• Tidak ada hasil yang ditemukan

Menurut Lynch (1971), perencanaan lanskap adalah suatu seni menata lingkungan fisik guna mendukung kehidupan manusia. Perencanaan tapak adalah penyesuaian tapak dengan program. Persyaratan program harus dilengkapi dan dihubungkan satu dengan yang lainnya, disertai dengan imajinasi serta kepekaan terhadap replikasi analisis tapak (Laurie, 1986).

“Planning” atau perencanaan, merupakan suatu gambaran prakiraan dalam pendekatan suatu keadaan di masa mendatang. Dalam hal ini dimaksudkan adalah keadaan masa depan yang diharapkan di atas tanah dalam kawasan tertentu. Tanah dalam hal ini dipandang sebagai suatu sumber dalam hubungan kebutuhan dan keiginan dari masyarakat dengan nilai-nilai yang dimiliki (Hakim, 2003). Proses perencanaan adalah suatu alat yang sistematis untuk menentukan keadaan awal, keadaan yang diharapkan dan cara terbaik untuk mencapai keadaan yang diharapkan tersebut (Simonds, 1983).

Perencanaan lanskap (Landscape Planning) mengkhususkan diri pada studi pengkajian proyek berskala besar untuk bisa mengevaluasi secara sistematik area lahan yang sangat luas untuk ketetapan penggunaan bagi berbagai kebutuhan di masa datang. Pengamatan masalah ekologi dan lingkungan alam sangat peka diperhatikan dalam kegiatan ini. Kerjasama lintas disiplin merupakan syarat mutlak untuk bisa sampai kepada produk kebijakan atau tata guna tanah. Di sinilah kita mengenal cakupan pekerjaan seperti; lanskap regional, lanskap perkotaan, lanskap pedesaan, lanskap daerah aliran sungai, taman nasional, dan sebagainya (Hakim, 2004).

Perencanaan lanskap merupakan suatu bentuk kegiatan penataan yang berbasis lahan melalui kegiatan pemecahan masalah yang dijumpai dan merupakan proses untuk pengambilan keputusan berjangka panjang guna mendapatkan suatu model lanskap yang fungsional, estetik dan lestari.

Perencanaan lanskap juga bertujuan untuk mendukung berbagai kebutuhan dan keinginan manusia dalam upaya peningkatan kenyamanan dan kesejahteraan, termasuk kesehatannya (Nurisjah, 2007).

Menurut Undang-Undang No.7 tahun 2004 tentang sumber daya air perencanaan adalah suatu proses kegiatan untuk menentukan tindakan yang akan dilakukan secara terkoordinasi dan terarah dalam rangka mencapai tujuan pengelolaan sumber daya air.

Secara umum perencanaan dapat didefinisikan sebagai suatu tindakan yang dihasilkan melalui analisis dengan menyesuaikan pada kondisi tapak sehingga didapatkan program yang paling tepat untuk dikembangkan di suatu tapak atau kawasan.

Perencanaan lingkungan yang mempunyai manfaat biofisik yang tinggi, terutama untuk kota-kota tropis di Indonesia yang rentan terhadap bahaya lingkungan adalah perencanaan ruang terbuka hijau (RTH) sebagai bagian perencanaan tata ruang wilayah perkotaan. Penataan RTH yang terkait dengan minimalisasi bahaya lingkungan di wilayah perkotaan dilakukan melalui tiga tahapan kegiatan, yaitu :

1. Menilai karakter dan kepekaan sumberdaya lahan/alam Penilaian ini dilakukan terhadap

a. Sumberdaya alam pembentuk wilayah perkotaan (topografi, iklim, air, kualitas udara, visual)

b. Potensi bahaya lingkungan (longsor, erosi, banjir, kekeringan, gempa, polusi), dan

c. Kesesuaian terhadap bentuk pembangunan yang telah ada/sedang direncanakan.

2. Memformulasikan rencana pemanfaatan lahan/ruang

Dalam merumuskan RTH sebagai pengendali bahaya lingkungan maka perlu diperhitungkan bentuk kerentanan dan peruntukan wilayah sehingga perlu diseleksi jenis, arsitektur tanaman serta pola dan teknik penanamannya.

3. Mengevaluasi dampak serta cost & benefit dari perencanaan yang telah dibuat.

Menurut Gold (1980), perencanaan lanskap dapat dilakukan melalui beberapa pendekatan, seperti :

1. Pendekatan sumberdaya, yaitu penentuan tipe secara alternatif aktivitas berdasarkan pertimbangan kondisi dan situasi sumberdaya.

2. Pendekatan aktivitas, yaitu penentuan tipe dan alternatif aktivitas

berdasarkan seleksi terhadap aktivitas pada masa lalu untuk memberikan kemungkinan apa yang dapat disediakan pada masa yang akan datang. 3. Pendekatan ekonomi, yaitu pendekatan tipe, jumlah, dan lokasi

kemungkinan aktivitas berdasarkan pertimbangan ekonomi.

