• Tidak ada hasil yang ditemukan

3.1. Sejarah Awal dan Ideologi Partai Rakyat Aceh

3.1.1. Sejarah Pembentukan Partai Rakyat Aceh

Sebagai gerakan awal dalam sejarah perjalanan pembentukan Partai Rakyat Aceh (PRA) tidak terlepas dari salah satu gerakan/kelompok yang tergabung dalam partai PRA yaitu sebuah gerakan sosial (gerakan mahasiswa). Pada awalnya berangkat dari sebuah kelompok aktivis mahasiswa diskusi kampus yang dominan berasal dari IAIN dan UNSYAH mendiskusikan bagaimana Aceh dan perkembangan perpolitik di Indonesia dibawah rezim orde baru berkuasa. Seiring dengan perjalanan perpolitik di Indonesia, reformasi bergulir dan berkembanglah kelompok diskusi kampus menjadi sebuah organisasi yang bernama Solidaritas Mahasiswa Untuk Rakyat (SMUR) sebagai bentuk konsolidasi mahasiswa tepatnya pada tanggal 18 Maret 1998. SMUR ini muncul merupakan sebuah gerakan mahasiswa yang menentang rezim orde baru dan

69

Wawancara dengan beberapa Tokoh Partai Rakyat Aceh di Kantor DPP PRA, Banda Aceh, tanggal, 18 Januari 2008.

hegemoni pusat terhadap Aceh. Dalam perjalanannya SMUR juga berbicara juga masalah lokal seperti pencabutan status Daerah Operasi Militer (DOM) dari Aceh dengan melakukan metode perlawanan mogok makan yang mendapat banyak protes dari kalangan agamawan.70

Proses demi proses, pasca reformasi terjadi dan terbukalah ruang dan mulai terjadi demokratisasi dalam sistem politik nasional di Indonesia dan Aceh. Jauh sebelum reformasi Aceh telah mengalami konflik yaitu antara pemrintah RI dengan GAM. Ekspresi GAM yang selama ini terbendung mulai termanisvestasikan dan semakin menguatkan konsolidasi GAM dan terjadi serangan balik dari pemerintah melalui gerakan militerisme. Ketika SMUR mengambil peran dengan isu-isu anti-militerisme dan melakukan penolakan terhadap pembentukan Kodam Iskandar Muda. Puncaknya pada waktu itu SMUR merupakan salah satu pengagas terbentuknya Sentral Informasi Referendum Aceh (SIRA) lewat Kongres Mahasiswa dan Pemuda Aceh Serantau (KOMPAS) yang pertama Tahun 1999.

Ketika para aktivis ini selesai kuliah dan mereka merasa gelisah dengan situasi Aceh dan Indonesia pada waktu itu yang belum selesai transisi demokrasinya pada waktu itu. Pada perkembangan selanjutnya tahun 2000, SMUR terpecah karena perbedaan-perbedaan dan terjadi faksi-faksi. Ada dari mereka membentuk Front Perlawanan Demokratik Rakyat Aceh (FPDRA), Organisasi Perempuan Aceh Demokratik (ORPAD), Care Aceh, Perkumpulan Demokratik Rakyat Miskin (PDRM) dan yang lain-lain.

70

Mereka yang tergabung dalam FPDRA yaitu kubu Thamrin Ananda cs. Mereka adalah kelompok-kelompok yang sangat ideologis, dengan pemikiran- pemikiran yang kritis, progresif yang membangun gerakan sosial perlawanan yang revolusioner. Menurut Bang Tarmizi (mantan sekjen SMUR), perpecahan yang terjadi waktu itu karena perbedaan cara berpikir yang mana ada yang tertarik dengan sistem pemerintahan yang sentralisme demokrasi. Di lain pihak dari organisasi SMUR ada yang kontra terhadap pemikiran sentralisme demokrasi seperti Bang Tarmizi, Aguswandi dan lain-lain sehingga mereka membentuk Forum Rakyat dengan gaya ideologi yang lemah dan berorientasi pada hubungan emosional, perkawanan, dan aturan-aturan tidak begitu ketat serta membangun silaturahmi. Mereka yang di Forum Rakyat juga kontra terhadap pemikiran- pemikiran sentralisme ekonomi, tetapi lebih mendorong kepada desentralisasi ekonomi. Menurut mereka sentralisasi ekonomi dalam konteks politik yang tidak demokratis akan menuju pada penguasaan ekonomi yang monopoli. Sejak awal mereka telah berpikir tentang konsep partai lokal. Sentralisme merupakan akar dari konflik di Indonesia. Salah satu bentuk sentralisme itu adalah dalam bentuk sistem kepartaian. Sehingga mereka yang dalam kongres Forum Rakyat di tahun 2000, membicarakan bagaimana konsep perjuangan yang mengarak pada partai lokal untuk proses transisi desentralisasi politik. Desentralisasi politik harus dilakukan dan mendorong terjadinya partai-partai lokal di daerah-daerah di Indonesia ini. 71

