• Tidak ada hasil yang ditemukan

3.1. Sejarah Awal dan Ideologi Partai Rakyat Aceh

3.1.3. Dasar Pemikiran Pembentukan Partai Rakyat Aceh

MoU Helsinki merupakan cikal bakal terjadinya perubahan besar di Serambi Mekkah ini. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 Tentang Pemerintahan Aceh dan Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 2007 Tentang Partai Lokal di Aceh menjadi landasan hukum yang kuat bagi pembentukan partai lokal yang berbasis di Aceh. Ini merupakan momentum baru bagi perubahan Aceh dalam proses demokratisasi politik dan sebagai langkah dalam membangun Aceh baru. Konflik dan bencana tsunami adalah dua variabel yang membuat Aceh terpuruk dari segala aspek kehidupan. Rezim Orde Lama dan Orde Baru telah membunuh karakter religiusitas bangsa Aceh menjadi masyarakat yang sekuler. Politik Javaness menjadi hegemoni bagi identitas politik dan budaya menuju bendera Republik Indonesia. Tetapi baik, Orde lama, maupun Orde Baru tetap tidak bisa mengalahkan identitas dan etnisitas politik Aceh yang telah terbangun ribuan tahun lalu. Hal ini lah yang membuat bahwa rakyat Aceh anti-Jawa, tetapi belakangan ini muncul diskursus bahwa Indonesialah sebenarnya yang anti- terhadap Aceh. waktu terus berjalan, Tsunami menjadi salah satu faktor untuk mengakhiri konflik bersenjata dan menciptakan perdamaian abadi seperti yang diharapkan masyarakat.

Sentralisme dalam segala aspek kehidupan ketika rezim orde baru yang otoriter berkuasa adalah kata kunci dalam masalah Aceh. Segala sesuatunya ditentukan oleh pusat. Intervensi pusat terhadap daerah begitu kuat. Lihat saja bagaimana sumber daya alam Aceh menjadi bagian eksploitasi dan kerakusan sistem sentralisasi pada waktu itu. Bukan saja itu, ketika rezim orde baru berkuasa dengan gaya sentralisasi yang ditopang oleh kekuatan militer semua daerah tidak

berdaya dibuatnya. Demokrasi mati suri, dan otoriterisme berkuasa. Kondisi ini membuat krisis multidimensional dalam tatanan kehidupan sosial. Terjadinya korupsi, kolusi dan nepotisme, dibidang birokrasi. Kondisi ini membuat Indonesia terjebak dalam krisis moneter dan bergulirnya reformasi di tahun 1998. 75

Jauh sebelum terjadi reformasi, kondisi kehidupan rakyat yang bergelimang diantara senjata, mati syahid dan kemerdekaan Aceh. Konflik terjadi bukan saja karena kesalahan kebijakan masa lalu yang menyebabkan konflik bersenjata tetapi labih dari pada itu, bahwa rasa nasionalisme ke-Acehan yang telah mengakar sebagai sebuah Negara Islam tidak bisa dipisahkan dari kehidupan rakyatnya. Apa lagi kekuatan rezim orde baru mencoba merubah tatanan masyarakat Aceh yang Islami menjadi modern dengan pengaruh politik sentralisasi. Sehingga ini menyebabkan tumbuhnya bentuk perlawanan dalam gerakan-gerakan sosial, baik GAM dengan tuntutan merdekanya, dan gerakan- gerakan mahasiswa dengan perjuangan kebebasan rakyat Aceh dari hegemoni pusat. 76

Gaya kepemimpinan Indonesia yang militer ditunjukan dengan menyiapkan gerakan militer dalam upaya menghambat gerakan-gerakan sosial tersebut. Daerah Operasi Militer, Darurat militer, Darurat Sipil, Operasi Keamanan dan Pemulihan dan sebagainya, merupakan paradigma lama pemerintah dalam menyelesaikan konflik di Aceh. Semua gerakan sosial atau gerakan perlawanan terhadap Indonesia staknan dan mati suri, tetapi bukan berarti perjuangan ini selesai. Mereka menyiapkan strategi baru untuk menjawab kebuntuan politik di Aceh. Bagi mereka persoalan Aceh adalah persoalan politik

75

Wawancara Thamrin Ananda.loc.cit

76

dan harus diselesaikan dengan politk. Untuk itu menurut Aguswandi (Ketua Umum PRA) untuk menyelesaikan dan merubah Aceh kita harus masuk dalam sistem. Seperti pendapat Aguswandi yang menyatakan bahwa dasar pemikiran pembentukan PRA adalah :

