TESIS
Oleh
AINI HALIM 127011124/M.Kn
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN
2014
TESIS
Diajukan Untuk Memperoleh Gelar Magister Kenotariatan Pada Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum
Universitas Sumatera Utara
Oleh
AINI HALIM 127011124/M.Kn
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN
2014
Nomor Pokok : 127011124
Program Studi : MAGISTER KENOTARIATAN
Menyetujui Komisi Pembimbing
(Prof. Dr. Bismar Nasution, SH, MH)
Pembimbing Pembimbing
(Prof. Dr. Budiman Ginting, SH, MHum) (Dr. T. Keizerina Devi A, SH, CN, MHum)
Ketua Program Studi, Dekan,
(Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN) (Prof. Dr. Runtung, SH, MHum)
Tanggal lulus : 12 Agustus 2014
PANITIA PENGUJI TESIS
Ketua : Prof. Dr. Bismar Nasution, SH, MH
Anggota : 1. Prof. Dr. Budiman Ginting, SH, MHum 2. Dr. T. Keizerina Devi A, SH, CN, MHum 3. Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN 4. Notaris Syafnil Gani, SH, MHum
Nama : AINI HALIM
Nim : 127011124
Program Studi : Magister Kenotariatan FH USU
Judul Tesis : ANALISIS YURIDIS PENGENAAN BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN BANGUNAN (BPHTB) ATAS INBRENG PENDIRIAN PERSEROAN TERBATAS Dengan ini menyatakan bahwa Tesis yang saya buat adalah asli karya saya sendiri bukan Plagiat, apabila dikemudian hari diketahui Tesis saya tersebut Plagiat karena kesalahan saya sendiri, maka saya bersedia diberi sanksi apapun oleh Program Studi Magister Kenotariatan FH USU dan saya tidak akan menuntut pihak manapun atas perbuatan saya tersebut.
Demikianlah surat pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya dan dalam keadaan sehat.
Medan,
Yang membuat Pernyataan
Nama : AINI HALIM Nim : 127011124
Pemasukan tanah dan/atau bangunan ke dalam Perseroan adalah pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan dari orang pribadi kepada Perseroan sebagai penyertaan modal pada Perseroan. Pemasukan (inbreng) tersebut dikenakan BPHTB. Pemungutan BPHTB sangat penting dalam proses peralihan hak atas tanah dan/atau bangunan karena PPAT dilarang untuk menandatangani akta peralihan hak sebelum wajib pajak melunasi BPHTB. Permasalahan pada penelitian ini adalah bagaimana proses hukum inbreng tanah dan/atau bangunan ke dalam pendirian Perseroan, bagaimana status hukum hak atas tanah dan/atau bangunan setelah diinbrengkan ke dalam pendirian Perseroan serta bagaimana pengenaan BPHTB atas perolehan hak karena inbreng tanah dan/atau bangunan ke dalam pendirian Perseroan.
Penelitian ini bersifat preskriptif analitis, dengan pendekatan perundang- undangan yang dilakukan dengan mencari dan menelaah semua peraturan perundang- undangan dan regulasi yang bersangkut paut dengan isu hukum yang sedang ditangani.
Jenis penelitian ini adalah yuridis normatif karena didukung oleh data yang diperoleh dari pustaka dengan jalan mengumpulkan data sekunder baik berupa bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier. Teknik pengumpulan data yakni studi pustaka dan wawancara narasumber Notaris/PPAT di kota Medan dan kabupaten Langkat.
Hasil penelitian menyimpulkan bahwa inbreng harus dicantumkan dalam akta pendirian, dilakukan penilaian oleh ahli penilai yang tidak terafiliasi Perseroan dan diumumkan surat kabar. Perseroan tidak dapat memiliki tanah dengan status hak milik.
Status hak atas tanah yang dapat dimiliki adalah hak guna usaha, hak guna bangunan dan hak pakai. Dengan demikian, jika tanah yang diinbrengkan berstatus hak milik maka harus dilakukan penurunan hak. Perseroan dikenakan kewajiban membayar BPHTB sebelum penandatanganan Akta Pemasukan ke dalam Perusahaan dihadapan PPAT.
Kendala yang sering dihadapi PPAT adalah para pihak yang menghadap PPAT biasanya tidak mengetahui prosedur/tata cara pembayaran BPHTB sehingga masih membutuhkan bantuan jasa PPAT dalam pengisian SSPD-BPHTB dan dalam melakukan pembayaran BPHTB secara langsung ke bank yang ditunjuk dan ditentukan hanya bank yang ditunjuk saja yang boleh menerima pembayaran BPHTB.
Disarankan agar perlu adanya sosialisasi mengenai prosedur/tata cara pembayaran BPHTB dan dalam pengisian SSPD-BPHTB dikarenakan tingkat kesadaran masyarakat masih sangat terbatas pada kewajiban pembayaran BPHTB dan dalam prosedur/tata cara pembayaran BPHTB sehingga masih sering membutuhkan bantuan jasa PPAT dalam pengisian SSPD-BPHTB serta dalam melakukan pembayaran BPHTB secara langsung ke bank yang ditunjuk. Hendaknya bank tempat penyetoran BPHTB tidak dibatasi.
Kata Kunci : Pendirian Perseroan Terbatas, Inbreng Tanah, BPHTB
and/or a building. The payment of land and/or building to the stock is a the transferring of the rights for land and/or building use from an individual to the corporation as a capital participation in the corporation. BPHTB is levied to the payment (inbreng). The payment for BPHTB is very important in the process opg transferring of the rights for land and/or building use because PPAT (official empowered to draw up deeds) is prohibited to sign the deed of the transferring of the rights before a taxpayer pays off BPHTB. The problems in the research were as follows: how about the process of land and/or building after it was transferred into the establishment of a corporation, how about the legal status of the rights of land and/or building after it was transferred into the establishment of a corporation, and how about BPHTB levied on the right acquisition because of the transferring of land and/or building into the establishment of a corporation.
The research was prescriptive analytic with legal provisions approach which was aimed to seek and to analyze all legal provisions and regulations related to legal issues being handled. The type of the research was judicial normative since it was supported by the data obtained from the library research by gathering secondary data which consisted of primary, secondary, and tertiary legal materials. The data were gathered by conducting library research and interviews with the source persons: Notaries/PPAT in Medan and in Langkat District.
The result of the research showed that inbreng must be attached in the establishment certificate and was assessed by professional assessors who do not affiliate with the Corporation; the result was announced in newspapers. A Corporation is not allowed to own land in ownership status. The Land Rights, which can be owned, are concession, building rights, and rights to use. Therefore, if the transferred land has the status of ownership, the transfer of rights should be performed. In this case, the Corporation is required to pay for BPHTB before the transferring deed into the Corporation is signed before a Notary. The problem usually faced by PPAT is that the persons appearing before PPAT usually do not know about the procedures of paying BPHTB so that they still need help from PPAT in filling out SSPD-BPHTB, and in paying BPHTB directly to the appointed Bank because only the appointed Bank which has the right to receive BPHTB payment.
It is recommended that socialization in the procedures of paying BPHTB and filling out SSPD-BPHTB since people’s awareness of their duty to pay for BPHTB is still very limited. Therefore, they need help from PPAT in filling out SSPD-BPHTB and paying for BPHTB directly to the appointed Bank. It is also recommended that several banks should be needed as the place for paying BPHTB.
Keywords: Establishment of Corporation, Land Inbreng, BPHTB
masa perkuliahan sampai dengan tahapan penyelesaian penelitian tesis ini, yang berjudul “ANALISIS YURIDIS PENGENAAN BEA PEROLEHAN HAK ATAS
TANAH DAN BANGUNAN (BPHTB) ATAS INBRENG PENDIRIAN
PERSEROAN TERBATAS” dapat diselesaikan dengan baik. Judul tersebut diatas sengaja dipilih karena penulis tertarik untuk mendalami tentang pengenaan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan dalam pemasukan (inbreng) tanah dan/atau bangunan ke dalam pendirian Perseroan. Penulisan tesis ini adalah untuk memenuhi salah satu syarat memperoleh gelar Magister Kenotariatan pada Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.
Penulis menyadari bahwa tanpa bimbingan, arahan, masukan, bantuan dan dorongan semangat dari berbagai pihak, tesis ini tidak dapat diselesaikan dengan baik. Pada kesempatan ini, saya menghaturkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:
1. Bapak Prof. Dr. dr. Syahril Pasaribu, DTM&H, M.Sc (CTM), Sp.A (K) selaku Rektor Universitas Sumatera Utara atas kesempatan dan fasilitas yang diberikan dalam menyelesaikan pendidikan Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.
2. Bapak Prof. Dr. Runtung, SH, M. Hum, selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, atas kesempatan dan fasilitas yang diberikan kepada penulis dalam menyelesaikan pendidikan ini.
