TESIS
Oleh
JUNIYELL MULIH
107011091/M.Kn
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
TESIS
Diajukan Untuk Memperoleh Gelar Magister Kenotariatan Pada Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum
Universitas Sumatera Utara
Oleh
JUNIYELL MULIH
107011091/M.Kn
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
Nomor Pokok : 107011091
Program Studi : Kenotariatan
Menyetujui Komisi Pembimbing
(Prof. Dr. Runtung, SH, MHum)
Pembimbing Pembimbing
(Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN)(Prof. Dr. Budiman Ginting, SH, MHum)
Ketua Program Studi, Dekan,
(Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN) (Prof. Dr. Runtung, SH, MHum)
PANITIA PENGUJI TESIS
Ketua : Prof. Dr. Runtung, SH, MHum
Anggota : 1. Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH. MS, CN
2. Prof. Dr. Budiman Ginting, SH, MHum
3. Dr. Pendastaren Tarigan, SH, MS
Nama : JUNIYELL MULIH
Nim :107011091
Program Studi : Magister Kenotariatan FH USU
Judul Tesis :EKSISTENSI TANAH ULAYAT MARGA PINEM DI DESA PAMAH KECAMATAN TANAH PINEM
KABUPATEN DAIRI
Dengan ini menyatakan bahwa Tesis yang saya buat adalah asli karya saya sendiri
bukan Plagiat, apabila dikemudian hari diketahui Tesis saya tersebut Plagiat karena
kesalahan saya sendiri, maka saya bersedia diberi sanksi apapun oleh Program Studi
Magister Kenotariatan FH USU dan saya tidak akan menuntut pihak manapun atas
perbuatan saya tersebut.
Demikianlah surat pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya dan dalam keadaan sehat.
Medan,
Yang membuat Pernyataan
mewujudkannya dalam sebuah Peraturan Daerah. Mengenai batas-batas hak ulayat di Kecamatan tanah Pinem dapat dilihat berupa batu, bukit, kayu dan pancuran merupakan batas kewenangan dan batas pemilikan hutan yang satu dengan huta yang lain atau batas pemilikan keturunan yang satu dengan keturunan yang lain. Penulis bertujuan untuk menjelaskan eksistensi tanah hak ulayat di Kecamatan Tanah Pinem Kabupaten Dairi, pengaturan pemanfaatan tanah hak ulayat tersebut di Kecamatan Tanah Pinem Kabupaten Dairi dan pengalihan hak tanah ulayat kepada warga pendatang ke Desa Pamah dikaitkan dengan hukum agraria.
Penelitian menggunakan deskriptif yaitu suatu penelitian yang bertujuan untuk mendeskripsikan secara sistematis, faktual dan akurat. Metode pendekatan yang digunakan adalah metode yuridis empiris, yang merupakan suatu pendekatan dengan membahas kaidah-kaidah hukum yang terdiri dari hukum positif dan hukum yang berlaku dalam masyarakat yang diperoleh di lapangan secara langsung dari Desa Pamah Kabupaten Dairi.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa Eksistensi dari Tanah-tanah milik Desa Pamah pada saat ini sudah memiliki dasar hukum yang jelas yaitu dengan adanya sertifikat tanah yang dapat mempunyai Hak Milik Atas Tanah, sehingga dengan adanya keputusan tersebut sudah merupakan subyek hak milik atas tanah dan dapat memiliki tanah dengan status hak milik. Saat ini tanah-tanah milik sudah dapat didaftarkan dengan atas nama warga yang bersangkutan sendiri, sehingga sekarang ini tanah-tanah milik tanah ulayat sudah mendapat kepastian dan perlindungan hukum. Upaya-upaya yang dilakukan untuk menjaga eksistensi dari tanah-tanah mirik masayakat Desa Pamah tersebut yaitu untuk memelihara dan menjaga tanah milik masyarakat Desa Pamah tersebut, usaha-usaha tersebut adalah para pengurus tanah ulayat Desa Pamah mulai mendata tanah-tanah yang dimaksud oleh masyarakat Desa Pamah kemudian mendaftarkan tanah tersebut sehingga tanah milik bersama tersebut memiliki jaminan kepastian dan perlindungan hukum, dan untuk tanah-tanah yang dapat ditanami lagi karena di sekitar tanah tersebut sudah rnenjadi areal hutan dan irigasi untuk warga Desa namah maka tanah tersebut. Kepala Desa dan instasi terkait juga sudah ikut mendukung eksistensi dari tanah ulayat Desa pamah Kecamatan Tanah Pinem, yaitu dengan mengadakan program pelestarian dan perlindungan tanah-tanah milik adat/ulayat yang dilakukan setiap tahun. Pemanfaatan tanah ulayat tersebut telah dijadikan lahan permukiman transmigarsi, dengan cara mendasarkan tanah-tanahnya sebagai mendapatkan bukti kepemilikan tanah yang kuat (sertifikat tanah). Serta jika terjadi sengketa tanah dengan penggantian ganti rugi semua hal-hal yang menyangkut penggantirugian tersebut dituangkan dalam berita acara atau surat perdamaian (bukti otentik), sehingga menjadi bukti yang kuat bagi pendatang agar tidak timbul lagi tuntutan dari keturunan/pewaris masyarakat desa Pamah.
and their ulayat land by materializing it in a Local Regulation. The borders of ulayat land in Tanah Pinem Subdistrict are seen in the forms of stone, hill, wood and traditional shower which are the limits of authority and ownership of one forest to another or the limit of ownership of one descendant to another.
The purpose of this descriptive study juridical empirical approach was to describe the existence of land under communal (ulayat) rights, the regulation of utilization of the land under communal (ulayat) rights in Tanah Pinem Subdistrict, Dairi District and the transfer of the rights to ulayat (communal) land to the migrants who live in Pamah Village in relation to the agrarian law. The data for this study were legal norms consisting of positive law and the law existing in the local community directly obtained from afield research conducted in Pamah Village, Dairi District. The data obtained were discussed and then systematically, factually and accurately described.
The result of this study showed that the existence of the lands belong to Pamah Village currently has a clear legal basis in the form of land certificate with rights to land that with this decision the land owners can own their land under the status of property rights. Now, the lands owned can be registered on behalf of the citizen concerned that the lands belong to the ulayat (communal) land have got legal certainty and legal protection. The attempts done to maintain the existence of the lands belong to the community of Pamah Village are that the administrators of ulayat land in Pamah Village recorded or listed the lands belong to the community of Pamah Village and then they registered the lands that the communal lands have legal certainty and legal protection. The Head of Village and related agencies also support the existence of ulayat lands in Pamah Village, Tanah Pinem Subdistrict by implementing communal land protection and reservation program every year. The communal lands have been used as transmigration settlements by registering their lands to obtain land certificate. In case, a dispute of the land ownership and compensation occurs between the community of Pamah Village and the migrants, all the issues concerning the compensation are stated in the official report or the letter of peace (authentic evidence), that these documents become strong evidence for the migrant citizens that claims from the descendants/heirs of the Pamah Village community will not arise anymore.
melimpahkan berkat dan Rahmat-Nya kepada penulis, sehingga penulis dapat
menyelesaikan Penulisan Tesis yang berjudul “EKSISTENSI TANAH ULAYAT
MARGA PINEM DI DESA PAMAH KECAMATAN TANAH PINEM
KABUPATEN DAIRI”. Tesis ini disusun guna memenuhi syarat untuk memperoleh
gelar Sarjana S-2 pada Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum
Universitas Sumatera Utara. Penulis berharap tesis ini menambah wawasan dan
pengetahuan bagi pembaca, khususnya mengenai Hukum Agraria/Pertanahan. Penulis
menyadari bahwa tanpa bimbingan dan bantuan dari berbagai pihak, maka penulisan
Tesis ini tidak dapat dengan baik. Pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan
terima kasih kepada :
1. Bapak Prof. Dr. dr. Syahril Pasaribu, DTM&H, MSc (CTM), SpA(K), selaku
Rektor Universitas Sumatera Utara atas kesempatan dan fasilitas yang diberikan
kepada Penulis untuk mengikuti dan menyelesaikan pendidikan Program Studi
Magister Kenotariatan pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.
2. Bapak Prof. Dr. Runtung, SH, M.Hum selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas
Sumatera Utara atas kesempatan yang diberikan kepada penulis untuk
menyelesaikan pendidikan pada Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas
Hukum Universitas Sumatera Utara, sekaligus ketua komisi pembimbing yang
dengan penuh perhatian memberi dorongan, bimbingan dan saran kepada penulis
3. Bapak Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN selaku Ketua Program Studi
Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara sekaligus
anggota komisi pembimbing yang telah memberikan dukungan, semangat, dan
masukan kepada penulis;
4. Ibu Dr. T. Keizerina Devi Azwar, SH, CN, M.Hum., selaku Sekretaris Program
Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara
6. Bapak Dr. Pendastaren Tarigan, SH, MS selaku penguji yang selalu memberi
arahan serta kritik yang membangun kepada penulis;
7. Seluruh Staf Pengajar Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum
Universitas Sumatera Utara yang telah memberikan ilmu kepada penulis selama
menuntut ilmu pengetahuan di Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas
Hukum Universitas Sumatera Utara;
8. Kedua orang tua Ayahanda Sutek P. Mulih dan ibunda Beren Beloh Pinem
terima Kasih atas segalanya kalian adalah insipirasi dan motivasiku untuk
melakukan yang terbaik (You’re my inspiration and motivation doing the best).
9. Adik tersayangku Desi Natalia dan Febe Violita Mulih yang telah menjadi
motivasi untuk menyelesaikan studi dalam penulisan tesis ini; serta buat Anjel
tersayang ini semua buat kamu .
10. Seluruh keluarga di Pamah yang telah banyak membantu penulis dalam
mengerjakan tesis ini,terimakasih banyak atas informasi yang di berikan.
