BAB III STATUS HUKUM HAK ATAS TANAH DAN/ATAU
A. Dasar Pengenaan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan
Fungsi negara adalah mensejahterahkan rakyatnya melalui pembangunan yang bersifat fisik dan non fisik. Pembangunan fisik seperti jalan, jembatan, listrik, telekomunikasi, angkutan umum dan prasarana pelayanan publik, sementara pembangunan non fisik meliputi pendidikan, kebudayaan, kesehatan, keagamaan, keamanan dan politik. Pembangunan yang terus-menerus dan berkesinambungan tentunya memerlukan anggaran biaya yang tidak sedikit. Salah satu sumber biaya tersebut adalah berasal dari pajak yang dipungut dari rakyat.133
Pajak adalah kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan undang-undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Undang-Undang Dasar 1945 menempatkan kewajiban perpajakan sebagai salah satu perwujudan kewajiban kenegaraan yang merupakan sarana peran serta dalam pembiayaan negara dan pembangunan nasional guna tercapainya masyarakat
133Setu Setyawan, Perpajakan Indonesia (Edisi 2009), (Malang : Umm Press, 2009), hal.1
adil dan makmur serta sejahtera. Pasal 23 huruf (a) Undang-Undang Dasar Tahun 1945 menyebutkan bahwa pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur dengan undang-undang. Dengan demikian, pemungutan pajak harus didasarkan pada undang-undang. Berlakunya Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) berdasarkan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1997 tanggal 29 Mei 1997 tentang Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan, yang kemudian diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2000 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1997 tentang Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan. Pajak daerah dan retribusi daerah merupakan salah satu sumber pendapatan daerah yang penting guna membiayai pelaksanaan pemerintahan daerah.
Dalam rangka meningkatkan pelayanan kepada masyarakat dan kemandirian daerah, perlu dilakukan perluasan objek pajak daerah.134
Berkaitan dengan pajak dan retribusi daerah, pada tahun 2000, dilakukan perubahan terhadap Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1997 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah berdasarkan Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2000 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1997 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah yang kemudian pada tahun 2009 diganti dengan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, unsur-unsur pajak daerah adalah :135
134Ibid., hal.1, 5 & 7.
135 Imam Soebechi, Judicial Review Perda Pajak dan Retribusi Daerah, (Jakarta: Sinar Grafika, 2012), hal.3, 5 & 120.
1. adanya daya paksa dari negara;
2. dilakukan berdasarkan aturan perundang-undangan;
3. tanpa ada kontraprestasi/imbalan langsung yang diterima pembayar pajak;
4. digunakan untuk keperluan daerah bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Setelah dikeluarkan undang-undang yang baru yaitu Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah dilakukan perluasan basis pajak yang menjadi kewenangan daerah sehingga pemerintah daerah kini mempunyai tambahan sumber pendapatan asli daerah yang berasal dari pajak daerah sebagaimana yang diatur dalam Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah yang menentukan jenis pajak kabupaten/kota yang baru, yang salah satunya adalah Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) sehingga BPHTB yang dulunya ditangani oleh pemerintah pusat yang merupakan pajak pusat, sekarang ditangani sendiri oleh pemerintah kabupaten/kota dan merupakan pajak daerah khususnya kabupaten/kota.136
Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) adalah pajak yang dikenakan atas perolehan hak atas tanah dan/atau bangunan. Dasar pengenaan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) dalam pemasukan ke dalam Perseroan Terbatas (inbreng) adalah Nilai Perolehan Objek Pajak (NPOP), yaitu nilai pasar objek tanah dan/atau bangunan yang di inbrengkan tersebut. Nilai pasar adalah harga rata-rata dari transaksi jual beli secara wajar yang terjadi di sekitar letak tanah dan/atau bangunan. Nilai pasar mencerminkan jumlah uang yang seharusnya diterima
136Waluyo, Perpajakan Indonesia, (Jakarta : Salemba Empat, 2011), hal.233.