3. Bapak Prof. Dr. Bismar Nasution, SH, MH, selaku Ketua Komisi Pembimbing yang telah memberikan arahan, bimbingan, masukan dan saran dalam penulisan tesis ini.
Pembimbing yang telah memberikan arahan, bimbingan, masukan dan saran dalam penulisan tesis ini dan selaku Sekretaris Program Pasca Sarjana Program Studi Magister Kenotariatan atas kesempatan dan fasilitas yang diberikan kepada penulis dalam menyelesaikan pendidikan ini.
6. Bapak Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN, selaku Dosen Penguji pada Program Pasca Sarjana Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang telah memberikan arahan, masukan dan saran dalam penulisan tesis ini dan selaku Ketua Program Pasca Sarjana Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara atas kesempatan dan fasilitas yang diberikan kepada penulis dalam menyelesaikan pendidikan ini.
7. Bapak Notaris Syafnil Gani, SH, MHum, selaku Dosen Penguji pada Program Pasca Sarjana Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang telah memberikan arahan, masukan dan saran dalam penulisan tesis ini.
8. Seluruh dosen/pengajar mata kuliah pada Program Studi Magister Kenotariatan Program Pasca Sarjana Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.
9. Pegawai / karyawan pada Program Studi Magister Kenotariatan Program Pasca Sarjana Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.
10. Rekan-rekan Program Studi Magister Kenotariatan Program Pasca Sarjana Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara angkatan 2012 yang senantiasa memberikan dukungan moril untuk kelancaran penyelesaian studi ini.
Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada ayah dan ibu penulis yang telah merawat, mengasihi, mendidik, membesarkan, memberikan dukungan materil dan moril serta perhatian yang mereka berikan kepada penulis selama ini, dan
membutuhkannya.
Medan, Agustus 2014 Penulis,
Aini Halim
1. Nama : Aini Halim
2. Tempat & Tanggal Lahir : Medan, 22 Februari 1990
3. Jenis Kelamin : Perempuan
4. Agama : Buddha
5. Alamat : Brigjend Katamso No. 99-A,Medan
II. PENDIDIKAN
1. SD : SD. Santo Yoseph, Medan
2. SMP : SMP. Santa Maria, Medan
3. SMA : SMA. Methodist-2, Medan
4. Perguruan Tinggi (SI) : Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, Medan 5. Perguruan Tinggi (S2) : Program Studi Magister
Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara (S-2)
ABSTRACT ... ii
KATA PENGANTAR ... iii
DAFTAR RIWAYAT HIDUP ... vi
DAFTAR ISI... vii
DAFTAR SINGKATAN... ix
BAB 1 PENDAHULUAN ... 1
A. Latar Belakang ... 1
B. Perumusan Masalah ... 10
C. Tujuan Penelitian ... 10
D. Manfaat Penelitian ... 11
E. Keaslian Penelitian ... 11
F. Kerangka Teori dan Konsepsi ... 14
1. Kerangka Teori ... 14
2. Kerangka Konsepsi ... 17
G. Metode Penelitian ... 19
BAB II PROSES HUKUM INBRENG TANAH DAN/ATAU BANGUNAN KE DALAM PENDIRIAN PERSEROAN TERBATAS ... 25
A. Pemasukan Modal (Inbreng) Ke Dalam Pendirian Perseroan Terbatas ... 25
B. Proses Hukum Inbreng Tanah dan/atau Bangunan ke dalam Pendirian Perseroan Terbatas... 33
BAB III STATUS HUKUM HAK ATAS TANAH DAN/ATAU BANGUNAN SETELAH DIINBRENGKAN KE DALAM PENDIRIAN PERSEROAN TERBATAS... 46
BAB IV PENGENAAN BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN BANGUNAN ATAS PEROLEHAN HAK KARENA INBRENG TANAH DAN/ATAU BANGUNAN KE DALAM PENDIRIAN
PERSEROAN TERBATAS ... 89
A. Dasar Pengenaan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan atas Inbreng Tanah dan/atau Bangunan ke dalam Pendirian Perseroan Terbatas... 89
B. Saat Terjadinya Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan atas Inbreng Tanah dan/atau Bangunan ke dalam Pendirian Perseroan Terbatas ... 96
C.
Hambatan Inbreng Tanah dan/atau Bangunan ke dalam Pendirian Perseroan Terbatas dan Kaitannya dengan Kendala dalam Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) ... 101BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 109
A. Kesimpulan ... 109
B. Saran ... 110
DAFTAR PUSTAKA ... 112
Perseroan Terbatas
BPHTB : Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan
PPAT : Pejabat Pembuat Akta Tanah
DPPKAD : Dinas Pendapatan, Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah
NJOP : Nilai Jual Objek Pajak
SSPD-BPHTB : Surat Setoran Pajak Daerah-Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan
SSPT-PBB : Surat Pemberitahuan Pajak Terhutang Pajak Bumi dan Bangunan
SKNJOP : Surat Keterangan Nilai Jual Objek Pajak NPOP : Nilai Perolehan Objek Pajak
NPOPKP : Nilai Perolehan Objek Pajak Kena Pajak NPOPTKP : Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak KEMENKUMHAM : Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia DPPKAD : Dinas Pendapatan, Pengelolaan Keuangan dan Aset
Daerah
NJOP-PBB : Nilai Jual Objek Pajak-Pajak Bumi dan Bangunan SSPD-BPHTB : Surat Setoran Pajak Daerah-Bea Perolehan Hak atas
Tanah dan Bangunan
SSPT-PBB : Surat Pemberitahuan Pajak Terhutang Pajak Bumi dan Bangunan
Pemasukan tanah dan/atau bangunan ke dalam Perseroan adalah pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan dari orang pribadi kepada Perseroan sebagai penyertaan modal pada Perseroan. Pemasukan (inbreng) tersebut dikenakan BPHTB. Pemungutan BPHTB sangat penting dalam proses peralihan hak atas tanah dan/atau bangunan karena PPAT dilarang untuk menandatangani akta peralihan hak sebelum wajib pajak melunasi BPHTB. Permasalahan pada penelitian ini adalah bagaimana proses hukum inbreng tanah dan/atau bangunan ke dalam pendirian Perseroan, bagaimana status hukum hak atas tanah dan/atau bangunan setelah diinbrengkan ke dalam pendirian Perseroan serta bagaimana pengenaan BPHTB atas perolehan hak karena inbreng tanah dan/atau bangunan ke dalam pendirian Perseroan.
Penelitian ini bersifat preskriptif analitis, dengan pendekatan perundang- undangan yang dilakukan dengan mencari dan menelaah semua peraturan perundang- undangan dan regulasi yang bersangkut paut dengan isu hukum yang sedang ditangani.
Jenis penelitian ini adalah yuridis normatif karena didukung oleh data yang diperoleh dari pustaka dengan jalan mengumpulkan data sekunder baik berupa bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier. Teknik pengumpulan data yakni studi pustaka dan wawancara narasumber Notaris/PPAT di kota Medan dan kabupaten Langkat.
Hasil penelitian menyimpulkan bahwa inbreng harus dicantumkan dalam akta pendirian, dilakukan penilaian oleh ahli penilai yang tidak terafiliasi Perseroan dan diumumkan surat kabar. Perseroan tidak dapat memiliki tanah dengan status hak milik.
Status hak atas tanah yang dapat dimiliki adalah hak guna usaha, hak guna bangunan dan hak pakai. Dengan demikian, jika tanah yang diinbrengkan berstatus hak milik maka harus dilakukan penurunan hak. Perseroan dikenakan kewajiban membayar BPHTB sebelum penandatanganan Akta Pemasukan ke dalam Perusahaan dihadapan PPAT.
Kendala yang sering dihadapi PPAT adalah para pihak yang menghadap PPAT biasanya tidak mengetahui prosedur/tata cara pembayaran BPHTB sehingga masih membutuhkan bantuan jasa PPAT dalam pengisian SSPD-BPHTB dan dalam melakukan pembayaran BPHTB secara langsung ke bank yang ditunjuk dan ditentukan hanya bank yang ditunjuk saja yang boleh menerima pembayaran BPHTB.
Disarankan agar perlu adanya sosialisasi mengenai prosedur/tata cara pembayaran BPHTB dan dalam pengisian SSPD-BPHTB dikarenakan tingkat kesadaran masyarakat masih sangat terbatas pada kewajiban pembayaran BPHTB dan dalam prosedur/tata cara pembayaran BPHTB sehingga masih sering membutuhkan bantuan jasa PPAT dalam pengisian SSPD-BPHTB serta dalam melakukan pembayaran BPHTB secara langsung ke bank yang ditunjuk. Hendaknya bank tempat penyetoran BPHTB tidak dibatasi.