11. Teman terbaik Patrick Tarigan selaku penjaga hati yang melengkapi hari-hari
penulis dengan hal-hal indah dan susah selama menjadi bagian hidup penulis
12. Teman penulis Kibo, Gani, Roy, iyan dan Imam, terimakasih ikut berperan dalam
pelaksanaan tesis ini secara langsung ke lapangan.
13. Sahabat terbaik penulis Ernawati dan Cut Dara terimakasih buat dukungan nya
selama penggerjaan tesis ini .
14. Kepada rekan seperjuangan stambuk 2010 Group C dan seluruh
rekan-rekan lainnya di Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum
Universitas Sumatera Utara
15. Seluruh pihak-pihak yang tidak bisa disebutkan satu persatu, terima kasih atas
kesempurnaan Penulisan Tesis ini.
Akhir kata, Penulis berharap semoga Tesis ini dapat bermanfaat bagi semua
pihak yang membutuhkan.
Medan, Agustus 2012 Penulis,
1. Nama : Juniyell Mulih
2. Tempat/Tanggal lahir : Ngabang, 02 Juni 1986
3. Jenis Kelamin : Perempuan
4. Status : Belum Menikah
5. Agama : Kristen Protestan
6. Alamat : Jl. Perjuangan No. 39 Medan Sunggal
II. KELUARGA
1. Nama Ayah : Sutek P. Mulih
2. Nama Ibu : Beren Beloh Pinem
III. PENDIDIKAN
1. SD Negeri No. 09 Tanjung Merpati Kembayan Lulus Tahun 1998
2. SLTP Yayasan Pendidikan Kristen Pontianak Lulus Tahun 2001
3. SMA Negeri 4 Pontianak Lulus Tahun 2004
4. Perguruan Tinggi (S1) Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Lulus Tahun 2009
ABSTRACT... ii
KATA PENGANTAR ... iii
DAFTAR RIWAYAT HIDUP ... vi
DAFTAR ISI ... vii
BAB I PENDAHULUAN ... 1
A. Latar belakang ... 1
B. Perumusan Masalah ... 13
C. Tujuan Penelitian ... 14
D. Manfaat Penulisan ... 14
E. Keaslian Penelitian ... 14
F. Kerangka Teori dan Konsepsi ... 16
1. Kerangka Teori ... 16
2. Konsepsi ... 25
G. Metode Penelitian ... 27
1. Sifat Penelitian ... 27
2. Teknik Pengumpulan data ... 28
3. Analisis Data... 29
BAB II EKSISTENSI TANAH HAK ULAYAT MARGA PINEM DI DESA PAMAH DI KECAMATAN TANAH PINEM...30
A. Gambaran Umum Wilayah Desa Pamah ... 30
B. Hak Milik Menurut Hukum Adat ... 38
C. Tinjauan Umum Pengaturan Hak Ulayat Dalam Hukum Tanah Nasional ... 43
D. Eksistensi Hak Ulayat dalam Hukum Positif Indonesia... 58
PINEM KABUPATEN DAIRI ... 71
A. Jenis-jenis Hak Atas Tanah Menurut Hukum Adat ... 71
B. Hak Ulayat Dalam Undang-Undang Pokok Agraria ... 74
C. Kedudukan Hak Ulayat setelah berlakunya Peraturan Menteri Agraria/Badan Pertanahan Nasional No.5 Tahun 1999 tentang Pedoman Penyelesaian Masalah Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat ... 80
D. Pengaturan dan Pemanfaatan Tanah Ulayat di Desa Pamah 82 E. Keberadaan Hak Masyarakat Adat / Ulayat di Desa Pamah 85 F. Sistem Penguasaan Hak-Hak atas Tanah Masyarakat Hukum Adat ... 91
BAB IV KONSEKUENSI DENGAN TERJADINYA PERALIHAN /PEMINDAHAN HAK ATAS TANAH ULAYAT... 97
A. Mekanisme Pengalihan Hak Atas Tanah ... 97
B. Dasar Hukum Pengalihan Hak Atas Tanah Ulayat... 101
C. Proses Penyelesaian Sengketa Tanah Ulayat... 106
D. Di Balik Sertifikat Hak Atas Tanah Ulayat ... 115
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 119
A. Kesimpulan ... 119
B. Saran ... 120
mewujudkannya dalam sebuah Peraturan Daerah. Mengenai batas-batas hak ulayat di Kecamatan tanah Pinem dapat dilihat berupa batu, bukit, kayu dan pancuran merupakan batas kewenangan dan batas pemilikan hutan yang satu dengan huta yang lain atau batas pemilikan keturunan yang satu dengan keturunan yang lain. Penulis bertujuan untuk menjelaskan eksistensi tanah hak ulayat di Kecamatan Tanah Pinem Kabupaten Dairi, pengaturan pemanfaatan tanah hak ulayat tersebut di Kecamatan Tanah Pinem Kabupaten Dairi dan pengalihan hak tanah ulayat kepada warga pendatang ke Desa Pamah dikaitkan dengan hukum agraria.
Penelitian menggunakan deskriptif yaitu suatu penelitian yang bertujuan untuk mendeskripsikan secara sistematis, faktual dan akurat. Metode pendekatan yang digunakan adalah metode yuridis empiris, yang merupakan suatu pendekatan dengan membahas kaidah-kaidah hukum yang terdiri dari hukum positif dan hukum yang berlaku dalam masyarakat yang diperoleh di lapangan secara langsung dari Desa Pamah Kabupaten Dairi.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa Eksistensi dari Tanah-tanah milik Desa Pamah pada saat ini sudah memiliki dasar hukum yang jelas yaitu dengan adanya sertifikat tanah yang dapat mempunyai Hak Milik Atas Tanah, sehingga dengan adanya keputusan tersebut sudah merupakan subyek hak milik atas tanah dan dapat memiliki tanah dengan status hak milik. Saat ini tanah-tanah milik sudah dapat didaftarkan dengan atas nama warga yang bersangkutan sendiri, sehingga sekarang ini tanah-tanah milik tanah ulayat sudah mendapat kepastian dan perlindungan hukum. Upaya-upaya yang dilakukan untuk menjaga eksistensi dari tanah-tanah mirik masayakat Desa Pamah tersebut yaitu untuk memelihara dan menjaga tanah milik masyarakat Desa Pamah tersebut, usaha-usaha tersebut adalah para pengurus tanah ulayat Desa Pamah mulai mendata tanah-tanah yang dimaksud oleh masyarakat Desa Pamah kemudian mendaftarkan tanah tersebut sehingga tanah milik bersama tersebut memiliki jaminan kepastian dan perlindungan hukum, dan untuk tanah-tanah yang dapat ditanami lagi karena di sekitar tanah tersebut sudah rnenjadi areal hutan dan irigasi untuk warga Desa namah maka tanah tersebut. Kepala Desa dan instasi terkait juga sudah ikut mendukung eksistensi dari tanah ulayat Desa pamah Kecamatan Tanah Pinem, yaitu dengan mengadakan program pelestarian dan perlindungan tanah-tanah milik adat/ulayat yang dilakukan setiap tahun. Pemanfaatan tanah ulayat tersebut telah dijadikan lahan permukiman transmigarsi, dengan cara mendasarkan tanah-tanahnya sebagai mendapatkan bukti kepemilikan tanah yang kuat (sertifikat tanah). Serta jika terjadi sengketa tanah dengan penggantian ganti rugi semua hal-hal yang menyangkut penggantirugian tersebut dituangkan dalam berita acara atau surat perdamaian (bukti otentik), sehingga menjadi bukti yang kuat bagi pendatang agar tidak timbul lagi tuntutan dari keturunan/pewaris masyarakat desa Pamah.
and their ulayat land by materializing it in a Local Regulation. The borders of ulayat land in Tanah Pinem Subdistrict are seen in the forms of stone, hill, wood and traditional shower which are the limits of authority and ownership of one forest to another or the limit of ownership of one descendant to another.
The purpose of this descriptive study juridical empirical approach was to describe the existence of land under communal (ulayat) rights, the regulation of utilization of the land under communal (ulayat) rights in Tanah Pinem Subdistrict, Dairi District and the transfer of the rights to ulayat (communal) land to the migrants who live in Pamah Village in relation to the agrarian law. The data for this study were legal norms consisting of positive law and the law existing in the local community directly obtained from afield research conducted in Pamah Village, Dairi District. The data obtained were discussed and then systematically, factually and accurately described.
The result of this study showed that the existence of the lands belong to Pamah Village currently has a clear legal basis in the form of land certificate with rights to land that with this decision the land owners can own their land under the status of property rights. Now, the lands owned can be registered on behalf of the citizen concerned that the lands belong to the ulayat (communal) land have got legal certainty and legal protection. The attempts done to maintain the existence of the lands belong to the community of Pamah Village are that the administrators of ulayat land in Pamah Village recorded or listed the lands belong to the community of Pamah Village and then they registered the lands that the communal lands have legal certainty and legal protection. The Head of Village and related agencies also support the existence of ulayat lands in Pamah Village, Tanah Pinem Subdistrict by implementing communal land protection and reservation program every year. The communal lands have been used as transmigration settlements by registering their lands to obtain land certificate. In case, a dispute of the land ownership and compensation occurs between the community of Pamah Village and the migrants, all the issues concerning the compensation are stated in the official report or the letter of peace (authentic evidence), that these documents become strong evidence for the migrant citizens that claims from the descendants/heirs of the Pamah Village community will not arise anymore.
