepemilikannya hanya seolah-olah karena pada dasarnya dia hanya memiliki hak guna usaha dan hak merawat tanah adat tersebut, demikian juga dengan anak wanita dan bebere si pemilik marga secara psikologis dia seolah-olah bukan pemilik tanah tersebut, namun dia dapat diberi hak guna usaha dan merawat tanah adat tersebut

sama halnya dengan anak laki-laki (penerus marga). Mengusahakan dan hak mewawat ini diberikan sampai semasa hayatnya, kemudian bila ada keturunannya (anak laki-laki) menikahi dengan salah seorang anak wanita dari marga si pemilik tanah, hak menguasai yang dimiliki orang tuanya tersebut, dapat dilanjutkan si anak juga sampai akhir hayatnya.

Tanah adat tersebut dapat diberikan hak mengusahakan usaha hanya selagi tanah adat tersebut memungkinkan untuk diberi. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan di Desa pamah peningkatan hak ulayat menjadi hak milik dapat dilakukan dengan syarat. (1) para keturunan anak laki-laki dari si pemilik tanah adat, (2) para keturunan anak wanita dari si pemilik tanah adat, (3) para anak beru langsung dari si pemilik tanah adat (Ibu Kandungnya adalah keturunan dari marga si pemilik tanah adat).

Setelah syarat tersebut di penuhi, maka proses selanjutnya : 1. Mendapatkan persetujuan dari Simateki Kuta (Lima marga) 2. Lalu diajukan ke kepala Desa Pamah

3. Setelah disetujui kepala Desa lalu meminta persetujuan ke Camat Tanah Pinem untuk dijadikan SK Camat

Setelah proses itu selesai maka SK Camat tersebut dijadikan agunan untuk kredit. Di dalam Pasal 6 UUPA dijelaskan bahwa semua hak atas tanah mempunyai fungsi sosial, berarti bahwa hak atas tanah apapun yang ada pada seseorang tidaklah dapat dibenarkan apabila tanahnya itu akan dipergunakan atau tidak dipergunakan semata-mata untuk kepentingan pribadinya apalagi kalau hal itu menimbulkan

kerugian bagi masyarakat dan negara. Tetapi dalam pada itu ketentuan tersebut tidak berarti, bahwa kepentingan perseorangan akan terdesak sama sekali oleh kepentingan umum (masyarakat). Undang-Undang Pokok Agraria memperhatikan pula kepentingan-kepentingan perseorangan.

Kepentingan umum dan kepentingan perseorangan haruslah saling mengimbangi, hingga pada akhirnya akan tercapailah tujuan pokok kemakmuran, keadilan dan kebahagiaan bagi seluruh rakyat Indonesia (Pasal 2 ayat 3 UUPA). Berhubung dengan fungsi sosialnya, maka adalah sesuatu hal yang sewajarnya bahwa tanah itu harus dipelihara baik-baik, agar bertambah kesuburannya serta dicegah kerusakannya.

Kewajiban memelihara tanah ini tidak saja dibebankan kepada pemilik atau pemegang hak yang bersangkutan, melainkan menjadi beban pada dari setiap orang, badan hukum atau instansi yang mempunyai suatu hubungan hukum dengan tanah (Pasal 15 UUPA) dan dalam melaksanakan ketentuan ini akan diperhatikan kepentingan pihak ekonomis yang lemah.

Hubungan tanah adat dengan sistem kekerabatan dalam masyarakat Karo cukup jelas dan fungsional. Dikatakan cukup jelas, karena keberadaan tanah adat, pewarisan pengelolaannya berdasarkan hubungan darah. Artinya para pengelola tanah adat adalah para keturunan marga pemilk tanah adat tersebut.

Kepemilikan pengelolaan ini berdasarkan hubungan kekerabatan. Bila seseorang itu keturunan anak laki-laki dari penerus marga tanah tanah, dia jelas punya hak kelola tanah adat tersebut dalam bentuk diusahai atau dikontrakannya kepada

pihak lain. Demikian juga dengan anak wanita dari keturunan marga pemilik tanah adat, bila anak wanita ini menikah dengan pihak marga lain, dia juga diberi hak kelola seumur hidupnya, sebagai bentuk kasih sayang. Namun bila ada diantara anak lelakinya kelak, kembali menikahi anak wanita marga pemilik tanah adat tersebut, hak pengelolaan orang tuanya dapat diserahkan kepadanya. Namun bila ada anak lelaki, tidak menikahi wanita pemilik marga Pinem adat ini, dia tidak berhak mengelola tanah adat ini, Bila dia ikut mengelola tanah adat ini, statusnya sistem sewa. Jadi pewarisan pengelolaan tanah adat dalam masyarakat Karo berhubungan erat dengan pembinaan, pemeliharaan sistem kekerabatan diantara mereka.