Kata Kunci : Pendirian Perseroan Terbatas, Inbreng Tanah, BPHTB
and/or a building. The payment of land and/or building to the stock is a the transferring of the rights for land and/or building use from an individual to the corporation as a capital participation in the corporation. BPHTB is levied to the payment (inbreng). The payment for BPHTB is very important in the process opg transferring of the rights for land and/or building use because PPAT (official empowered to draw up deeds) is prohibited to sign the deed of the transferring of the rights before a taxpayer pays off BPHTB. The problems in the research were as follows: how about the process of land and/or building after it was transferred into the establishment of a corporation, how about the legal status of the rights of land and/or building after it was transferred into the establishment of a corporation, and how about BPHTB levied on the right acquisition because of the transferring of land and/or building into the establishment of a corporation.
The research was prescriptive analytic with legal provisions approach which was aimed to seek and to analyze all legal provisions and regulations related to legal issues being handled. The type of the research was judicial normative since it was supported by the data obtained from the library research by gathering secondary data which consisted of primary, secondary, and tertiary legal materials. The data were gathered by conducting library research and interviews with the source persons: Notaries/PPAT in Medan and in Langkat District.
The result of the research showed that inbreng must be attached in the establishment certificate and was assessed by professional assessors who do not affiliate with the Corporation; the result was announced in newspapers. A Corporation is not allowed to own land in ownership status. The Land Rights, which can be owned, are concession, building rights, and rights to use. Therefore, if the transferred land has the status of ownership, the transfer of rights should be performed. In this case, the Corporation is required to pay for BPHTB before the transferring deed into the Corporation is signed before a Notary. The problem usually faced by PPAT is that the persons appearing before PPAT usually do not know about the procedures of paying BPHTB so that they still need help from PPAT in filling out SSPD-BPHTB, and in paying BPHTB directly to the appointed Bank because only the appointed Bank which has the right to receive BPHTB payment.
It is recommended that socialization in the procedures of paying BPHTB and filling out SSPD-BPHTB since people’s awareness of their duty to pay for BPHTB is still very limited. Therefore, they need help from PPAT in filling out SSPD-BPHTB and paying for BPHTB directly to the appointed Bank. It is also recommended that several banks should be needed as the place for paying BPHTB.
Keywords: Establishment of Corporation, Land Inbreng, BPHTB
A.
Latar BelakangBagi negara republik Indonesia yang sedang meningkatkan pembangunan di segala bidang menuju masyarakat adil dan makmur, pajak merupakan salah satu sumber penerimaan negara yang sangat penting bagi penyelenggaran pemerintah dan pelaksanaan pembangunan nasional sebagai pengamalan Pancasila dan Undang- Undang Dasar 1945. Oleh karena itu, Undang-Undang Dasar 1945 menempatkan kewajiban perpajakan sebagai salah satu perwujudan kewajiban kenegaraan yang merupakan sarana peran serta dalam pembiayaan negara dan pembangunan nasional guna tercapainya masyarakat adil dan makmur serta sejahtera.1 Sesuai dengan Pasal 23 huruf (a) Undang-Undang Dasar 1945 menentukan bahwa pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur dengan undang-undang.2
Dalam Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 bahwa bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Tanah sebagai bagian dari bumi yang merupakan karunia Tuhan Yang Maha Esa serta memiliki fungsi sosial, disamping memenuhi kebutuhan dasar untuk papan dan lahan usaha, juga merupakan alat
1 Iwan Mulyawan, Panduan Pelaksanaan Bea Perolehan Hak Atas Tanah & Bangunan (Sesuai dengan Undang-Undang No. 28 Tahun 2009), (Jakarta : Penerbit Mitra Wacana Media, 2010), hal.1.
2 Imam Soebechi, Judicial Review Perda Pajak dan Retribusi Daerah, (Jakarta : Sinar Grafika, 2012), hal. 111.
investasi yang sangat menguntungkan. Di samping itu, bangunan juga memberi manfaat ekonomi bagi pemiliknya. Oleh karena itu, bagi mereka yang memperoleh hak atas tanah dan/atau bangunan yang mendapat keuntungan ekonomis dari pemilikan suatu tanah dan/atau bangunan sehingga dianggap wajar apabila diwajibkan untuk menyerahkan sebagian nilai ekonomi yang diperolehnya kepada negara melalui pembayaran pajak, yang dalam hal ini Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB).3
Indonesia sebagai negara berkembang yang sedang giat menyelenggarakan pembangunan tentunya membutuhkan banyak dana untuk membiayai pengeluaran pemerintah, baik untuk menyelenggarakan pemerintahan maupun pembangunan.
Salah satu cara yang dilakukan pemerintah untuk menggali sumber penerimaan adalah pajak. Hal ini mendorong pemerintah untuk menggali sumber penerimaan dari sektor pajak, salah satunya dengan cara mengadakan jenis pajak baru. Salah satunya adalah pajak Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) yang secara efektif mulai diberlakukan di Indonesia sejak 1 juli 1998, yang dipungut berdasarkan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1997.4
Sehubungan dengan diberlakukannya Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1997 yang bersamaan dengan terjadinya perubahan tatanan perekonomian nasional, berpengaruh terhadap perubahan perilaku perekonomian masyarakat sehingga perlu
3 Muda Markus, Perpajakan Indonesia : Suatu Pengantar, (Jakarta : Gramedia Pustaka Utama, 2005), hal.444-445.
4Marihot Pahala Siahaan, Bea Perolehan Hak Atas Tanah Dan Bangunan (Teori & Praktek), (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2003), hal.vii.
diakomodasikan dengan penyempurnaan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1997 tentang Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan. Oleh karena itu dibuatlah Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2000 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1997 tentang Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan yang mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 2001.5
Dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas Undang- Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah, maka penyelenggaran pemerintahan daerah dilakukan dengan memberikan kewenangan yang seluas-luasnya, disertai dengan pemberian hak dan kewajiban menyelenggarakan otonomi daerah dalam kesatuan sistem penyelenggaran pemerintahan negara. Maksud dari pengertian daerah otonom ialah agar daerah yang bersangkutan dapat berkembang sesuai dengan kemampuannya sendiri dan tidak bergantung kepada pemerintah pusat. Oleh karena itu, daerah otonom harus mempunyai kemampuan sendiri untuk mengurus dan mengatur rumah tangganya, melalui sumber-sumber pendapatan yang dimiliki.6
Pajak daerah dan retribusi daerah merupakan salah satu sumber pendapatan daerah yang penting guna membiayai pelaksanaan pelaksanaan pemerintahan daerah.
5 Muhammad, Rusjdi, PBB, BPHTB & Bea Meterai, (Jakarta: PT. Indeks, 2005), hal.127.
6Adrian Sutedi, Hukum Pajak dan Retribusi Daerah, (Bogor : Penerbit Ghalia Indonesia, 2008), hal. v & 17.
Hal ini dilakukan dalam rangka meningkatkan pelayanan kepada masyarakat dan kemandirian daerah. Kebijakan pajak daerah dan retribusi daerah dilaksanakan berdasarkan prinsip demokrasi, pemerataan dan keadilan, peran serta masyarakat dengan memperhatikan potensi daerah. Berdasarkan hal tersebut, Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2000 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1997 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, perlu disesuaikan dengan kebijakan otonomi daerah dan aspirasi masyarakat sehingga pada tahun 2009 diundangkan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah.7
Pada tanggal 15 September 2009 yang lalu, oleh Pemerintah Republik Indonesia telah disahkan Undang-Undang Nomor 28 tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, yang diundangkan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 130, dan mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 2010.8 Dalam Bab II, Bagian Ketujuh Belas, Pasal 85 - Pasal 93 Undang-Undang Nomor 28 tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah tersebut diatur mengenai pemungutan Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB).
Berdasarkan Pasal 2 ayat 2 huruf (k) Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah dinyatakan bahwa salah satu jenis pajak kabupaten/kota adalah Bea Perolehan atas Hak Tanah dan Bangunan (BPHTB) sehingga Bea Perolehan atas Hak Tanah dan Bangunan (BPHTB) yang dulunya
7Darwin, Pajak Daerah & Retribusi Daerah, (Jakarta : Penerbit Mitra Wacana Media, 2010), hal. 95-96.
8 Bab XVIII Pasal 185 Undang-Undang Nomor 28 tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 130, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5049.
ditangani oleh pemerintah pusat yang merupakan pajak pusat, sekarang ditangani sendiri oleh pemerintah kabupaten / kota dan merupakan pajak daerah.9
Dalam pasal 1 angka (41) Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah dinyatakan bahwa Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan adalah pajak atas perolehan hak atas tanah dan/atau bangunan.