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Tanah sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa mempunyai fungsi yang sangat
penting sebagai kebutuhan hidup manusia, baik yang berada di pedesaan maupun di
perkotaan. Bagi masyarakat pedesaan yang bercorak agraris tanah merupakan sumber
penghidupan bagi para petani untuk bercocok tanam, sedangkan bagi masyarakat
perkotaan kebutuhan tanah semakin meningkat untuk perkantoran dan pemukiman
penduduk kota yang semakin padat, yang disebabkan karena adanya urbanisasi
penduduk dari desa ke kota. Tanah untuk daerah tertentu dan lokasi tertentu di kota
harganya semakin mahal, maka semakin sulit untuk mendapatkannya sehingga tanah
seolah menjadi barang langka. Begitu juga kebutuhan akan tanah pada Desa Pamah
sebagai Kabupaten Dairi, yang sedang melaksanakan pembangunan sebagai tindak
lanjut dari otomomi khusus daerah, sedang luas tanah tidak bertambah tetapi
kebutuhan akan tanah makin meningkat sesuai keberadaan manusia untuk
melangsungkan hidupnya.
Eksistensi hak ulayat atas tanah dalam era otonomi daerah pada masyarakat
marga pinem cenderung melemah, oleh karena itu pemerintah daerah mempunyai
peran yang besar dalam penetapan eksistensi masyarakat hukum adat serta tanah
ulayatnya, dengan mewujudkannya dalam sebuah Peraturan Daerah, hal ini selaras
pun dalam pelepasan dan penyerahan tanah ulayat kepada pihak luar diperbolehkan
akan tetapi harus dengan izin kepala suku, hal ini sesuai dengan ketentuan dalam
Peraturan Menteri Agraria/Kepala BPN Nomor 5 Tahun1999, bahwa pelepasan atau
penyerahan tanah ulayat masyarakat hukum adat harus sesuai dengan ketentuan dan
tata cara hukum adat yang berlaku.
Kewenangan yang telah dimiliki oleh daerah dengan berlakunya otonomi
daerah tersebut, maka pemerintah daerah baik itu kabupaten/kota serta desa
merupakan mendapat perlindung hak masyarakat hukum adat serta tanah ulayatnya.
Karena jajaran Pemerintah Daerah diberi kewenangan yang amat luas untuk mengatur
dan mengurus rumah tangganya sendiri, akan tetapi tentu saja dengan benar-benar
memahami dan mampu mengartikulasikan aspirasi dan kepentingan masyarakat yang
berada di daerahnya tersebut. Selain itu juga masyarakat hukum adat tersebut juga
tidak harus tinggal diam akan tetapi juga harus turut serta mendayagunakan hak sipil
dan hak politiknya dengan cara menata dan mengorganisasikan diri mereka secara
nyata dan melembaga. Dengan cara inilah maka masyarakat hukum adat itu akan
nampak dan akan lebih di dengar keberadaannya oleh para pengambil keputusan.
dikepalai oleh Kepala Negeri yang bernama Jemat Maha yang kemudian diteruskan oleh Itam Maha sampai tahun 1954 yang bererkedudukan di Lau Njuhar I. Kerajaan Pamah terdiri dari 6 Kampung yakni : Kampung Pamah, Kampung Lau Peske, Kampung Renun, Kampung Lau Gunung, Kampung Pasir Mbelang, Kampung Lau Mbelin. Kerajaan ini dikepalai oleh Raja Pandua Pamah yang bernama Nipati Pinem pada tahun 1935 dan berkedudukan di Pamah.1
Pada tahun 1946 wilayah Kecamatan Tanah Pinem kembali berkedudukan di Simbetek dengan nama Kecamatan Tanah Pinem, dipimpin oleh seorang Asisten Wedana yang bernana Ngapit Tarigan tahun 1946 sampai dengan1947. Kecamatan ini terdiri dari gabungan 3 Kenegerian yakni : Kenegerian Tanah Pinem, Kenegerian Tanah maha dan Kenegerian Juhar Kidupen Manik ditambah satu Kerajaan Pamah yang dipimpin oleh Raja Pandua sampai tahun 1949. Pada tahun 1949, Asisten Wedana Ngapit Tarigan diganti oleh Johannes Pinem dan pada tahun itu juga Ibukota Kecamatan Tanah Pinem dipindahkan dari Simbetek (Desa tanah Pinem) ke Kuta Buluh Pada tahun 1949 juga Asisten Wedana Johannes Pinem dipindahkan ke Lau Baleng Kecamatan mardingding, Penggantinya menjadi Asisten Wedana Tanah Pinem adalah Nembah Bangun Sampai tahun 1955. Pada tahun 1955 Nembah Bangun diganti oleh Mantas Tarigan sebagai Asisten wedana Tanah Pinem hingga tahunn 1958. Kemudian Mantas Tarigan diganti oleh J.S Meliala sebagai Asisten Wedana Tanah Pinem sampai tahun 1959. Pada tahun 1959 J.S Meliala diganti oleh Tengteng Munte menjadi Asisten Wedana Tanah Pinem hingga tahun 1963.2
Bersamaan dengan proses penggantian nama wilayah Tanah Pinem sejak dari simbetek sampai ke Kuta Buluh, maka tahun 1963 status kenegerian di Kecamatan Tanah Pinem dihapuskan dengan hanya satu status pemerintahan yaitu Kecamatan Tanah Pinem yang terdiri dari 11 desa yaitu : Desa Renun, Desa Pasir Tengah, Desa Pamah, Desa Kuta Buluh, Desa Tanah Pinem, Desa Kuta Gamber, Desa Kempawa, Desa Lau Primbon, Desa Harapan, Desa Gunung Tua dan Desa Suka Dame. Pada tahun 1963 jabatan Asisten Wedana Tanah Pinem digantikan oleh Waldemar Pinem sampai 1965. Pada tahun 1965 Waldemar Pinem pindah ke Kantor Bupati dan digantikan oleh Tamin Keloko sebagai Asisten Wedana Kecamatan Tanah Pinem sampai tahun 1969. Kemudian Tamin Keloko diganti kembali oleh Waldemar Pinem sampai tahun 1978. Dibawah Waldemar Pinem pada tahun 1971 terlaksana Pemilihan Umum Pertama Pemerintahan Orde Baru. Pada tahun inilah nama Jabatan Asisten Wedana berubah menjadi Camat.3
1
Badan Pusat Statistik Kabupaten Dairi, Kecamatan Tanah Pinem Dalam Angka 2011, Koodinator Statistik Kecamatan Tanah Pinem, 2011, hal 13
Maria S.W. Sumardjono menyebutkan bahwa eksistensi hak ulayat dalam hukum positif Indonesia dapat dilihat dalam peraturan-peraturan perundangan yang diterbitkan. Dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa dan diangkatnya Kepala Kelurahan dari pamong desa menjadi Pegawai Negeri maka tanah bengkok menjadi urusan Pemerintah Daerah oleh karena memang hak otonomi ada pada Pemerintah Daerah Kabupaten atau Kota, yang telah diganti dengan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, kemudian diganti dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, dirubah dengan dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2005 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2005 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah Menjadi Undang-Undang, kemudiaan dirubah lagi dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.4
Mengamati kewenangan yang ditimbulkan dari tanah ulayat, tampak bahwa
masyarakat desa memiliki hak otonomi dalam artian kemandirian dalam mengurus
dan menentukan persoalan yang terkait dengan keberadaan di wilayahnya,
kemandirian dalam mengurus tersebut ditunjang pula dengan mekanisme
musyawarah desa yang berfungsi sebagai forum untuk melibatkan anggota
masyarakat sebanyak-banyaknya sebelum Kepala Desa mengambil hal yang penting
terutama yang berkaitan dengan tanah, tidak mengherankan jika keputusan Kepala
Desa yang diambil dengan cara mekanisme seperti itu tidak akan menimbulkan
konflik ataupermasalahan karena memang masyarakat benar-benar telah ikut
dilibatkan dalam proses pengambilan keputusan.
Lebih lanjut pengaturan mengenai hak ulayat diserahkan kepada peraturan
daerah masing-masing di mana hak ulayat itu berada. Realisasi dari pengaturan
4Maria S.W. Sumardjono,Tanah Dalam Perspektif Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya.Jakarta,
tersebut dengan dikeluarkannya Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan
Pertanahan Nasional No. 5 Tahun 1999 tentang Pedoman Penyelesaian Hak Ulayat
Masyarakat Hukum Adat, yang dipergunakan sebagai pedoman dalam daerah
melaksanakan urusan pertanahan khususnya dalam hubungan dengan masalah hak
ulayat masyarakat adat yang nyata-nyata masih ada di daerah yang bersangkutan.
Mengenai eksistensi Hak Ulayat, UUPA tidak memberikan kriteria mengenai
eksistensi hak ulayat itu. Namun, dengan mengacu pada pengertian-pengertian
fundamental diatas, dapatlah dikatakan, bahwa kriteria penentu masih ada atau
tidaknya hak ulayat harus dilihat pada tiga hal, yakni :
1. Adanya masyarakat hukum adat yang memenuhi ciri-ciri tertentu, sebagai subyek
hak ulayat;
2. Adanya tanah/wilayah dengan batas-batas tertentu sebagai tanah pinem yang
merupakan obyek hak ulayat; dan
3. Adanya kewenangan masyarakat hukum adat untuk melakukan tindakan-tindakan
tertentu sebagaimana diuraikan diatas.5
Hak ulayat mempunyai sifat berlaku keluar dan ke dalam. Maka kewajiban
yang pertama penguasa adat yang bersumber pada hak tersebut adalah memelihara
kesejahteraan, kepentingan anggota masyarakat hukumnya, mencegah terjadinya
perselisihan dalam penggunaan tanah dan jika terjadi sengketa ia wajib
menyelesaikannya. Memperhatikan hal tersebut maka pada prinsipnya penguasa adat
5Maria S.W.Sumardjono,Kebijakan Pertanahan antara Regulasi dan Implementasi, (Jakarta:
diperbolehkan mengasingkan atau mengalihkan seluruh atau sebagaian tanah
wilayahnya kepada siapapun. Hal ini mengandung arti bahwa, ada pengecualian,
dimana anggota masyarakat hukum adat diberikan kekuasaan untuk menggunakan
tanah yang berada pada wilayah hukumnya.6 Agar tidak terjadi konflik antara warga
maka perlu memberitahukan hal tersebut kepada penguasa adat yang tidak bersifat
permintaan ijin membuka tanah. Hak ulayat sifat berlaku keluar merupakan hak
ulayat dipertahankan dan dilaksanakan oleh penguasa adat dari masyarakat hukum
adat yang bersangkutan terhadap orang asing atau bukan anggota masyarakat yang
bermaksud ingin mengambil hasil hutan atau membuka tanah dalam wilayah hak
ulayat tersebut.7
Peraturan Menteri Negara Agraria / Kepala Badan Pertanahan Nasional
Nomor 5 Tahun 1999 tentang Pedoman Penyelesaian Hak Ulayat Masyarakat Hukum
Adat, dipergunakan sebagai pedoman dalam daerah melaksanakan urusan pertanahan
khususnya dalam hubungan dengan masalah Hak Ulayat masyarakat adat yang
nyata-nyata masih ada didaerah yang bersangkutan.