Pewarisan tanah adat dalam masyarakat Desa Pamah berdasarkan sistem patrilineal (garis keturunan lelaki). Anak wanita diberi hak mengelola tanah adat sifatnya hak guna usaha, bila dia (anak wanita ini) meninggal dunia tanpa ada keturunannya (laki-laki) kembali menikahi anak wanita marga pemilik tanah, tanah yang dikelolanya dikembalikan kepada pihak marganya (marga si empunya tanah). Namun bila ada anak lelaki si wanita ini menikahi anak wanita dari marga si pemilik tanah, hak pengelolaan tanah adat tersebut dapat dilanjutkan kepadanya, artinya usaha yang telah dirintis orang tuanya dapat dilanjutkan si anak, namun bila tidak ada anak lelaki si wania tersebut menikahi anak wanita dari merga si pemilik tanah, begitu diwanita meninggal dunia tanah tersebut dikembalikan kepada marga si pemilik tanah.

Masalah saat ini, kehancuran tanah adat pada masyarakat Desa Pamah, karena hukum adat masalah tanah ini tidak diketahui lagi, atau mereka sengaja tidak mengikuti hukum adat lagi tetapi menggunakan hukum nasional atau

agama dalam membagi tanah adat yang ada, dengan demikian anak wanita diberi hak untuk memiliki tanah adat tersebut. Kenyataan ini seperti berdampak akan menghilangkan sejarah marga dan sejarah desa sebab dengan penghancuran tanah adat, maka ke depan sejarah desa bisa saja hilang. Padahal salah satu fungsi tanah adat adalah menggalang/mengikat kekerabatan antara pihak pemilik tanah adat dengan anak berunya (pihak yang akan menikahi anak wanita pemilik tanah adat.80

F. Sistem Penguasaan Hak-Hak atas Tanah Masyarakat Hukum Adat

Sistem hukum adat bersendikan pada dasar-dasar alam pikiran bangsa Indonesia yang tidak sama dengan alam pikiran yang menguasai sistem hukum barat. Untuk dapat sadar akan sistem hukum adat, maka orang harus menyelami dasar-dasar pikiran yang hidup di dalam masyarakat Indonesia. Dalam hukum adat hak penguasaan atas tanah yang tertinggi adalah Hak Ulayat, sebagai tanah bersama para warga masyarakat hukum adat yang bersangkutan, yang mengandung dua unsur yang beraspek hukum keperdataan dan hukum publik. Subyek Hak Ulayat adalah masyarakat hukum adat, baik territorial, genealogik, maupun genealogis territorial

sebagai bentuk bersama para warganya.81

Kewenangan untuk mengatur hak ulayat dalam aspek hukum publik ada pada Hak Kepala Adat dan para Tetua Adat, sebagai pertugas masyarakat hukum adat berwenang mengelola, mengatur dan memimpin peruntukan, penguasaan, penggunaan dan pemeliharaan tanah-bersama tersebut.

80

Wawancara dengan Kepala Desa Pamah Kecamatan Tanah Pinem, tanggal 11/6/ 2012, Jam 14.000 WIB

81http://achmadrhamzah.blogspot.com/2010/12/eksistensi-hak-ulayat-di-indonesia.html

Eksistensi Hak Ulayat masyarakat Adat di Desa Pamah dapat dikatakan sudah semakin lemah, sebab pemerintah daerah bersama-sama para pakar hukum adat, masyarakat hukum adat dan lembaga swadaya masyarakat serta instansi-instansi yang mengelola sumber daya alam, yang ditunjuk untuk melakukan penelitian dan penentuan apakah masih ada hak ulayat dengan syarat :82

1. Terdapat sekelompok orang yang merasa terikat oleh tatanan hukum adatnya sebagai warga bersama suatu persekutuan hukum tertentu, yang mengakui dan menerapkan ketentuan-ketentuan persekutuan tersebut dalam kehidupannya sehari-hari,

2. Terdapat tanah ulayat tertentu yang menjadi lingkungan hidup para warga persekutuan hukum tersebut dan tempatnya mengambil keperluan hidupnya sehari-hari,

3. Terdapat tatanan hukum adat mengenai pengurusan, penguasaan, dan penggunaan tanah ulayat yang berlaku dan ditaati oleh para warga persekutuan hukum tersebut.

Ternyata tidak melakukan penelitian tersebut, disebabkan tidak diketahuinya batas-batas yang jelas antara tanah ulayat satu dengan lainnya sehingga cukup membingungkan bagi pemerintah daerah. Hal lain yang menyebabkan pemerintah daerah kurang menanggapi tanah ulayat adalah karena masyarakat adat sendiri belum ada yang mengangkat permasalahan tanah ulayat ini.