Perolehan hak atas tanah dan/atau bangunan adalah perbuatan atau peristiwa hukum yang mengakibatkan diperolehnya hak atas tanah dan/atau bangunan oleh orang pribadi atau badan.10
Dalam Pasal 85 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah dikatakan objek pajak Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) adalah perolehan hak atas tanah dan/atau bangunan yang meliputi pemindahan hak dan/atau perbuatan hukum karena pemasukan dalam Perseroan atau badan hukum lainnya (inbreng), jual beli, tukar menukar, hibah, hibah wasiat, waris, pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan, penunjukan pembeli dalam lelang, pelaksanaan putusan hakim yang mempunyai kekuatan hukum tetap, penggabungan usaha, peleburan usaha, pemekaran usaha dan hadiah.11
Perolehan hak atas tanah dan/atau bangunan sangat dipengaruhi oleh ketentuan hukum yang mengatur terjadinya perolehan hak tersebut. Tanah dan
9Iwan Mulyawan, op.cit., hal.8.
10Heru Supriyanto, Cara Menghitung PBB, BPHTB dan Bea Meterai , (Jakarta : PT. Indeks, 2008), hal.87.
11Mardiasmo, Perpajakan Edisi Revisi 2009, (Yogyakarta: Penerbit Andi Yogyakarta, 2009), hal.340-341.
bangunan merupakan benda yang penting bagi manusia dan sebagai benda yang penting bagi manusia, tanah dan bangunan tersebut dapat beralih dan dialihkan oleh pemiliknya kepada pihak lain. Yang dimaksud dengan “beralih” adalah suatu peralihan hak yang terjadi karena seorang pemilik tanah dan/atau bangunan meninggal dunia sehingga pemilikan tanah dan/atau bangunan tersebut dengan sendirinya beralih menjadi milik para ahli warisnya. Dengan kata lain bahwa peralihan hak itu terjadi dengan tidak sengaja karena peristiwa hukum (karena adanya peristiwa hukum, yaitu meninggalnya pemilik tanah dan/atau bangunan) Sedangkan
“dialihkan” yakni pemilikan yang dialihkan adalah suatu peralihan pemilikan tanah dan/atau bangunan yang dilakukan dengan sengaja supaya pemilikan atas tanah dan/atau bangunan tersebut terlepas dari pemegangnya yang semula dan menjadi milik pihak lain. Dengan kata lain peralihan pemilikan terjadi melalui suatu perbuatan hukum tertentu, misalnya : pemasukan dalam Perseroan atau badan hukum lainnya (inbreng), jual beli, dan lain-lain.12
Peralihan pemilikan tanah dan/atau bangunan berhubungan erat dengan ketentuan hukum untuk memberikan kepastian hak bagi pihak yang memperoleh dan mengalihkan tanah dan/atau bangunan tersebut. Hal ini ditandai oleh adanya bukti hukum sesuai dengan jenis perbuatan hukum atau peristiwa hukum yang mengakibatkan terjadinya perolehan hak atas tanah dan/atau bangunan tersebut, seperti misalnya akta pemasukan ke dalam perusahaan, akta jual beli, dan akta
12 Kartini Muljadi & Gunawan Widjaja, Hak-Hak atas Tanah., (Jakarta : Kencana, 2007) hal.77-78.
peralihan hak lainnya. Sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku, perolehan hak sebagai hasil peralihan hak harus dilakukan secara tertulis dengan akta yang dibuat oleh pejabat yang berwenang dan didaftarkan pada kantor pertanahan setempat untuk memperoleh sertipikat hak yang merupakan bukti hak atas tanah yang membuktikan bahwa pemegang hak mempunyai suatu hak atas bidang tanah tertentu.13
Kebutuhan hidup manusia meliputi kebutuhan jasmani serta kebutuhan rohani, yang mana melakukan kegiatan usaha adalah salah satu bentuk konkrit pemenuhan kebutuhan tersebut. Bentuk badan usaha Perseroan Terbatas adalah salah satu bentuk badan usaha yang lazim dan banyak dipakai dalam dunia usaha di Indonesia. Menurut Pasal 1618 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Persekutuan adalah perjanjian antara 2 (dua) orang atau lebih yang mengikatkan diri untuk memasukkan sesuatu (inbreng) ke dalam persekutuan dengan maksud untuk membagi keuntungan yang diperoleh karenanya. Inbreng ini wajib dimasukkan pihak-pihak yang bersekutu dalam persekutuan, bisa berupa uang, barang-barang dan keahlian atau tenaga.14
Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas berbunyi : “Perseroan Terbatas yang selanjutnya disebut perseroan, adalah badan hukum yang merupakan persekutuan modal, didirikan berdasarkan perjanjian, melakukan kegiatan usaha dengan modal dasar yang seluruhnya terbagi dalam saham
13Adrian Sutedi, Sertifikat Hak atas Tanah, (Jakarta: Sinar Grafika, 2011).,hal.29.
14Tri Budiyono, Hukum Dagang, (Salatiga : Griya Media, 2011), hal.36.
dan memenuhi persyaratan yang ditetapkan dalam undang-undang ini serta peraturan pelaksanaannya”.15
Bertitik tolak dari ketentuan Pasal 1 angka 1 diatas, maka Perseroan sebagai badan hukum (rechtspersoon, legal person, legal entity) memiliki modal dasar yakni jumlah modal yang disebutkan atau dinyatakan dalam akta pendirian atau anggaran dasar Perseroan. Modal dasar tersebut, terdiri dan terbagi dalam saham atau sero.
Modal yang terdiri dan dibagi atas saham itu, dimasukkan para pemegang saham dalam status mereka sebagai anggota Perseroan dengan jalan membayar saham tersebut kepada Perseroan.16
Dalam pendirian Perseroan Terbatas terdapat syarat yang diatur dalam Pasal 7 ayat (2) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, yakni bahwa setiap pendiri Perseroan wajib mengambil bagian saham pada saat Perseroan didirikan. Berarti, pada saat para pendiri menghadap notaris untuk dibuat akta pendirian Perseroan, setiap pendiri Perseroan sudah mengambil bagian saham Perseroan.17
Secara umum, penyetoran modal dari setiap bagian saham yang diambil bagiannya dilakukan dengan uang tunai, tetapi tidak ditutup kemungkinan penyetoran modal dalam bentuk lain, baik berupa benda atau barang, yang dapat dinilai dengan uang dan yang secara nyata diterima oleh Perseroan. Hal ini dilakukan semata-mata
15Jimmy Joses Sembiring, Legal Officer : Panduan Mengelola Perizinan, Dokumen, Haki, Ketenagakerjaan & Masalah Hukum di Perusahaan, (Jakarta : Visimedia, 2009), hal.7.
16 Ahmad Yani & Gunawan Widjaja, Perseroan Terbatas, (Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2003), hal.7 & 13.
17 C.S.T Kansil & Christine Kansil, Seluk Beluk Perseroan Terbatas : Menurut Undang Undang No. 40 Tahun 2007, (Jakarta : Rineka Cipta, 2009), hal.7.
dengan tujuan untuk memberikan modal (harta kekayaan) pada Perseroan dan memisahkannya dari harta kekayaan pribadi masing-masing para pendiri Perseroan.
Bentuk penyetoran modal bentuk lain, biasa disebut “pemasukan barang” atau
“pemasukan modal” atau “inbreng”.18
Pemasukan tanah dan/atau bangunan ke dalam Perseroan (inbreng) adalah pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan dari orang pribadi kepada Perseroan.
Maksud dari pengalihan hak ini adalah sebagai penyertaan modal atas saham yang diambilnya dari Perseroan tersebut, sebagai modal awal Perseroan. Pemasukan tanah dan/atau bangunan ke dalam Perseroan (inbreng) membawa konsekuensi hukum tanah dan/atau bangunan tersebut menjadi milik Perseroan tersebut.19
Pemungutan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) adalah salah satu bagian yang sangat penting dalam proses peralihan pemilikan hak (balik nama) atas tanah dan/atau bangunan di Indonesia, karena Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) dan/atau notaris dilarang untuk menandatangani akta peralihan hak sebelum wajib pajak melunasi Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) sebagaimana mestinya.20 Berdasarkan latar belakang diatas, maka dilakukan penelitian dengan judul “Analisis Yuridis Pengenaan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) atas Inbreng Pendirian Perseroan Terbatas”.
18 Gunawan Widjaja, Hak Individu & Kolektif Para Pemegang Saham, (Jakarta : Praninta Offset, 2008), hal.7.
19Marihot Pahala Siahaan, op.cit., hal.94.
20 Marihot Pahala Siahaan, Kompilasi Peraturan Di Bidang BPHTB, Panduan Dalam Penyusunan Aturan Pelaksanaan Peraturan Daerah Tentang BPHTB, (Jakarta : Graha Ilmu, 2010), hal. vii.