Seperti kasus kita lihat konflik pertanahan telah berlangsung sejak zaman kolonial hingga saat ini. Khususnya dalam areal perkebunan yang berasal dari konsensi yang diberikan sultan kepada perusahaan perkebunan (onderdeming)
diatas tanah ulayat. Hak konsensi berubah menjadi hakerfphactdan kemudian berubah menjadi Hak Guna Usaha. Peristiwa hukum ini telah menghilangkan kedudukan hak ulayat masyarakat adat sehingga menimbulkan konflik baik vertikal maupun horizontal. Konflik pertanahan yang berlanjut menjadi sengketa pertanahan antara rakyat dengan pemerintahan dan pihak
6
Hazairin, 1994,Sekelumit Persangkutpautan Hukum Adat dalam tujuh Serangkaian tentang Hukum, Penerbit Tirta Mas, Jakarta, hal 75
7Hi.Rizani Puspawidjaja, 2006,Hukum Adat Dalam Tebaran Pemikiran,Penerbit Universitas
onderneming yang sekarang menjadi pihak PT. Perkebunan Nusantara (PTPN) II, khususnya antara masyarakat penggarap, rakyat penunggu dan masyarakat. Sengketa ini dalam praktek sulit diselesaikan, bahkan belum diselesaikan muncul lagi sengketa baru. konflik sengketa tanah yang terjadi antara Badan perjuangan Rakyat Penunggu Indonesia (BPRPI) dengan PTPN II. Badan Perjuangan Rakyat Penunggu Indonesia (BPRPI) adalah organsasi petani orang Melayu yang berdiri tahun 1953. didirikan tahun 1953, tetapi akar BPRPI sudah ada sejak masa kolonial Belanda menguasai Sumatera Timur. Setelah diberlakukannya Undang–undang Agraria 1870 pengusaha swasta asing kolonial mulai mengalir ke Sumatera Timur untuk menanamkan modalnya dalam industri perkebunan, ketika pengusaha swasta asing kolonial berlomba memasuki Sumatera Timur mendirikan Industri Tembakau, orang Melayu yang sebelumnya mengusahakan tanah pertanian mengalami perubahan dalam bercocok tanam. Sebelum kedatangan pengusaha swasta asing kolonial, orang Melayu dari satu tempat ke tempat lain membuka hutan dan menanam padi dengan sistem ladang berpindah. Akan tetapi sesudah industri perkebunan tembakau mulai beroperasi, cara bercocok tanam ladang berpindah orang Melayu ikut berubah. Orang Melayu tidak lagi membuka hutan, tetapi menggunakan tanah jaluran sebagai lahan perladangan. Perubahan tersebut tidak mengganggu kegiatan bercocok tanam orang Melayu, sebab kegiatan pertanian orang Melayu diakui dan dicantumkan kedalam akta konsensi. Diakui dan dicantumkannya hak atas tanah tersebut kedalam akta konsensi menunjukkan orang Melayu tetap dapat mengolah tanah, walaupun tanah ditanami tembakau. Jika tembakau sudah dipanen orang Melayu dapat mengerjakan bekas tanah tembakau itu. Selama tembakau belum dipetik orang melayu menunggu tembakau sampai dipanen. Mereka yang menunggu panen tembakau disebut Rakyat Penunggu. Sedang tanah bekas kebun tembakau yang diolah Rakyat Penunggu disebut tanah jaluran8
Secara umum dari kasus tersebut diatas dapat dianalisa, bahwa tindakan
penggarapan yang dilakukan oleh masyarakat diatas tanah perkebunan, terjadi karena
adanya perbedaan persepsi tentang hak menguasai negara dengan hak ulayat
masyarakat adat.
Dalam UUPA terdapat dua sistem hukum yang berbeda mengenai hak
menguasai terhadap tanah. Keadaan ini menimbulkan terjadinya conflicten
8Budi Agustino. Kebijakan Perburuhan di Sumatera Timur. Medan, Yayasan Akatiga, 1995.
recht/perselisihan hukum, maka dalam hal ini perlu ditegaskan tentang apa yang menjadi peraturan hukum atau hukum mana yang berlaku mengenai suatu hubungan
hukum yang terjadi dalam suatu peristiwa hukum yang memuat unsur-unsur yang
dapat menyangkutkan dua atau lebih sistem hukum yang berlaku.
Dari kasus ini Pemerintah hanya menentukan hukum yang berlaku dalam
konflik tersebut, hanya bersandar pada Pasal 2 UUPA, sedangkan Pasal 3 dan Pasal 5
UUPA dikesampingkan. Konflik antara hukum negara (UUPA) dan hukum
adat/tradisi tak tertulis, terjadi karena hukum negara yang tertulis dan disistematisasi
dalam UUPA, tidak melestarikan tatanan tradisi masyarakat adat/lokal yang lama,
dengan cara mengakomodasi tradisi dan hukum adat lokal ke dalam UUPA. Tetapi
hanya mendekonstruksi serta merekonstruksi tatanan-tatanan institusional yang ada
atau bahkan untuk menggantikannya dengan yang baru dalam rangka mengupayakan
unifikasi hukum tanah.
Akhir-akhir ini di daerah tersebut seringkali terjadi isu sengketa tanah dalam
hal kepemilikan dan penguasaan tanah. Sengketa yang sering kali muncul di daerah
tersebut adalah sengketa perdata yang berkenaan dengan masalah tanah di antara
warganya dalam hal pemilikan dan penguasaan tanah. Sengketa-sengketa tersebut
bersumber dari tanah-tanah hak ulayat, atau obyeknya hak ulayat. Di sisi lain pernah
terjadinya sengketa perdata, sengketa antar masyarakat adat dengan obyek tanah
ulayat yaitu mengenai sengketa pengadaan tanah untuk lokasi permukiman
Dalam menyelesaikan permasalahan yang mereka hadapi tersebut mereka
mempunyai cara sendiri yang mereka anggap lebih efektif. Meskipun telah ada
lembaga pengadilan yang disediakan oleh Pemerintah untuk menyelesaikan sengketa
yang timbul, mereka memilih cara lain yaitu melalui penyelesaian di luar pengadilan.
Penyelesaiannon litigasidipilih oleh masyarakat dengan alasan dari segi waktu yang relatif lebih cepat dapat terwujud, biaya murah,dan penyelesaian masalah dilakukan
dengan cara damai yaitu melalui musyawarah. Secara historis, kultur masyarakat
Indonesia sangat menjunjung tinggi pendekatan kosensus.
Mengenai batas-batas hak ulayat di Kecamatan Tanah Pinem dapat dilihat
berupa batu, bukit, kayu dan pancuran merupakan batas kewenangan dan batas
pemilikan hutan yang satu dengan hutan yang lain atau batas pemilikan keturunan
yang satu dengan keturunan yang lain.
Batas-batas hak ulayat di daerah ini dapat dibuktikan pada saat adanya
perselisihan antara pemilik tanah yang satu dengan pemilik tanah yang lain, dan
pembuktiannya yaitu dengan cara menghadirkan saksi dari keturunan dan saksi-saksi
dari tetangga. Sehingga adanya perdamaian diantara ke dua belah pihak dengan cara
musyawarah.
Mengenai penetapan batas bidang-bidang tanah diatur dalam Pasal 17 PP
Nomor 24 Tahun 1997 sebagai berikut :
1. Untuk memperoleh data fisik yang diperlukan bagi pendaftaran tanah, bidang
2. Batasnya dan menurut keperluannya ditempatkan tanda-tanda batas di setiap
sudut bidang tanah yang bersangkutan.
3. Dalam penetapan batas bidang tanah pada pendaftaran tanah secara sistimatik
dan pendaftaran tanah secara sporadik diupayakan penataan batas berdasarkan
kesepakatan para pihak yang berkepentingan.
4. Penempatan tanda-tanda batas termasuk pemeliharaannya wajib dilakukan oleh
pemegang hak atas tanah yang bersangkutan.
5. Bentuk, ukuran dan teknis penempatan tanda batas ditetapkan oleh Menteri.
Ketentuan dalam Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 yang menjadi landasan
konstitusional dari Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar
Pokok-pokok Agraria, yang disebut Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA). UUPA
di undangkan dalam Lembaran Negara Tahun 1960 Nomor 104, sedangkan
penjelasan UUPA dimuat dalam Tambahan Negara Tahun 1960 Nomor 2043.