4. Pendekatan prilaku, yaitu penentuan aktivitas berdasarkan pertimbangan prilaku manusia

2.2 Kawasan

Menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 26 Tahun 2007 tentang penataan ruang, kawasan adalah wilayah yang memiliki fungsi utama lindung atau budidaya. Kawasan lindung adalah wilayah yang ditetapkan dengan fungsi utama melindungi kelestarian lingkungan hidup yang mencakup sumber daya alam dan sumber daya buatan. Kawasan budidaya adalah wilayah yang ditetapkan dengan fungsi utama untuk dibudidayakan atas dasar kondisi dan potensi sumberdaya alam, sumberdaya manusia, dan sumberdaya buatan.

Kawasan adalah wilayah yang berbasis pada keberagaman fisik dan ekonomi, tetapi memiliki hubungan erat dan saling mendukung satu sama lain secara fungsional demi mempercepat pertumbuhan ekonomi daerah dan meningkatkan kesejahteraan rakyat. Dalam kaitan ini, kawasan didefinisikan sebagai wilayah yang memiliki fungsi tertentu, dengan kegiatan ekonomi, sektor dan produk unggulannya mempunyai potensi mendorong pertumbuhan ekonomi wilayah sekitarnya. Kawasan ini baik secara sendiri-sendiri maupun secara bersama membentuk suatu klaster. Klaster dapat berupa klaster pertanian dan klaster

industri, bergantung pada kegiatan ekonomi yang dominan dalam kawasan itu (Bappenas, 2004).

2.3 Wisata

Menurut Gunn (1993) wisata merupakan perjalanan sementara yang dilakukan orang menuju tujuan selain tempat asal mereka bekerja dan tinggal, selama di tempat tujuan tersebut mereka melakukan aktivitas dan tersedia fasilitas untuk memenuhi kebutuhan wisatanya. Suatu kawasan wisata yang baik dan berhasil bila secara optimal didasarkan kepada empat aspek yaitu :

1) Mempertahankan kelestarian lingkungannya

2) Meningkatkan kesejahteraan masyarakat di kawasan tersebut 3) Menjamin kepuasan pengunjung

4) Meningkatkan keterpaduan dan unity pembangunan masyarakat di sekitar kawasan dan zone pengembangannya.

Menurut Holden (2000) wisata adalah suatu aktivitas yang terkadang-kadang dilakukan dan dipercaya dapat memberikan kenyamanan pada saat masa liburan. Secara sederhana proses ini melibatkan partisipasi dari pemerintah daerah, pengelola bisnis wisata, dan masyarakat lokal. Ketiganya merupakan pelaku yang terlibat dalam penyediaan wisata.

Menurut Nurisjah (2001) wisata merupakan rangkaian kegiatan yang terkait dengan pergerakan manusia yang melakukan perjalanan dan persinggahan sementara dari tempat tinggalnya ke satu atau beberapa tempat tujuan di luar dari lingkungan tempat tinggalnya, yang didorong oleh berbagai keperluan dan tanpa bermaksud untuk mencari nafkah tetap. Undang-undang No.67 Tahun 1996 mendefinisikan wisata sebagai perjalanan atau sebagian dari kegiatan yang dilakukan secara sukarela serta bersifat sementara untuk menikmati objek dan daya tarik wisata.

Menurut Nurisjah dan Pramukanto (2009), kawasan wisata merupakan suatu areal atau jalur pergerakan wisata yang memiliki objek dan daya tarik wisata tentunya dapat dikunjungi, disaksikan, dan dinikmati wisatawan. Kawasan ini

memiliki lanskap alam yang indah, budaya yang dipadukan dengan perubahan kondisi sosial dan ekonomi bagi masyarakat sekitar.

Kawasan wisata berkaitan erat dengan karakteristik lanskap setempat, yaitu keindahan, kondisi lingkungan yang sehat dan bersih, iklim yang sesuai, memberi kenyamanan dan ketenangan, estetis, dan lingkungan sekitarnya mencirikan karakter yang kuat terhadap kawasan (Holden, 2000).

Merencanakan suatu kawasan wisata merupakan upaya untuk menata suatu areal pendukung kegiatan wisata yang akan dikembangkan sehingga kerusakan lingkungan akibat pembangunannya dapat diminimumkan (Nurisjah, 2004). Menurut Simonds (1983) pendekatan perencanaan kawasan wisata di sekitar penggunaan area river-basin adalah dengan menghindari dan mengatasi masalah-masalah yang berhubungan dengan air seperti rapid runoff, erosi, pengendapan air, banjir, kekeringan, dan pencemaran, serta memastikan bahwa kemungkinan-kemungkinan pengembangan area preservasi, konservasi, restorasi, dan lainnya dapat dilakukan. Seluruh area daratan yang berorientasi air harus direncanakan dalam suatu cara untuk mendapatkan keuntungan maksimum dari keistimewaan air dengan tetap mempertahankan atau keuntuhannya.