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang diatas, maka yang menjadi rumusan pokok permasalahan penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Bagaimana proses hukum inbreng tanah dan/atau bangunan ke dalam pendirian Perseroan Terbatas?
2. Bagaimana status hukum hak atas tanah dan/atau bangunan setelah diinbrengkan ke dalam pendirian Perseroan Terbatas?
3. Bagaimana pengenaan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) atas perolehan hak karena inbreng tanah dan/atau bangunan ke dalam pendirian Perseroan Terbatas?
C. Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah memberikan gambaran atas perumusan masalah yang ada, sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui dan menganalisis proses hukum inbreng tanah dan/atau bangunan ke dalam pendirian Perseroan Terbatas.
2. Untuk mengetahui dan menganalisis status hukum hak atas tanah dan/atau bangunan setelah diinbrengkan ke dalam pendirian Perseroan Terbatas.
3. Untuk mengetahui dan menganalisis pengenaan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) atas perolehan hak karena inbreng tanah dan/atau bangunan ke dalam pendiran Perseroan Terbatas.
D. Manfaat Penelitian
Di samping tujuan penelitian di atas diharapkan juga penelitian ini memberi manfaat sebagai berikut :
1. Secara teoritis, pembahasan terhadap masalah yang dikemukakan dalam tesis ini diharapkan dapat memberi masukan dan sumbang saran yang cukup berarti dalam bidang ilmu hukum dan lebih khususnya lagi adalah dalam bidang studi kenotariatan.
2. Secara praktis, penelitian tesis ini diharapkan dapat menjadi suatu masukan, pemahaman dan referensi yang cukup bermanfaat guna menambah pengetahuan bagi mahasiswa kenotariatan, praktisi hukum dan masyarakat umum sebagai bahan studi maupun komparasi yang bermanfaat dan juga dapat dijadikan sebagai sarana pendukung untuk lebih menggali lagi ketentuan hukum dan proses hukum yang mengatur tentang inbreng tanah dan/atau bangunan ke dalam pendirian Perseroan Terbatas serta ketentuan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) atas inbreng tanah dan/atau bangunan pendirian Perseroan Terbatas.
E. Keaslian Penelitian
Berdasarkan hasil penelusuran pustaka di lingkungan Universitas Sumatera Utara, khususnya di lingkungan Pasca Sarjana Universitas Sumatera Utara menunjukkan bahwa penelitian dengan judul: “Analisis Yuridis Pengenaan Bea
Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) atas Inbreng Pendirian Perseroan Terbatas” ini belum ada yang membahasnya.
Namun dalam penelusuran pustaka tersebut ditemukan beberapa penelitian karya mahasiswa yang mengangkat tentang perpajakan atas Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB), antara lain yaitu :
1. Penelitian atas nama SHIRLEY (NIM : 067011080), dengan judul:
“Pelaksanaan Undang-Undang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan Dikaitkan dengan Tugas Notaris/PPAT dalam pembuatan Akta Hibah atas Tanah dan/atau Bangunan”, dengan pokok permasalahan dalam penelitian tersebut adalah:
a. Bagaimanakah kepatuhan Notaris/PPAT terhadap pelaksanaan UU BPHTB dalam penandatanganan akta hibah tanah dan/atau bangunan?
b. Apakah faktor-faktor yang menyebabkan kepatuhan dan ketidakpatuhan Notaris/PPAT terhadap UU BPHTB atas hibah tanah dan/atau bangunan?
c. Apakah akibat hukum dari ketidakpatuhan Notaris/PPAT terhadap UU BPHTB dalam pembuatan akta hibah atas tanah dan/atau bangunan?
2. Penelitian atas nama LINDA (NIM : 067011048), dengan judul “Perlindungan Hukum terhadap Para Pihak dalam Pelaksanaan Jual Beli Tanah dan Bangunan Dikaitkan dengan Kewajiban Pembayaran Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB)”, dengan pokok permasalahan dalam penelitian tersebut adalah:
a. Bagaimanakah bentuk perlindungan hukum para pihak dalam pelaksanaan jual beli tanah dan bangunan dikaitkan dengan kewajiban pembayaran Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB)?
b. Bagaimana peran PPAT untuk melindungi para pihak dalam pelaksanaan pembayaran dan penyetoran Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) terhadap jual beli tanah dan bangunan?
c. Apakah kendala yang terdapat dalam pembayaran Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) tersebut serta bagaimana upaya mengatasinya?
3. Penelitian atas nama AGUSTINA (NIM : 080200169), dengan judul
“Tinjauan Yuridis tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan yang Mengacu kepada Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2009 Tentang Pajak Daerah Dan Retribusi Daerah”, dengan pokok permasalahan dalam penelitian tersebut adalah:
a. Bagaimanakah pelaksanaan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah mengenai Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan?
b. Bagaimanakah peran pejabat-pejabat negara dalam peralihan hak atas tanah dan/atau bangunan yang mengakibatkan timbulnya Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan serta kendala-kendala yang paling sering dijumpai dalam pelaksanaan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan tersebut?
c. Peralihan-peralihan hak atas tanah dan/atau bangunan yang bagaimanakah yang menimbulkan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan?
Penelitian ini berbeda dari penelitian-penelitian yang ada, khususnya dari penelitian-penelitian sebagaimana disebutkan diatas, oleh karena penelitian ini secara spesifik menitikberatkan pada pengenaan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) atas pemasukan modal berupa tanah dan/atau bangunan (inbreng) ke dalam pendirian Perseroan Terbatas. Berdasarkan penelusuran tersebut maka dapat dipastikan penelitian ini dapat dijamin keasliannya dan dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah.
F. Kerangka Teori dan Konsepsi 1. Kerangka Teori
Menurut pendapat Sudikno Mertokusumo kata teori berasal dari kata theoria yang artinya pandangan atau wawasan, kata teori mempunyai banyak arti dan biasanya diartikan sebagai pengetahuan yang hanya ada dalam alam pikiran tanpa dihubungkan dengan kegiatan yang bersifat praktis.21Teori adalah untuk menerangkan atau menjelaskan mengapa gejala spesifik atau proses tertentu terjadi.22 Sedangkan kerangka teori merupakan landasan dari teori atau dukungan teori dalam membangun atau memperkuat kebenaran dari permasalahan yang dianalisis. Kerangka teori atau landasan teori dimaksud adalah kerangka pemikiran atau butir-butir pendapat teori, tesis
21Sudikno Mertokusumo, Teori Hukum, (Yogyakarta: Cahaya Atma Pusaka, 2012), hal. 4.
22 JJ. M. Wuisman, Penelitian Ilmu-ilmu Sosial, Asas-Asas, (Jakarta : Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, Penyunting M. Hisyam , 1996), hal. 203.
mengenai sesuatu kasus atau permasalahan yang bagi si pembaca menjadi bahan perbandingan, pegangan teoritis yang mungkin disetujui atau tidak disetujui, yang dijadikan masukan eksternal dalam membuat kerangka berpikir dalam penulisan.23
Sedangkan menurut H.R. Otje Salman dan Anthon F. Susanto, teori berasal dari kata theoria dalam bahasa Latin yang berarti perenungan yang pada gilirannya berasal dari kata thea dalam bahasa Yunani yang secara hakiki menyiratkan sesuatu yang disebut dengan realitas. Dalam banyak literatur beberapa ahli menggunakan kata ini untuk menunjukkan bangunan berpikir yang tersusun secara sistematis, logis (rasional), empiris (kenyataannya), juga simbolis.24
Tugas teori hukum ialah memberikan suatu analisis tentang pengertian hukum dan tentang pengertian-pengertian lain yang dalam hubungan ini relevan, kemudian menjelaskan hubungan antara hukum dengan logika dan selanjutnya memberikan suatu filasafat ilmu dari ilmu hukum dan suatu ajaran metode untuk praktek hukum.25
Dalam pemungutan pajak Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) dikenal sistem pemungutan pajak Self Assessment System. Self Assessment System adalah suatu sistem pemungutan pajak di mana wajib pajak diberi wewenang
untuk menghitung, melaporkan dan membayar sendiri besarnya pajak yang terutang atau yang harus dibayar. Sistem ini diberlakukan untuk memberikan kepercayaan yang sebesar-besarnya bagi masyarakat guna meningkatkan kesadaran dan peran serta
23M. Solly Lubis, Filsafat Ilmu dan Penelitian, ( Bandung : Mandar Madju, 1994), hal. 80.
24H.R. Otje Salman S dan Anthon F. Susanto, Teori Hukum, Mengingat, Mengumpulkan dan Membuka Kembali, (Bandung : PT. Refika Aditama, 2010), hal. 21.