Undang-undang tersebut menentukan bahwa bumi air dan kekayaan alam yang
terkandung didalamnya dikuasai oleh negara.9
Arti menguasai dalam hal ini bukan berarti menghilangkan hak-hak pemilikan
atas tanah bagi tiap warga negara Indonesia, akan tetapi negara memiliki kewenangan
untuk menentukan dan mengatur hubungan hukum antara orang-orang dengan tanah,
karena berdasarkan Pasal 33 ayat (3) tersebut terkandung makna adanya hubungan
penguasaan, yang artinya bahwa bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung
9Rafael Edy Bosko, Hak-Hak Masyarakat Adat Dalam Konteks Pengelolaan Sumber Daya
didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk
kemakmuran rakyat.
Hubungan hukum antara negara dengan tanah melahirkan hak menguasai
negara, sedangkan hubungan hukum antara masyarakat hukum adat dengan tanah
ulayatnya akan melahirkan hak ulayat, dan hubungan antara perorangan dengan tanah
melahirkan hak-hak perorangan atas tanah. Idealnya hubungan ketiga hal tersebut.
Hak menguasai tanah oleh negara, hak ulayat dan hak perorangan atas tanah terjalin secara harmonis dan seimbang, artinya ketiga hak tersebut sama kedudukan dan kekuatannya, dan tidak saling merugikan. Namun peraturan perundang-undangan di Indonesia memberi kekuasaan yang besar dan tidak jelas batas-batasnya kepada negara untuk menguasai semua tanah yang ada di wilayah Indonesia. Akibatnya terjadi dominasi hak menguasai tanah oleh negara terhadap hak ulayat dan perorangan atas tanah, sehingga memberi peluang kepada negara untuk bertindak sewenang-wenang dan berpotensi melanggar hak ulayat dan hak perorangan atas tanah.10
Sejak masuknya perusahaan perkebunan (onderneming) di wilayah Sumatera Utara, persoalan tanah telah menjadi pokok permasalahan utama mengingat
perusahaan perkebunan memerlukan lahan bagi pengembangan usahanya dalam
ukuran sangat luas dan tidak mungkin dipenuhi oleh penduduk secara perorangan.
Dengan kebutuhan tersebut, dan ditopang dengan pandangan tentang hak penguasaan
tanah di Eropa, pengusaha perkebunan ini mendekati para raja yang dianggap sebagai
penguasa seluruh tanah di Sumatera Utara agar menyediakan tanah milik rakyat
melalui jalur kontrak sewa (conssesie).11
Dengan dimulainya eksploitasi dan investasi modal pengusaha perkebunan
swasta ini, maka sejak itu persoalan sengketa hak penguasaan atas tanah selalu terjadi
secara periodik dalam kehidupan di Sumatera Utara. Sengketa ini berkisar tentang
siapa yang berhak menyewakan, menggarap, mengolah dan menentukan
perpanjangan sewa dengan pihak perkebunan. Di satu sisi terdapat rakyat yang
memegang teguh prinsip adat dengan hak ulayatnya, di sisi lain pengusaha
perkebunan merasa berhak menguasai tanah karena mereka telah membuat kontrak
sewa dengan menerima konsensi dari sultan yang dianggap sebagai pemilik tanah
yang sah. Pemerintah kolonial Belanda sebagai pihak fasilisator dan penjaga hukum
serta ketertiban segera terlibat dalam persoalan sengketa tanah ini. kepentingan utama
yang mendorong keterlibatan pemerintah Belanda yaitu menegakkan keamanan dan
ketertiban mengingat para Sultan Melayu dianggap peluang untuk memperluas
pengaruh politiknya di tanah melayu yang dianggap mengandung potensi luas bagi
sumber produksi, sehingga akan menanbah pemasukan bagi devisa negara.
Disamping itu juga, pengusaan tanah dilakukan oleh rakyat tanpa alasan hak
sah dan dokumen kepemilikan tanah yang tidak lengkap. Maka dalam posisi yang
demikian, pemerintah dihadapkan pada suatu keadaan yang dilematis. Keadaan ini
dapat melemahkan posisi pihak perkebunan yang membutuhkan tanah dan potensi
menimbulkan masalah, yaitu rakyat tidak memiliki bukti yang lengkap dan cukup
tanah yang belum bersertifikat, yang disebabkan oleh pandangan adat yang masih
sehingga mereka mengganggap hak penguasaan otomatis melekat pada hak
penghunian atas tanah tersebut secara turun-temurun.12
Penyelesaian persoalan dalam sengketa masyarakat versus perkebunan dalam
hal ini khususnya PT. Perkebunan Nusantara II Sumatera Utara, pemerintah dalam
melakukan penyelesaian sengketa pertanahan khususnya areal PT. Perkebunan
Nusantara II Sumatera Utara, tidak semata-mata harus bersandar pada aturan tertulis
saja. Tetapi harus lebih komprehensip menyangkut sistem hukum, perilaku hukum
yang berlaku dalam masyarakat.
Berdasarkan penjelasan di atas penulis tertarik untuk melakukan penelitian
dalam bentuk tesis tentang hal tersebut dengan judul : “Eksistensi Tanah Ulayat
Marga Pinem Di Desa Pamah Kecamatan Tanah Pinem Kabupaten Dairi.”
B. Perumusan Masalah
Adapun pokok masalah dari penelitian ini adalah:
1. Bagaimana eksistensi tanah hak ulayat di Kecamatan Tanah Pinem Kabupaten
Dairi?
2. Bagaimana pengaturan pemanfaatan tanah hak ulayat tersebut di Desa Pamah
Kecamatan Tanah Pinem Kabupaten Dairi?
3. Apakah yang menjadi konsekuensi dengan terjadinya peralihan/pemindahan hak
atas tanah ulayat?
12 Syafruddin Kalo, Kapita Selekta Hukum Pertanahan : Studi Tanah Perkebunan di
C. Tujuan Penelitian
Sebagai tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Untuk mengetahui eksistensi tanah hak ulayat di Kecamatan Tanah Pinem
Kabupaten Dairi
2. Untuk mengetahui pengaturan pemanfaatan tanah hak ulayat tersebut di
Kecamatan Tanah Pinem Kabupaten Dairi.
3. Untuk mengetahui pengalihan hak tanah ulayat kepada warga pendatang ke Desa
Pamah dikaitkan dengan hukum agraria.
D. Manfaat Penelitian
Beranjak dari tujuan penelitian sebagaimana tersebut di atas, maka diharapkan
penelitian ini akan memberikan manfaat atau kontribusi sebagai berikut :
1. Dari segi teoritis, dapat memberikan sumbangsih pemikiran baik berupa pembendaharaan konsep, metode proposisi, maupun pengembangan teori-teori
dalam khasanah studi hukum dan masyarakat.
2. Dari segi pragmatis, penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sebagai bahan masukan (input) bagi pemerintah Kecamatan Tanah Pinem khususnya bagi Desa
Pamah.
E. Keaslian Penelitian
Berdasarkan pemeriksaan yang telah dilakukan oleh peneliti di perpustakaan
Universitas Sumatera Utara khususnya di Magister Kenotariatan, diketahui bahwa
Kecamatan Tanah Pinem Kabupaten Dairi”, belum pernah dilakukan dalam pendekatan dan perumusan masalah yang sama, walaupun ada beberapa topik yang
mirip, namun jelas berbeda dengan penelitian ini.
Ada ditemukan beberapa penelitian sebelumnya tentang Tanah Ulayat,
namun topik permasalahan dan bidang kajiannnya berbeda dengan penelitian ini,
peneliti tersebut antara lain :
1. Penelitian yang dilakukan oleh Syarifah M, Mahasiswa Magister Kenotariatan
Universitas Sumatera Utara, dengan judul “Eksistensi Hak Ulayat Atas Tanah
Dalam Era Otonomi Daerah Pada Masyarakat Suku Sakai Di Kabupaten
Bengkalis Propinsi Riau”.
Pokok masalah dari penelitian adalah:
a. Bagaimana Eksistensi Hak Ulayat Atas Tanah Dalam Era Otonomi Daerah
Pada Masyarakat Suku Sakai Di Kabupaten Bengkalis Propinsi Riau?
b. Bagaimana Penyerahan Hak Ulayat Atas Tanah Oleh Masyarakat Suku Sakai
Kepada Pihak Lain Dikaitkan Dengan Peraturan Menteri Agraria / Kepala
Badan Pertanahan Nomor 5 Tahun 1999?
2. Penelitian yang dilakukan oleh Diana Elisabeth Siallagan, Mahasiswa Magister
Kenotariatan Universitas Sumatera Utara, dengan judul “Keberadaan Hak Ulayat
di Kabupaten Simalungun”.
Pokok masalah dari penelitian adalah:
a. Apakah hak ulayat masih Eksistensi dalam batas-batas di Kabupaten
b. Bagaimanakah pengaturan, penggunaan, peruntukan dan peralihannya
terhadap hak ulayat di Kabupaten Simalungun?
c. Bagaimanakah menyelesaikan bila terjadi sengketa hak ulyat di di Kabupaten
Simalungun
3. Penelitian yang dilakukan oleh Maria Kaban, Mahasiswa Magister Kenotariatan
Universitas Sumatera Utara, dengan judul “Keberadaan Hak Masyarakat Adat
atas tanah di tanah karo”.
a. Bagaimanakah status hak ulayat Atas Tanah di Tanah Karo ?
b. Bagaimanakah Sistem Penggunaan Tanah Adat karo ?
c. Bagaimanakah Keberadaan Hak Masyarakat Adat karo?
Dengan demikian jelas bahwa penelitian ini adalah asli karena sesuai dengan
asas-asas keilmuan yaitu jujur, rasional, objektif dan terbuka. Sehingga penelitian ini
dapat dipertanggung jawabkan kebenarannya secara akademis.