Sengketa tanah terjadi apabila ada benturan kepentingan antara dua pihak atau lebih yang merasa mempunyai hak yang sama atas suatu bidang tanah yang sama. Dalam hal ini maka para pihak akan melakukan segala usaha untuk membuktikan bahwa dirinya yang paling berhak, sehingga tidak jarang dalam kondisi yang seperti

82Wawancara dengan Sarikat Pinem jabatan Sekcom Desa Pamah Kecamatan Tanah Pinem,

itu maka akan banyak pihak yang dirugikan dan menimbulkan gangguan bagi masyarakat yang ada disekitarnya.83

Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah sangat jelas mengatur mengenai pertanahan, sebagaimana yang disebutkan dalam Pasal 14 yang menyatakan bahwa urusan wajib yang menjadi kewenangan daerah untuk kabupaten/kota merupakan urusan yang berskala kabupaten/kota meliputi poin (k) tentang pelayanan pertanahan. Kaitan dengan pelaksanaan otonomi daerah itu juga, sesuai dengan yang terdapat dalam penjelasan poin (b), yang menyebutkan bahwa prinsip otonomi daerah menggunakan prinsip otonomi seluas-luasnya dalam arti daerah diberikan kewenangan mengurus dan mengatur semua urusan pemerintahan diluar yang menjadi urusan pemerintah yang ditetapkan dalam undang-undang ini. Dengan demikian daerah memiliki kewenangan membuat arah kebijakan daerah untuk memberikan pelayanan, peningkatan peran serta, prakarsa, dan pemberdayaan masyarakat yang bertujuan pada peningkatan kesejahteraan rakyat.84

Kewenangan yang telah dimiliki oleh daerah dengan berlakunya otonomi daerah tersebut, maka pemerintah daerah baik itu kabupaten/kota serta desa merupakan lini pertama yang dapat melindungi hak masyarakat hukum adat serta tanah ulayatnya. Karena jajaran Pemerintah Daerah diberi kewenangan yang amat luas untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri, akan tetapi tentu saja

83

Agung Basuki Prasetyo, Juli 2010,Hak Ulayat Sebagai Hak Konstitusional (Suatu Kajian Yuridis Empiris), Masalah-Masalah Hukum Jilid 39 No. 2, Fakultas Hukum UNDIP, hal 34

84M. Rizal Akbar dkk,Tanah Ulayat dan Keberadaan Masyarakat Hukum Adat, LPNU Press,

dengan benar-benar memahami dan mampu mengartikulasikan aspirasi dan kepentingan masyarakat yang berada di daerahnya tersebut. Selain itu juga masyarakat hukum adat tersebut juga tidak harus tinggal diam akan tetapi juga harus turut serta mendayagunakan hak sipil dan hak politiknya dengan cara menata dan mengorganisasikan diri mereka secara nyata dan melembaga. Dengan cara inilah maka masyarakat hukum adat itu akan nampak dan akan lebih di dengar keberadaannya oleh para pengambil keputusan.85

Sebagaimana apa yang dinyatakan Hari Sabarno dalam bukunya bahwa : Tolak ukur utama keberhasilan otonomi pada suatu daerah tidak lain adalah pada masyarakat daerah itu sendiri. Masyarakat merupakan bagian utama pemerintahan. Oleh sebab itu, selain tanggungjawab pelaksanaan otonomi di tangan Kepala Daerah, dan aparat pelaksananya, masyarakat harus menjadi pelaksana utama dalam otonomi daerah tersebut.86

Adapun dalam bidang pertanahan, Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 memberikan pengaturannya di bidang pertanahan tersebut, yaitu meliputi penyelenggaran kegiatan dibidang pertanahan, dan memberikan kewenangan pengaturannya kepada Pemerintah Daerah propinsi maupun kabupaten/kota. Sedangkan mengenai hak-hak penguasaan atas tanah tetap berdasarkan UUPA.

85

Ali Achmad Chomzah, 2003,Seri Hukum Pertanahan III Penyelesaian Sengketa Hak Atas Tanah, Penerbit Prestasi Pustaka, Jakarta, hal 44

86Hari Sabarno, Memandu Otonomi Daerah Menjaga Kesatuan Bangsa, Sinar Grafika,

Pengertian “penguasaan” dan “menguasai” dapat dipakai dalam arti fisik, juga dalam arti yuridis, juga beraspek perdata dan publik. Penguasaan yuridis dilandasi hak, yang dilindungi oleh hukum dan umumnya memberi kewenangan kepada pemegang hak untuk menguasai secara fisik tanah yang dihaki. Tetapi ada juga penguasaan yuridis yang biarpun memberikan kewenangan untuk menguasai tanah yang dihaki secara fisik, pada kenyataannya penguasaan fisiknya dilakukan pihak lain. Misalnya kalau tanah yang dimiliki disewakan kepada pihak lain dan penyewa yang menguasainya secara fisik, atau tanah tersebut dikuasai secara fisik oleh pihak lain tanpa hak. Dalam hal ini pemilik tanah berdasarkan hak penguasaan yuridisnya, berhak untuk menuntut diserahkannya kembali tanah yang bersangkutan secara fisik kepadanya.87

Hak menguasai tanah oleh negara adalah hak yang memberi wewenang kepada negara untuk mengatur 3 hak seperti termuat dalam Pasal 2 ayat (2) UUPA. Hak ulayat dari unsur/aspek hukum publik juga memberi wewenang kepada masyarakat hukum adat untuk mengelola, mengatur dan memimpin penguasaan, pemeliharaan, peruntukan dan penggunaan tanah ulayat. Jika kedua hal tersebut