25B. Arief Sidharta, Meuwissen Tentang Pengembanan Hukum, Ilmu Hukum, Teori Hukum, Dan Filsafat Hukum, (Bandung : PT. Refika Aditama, 2007), hal. 31.
masyarakat dalam menyetorkan pajaknya. Negara hanya bertindak sebagai pengawas atas pelaksanaan undang-undang pajak. Sistem ini digunakan di Indonesia pada pajak Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB).26
Dalam penelitian ini, teori yang digunakan yang berkaitan dengan penyetoran modal (inbreng) yang dilakukan oleh pendiri Perseroan dalam bentuk lain yang tidak berupa uang tunai, yakni tanah dan/atau bangunannya adalah Teori Pemilikan Bersama (propriete collective) dari Marcel Planiol. Menurut teori ini, hak dan kewajiban badan hukum pada hakikatnya adalah hak dan kewajiban anggota bersama-sama. Disamping hak milik pribadi, hak milik serta kekayaan itu merupakan harta kekayaan bersama. Anggota-anggota tidak hanya dapat memiliki masing- masing untuk bagian yang tidak dapat dibagi, tetapi juga sebagai pemilik bersama- sama untuk keseluruhan. Disini dapat dikatakan, bahwa orang-orang yang berhimpun itu semuanya merupakan suatu kesatuan dan membentuk suatu pribadi yang dinamakan badan hukum.
Pada fase penyetoran modal (inbreng) yang dilakukan oleh pendiri Perseroan dalam bentuk lain yang tidak berupa uang tunai, yakni tanah dan/atau bangunannya, semata-mata dilakukan dengan tujuan untuk memberikan modal (harta kekayaan) pada Perseroan dan memisahkannya dari harta kekayaan pribadi masing-masing para pendiri Perseroan. Dengan penyetoran modal (inbreng) seperti ini maka terjadi suatu pemilikan bersama dari para pendiri Perseroan atas barang-barang dan hak-hak yang telah dimasukkan sebagai modal oleh para pendiri. Modal tersebut merupakan suatu
26Setu Setyawan, Perpajakan Indonesia (Edisi 2009), (Malang : UMM Press. 2009), hal 9-10.
kesatuan dan ditempatkan sebagai kekayaan Perseroan yang dipisahkan dari harta kekayaan masing-masing pendiri Perseroan.27
2. Kerangka Konsepsi
Kerangka konsepsi merupakan gambaran bagaimana hubungan antara konsep- konsep yang akan diteliti. Salah satu cara untuk menjelaskan konsep-konsep tersebut adalah dengan membuat definisi. Definisi merupakan suatu pengertian yang relatif lengkap tentang suatu istilah dan definisi bertitik tolak pada referensi.28
Dalam penelitian tesis ini, perlu kiranya didefenisikan beberapa pengertian tentang konsep-konsep guna menghindari kesalahpahaman atas berbagai istilah yang dipergunakan dalam penelitian ini, selanjutnya akan dijelaskan maksud dari istilah- istilah tersebut dalam suatu kerangka konsep. Berikut ini diuraikan beberapa konsep / definisi / pengertian yang dijumpai dalam tesis ini dengan referensi yaitu Bab I Pasal 1 Undang-Undang Nomor 28 tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah dan Bab I Pasal 1 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas:
1. Pengertian Pajak Daerah
Kontribusi wajib kepada daerah yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan undang-undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan daerah bagi sebesar- besarnya kemakmuran rakyat.
27C.S.T Kansil & Christine Kansil, Modul Hukum Dagang, (Jakarta: Djambatan, 2001), hal.12.
28Amiruddin dan H.Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, (Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2006), hal. 47 - 48
2. Pengertian Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan
Pajak atas perolehan hak atas tanah dan/atau bangunan. Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan merupakan pajak yang terutang dan harus dibayar oleh pihak yang memperoleh suatu hak atas tanah dan/atau bangunan. Dalam konteks ini Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan dimaknai sebagai pemasukan ke kas daerah sesuai undang-undang pajak.
3. Pengertian Perolehan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan
Perbuatan atau peristiwa hukum yang mengakibatkan diperolehnya hak atas tanah dan/atau bangunan oleh orang pribadi atau badan.
4. Pengertian Hak atas Tanah dan/atau Bangunan
hak atas tanah, termasuk hak pengelolaan, beserta bangunan di atasnya, sebagaimana dimaksud dalam undang-undang di bidang pertanahan dan bangunan.
5. Pengertian Perseroan Terbatas
badan hukum yang merupakan persekutuan modal, didirikan berdasarkan perjanjian, melakukan kegiatan usaha dengan modal dasar yang seluruhnya terbagi dalam saham dan memenuhi persyaratan yang ditetapkan dalam undang-undang ini serta peraturan pelaksanaannya.
6. Pengertian Direksi
Organ Perseroan yang berwenang dan bertanggung jawab penuh atas pengurusan Perseroan untuk kepentingan Perseroan, sesuai dengan maksud
dan tujuan Perseroan serta mewakili Perseroan, baik di dalam maupun di luar pengadilan sesuai dengan ketentuan anggaran dasar.
G. Metode Penelitian
Metode (Inggris : method, Latin : methodus, Yunani : methodos – meta berarti sesudah, di atas, sedangkan hodos, berarti suatu jalan, suatu cara). Mula-mula metode diartikan secara harfiah sebagai suatu jalan yang harus ditempuh, menjadi penyelidikan atau penelitian berlangsung menurut suatu rencana tertentu. Metode penelitian secara harfiah menggambarkan jalan atau cara penelitian tersebut dicapai atau dibangun.29
1. Jenis dan Sifat Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan dalam tesis ini adalah penelitian hukum yuridis normatif atau penelitian hukum doktrinal yaitu penelitian hukum yang menggunakan sumber data sekunder atau data yang diperoleh melalui bahan-bahan pustaka dengan meneliti sumber-sumber bacaan yang relevan dengan tema penelitian, meliputi penelitian terhadap azas-azas hukum, sumber-sumber hukum, teori hukum, buku-buku, peraturan perundang-undangan yang bersifat teoritis ilmiah serta dapat menganalisa permasalahan yang dibahas.30
Penelitian hukum normatif atau penelitian hukum doktrinal dikonsepkan sebagai apa yang tertulis di dalam peraturan perundang-undangan (law in the books)
29Johnny Ibrahim, Teori & Metodologi Penelitian Hukum Normatif, ( Malang : Bayu Media Publishing, 2008), hal. 25 – 26.
30Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, (Jakarta : Rajawali Pers, 2010), hal. 13-14.
atau hukum yang dikonsepkan sebagai kaidah atau norma yang merupakan patokan berperilaku manusia yang dianggap pantas.31
Penelitian hukum doktrinal dilakukan dengan cara melakukan pengumpulan peraturan perundangan. Peraturan tersebut dikumpulkan dengan cara mengkoleksi publikasi-publikasi dan dokumen-dokumen yang mengandung peraturan-peraturan hukum positif. Setelah bahan-bahan tersebut terkumpul, kemudian diklasifikasi secara sistematis untuk melakukan inventarisasi data sebagai bahan perpustakaan saat melakukan penelitian serta mengacu pada norma-norma hukum yang terdapat dalam peraturan perundangan di Indonesia.32
Penelitian ini bersifat preskriptif analitis, yang mempelajari tujuan hukum, nilai-nilai keadilan, validalitas aturan hukum, konsep-konsep hukum dan norma- norma hukum. Suatu penelitian yang ditujukan untuk mendapatkan saran-saran mengenai apa yang harus dilakukan untuk mengatasi masalah-masalah tertentu.33
Penelitian ini menggunakan metode pendekatan perundang-undangan (statute aprroach) yang dilakukan dengan mencari dan menelaah semua peraturan perundang-
undangan dan regulasi yang bersangkut paut dengan isu hukum yang sedang ditangani. Oleh karena itu untuk memecahkan suatu isu hukum harus menelusuri berbagai produk peraturan perundang-undangan.34 Dalam hal ini dilakukan studi
31 Muslan Abdurrahman, Sosiologi dan Metode Penelitian Hukum, (Malang: UMM Press, 2009), hal. 127.
32Bambang Sunggono, Metodologi Penelitian Hukum, ( Jakarta : Rajawali Pers, 2011), hal.
81-82.
33Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta : Penerbit Universitas Indonesia, 1986), hal.10.
34Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, (Jakarta : Kencana, 2010), hal.93.
pustaka yang segala sesuatunya berkaitan dengan pengaturan hukum mengenai pengenaan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) atas inbreng pendirian Perseroan Terbatas.