F. Kerangka Teori dan Konsepsi
1. Kerangka Teori
Teori adalah untuk menerangkan dan menjelaskan gejala spesifik untuk proses
tertentu terjadi,13 dan suatu teori harus diuji dengan menghadapkannya pada
fakta-fakta yang dapat menunjukkan ketidak benarannya.14Menetapkan landasan teori pada
13J.J.J M. Wuisman, dengan penyunting M. Hisman. Penelitian Ilmu-Ilmu Sosial, Jilid. 1,
(Jakarta: Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, 1996), hlm 203
waktu diadakan penelitian ini tidak salah arah. Sebelumnya diambil rumusan
landasan teori seperti yang dikemukakan M. Solly Lubis, yang menyebutkan :
“Bahwa landasan teori adalah suatu kerangka pemikiran atau butir-butir pendapat, teori, tesis mengenai sesuatu kasus atau permasalahan (problem) yang dijadikan bahan perbandingan, pegangan teoritis, yang mungkin disetujui atau pun tidak disetujui yang dijadikan masukan dalam membuat kerangka berpikir dalam penulisan”.15
Teori ini sendiri adalah serangkaian preposisi atau keterangan yang saling
berhubungan dengan dan tersusun dalam sistem deduksi yang mengemukakan suatu
penjelasan atau suatu gejala.
Adapun teori menurut Maria S.W. Sumardjono adalah :
“Seperangkat preposisi yang berisi konsep abstrak atau konsep yang sudah
didefiniskan dan saling berhubungan antar variable sehingga menghasilkan pandangan sistematis dari fenomena yang digambarkan oleh suatu variable dengan
variablelainnya dan menjelaskan bagaimana hubungan antarvariabletersebut ”.16 Fungsi teori dalam penelitian tesis ini adalah untuk memberikan
arahan/petunjuk dan ramalan serta menjelaskan gejala yang diamati. Karena
penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif, kerangka teori diarahkan secara
khas Ilmu Hukum.
Secara umum, Ter Haar mengatakan bahwa hubungan antara hak persekutuan
dengan hak perseorangan adalah seperti ‘teori balon’ (Ballon Theory). Artinya, semakin besar hak persekutuan, maka semakin kecillah hak perseorangan. Dan
15M. Solly Lubis,Filsafat Ilmu Dan Penelitian, (Bandung: Mandar Madju, 1994), hlm. 80 16Maria S. W. Sumardjono,Pedoman Pembuatan Usulan Penelitian, (Yogyakarta: Gramedia,
sebaliknya, semakin kecil hak persekutuan, maka semakin besarlah hak perseorangan.
Ringkasnya, hubungan diantara keduanya bersifat kembang kempis. Hukum tanah
adat dalam hal hak persekutuan atau hak pertuanan : Dapat dilihat dengan jelas bahwa
umat manusia itu ada yang berdiam di suatu pusat tempat kediaman yang selanjutnya
disebut masyarakat desa atau mereka ada yang berdiam secara tersebar di pusat –
pusat kediaman yang sama nilainya satu sama lain, di suatu wilayah yang terbatas,
maka dalam hal ini merupakan suatu masyarakat wilayah. Persekutuan masyarakat
seperti itu, berhak atas tanah itu, mempunyai hak–hak tertentu atas tanah itu, dan
melakukan hak itu baik keluar maupun ke dalam persekutuan.17
Teori Balon (mengembang dan mengempis), pada waktu seorang warga
persekutuan atas izin persekutuan membuka dan mengurus terus menerus bidang
tanah tertentu, hak ulayat persekutuan menipis (tapi tetap ada) hak perorangan
menonjol. Bila tanah diterlantarkan, hak persekutuan penuh kembali.18
Teori yang dipakai dalam penulisan tesis ini adalah teori balon (Ballon Theory), untuk menjaga kontinuitas terhadap tanah-tanah adat maka salah satu cara adalah dengan memproteksinya dan Desa Adat seharusnya membentuk suatu badan
hukum yang khusus mengelola, mengatur penguasaan dan pemanfaatan tanah-tanah
adat.19
Negara Republik Indonesia yang susunan kehidupan rakyatnya termasuk
perekonomianya masih bercorak agraria, sehingga tanah merupakan bagian dari
17Ter Haar,Asas-Asas dan Susunan Hukum Adat,(Bandung ; Sumur Batu, 1985), hlm 57 18http://webcache.googleusercontent.com diakses 13 Juli 2012
kehidupan manusia yang sangat penting karena seluruh aktifitas kehidupan manusia
tergantung pada tanah. Dalam rangka memakmurkan rakyat secara adil dan merata
sebagai bagian dari tujuan pembangunan nasional, harus dilaksanakan melalui
berbagai bidang, sehingga tercipta sebuah keadaan bahwa melalui penguasaan dan
pengunaan tanah yang tersedia, rakyat dapat memenuhi semua kebutuhan dengan
memuaskan.20
Tanah yang bersifat abadi mempunyai kedudukan khusus dalam hukum adat
karena tanah merupakan salah satu sumber kehidupan bagi manusia. Tanah
mempunyai kedudukan khusus/ penting dalam hukum adat karena tanah merupakan
tempat tinggal, tempat untuk mengubur dan tempat untuk berlindung bagi
persekutuan dan roh leluhur persekutuan.21
Permasalahan di bidang pertanahan sebagai akibat dari peninggalan zaman Kolonial Belanda yaitu belum diperolehnya jaminan dan kepastian hak atas tanah adat yang dikuasai oleh perorangan atau keluarga/kaum sebagai akibat dari tanah-tanah adat yang tidak mempunyai bukti tertulis, maka di dalam proses pensertifikatannya sering terjadi masalah-masalah berupa sengketa, baik dalam batas maupun sengketa dalam siapa-siapa yang sebenarnya berhak atas tanah tersebut. Ditinjau dari segi kehidupan masyarakat indonesia kita melihat adanya hubungan hukum antara persekutuan hukum dengan tanah dalam wilayahnya, dengan perkataan lain persekutuan hukum itu mempunyai hak atas tanah yang dinamakan “beschikkingsrecht” (hak menguasai tanah).22
Didalam hukum adat, perjanjian tentang tanah atau transaksi tanah termasuk
dalam hukum tanah dalam keadaan bergerak, karena dalam perjanjian tentang tanah
20Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia Sejarah Pembentukan UUPA Isi dan
Pelaksanaanya.1999. Jakarta: djambatan, hal. 3
21
Suryo Wignjodipuro,Pengantar & Asas Hukum Adat(Jakarta : Raja Grafindo, l990), Hal.23
22Sajuti Thalib, Hubungan Tanah Adat dengan Hukum Agraria di Minangkabau, (Padang,
ini merupakan suatu perbuatan hukum yang bertujuan untuk memperoleh hak-hak
atas tanah.23
Menurut Soerojo Wignyodipoero perjanjian tentang tanah ini dapat
digolongkan atas dua bagian, yakni :24
a. Perjanjian tentang tanah yang bersegi satu atau sepihak (een zijdig) yang berarti perolehan hak. Di dalam perjanjian ini hanya terjadi perbuatan hukum yang
dilakukan oleh satu pihak, jadi tidak memerlukan pihak lain atau pihak kedua.
Karena itu pada dasarnya dalam perjanjian ini hanya meliputi perbuatan hukum
untuk memperoleh hak atas tanah bersegi satu ini, dapat dibedakan menjadi dua
bagian, yaitu :
1. Perbuatan hukum pendirian desa/dusun
2. Perbuatan hukum ini dinamakan dengan perbuatan membuka tanah secara
perorangan
b. Perjanjian tentang tanah bersegi dua (twezijdig) berarti peralihan hak. Dalam perjanjian ini diperlukan adanya dua pihak. Dengan dilakukannya perbuatan
hukum oleh pihak-pihak yang bersangkutan, maka terjadilah proses pemindahan
hak atas tanah kepada pihak lain yang memperoleh hak atas tanah itu.
Menurut Peraturan Menteri Agraria Kepala Badan Pertanahan ,Nasional
Nomor 5 Tahun 1999 menurut Pasal 1 ayat (1) yang dimaksud dengan Hak Ulayat
adalah kewenangan yang menurut hukum adat dipunyai oleh masyarakat hukum adat
23Hadikusuma, Hilman ,l982,Hukum Perjanjian Adat, Bandung : Alumni, hal 18
24Wignyodipoera, Soerojo. 1994. Pengantar dan Asas-asas Hukum Adat. CV. Haji
tertentu atas wilayah tertentu yang merupakan lingkungan hidup para warganya untuk
mengambil manfaat dari sumber daya alam, termasuk tanah, dalam wilayah tersebut,
bagi kelangsungan hidup dan kehidupannya, yang timbul dari hubungan secara
lahiriah dan batiniah turun temurun dan tidak terputus antara masyarakat hukum adat
tersebut yang bersangkutan.
Pasal 2 ayat (1) pelaksanaan Hak Ulayat sepanjang pada kenyataannya masih
ada dilakukan oleh masyarakat hukum adat yang bersangkutan menurut ketentuan
hukum adat setempat. Pasal 2 ayat (2) Hak Ulayat masyarakat hukum adat dianggap
masih ada apabila :
1. Terdapat sekelompok orang yang masih merasa terikat oleh tatanan hukum adatnya sebagai warga bersama suatu persekutuan hukum tertentu, yang mengakui dan menerapkan ketentuan-ketentuan persekutuan tersebut dalam kehidupannya sehari-hari.
2. Terdapat tanah Ulayat tertentu yang menjadi lingkungan hidup para warga persekutuan hukum tersebut dan tempatnya mengambil keperluan hidupnya sehari-hari.
3. Terdapat tatanan hukum adat menguasai pengurusan, penguasaan dan penggunaan tanah ulayat yang berlau dan ditaati oleh para warga persekutuan hukum tersebut.