oleh penjual sebagai pemilik tanah dan/atau bangunan dan yang seharusnya diserahkan oleh pembeli sebagai pihak yang menerima hak atas tanah dan/atau bangunan yang diperjualbelikan. Nilai pasar biasanya ditentukan oleh penilai independen yang terlepas dari berbagai kepentingan atas objek atau properti yang dinilai. Dengan demikian nilai yang dihasilkan oleh penilai independen akan dapat mencerminkan nilai pasar properti yang sebenarnya.137
Sebagai pajak yang dikenakan pada perolehan hak atas tanah dan/atau bangunan maka BPHTB menghendaki bahwa BPHTB dihitung dari dasar pengenaan pajak yang riil (sebenarnya) sebagai cerminan nilai dari tanah dan/atau bangunan yang dialihkan. Untuk menentukan nilai pasar suatu tanah dan/atau bangunan memerlukan proses penilaian tertentu. Proses penilaian untuk mendapatkan nilai pasar yang sebenarnya umumnya tidak dapat dilakukan oleh semua orang, karena memerlukan pengetahuan dan pengalaman tentang tanah, bangunan dan metode penilaian. Karena itu untuk menentukan nilai pasar tanah dan/atau bangunan biasanya dimintakan bantuan jasa penilai/ahli independen yang tidak terafiliasi dengan Perseroan, yang akan melakukan penilaian sesuai dengan kaidah penilaian yang berlaku. Yang mana jika Nilai Perolehan Objek Pajak (NPOP) yaitu nilai pasar objek tanah dan/atau bangunan yang di inbrengkan tersebut tidak diketahui atau lebih rendah daripada Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) yang digunakan dalam pengenaan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) pada tahun terjadinya perolehan, maka dasar
137 Agus Setiawan & H. Hardi, Perpajakan, ( Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2006), hal.139.
pengenaan yang dipakai adalah NJOP-PBB. Jadi, dasar pengenaan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) adalah berdasarkan nilai tertinggi.138
Dipilihnya Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) sebagai salah satu dasar pengenaan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) dikarenakan bahwa pada dasarnya Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) merupakan cerminan nilai pasar wajar setiap objek pajak bumi (tanah) dan bangunan yang ada di Indonesia dan karena pada dasarnya tanah dan/atau bangunan yang menjadi objek perolehan hak juga merupakan tanah dan/atau bangunan yang menjadi objek PBB, maka dengan menggunakan Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) sebagai pembanding terhadap nilai pasar, berarti yang digunakan sebagai dasar pengenaan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) sebenarnya adalah nilai pasar dari objek perolehan hak. Hal ini terlihat dari definisi Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) adalah harga rata-rata yang diperoleh dari transaksi jual beli yang terjadi secara wajar, dan bilamana tidak terdapat transaksi jual beli, NJOP ditentukan melalui perbandingan harga dengan objek lain yang sejenis, atau nilai perolehan harga dengan objek yang sejenis atau nilai perolehan baru, atau NJOP pengganti. Penetapan Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) dapat dilakukan dengan:139
1. perbandingan harga dengan objek lain yang sejenis, adalah suatu pendekatan/metode penentuan nilai jual suatu objek pajak dengan cara
138 Atep Adya Barata, Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan, (Jakarta : PT. Elex Media Komputindo, 2003), hal.17-18.
139 Pasal 79 ayat (1) Undang-Undang Nomor 28 tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 130, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5049.
membandingkannya dengan objek pajak lain yang sejenis yang letaknya berdekatan dan fungsinya sama dan telah diketahui harga jualnya.
2. nilai perolehan baru, adalah suatu pendekatan/metode penentuan nilai jual suatu objek pajak dengan cara menghitung seluruh biaya yang dikeluarkan untuk memperoleh objek tersebut pada saat penilaian dilakukan, yang dikurangi dengan penyusutan berdasarkan kondisi fisik objek tersebut.
3. nilai jual pengganti, adalah suatu pendekatan/metode penentuan nilai jual suatu objek pajak yang berdasarkan pada hasil produksi objek pajak tersebut.