2. Sumber Data Penelitian
Berhubung karena metode penelitian adalah penelitian hukum normatif maka sumber data dalam penelitian ini adalah data sekunder yang diperoleh dari bahan penelitian yang berupa bahan-bahan hukum, yang terdiri dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier, seperti:35
a. Bahan hukum primer yaitu : bahan-bahan hukum atau dokumen peraturan yang mengikat dan ditetapkan oleh pihak yang berwenang berupa bahan pustaka yang berisikan peraturan perundang-undangan, yang antara lain terdiri dari :
1. Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945
2. Undang-Undang Nomor 28 tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah
3. Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas 4. Peraturan perundangan lain yang berkaitan dengan penelitian ini.
b. Bahan hukum sekunder yaitu : bahan-bahan hukum yang berkaitan erat dan memberikan penjelasan bahan hukum primer yang ada dan dapat membantu untuk proses analisis seperti buku-buku yang ditulis para ahli hukum dan ahli hukum pajak mengenai hukum Perseroan Terbatas, ilmu hukum pajak, Bea
35ibid., hal.23-24.
Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan dan lain-lain yang berkaitan dengan permasalahan yang menjadi objek penelitian.
c. Bahan hukum tersier yaitu : semua bahan yang memberikan petunjuk, penjelasan dan keterangan-keterangan yang mendukung bahan hukum primer dan sekunder seperti kamus hukum, ensiklopedia dan lain-lain.
3. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data yang dilakukan pada penelitian ini menggunakan : a. studi pustaka, yaitu menghimpun data dari hasil penelaahan bahan pustaka
atau data sekunder yang meliputi bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier. Untuk memperoleh data sekunder yang berupa bahan hukum primer, sekunder dan tersier, dalam penelitian ini akan menggunakan alat penelitian studi dokumen/pustaka atau penelitian pustaka (library research) dengan cara mengumpulkan semua peraturan perundangan, dokumen-dokumen hukum dan buku-buku yang berkaitan dengan rumusan masalah penelitian.36
b. Wawancara yaitu menghimpun data dengan melakukan tanya jawab dengan narasumber untuk mendapatkan informasi. Untuk menambah dan melengkapi data sekunder yang diperoleh akan dilakukan wawancara dengan informan yaitu Notaris / Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) di kota Medan dan Kabupaten Langkat.
36Mukti Fajar ND dan Yulianto Achmad, Dualisme Penelitian Hukum Normatif dan Empiris, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2010), hal. 156-159.
4. Analisis Data
Dalam penelitian ini bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier yang sebelumnya telah disusun secara sistematis kemudian akan dianalisa dengan menggunakan prosedur logika ilmiah yang sifatnya kualitatif.
Kualitatif berarti akan dilakukan analisa data yang bertitik tolak dari penelitian terhadap asas atau prinsip sebagaimana yang diatur di dalam bahan hukum primer dan kemudian akan dibahas lebih lanjut menggunakan sarana pada bahan hukum sekunder, yang tentunya akan diupayakan pengayaan sejauh mungkin dengan didukung oleh bahan hukum tersier. Dalam hal penelitian ini menggunakan metode deduktif yaitu penarikan kesimpulan dari yang umum ke yang khusus.37
Adapun tahapan untuk menganalisa bahan-bahan hukum yang telah ada tersebut, secara sederhana dapat diuraikan dalam beberapa tahapan :
1. Tahapan pengumpulan data, yakni mengumpulkan dan memeriksa bahan- bahan pustaka misalnya ketentuan peraturan perundang-undangan yang berkaitan langsung dengan permasalahan yang sedang diteliti.
2. Tahapan pemilahan data, dalam tahapan ini seluruh data yang telah dikumpulkan sebelumnya akan dipilah-pilah secara sistematis dengan mempedomani konteks yang sedang diteliti, sehingga akan lebih memudahkan dalam melakukan kajian lebih lanjut terhadap permasalahan di dalam penelitian tesis ini;
37Zainuddin Ali, Metode Penelitian Hukum, (Jakarta: Sinar Grafika, 2009), hal.105.
3. Tahapan analisis data dan penulisan hasil penelitian, sebagai tahapan klimaks dimana seluruh data yang telah diperoleh dan dipilah tersebut akan dianalisa dengan seksama dengan melakukan interpretasi / penafsiran yang diperlukan dengan berpedoman terhadap konsep, asas dan kaidah hukum yang dianggap relevan dan sesuai dengan tujuan utama daripada penelitian ini. Hasil penelitian kemudian akan dituangkan dalam bentuk tertulis yang diharapkan akan dapat menjawab permasalahan yang ada, sehingga hasil penelitian ini akan dapat dijadikan sebagai referensi ilmiah.
A.
Pemasukan Modal (Inbreng) Ke Dalam Pendirian Perseroan TerbatasPerseroan Terbatas adalah salah satu bentuk usaha yang paling diminati dari seluruh organisasi usaha yang ada. Di Indonesia, Perseroan Terbatas (PT) merupakan salah satu bentuk perusahaan atau badan usaha yang berbadan hukum yang banyak digunakan dalam dunia usaha. Badan hukum merupakan subjek hukum sebagai pendukung hak dan kewajiban, badan hukum ini sengaja dibuat oleh manusia dengan maksud dan tujuan tertentu, memiliki kapasitas sebagai pribadi hukum yang dapat mempunyai harta kekayaan tersendiri yang terpisah dari harta kekayaan pribadi para pendiri Perseroan, para pemegang saham Perseroan dan para pengurus Perseroan.38
Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas menyatakan di dalam Pasal 1 angka 1 bahwa “Perseroan Terbatas yang selanjutnya disebut Perseroan, adalah badan hukum yang merupakan persekutuan modal, didirikan berdasarkan perjanjian, melakukan kegiatan usaha dengan modal dasar yang seluruhnya terbagi dalam saham dan memenuhi persyaratan yang ditetapkan dalam undang-undang ini serta peraturan pelaksanaannya”. Berarti Perseroan Terbatas didirikan oleh para pendiri Perseroan berdasarkan perjanjian yang mereka lakukan diantara mereka. Hal ini ditegaskan dalam Pasal 1 angka (1) Undang-Undang Nomor
38 Gatot Supramono, Kedudukan Perusahaan Sebagai Subjek dalam Gugatan Perdata di Pengadilan, (Jakarta : Rineka Cipta, 2007), hal.135-136.
40 Tahun 2007 yang menyatakan Perseroan sebagai badan hukum yang merupakan persekutuan modal, didirikan berdasarkan perjanjian oleh para pendirinya.
Suatu Perseroan Terbatas berdiri semata-mata karena perjanjian oleh 2 (dua) orang atau lebih dengan akta notaris. Demikian ditentukan dalam Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, yang menyatakan bahwa “Perseroan didirikan oleh 2 (dua) orang atau lebih dengan akta notaris yang dibuat dalam bahasa Indonesia”.39 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas menetapkan bahwa pendirian Perseroan Terbatas adalah berdasarkan perjanjian. Karena berdasarkan perjanjian, tentunya paling sedikit harus ada 2 (dua) orang yang melakukan perjanjian.
Disini nampak bahwa Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas tidak membolehkan saham Perseroan berada dalam 1 (satu) tangan, apabila hal ini dilanggar, konsekuensinya pemegang saham tunggal akan bertanggung jawab secara pribadi kepada pihak ketiga, meskipun Perseroan telah berstatus badan hukum. Penetapan pasal ini yang mengandung asas larangan pemegang saham tunggal secara konseptual mengandung makna menjamin unsur perjanjian dalam pendirian Perseroan Terbatas tetap tercermin serta pemegang saham tunggal kurang mencerminkan Perseroan sebagai badan usaha yang modalnya terdiri dari saham-saham yang dimaksudkan untuk mengikutsertakan pihak lain dengan sistem pertanggungjawaban terbatas.40
39Zaeni Asyhadie, Hukum Bisnis : Prinsip & Pelaksanaanya di Indonesia, (Jakarta : Rajawali Pers, 2009), hal.44-45.
40Freddy Harris & Teddy Anggoro, Hukum Perseroan Terbatas: Kewajiban Pemberitahuan oleh Direksi, (Bogor : Penerbit Ghalia Indonesia, 2010), hal 20-.21.