Dalam Pasal 4 ayat (1) penguasaan bidang-bidang tanah yang termasuk Tanah
Ulayat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 oleh perseorangan dan badan hukum
dapat dilakukan :
1. Oleh warga masyarakat hukum adat yang bersangkutan dengan hak penguasaan menurut ketentuan hukum adatnya yang berlaku, yang apabila dikehendaki oleh pemegang haknya dapat didaftar sebagai hak atas tanah yang sesuai menurut ketentuan UUPA.
tersebut dilepaskan oleh masyarakat hukum adat atau oleh warganya sesuai dengan ketentuan dan tata cara hukum adat yang berlaku.25
Tanah Ulayat sebagai Nilai Sosiologis bukan hanya sekedar nilai ekonomi
yang memberikan nilai tambah (suprlus) produksi tetapi merupakan ikatan sosial antara manusia dengan alam. Dalam pandangan sosial bahwa tanah merupakan salah
satu penentu tinggi atau rendahnya derajat suatu kaum.
Dalam kajian hukum adat peruntukan perolehan atas hak ulayat merupakan izin dari kepala adat (penghulu) pada lahan kosong, bekas bentuk usaha yang ditinggalkan, dan tanah kosong di daerah terpencil, pemanfaatan, hak pakai (Gebruiksrecht) dan hak untuk menggarap/mengelolah (ontginingsredht) merupakan hak pribadi kodrati diatas tanah. Kepemilikan atas hak tersebut akan melekat jika kemudian peserta mengadakan bentuk usaha tertentu atas tanah tersebut. Seperti dalam bentuk, Sawah, tebat, pekaranga, kebun tanaman muda dan kebun tanaman tua.26
Tanah ulayat merupakan salah satu bentuk kepemilikan tanah yang dilakukan
secara bersama, hak ulayat sebagai istilah teknis hukum adalah hak yang melekat
sebagai kompetensi hak pada masyarakat hukum adat berupa wewenang/kekuasaan
mengurus dan mengatur tanah seisinya dengan daya laku ke dalam maupun keluar.
Secara epistimologi ulayat berasal dari bahasa Arab diartikan ke-dalam bahasa
Indonesia sebagai suatu daerah atau kawasan,27 hak ulayat merupakan hak komunal
atau hak bersama atas sebidang tanah sebagai akibat dari terjadinya hubungan antara
masyarakat hukum adat dengan wilayah dan secara prinsip dipusakai secara turun
temurun dan tidak dapat dipindah tangankan ‘Tanah ulayat itu dijual tak dimakan
25Boedi Harsono, Himpunan Peraturan-peraturan Hukum Tanah, (Jakarta : Djambatan,
2000).,Hal.63-65.
26
Wignyodipoera, Soerojo,Op.Cit,hal 69
27Rais, Kamardi H. 2004. Status Tanah Ulayat dan Potensinya. Padang : Padang Ekspress,
beli, digandai tak dimakan sando, (sandera),mahal tak dapat dibeli murah tak dpat
diminta. Hak pengelolaan tanah ulayat dikenal dengan azaz terpisah (herizontal splitsen/horizontal splitting) artinya adalah hak yang digunakan disana adalah hak menikmati hasilnya, boleh ditanami, diolah, digarap, diusahakan, dikelolah, dan
sebagainya maka hasilnya boleh dimanfatkan namun jangan berlebihan dan
tanahnya tidak boleh dipindah tangankan.28
Tanah tentu di yakini bukan hanya sebagai faktor produksi yang memiliki
nilai ekonomi, yang bisa menjadi produk yang bisa diperdagangkan disaat
permintaan akan tanah semakin tinggi namun juga memiliki nilai sosiologis dan
kerohanian yang merupakan titipan Tuhan. Perolehan dan pemanfaatan harus
sedemikian rupa seimbang dan adil dirasakan oleh semua pihak. Perwujudan dari
rasa keadilan sosial tanah secara normatif dalam terlihat dalam prinsip dasar UUPA
(Undang-undang Pokok Agraria) yakni prinsip “negara yang menguasai” prinsip
penghormatan terhadap hak atas tanah masyarakat hukum adat, asas fungsi sosial
semua atas tanah, Prinisp landreform, prinsip perencanaan dalam penggunaan tanah
dan upaya pelestarian dan prinsip nasionalitas.29 Walaupun dalam prakteknya
kemudian dijumpai beberapa peraturan biasa terhadap kepentingan sekelompok kecil
masyarakat dan belum memberikan perhatian pada kelompok masyarakat yang lebih
besar.
28
Institute for Economic and Social Research. 2001. Tanah ulayat,Jakarta, Faculty of Economics University of Indonesia, Jurnal Website. FE-UI, hal 23
29Hi.Rizani Puspawidjaja, 2006, Hukum Adat Dalam Tebaran Pemikiran, Penerbit
Bagi masyarakat hukum adat, tanah mempunyai fungsi yang sangat penting,
“Sebagai salah satu unsur essensial pembentuk negara, tanah memegang peran vital
dalam kehidupan dan penghidupan bangsa pendukung negara yang bersangkutan,
lebih-lebih yang corak agrarisnya berdominasi. Di Negara yang rakyatnya berhasrat
melaksanakan demokrasi yang berkeadilan sosial, pemanfaatan tanah untuk
sebesar-besarnya kemakmuran rakyat merupakan suatudonditioe sine qua non” (suatu syarat mutlak harus dicantumkan atau dinyatakan untuk menguatkan atau menetapkan
sesuatu perjanjian itu berlaku).30
Kemudian hubungan antara masyarakat hukum adat dengan tanah “Masyarakat tersebut mempunyai hak atas tanah itu dan menerapkannya baik ke luar maupun ke dalam. Atas dasar kekuatan berlakunya keluar, maka masyarakat sebagai suatu kesatuan mempunyai hak untuk menikmati tanah tersebut, serta menolak pihak luar untuk melakukan hal yang sama dan sebagai suatu kesatuan bertanggung jawab terhadap perilaku menyeleweng yang dilakukan oleh orang asing di tanah tersebut, Atas dasar kekuatan berlakunya ke dalam masyarakat mengatur bagaimana masing-masing anggota masyarakat melaksanakan haknya, sesuai dengan bagiannya, dengan cara mengatasi peruntukan bagi tuntutan-tuntutan dan hak-hak pribadi serta menarik bagian tanah tertentu dari hak menikmatinya secara pribadi serta menarik bagian tanah tertntu dari hak menikmatinya serta pribadi, untuk kepentingan masyarakat langsung” .31
Maka masyarakat hukum adat sebagai totalitas, memiliki tanah dan hak tersebut dinamakan dengan hak ulayat yang oleh Hazairin disebut sebagai hak bersama, oleh karena itu maka masyarakat hukum adat menguasai dan memiliki tanah terbatas yang dinamakan lingkungan tanah. Lingkungan tanah tersebut lazimnya berisikan tanah kosong murni, tanah larangan, dan lingkungan perusahaan yang terdiri dari tanah yang diatasnya terdapat pelbagai bentuk usaha sebagai perwujudan dari hak pribadi atau hak peserta atas tanah.32
30
Bushar Muhamad, 2000,Pokok-pokok Hukum Adat, Penerbit Pradya Paramitha, Jakarta, hal 47 31Soekanto,Soerjono. 2002. Hukum Adat Indonesia. Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, hal 173 32
Di pandang dari sudut bentuk masyarakat hukum adat maka lingkungan tanah
dibedakan atas dua yakni lingkungan tanah sendiri, yakni linkungan tanah yang
dikuasi dan dimiliki oleh satu masyarakat hukum adat dan Lingkungan tanah
bersama, yaitu lingkungan tanah yang dikuasai dan dimiliki oleh bebera hukum adat
yang setingkat dengan alternatif.
2. Konsepsi
Masalah tanah merupakan masalah yang senantiasa menarik perhatian oleh
karena masalah tanah menyangkut berbagai aspek kehidupan da penghidupan
masyarakat. Bertambahnya penduduk dan adanya kecenderungan berkurangnya tanah
untuk digarap akan menimbulkan permasalahan-permasalahan di bidang sosial dan
sosial politik.
Selain dari permasalahan-permasalahan yang tersebut di atas, masih terdapat permasalahan-permasalahan di bidang pertanahan sebagai akibat dari peninggalan zaman Kolonial Belanda yaitu belum diperolehnya jaminan dan kepastian hak atas tanah adat yang dikuasai oleh perorangan atau keluarga/kaum sebagai akibat dari tanah-tanah adat yang tidak mempunyai bukti terulis, maka di dalam proses pensertifikatannya sering terjadi masalah-masalah berupa sengketa, baik dalam hal batas maupun sengketa dalam siapa-siapa yang sebenarnya berhak atas tanah tersebut. Masalah-masalah tanah seperti ini, tersebar di seluruh wilayah Indonesia terutama di daerah yang masih kuat hukum adat pertanahannya.33
Menjual tanah adat berarti menyerahkan hak atas tanah adat dengan menerima prestasi tertentu berbentuk uang tunai, dalam istilah hukum adat, jual beli dimaksudkan adalah jual lepas jual mutlak, jual lepas mutlak yaitu dengan dijualnya/diserahkannya atas suatu bidang tanah, maka melepaskan pula segala hak atas bidang tanah tersebut, sehingga perpindahan dari tangan penjual kepada pembeli untuk selama-lamanya. Dalam penyerahan bidang
33Sajuti Thalib,Hubungan Tanah Adat dengan Hukum Agraria, Bina Aksara, Sumatera Barat,
tanah tersebut, pada saat itu diterima secara serentak pembayaran uangnya
tunaisecara sekaligus tanpa dicicil.34
Konsepsi diterjemahkan sebagai usaha membawa sesuatu dari abstrak menjadi
suatu yang konkrit, yang disebut dengan operasional definition (Definisi Opreasional)35. Oleh karena itu, dalam penelitian ini didefenisikan beberapa konsep dasar agar secara operasional diperoleh hasil penelitian yang sesuai dengan tujuan
yang telah ditentukan, yaitu:
a. Eksistensi Tanah ulayat yaitu dapat dipahami sebagai keberadaan bidang tanah
yang padanya melengket hak ulayat dari suatu persekutuan hukum adat.36
b. Hak Atas Tanah yaitu hak penguasaan atas tanah yang memberikewenangan
kepada pemegang hak untuk memakai suatu bidang tanah tertentu untuk
memenuhi kebutuhan pribadi atau usahanya.37
c. Masyarakat Adat adalah kelompok masyarakat yang memiliki asal usul leluhur
(secara turun menurun) di wilayah geografis tertentu, serta memiliki sistem nilai,
idiologi, politik, budaya sosial dan wilayah sendiri.38
d. Sertifikat adalah surat keterangan dari orang yang berwenang dan dapat
digunakan untuk keperluan tertentu, atau merupakan tanda bukti yang kuat
34Bushar Muhammad, 1988, Asas-Asas Hukum Adat suatu Pengantar, Penerbit Bina Cipta
Bandung. 1988, hal 38
35Sutan Remy Sjahdeini, Kebebasan Berkontrak Dan Perlindungan Yang Seimbang Bago
Para Pihak Dalam Perjanjian Kredit Bank di Indonesia, Institut Bankir Indonesia, Jakarta, 1993, hlm.10
36Ignas Tri (Penyunting) Masyarakat Hukum Adat, Hubungan struktural dengan Suku
Bangsa, Bangsa dan negara; Penerbit Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, Jakarta, 2006, hlm. 327.