Pada dasarnya penetapan NJOP adalah 3 (tiga) tahun sekali. Untuk daerah tertentu yang perkembangan pembangunannya mengakibatkan kenaikan NJOP yang cukup besar, maka penetapan NJOP dapat ditetapkan 1 (setahun) sekali.140Nilai Jual Objek Pajak Pajak Bumi dan Bangunan (NJOP-PBB) pada Surat Pemberitahuan Pajak Terhutang Pajak Bumi dan Bangunan (SPPT-PBB) biasanya terbit di bulan januari atau bulan februari, dalam hal NJOP-PBB belum ditetapkan pada saat terutangnya BPHTB, maka NJOP-PBB dapat didasarkan pada Surat Keterangan Nilai Jual Objek Pajak Pajak Bumi dan Bangunan (SKNJOP-PBB) yang dikeluarkan dispenda.141
Jadi, Nilai Perolehan Objek Pajak (NPOP) yang digunakan dalam inbreng tanah dan/atau bangunan adalah nilai tertinggi antara Nilai Pasar Objek Tanah dan/atau Bangunan yang diinbrengkan dengan Nilai Jual Objek Pajak PBB Tanah dan/atau Bangunan yang diinbrengkan pada tahun terjadinya perolehan hak atas tanah dan/atau bangunan karena pemasukan ke dalam pendirian Perseroan Terbatas (inbreng). Nilai Perolehan Objek Pajak Kena Pajak (NPOPKP) adalah besaran tertentu
140Eddi Wahyudi & Mamik Eko Soessanto, Pajak-Pajak Properti Untuk Profesional, (Jakarta : Mitra Wacana Media, 2010), hal.26.
141Muhammad Syafei, SH, Notaris/PPAT Kota Medan, Wawancara tanggal 14 Mei 2014.
dari Nilai Perolehan Objek Pajak (NPOP) yang boleh dikenakan pajak. Nilai Perolehan Objek Pajak Kena Pajak (NPOPKP) diperoleh dengan cara mengurangkan Nilai Perolehan Objek Pajak (NPOP) dengan Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak (NPOPTKP).
Walaupun demikian, dalam pengenaan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) haruslah tetap memperhatikan aspek keadilan bagi masyarakat.
Hal ini dapat dilakukan dengan mengatur perolehan hak atas tanah dan/atau bangunan yang tidak dikenakan pajak. Untuk itu pemerintah menetapkan suatu besaran tertentu yaitu nilai perolehan objek pajak yang tidak dikenakan pajak.142
Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak (NPOPTKP) adalah suatu besaran tertentu dari Nilai Perolehan Objek Pajak (NPOP) yang tidak dikenakan pajak.Besarnya Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak (NPOPTKP) ditetapkan paling rendah sebesar Rp.60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah) untuk setiap wajib pajak kecuali dalam hal perolehan hak karena waris atau hibah wasiat yang diterima orang pribadi yang masih dalam hubungan keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat ke atas atau satu derajat ke bawah dengan pemberi hibah wasiat, termasuk suami/istri Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak (NPOPTKP) ditetapkan paling rendah sebesar Rp.300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah).
Jadi, Nilai Perolehan Objek Pajak Kena Pajak (NPOPKP) ditetapkan sebagai dasar perhitungan pajak pada BPHTB.Sesuai dengan Pasal 88 Undang-Undang No. 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, tarif Bea Perolehan Hak atas
142Bohari, Pengantar Hukum Pajak, (Jakarta : PT. RajaGrafindo Persada, 2004), hal.104.
Tanah dan Bangunan ditetapkan paling tinggi sebesar 5% (lima persen).143 Besaran pokok Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) yang terutang dihitung dengan cara:144
BPHTB Terutang = Tarif x (Nilai Perolehan Objek Pajak Kena Pajak)
= 5 % x (NPOP-NPOPTKP)
B. Saat Terjadinya Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan atas Inbreng