Yang mana dalam Pasal 7 ayat (2) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas juga menegaskan bahwa “setiap pendiri Perseroan Terbatas wajib mengambil bagian saham pada saat Perseroan Terbatas didirikan”.41 Adapun sejak ditandatangani akta pendirian Perseroan oleh para pendirinya, maka Perseroan telah berdiri dan hubungan antara para pendiri adalah hubungan kontraktual karena Perseroan belum mempunyai status badan hukum. Agar suatu kontrak atau perjanjian mengikat para pihak, menurut Pasal 1320 Kitab Undang- Undang Hukum Perdata, harus dipenuhi 4 (empat) persyaratan, yakni (i) sepakat mereka yang mengikatkan dirinya; (ii) kecakapan untuk membuat suatu perikatan;
(iii) suatu hal tertentu; (iv) suatu sebab yang halal.42
Perikatan yang memenuhi unsur-unsur tersebut diatas secara hukum mengikat para pihak. Setelah diperolehnya status badan hukum, maka Perseroan adalah badan yang mandiri dan hubungan antara para pendiri Perseroan tidak lagi merupakan hubungan kontraktual, pendiri Perseroan sebagai pemegang saham tidak lagi bertanggung jawab secara pribadi atas perikatan yang dibuat oleh Perseroan dan tidak bertanggung jawab atas kerugian Perseroan melebihi nilai saham yang diambilnya.43
Dalam mendirikan Perseroan Terbatas diatur pada Pasal 7 ayat (2) Undang- Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas bahwa setiap pendiri Perseroan wajib mengambil bagian saham pada saat Perseroan didirikan. Berarti pada saat para pendiri Perseroan menghadap notaris untuk dibuat akta pendirian Perseroan,
41Farida Hasyim, Hukum Dagang, (Jakarta : Sinar Grafika, 2009), hal.151.
42Suharnoko, Hukum Perjanjian, (Jakarta : Kencana, 2004), hal.1.
43 Rachmadi Usman, Dimensi Hukum Perusahaan Perseroan Terbatas, (Bandung : PT.
Alumni, 2004), hal.49.
setiap pendiri Perseroan sudah mengambil bagian saham Perseroan. Agar syarat ini sah menurut hukum, pengambilan bagian saham itu harus sudah dilakukan setiap pendiri Perseroan pada saat pendirian Perseroan itu berlangsung.44
Dalam pendiriannya Perseroan haruslah mempunyai harta kekayaan tersendiri yang terpisah dari harta kekayaan para pendiri Perseroan dan yang didapat dari pemasukan modal para pendirinya (pemegang saham). Harta kekayaan ini sengaja diadakan dan memang diperlukan sebagai alat untuk mengejar tujuan Perseroan.
Adapun pendirian Perseroan Terbatas tidak dapat dilakukan tanpa pemenuhan syarat modal minimun. Pemenuhan syarat modal minimun bertujuan agar pada waktu Perseroan Terbatas didirikan setidak-tidaknya sudah mempunyai modal, yaitu sebesar modal dasar (authorized capital), modal ditempatkan (issued capital) dan modal disetor (paid-up capital) yang akan menjadi jaminan bagi pihak ketiga terhadap Perseroan Terbatas.45
Kewajiban para pendiri Perseroan Terbatas dalam menyetor modal ke dalam Perseroan dimaksudkan supaya Perseroan memiliki modal awal dalam melakukan kegiatan Perseroan dalam rangka mencapai tujuan Perseroan dalam upaya mendapat keuntungan. Tanpa adanya modal awal Perseroan, maka jelas Perseroan tidak dapat menjalankan kegiatannya untuk mencari keuntungan. Apa yang diinbrengkan ke dalam pendirian Perseroan Terbatas merupakan pembayaran atas saham yang diambil
44Orinton Purba, Petunjuk Praktis Bagi RUPS, Komisaris dan Direksi Perseroan Terbatas agar Terhindar dari Jerat Hukum, (Jakarta : Raih Asa Sukses, 2012), hal.24.
45 Rudhi Prasetya, Kedudukan Mandiri Perseroan Terbatas, (Bandung : PT. Citra Aditya Bakti, 1996), hal.185.
pendiri Perseroan dari Perseroan. Pasal 1619 ayat (2) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menentukan bahwa para sekutu perdata wajib memasukkan ke dalam kas persekutuan yang didirikan tersebut. Pemasukan (inbreng, contribution) itu dapat berupa:46
1. uang;
2. benda-benda atau barang-barang apa saja yang layak bagi pemasukan, seperti kendaraan bermotor dan alat operasional kantor, tanah dan/atau bangunan;
3. Keahlian atau tenaga kerja, baik fisik maupun pikiran.
Perseroan harus mempunyai harta kekayaan tersendiri yang terpisah dari harta kekayaan para pendiri Perseroan, para pemegang saham Perseroan serta para pengurus Perseroan dan didapat dari pemasukan para pendiri Perseroan (pemegang saham). Harta kekayaan ini sengaja diadakan dan memang diperlukan sebagai alat untuk mengejar tujuan Perseroan dalam hubungan hukumnya dimasyarakat atau dengan pihak ketiga. Harta kekayaan itu menjadi jaminan perikatan yang telah dibuat oleh Perseroan dengan pihak ketiga. Dengan demikian, bila dikemudian hari timbul tanggung jawab hukum yang harus dipenuhi oleh Perseroan, maka pertanggungjawaban yang timbul tersebut semata-mata dibebankan pada harta yang terkumpul dalam Perseroan tersebut.47
46 Abdul Muis, Hukum Persekutuan & Perseroan, (Medan : Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, 2006), hal.53-54.
47Abdul R. Saliman, Hermansyah & Ahmad Jalis, Hukum Bisnis untuk Perusahaan Edisi 2, Cetakan Ke-1, (Jakarta: Kencana, 2005), hal.96-97.
Modal Perseroan ini berbeda dengan harta kekayaan Perseroan. Modal Perseroan hanya merupakan sebagian dari harta kekayaan Perseroan. Harta kekayaan Perseroan itu selalu berubah-ubah sejalan dengan gerak perkembangan usaha Perseroan, sedangkan modal Perseroan itu bersifat relatif tetap, kalaupun bila modal Perseroan dikehendaki berubah, perubahan itu harus dibuat dengan akta notariel tersendiri dan harus dimohonkan persetujuan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia. Harta kekayaan Perseroan biasanya akan dapat dibaca dalam neraca dan perhitungan rugi laba yang dibuat setiap akhir tahun pembukuan.48
Adapun modal dasar Perseroan Terbatas seluruhnya terbagi dalam saham.
Yang mana Undang-Undang Perseroan Terbatas dalam Pasal 7 ayat (2) Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas mengharuskan para pihak yang terlibat dalam perjanjian pendirian suatu Perseroan Terbatas mengambil bagian sahamnya pada saat Perseroan Terbatas didirikan yang merupakan modal awal Perseroan Terbatas. Yang dimaksud dengan modal Perseroan adalah modal dasar, modal ditempatkan dan modal disetor.49
Modal dasar (authorized capital) adalah seluruh nilai nominal saham Perseroan yang disebut dalam anggaran dasar Perseroan. Modal dasar Perseroan adalah total jumlah saham yang dapat diterbitkan oleh Perseroan. Anggaran dasar Perseroan yang menentukan berapa banyak jumlah saham yang dijadikan modal
48Agus Budiarto, Kedudukan Hukum & Tanggung Jawab Pendiri Perseroan Terbatas Edisi 2, Cetakan 2, (Bogor : Penerbit Ghalia Indonesia, 2009), hal.47.
49 Penjelasan Pasal 41 ayat (1) Undang-Undang Nomor 40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 106, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4756.
dasar. Setiap lembar saham mempunyai nilai nominal yang akan menjadi jumlah nilai nominal modal dasar Perseroan, yang sama nilainya dengan nilai nominal seluruh saham. Adapun batas minimal modal dasar Perseroan paling sedikit Rp.50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah). Boleh memperbesar atau memperkecil jumlah modal yang ditetapkan dalam anggaran dasar tetapi harus meminta persetujuan Menteri Hukum dan HAM dikarenakan perubahan anggaran dasar mengenai besarnya modal dasar termasuk perubahan anggaran dasar tertentu yang harus mendapat persetujuan Menteri Hukum dan HAM.50
Modal ditempatkan (issued capital) adalah jumlah saham yang sudah diambil pendiri Perseroan atau pemegang saham, dan saham yang diambil itu ada yang sudah dibayar dan ada pula yang belum dibayar. Modal ditempatkan adalah modal yang disanggupi pendiri Perseroan atau pemegang saham untuk dilunasinya, dan saham itu telah diserahkan kepadanya untuk dimiliki. Adapun Pasal 33 ayat (1) Undang- Undang Perseroan Terbatas mengatur paling sedikit 25% (dua puluh lima persen) dari modal dasar harus ditempatkan. Modal ditempatkan dibuktikan dengan bukti penyetoran yang sah yaitu antara lain bukti setoran pemegang saham ke dalam rekening bank atas nama Perseroan, data dari laporan keuangan yang telah diaudit oleh akuntan atau neraca Perseroan yang ditandatangani oleh direksi dan dewan komisaris.51
50 Gunawan Widjaja, Hak Individu & Kolektif Para Pemegang Saham, (Jakarta : Praninta Offset, 2008), hal.6-7.
51Faisal Santiago, Pengantar Hukum Bisnis, (Jakarta : Mitra Wacana Media, 2012),hal.37-38.