37
Aslan Noor, Konsep Hak Milik atas Tanah Bagi Bangsa Indonesia, (Bandung : Mandar Maju, 2006), hal 23
38Bramantyo dan Nanang Indra Kurniawan, Hukum Adat dan HAM, Modul Pemberdayaan
selama tidak dapat dibuktikan sebaliknya dari data fisik dan data yuridis yang
tercantum di dalamnya yang harus diterima sebagai data yang benar.39
e. Tanah ulayat adalah segala sesuatu yang teradapat atau yang ada di atas tanah
termasuk ruang angkasa maupun segala hasil perut bumi diwarisi secara turun
temurun dari nenek moyang yang diteruskan kepada generasi berikutnya dalam
keadaan utuh, tidak terbagi dan tidak boleh dibagi.40
f. Pendaftaran tanah adalah suatu rangkaian kegiatan, yang dilakukan oleh Negara /
Pemerintah secara terus menerus dan teratur, berupa pengumpulan keterangan
atau data tertentu mengenai tanah-tanah tertentu yang ada di wilayah-wilayah
tertentu, pengolahan, penyimpanan dan penyajiannya bagi kepentingan rakyat,
dalam rangka memberikan jaminan kepastian hukum di bidang pertanahan
termasuk penerbitan tanda-bukti dan pemeliharaannya.41
G. Metode Penelitian
1. Sifat Penelitian
Sesuai dengan karekteristik perumusan masalah yang ditujukan untuk
menganalisis bagaimana keberadaan tanah dalam masyarakat Adat Karo (studi di
Desa Pamah Kabupaten Dairi) maka penelitian ini bersifat deskriptif yaitu suatu
penelitian yang bertujuan untuk mendeskripsikan secara sistematis, faktual dan
39Parlindungan, Tanya Jawab Hukum Agraria dan Pertanahan , (Bandung : Mandar Maju
Team, 2003), hal 47
40
Nurullah,Tanah Ulayat Menurut Ajaran Adat Minangkabau,PT. Singgalang Press, Padang, 1999, hal. 10
akurat. Metode pendekatan yang digunakan adalah metode yuridis empiris, yang
merupakan suatu pendekatan dengan membahas kaidah-kaidah hukum yang terdiri
dari hukum positif dan hukum yang berlaku dalam masyarakat yang diperoleh di
lapangan secara langsung dari Desa Pamah Kabupaten Dairi.
2. Teknik Pengumpulan Data
Dalam melakukan penyusunan tesis ini, penulis menggunakan penelitian
hukum normatif atau terapan yang bersumber dari data sekunder yaitu data yang
berasal dari kepustakaan yang berupa buku-buku, dokumen, Koran atau majalah.
Selain itu penulis juga menggunakan penelitian hukum atau penelitian dengan
menggunakan data primer, dimana data yang diperoleh langsung dari lapangan.
1. Penelitian Hukum Normatif
Dalam penelitian normatif ini, penulis mencari dan mengumpulkan data-data
sekunder yang berupa buku-buku, Undang-Undang serta studi perpustakaan
dengan mempelajari bahan-bahan yang berkaitan dengan bahan-bahan lain yang
berhubungan dengan materi penelitian.42
2. Penelitian Hukum Empiris
Dalam penelitian hukum empiris ini, penulis melakukan penelitian lapangan
untuk mendapatkan data-data yang diinginkan yang berupa data primer guna
penyelesaian penulisan ini. Data-data yang diperoleh penulis dikumpulkan dan
42Lexy J. Moleong,Metodologi Penelitian Normatif, (Bandung : Remaja Rosdakarya 1993),
dianalisa kemudian disusun secara teratur, sistematis dan lengkap dalam suatu
bentuk karya tulis ilmiah sehingga memudahkan untuk dipahami dan dipelajari.43
3. Analisis Data
Metode analisis data yang dipakai dalam penelitian ini adalah metode analisa
kualitatif untuk mengetahui bagaimana perolehan pelaksanaan, status dan keberadaan
tanah dalam masyarakat adat karo marga pinem, apakah sesuai dengan peraturan
yang berlaku atau tidak. Metode analisa kualitatif merupakan suatu cara penelitian
yang menghasilkan data diskriptif, yaitu apa yang dinyatakan responden secara
tertulis atau lisan dan juga perilaku nyata yang diteliti dan dipelajari sebagai sesuatu
yang utuh. Data yang diperoleh dari hasil penelitian diklasifikasikan kemudian
dianalisis secara kualitatif yang selanjutnya akan disajikan dalam bentuk deskriptif
dengan menuturkan dan menggambarkan apa adanya sesuai dengan permasalahan
yang diteliti dalam bentuk tesis.
43 Ronny Hanitijo Soemitro,1990, Metodologi Penelitian Hukum dan Jurimetri, Penerbit
BAB II
EKSISTENSI TANAH HAK ULAYAT MARGA PINEM DI DESA PAMAH DI KECAMATAN TANAH PINEM
A. Gambaran Umum Wilayah Desa Pamah
Desa Pamah merupakan salah satu desa di Kecamatan tanah Pinem Kabupaten
Dairi, luas wilayahnya 36,42 Km2, dengan jumlah penduduk 2.165 jiwa, Desa Pamah
ini berbatasan dengan Sebelah Utara dengan Karo, Sebelah Selatan dengan Desa
Balan dua, Sebelah Timur dengan Desa Kuta Buluh, Sebelah Barat dengan Pasir
Mbelang. Kota Pamah itu dalam Bahasa Karo artinya merupakan tempat dikeliling
atau lereng bukit.
Wilayah Kecamatan Tanah Pinem dulunya dikepalai oleh seorang Asisten
Demang tanah Pinem pada tahun 1935, berkedudukan di Simbetek (Tanah Pinem),
Asisten Demang ini bertanggungjawab kepada Demang yang berkedudukan di
Sidikalang.
Pada tahun 1937, Pemerintah Kecamatan Tanah Pinem digabung ke Asisten
Demang Tigalingga sampai tahun 1946 yang berkedudukan di Simbetek. Pemerintah
ini terdiri dari :44
1. Kenegerian Tanah Pinem terdiri dari 7 (tujuh) Kampung, yaitu :
a. Kampung Tanah Pinem
b. Kampung Kempawa
c. Kampung Kuta Gamber
d. Kampung Liren
e. Kampung Balandua
f. Kampung Lau Petundal
g. Kampung Kutabuluh
2. Kenegerian Tanah Maha terdiri dari 5 (lima) Kampung, yaitu :
a. Kampung Sunggeliat
b. Kampong Lau Njuhar I
c. Kampung Lau Njuhar II
d. Kampung Mangan Molih
e. Kampung Pasir Tengah
3. Kenegerian Juhar Kidupan Manik terdiri dari 12 (dua belas) Kampung, yaitu :
a. Kampung Lau Meciho
b. Kampung Kuta Mbaru
c. Kampung Tanjung Kwala
d. Kampung Lau Kapur
e. Kampung Lau Lubuk
f. Kampung Simpang Payong
g. Kampung Gunung Meriah
h. Kampung Jumabatu
i. Kampung Sigedang
j. Kampung Lau Perimbon
l. Kampung Pamah Silep-lep
Kenegerian ini dipimpin oleh Kepala Negeri Mantas Tarigan
4. Raja Pandua Pamah dengan Ibu Negerinya Pamah, maka Raja pertama yang
mengepalai adalah Nipati tahun 1935 dengan Kampung-kampungnya terdiri dari
6 (enam) yaitu :
a. Kampung Pamah
b. Kampung Lau Peske
c. Kampung Renun
d. Kampung Lau Gunung
e. Kampung Pasir Mbelang
f. Kampung Lau Belin
Pada tahun 1946 wilayah Kecamatan Tanah Pinem kembali berkedudukan di
Simbetek dengan namanya Kecamatan Tanah Pinem dipimpin oleh seorang Asisten
Wedama Ngapit Tarigan dari tahun 1946 s/d 1947, yang terdiri dari gabungan 3 (tiga)
Kenegerian, yaitu :
1. Kenegerian Tanah Pinem
2. Kenegerian Tanah Maha
3. Kenegerian Juhar Kedupan Manik, ditambah satu Raja Kerajaan Pamah yang
dipimpin oleh Raja Pandua sampai tahun 1949
Pada tahun 1949, Asisten Wedana Ngapit Tarigan, diganti oleh Johanes
Pinem dan pada tahun itu juga yaitu tahun 1949 Ibukota Kecamatan Tanah Pinem