“ Ada dua hal yang menjadi ide dasar pembentukan partai lokal di Aceh. Pertama, kondisi Aceh baik dalam tatanan sosial, ekonomi, politik dan militer yang menurut saya masalah ini belum selesai, dan kami harus melanjutkan perjuangan yang belum selesai ini. Karena saya dan banyak kader PRA percaya bahwa perjuangan Aceh belum selesai. Rakyat Aceh belum “merdeka” secara hakiki. Merdeka dalam makna membebaskan Aceh dari keterbelakangan, kemiskinan, kebodohan, dan berbagai bentuk penindasan. Kedua, ini merupakan suatu bentuk perlawanan yang berbeda dari gerakan pembebasan rakyat Aceh dulu. Kalau dulu kita di luar sistem, sekarang kita harus masuk kedalam sistem untuk melakukan perubahan, harus memiliki imajinasi perjuangan. Jadi ya,,melanjutkan perjuangan yang belum selesai ”77

Hal sama juga dikatakan oleh Thamrin Ananda selaku Sekjen PRA, bahwa ide dasar pembentukan PRA adalah;

“Ada dua hal yang menjadi landasan ide tersebut. Pertama, Landasan Hukum yaitu tetuang dalam UU PA No.11 Tahun 2006 dan PP No.20 Tahun 2007 Tentang Partai Lokal. Kedua, Alasan Politisnya, bahwa persoalan-persoalan rakyat Aceh ini tidak bisa diselesaikan atau ada suatu ketidakpercayaan yang besar terhadap partai nasional saat ini. Karena selama mereka ada di Aceh sejak Indonesia merdeka sampai saat ini, partai nasional belum berbuat yang terbaik buat rakyat dan semua (partai nasional) mendukung gerakan militer di Aceh. Mereka gagal mensejahterakan rakyat Aceh, desentralisasi harus terjadi baik dalam sistem kepartaian maupun dalam pemerintahan. Menurut saya perjuangan rakyat Aceh belum selesai. Ada tiga persoalan pokok

77

dalam rakyat Aceh; (1) liberalisasi secara politik terjadi di Aceh pasca tsunami dan perdamaian, (2) liberalisasi secara ekonomi, (3) masih ada feodalisme dilapangan budaya. (4) adanya feodalisme politik.”78

Sama halnya dengan apa yang dikatakan oleh Tarmizi selaku Biro Ekonomi di PRA;

“Ide partai lokal ini sebenarnya telah ada sejak kita kongres di Forum Rakyat tahun 2000. Jauh sebelum ada KP-PRA ide itu telah muncul dalam pikiran saya. Di sana kita membicarakan bagaimana konsep perjuangan untuk kebebasan Aceh yang mengarah pada desentralisasi politik. Menurut saya desentralisasi politik harus dimulai dengan membentuk partai lokal di daerah-daerah di Indonesia. Ini dilakukankan untuk memperkecil koftasi Jakarta terhadap pusat. Kemudian penentuan legislatif harus ditentukan oleh daerah sesuai dengan basis dan wilayah kerjanya. Tetapi hal kan tidak terjadi di partai nasional. Seorang wakil rakyat harus mengetahui kondisi rakyat, makanya saya berpikir partai lokal ini adalah salah satu upaya mendorong kearah sana. Walaupun sebenarnya saya tidak sepakat dengan sistem multipartai.”79

Jadi sebenarnya ide pembentukan partai ini telah lama muncul sejak Aceh dibawah koftasi Jakarta. Hal ini muncul sebagai bentuk perlawanan terhadap hegemoni negara dimasa orde baru dan pasca reformasi 1998 dan dengan tujuan menumbuhkan kesadaran berpolitik bagi rakyat Aceh, dimana Aceh adalah sebuah entitas kebangsaan dan identitas politik yang telah terintegrasi dalam sejarahnya. Partai politik bagi mereka bukanlah tujuan, tetapi lebih merupakan sebuah alat untuk perubahan Aceh yang sedang dalam sakit baik secara ekonomi, sosial, dan politik. Ketika Orde Lama dan Orde Baru berkuasa, mereka

78

Wawancara Thamrin Ananda, loc. Cit.

79

menempatkan orang-orang terbaik Aceh diluar sistem bahkan dipenjara sekalipun. MoU saat ini telah memberi jalan kepada mereka untuk masuk dalam sistem melalui partai politik lokal. Artinya parlemen merupakan bagian dari cita-cita generasi muda bagi proses perubahan Aceh dalam kontek politik disamping membangun gerakan sosial dan gerakan politik untuk meningkatkan peran civil society sebagai kontrol terhadap kebijkan pemerintah pusat dan daerah.

Dokumen terkait