Dalam perjalanan selanjutnya upaya-upaya unifikasi organisasi tersebut kembali dilakukan baik di Aceh, Medan dan Jakarta. Tetapi tetap tidak berjalan

71

meskipun dalam konteks keorganisasian berjalan masing-masing. FPDRA kemudian bergerak sampai mengalami suatu fase staknan yaitu praktif, konsolidasi, dan campaign macet, ketika Aceh berada dalam darurat militer, tepatnya 19 Mei 2003. selanjutnya, SMUR, FPDRA, SIRA dan organisasi- organisasi yang lain mengubah strategi kampanye dari Aceh ke luar Aceh bahkan diluar negeri. Ini disebabkan karena situasi Aceh yang mana penguasa darurat militer mengumumkan bahwa organisasi diatas menjadi target operasi militer.

Ketika itu mahasiswa Aceh, baik di Aceh, Medan dan Jakarta membicarakan masalah Aceh. Menurut mereka, persoalan Aceh adalah persoalan politik dan harus diselesaikan secara politik pula. Artinya tidak ada legitimasi atau kekuatan politik yang lain yang mampu menjawab berbagai persoalan, masyarakat tani, nelayan, kelas bawah, korban konflik dan sebagainya. Itu bisa dijawab secara menyeluruh dengan membentuk partai politik. Tetapi problemnya ketika itu tidak mungkin mendeklarasikan partai politik ditengah darurat militer.

Pasca darurat militer dan katalisatornya adalah tsunami, semua aktivis- aktivis organisasi tersebut pulang ke Aceh. Kebanyakan dari mereka lebih focus di NGO-NGO dalam rehabilitasi dan rekonstruksi pasca tsunami. Beberapa aktivis di FPDRA berpikir bahwa gerakan politik akan mandeg sedangkan persoalan Aceh belum selesai. Baik itu seperti pelanggaran hak azasi manusia (HAM), Reintegrasi, kesejahteraan dan sebagainya. Pertemuan demi pertemuan dilakukan sampai pada akhirnya FPDRA mengagas Komite Persiapan Partai Rakyat Aceh (KP-PRA) besama dengan organisasi yang lain, tetapi Forum Rakyat belum termasuk. Mereka berpikir bagaimana membuat partai secara bersama-sama dan

tidak terkesan eksklusif. Tetapi akhirnya dalam perjalanan terjadi negosiasi, kompromi sampai pada akhirnya bergabung di KP-PRA.

Pada tanggal 27 Febuari 2006 diadakan Kongres Pertama yang melahirkan KP-PRA di Saree, Aceh Besar. Dan memutuskan Thamrin Ananda sebagai Ketua Persiapan PRA. Programnya waktu adalah dimandat kepada Panitia selama setahun untuk mampu melahirkan PRA. Kemudian di launcing pada tanggal 16 Maret 2006 di Restoran Lamyong, Banda Aceh. Ini adalah tongak awal kebekuan politik pasca damai dan merupakan gerakan politik besar yang direspon oleh berbagai pihak termasuk pusat. Maka pada akhirnya pada tanggal 3 Maret 2007 Partai Rakyat Aceh (PRA) sebagai Partai Politik Lokal pertama di deklarasikan di Aceh. Kemunculan partai lokal ini adalah momentum baru bagi perubahan politik, demokratisasi partai politik di bumi Serambi Mekkah ini. 72

Dokumen terkait