2.4 Tambak

Tambak merupakan kolam yang dibangun di daerah pasang surut dan digunakan untuk memelihara hewan air lain yang biasa hidup di air payau. Air yang masuk ke dalam tambak sebagian besar berasal dari laut saat terjadi pasang. Kebutuhan air tawar dipenuhi dari sungai yang bermuara di laut (Sudarmo dan Ranoemihardjo, 1992).

Lokasi tambak umumnya terletak di salah satu ekosistem pesisir yakni hutan mangrove karena itu dalam pembangunan tambak yang berkelanjutan maka lingkungan alami hutan mangrove tidak terlalu banyak dirubah/dirusak sehingga peran penting mangrove sebagai jalur hijau dapat dipertahankan. Pemilihan lokasi tambak yang berwawasan lingkungan harus mengetahui tipe kawasan pantai tempat tambak akan dibangun dengan mempertimbangkan faktor-faktor dominan yang mempengaruhi pemilihan lokasi tambak seperti: a) sumber air (suplai air laut

dan tawar harus tercukupi, kesempurnaan pengeluaran air buangan dan pengeringan dasar tambak secara sempurna); b) amplitudo pasang surut dan ketinggian elevasi; c) topografi; d) kualitas tanah; e) vegetasi, jalur hijau dan kawasan penyangga (harus mempertahankan jalur hijau berupa bentangan mangrove selebar 50-400 m disepanjang pantai dan sekitar 10 m disepanjang sungai); f) kondisi iklim; g) ketersediaan sarana penunjang; h) ketersediaan sarana produksi dan kemudahan pemasaran dan i) tata guna lahan dan kebijakan pemerintah (Purnamawati dan Dewantoro, 2007).

Berdasarkan Peraturan Menteri Pertanian dan Agraria Tahun 1963 tambak ialah tempat usaha pemeliharaan ikan yang mendapat air dari laut, air tawar atau air payau. Sedangkan menurut Undang-Undang No.16 tahun 1964 tambak ialah genangan air yang dibuat oleh orang sepanjang pantai untuk pemeliharaan ikan dengan mendapat pengairan yang teratur.

2.5 Pesisir

Wilayah pesisir memiliki keunikan ekosistem. Wilayah ini sangat rentan terhadap perubahan, baik karena diakibatkan oleh aktifitas daerah hulu maupun karena aktifitas yang terjadi di wilayah pesisir itu sendiri (Dartoyo, 2004).

Robert Kay (1999), mengelompokkan pengertian wilayah pesisir dari dua sudut pandang yaitu dari sudut akademik keilmuan dan dari sudut kebijakan pengelolaan. Dari sisi keilmuan Ketchum (1972) dalam Kay (1999) mendefinisikan wilayah pesisir sebagai sabuk daratan yang berbatasan dengan lautan dimana proses dan penggunaan lahan di darat secara langsung dipengaruhi oleh proses lautan dan sebaliknya.

Definisi wilayah pesisir dari sudut pandang kebijakan pengelolaan meliputi jarak tertentu dari garis pantai ke arah daratan dan jarak tertentu ke arah lautan. Definisi ini tergantung dari issue yang diangkat dan faktor geografis yang relevan dengan karakteristik bentang alam pantai (Hildebrand and Norrena, 1992

Menurut Dahuri (2001) wilayah pesisir adalah daerah pertemuan antara daratan dan laut; ke arah darat wilayah pesisir meliputi bagian daratan, baik kering maupun terendam air, yang masih dipengaruhi sifat-sifat laut seperti pasang surut, angin laut, dan perembesan air asin; sedangkan ke arah laut wilayah pesisir mencakup bagian laut yang masih dipengaruhi oleh proses-proses alami yang terjadi di daratan seperti sedimentasi dan aliran air tawar, maupun yang disebabkan oleh kegiatan manusia di daratan seperti penggundulan hutan dan pencemaran.

Definisi pesisir dipandang dari aspek perencanaan bergantung pada permasalahan atau substansi yang menjadi fokus pengelolaan wilayah pesisir. Suatu kawasan laut yang masih di pengaruhi oleh dampak pencemaran dan sedimentasi dari darat. Dan sebaliknya suatu kawasan darat dimana dampak pencemaran dan sedimentasi yang ditimbulkan di sini memberikan dampak di kawasan pesisir (Handoko, 2011).

Gambar 9. Ilustrasi Batas Wilayah Pesisir

Adapun batas pesisir yaitu batas ke arah darat:

1. Ekologis: kawasan daratan yang masih dipengaruhi oleh proses-proses kelautan, seperti pasang surut, intrusi air laut, dll.

2. Administratif: batas terluar sebelah hulu dari desa pantai atau jarak definitif secara arbitrer (2 km, 20 km, dst. dari garis pantai)

3. Perencanaan: bergantung pada permasalahan atau substansi yang menjadi fokus pengelolaan wilayah pesisir.

a. Pencemaran dan sedimentasi : suatu kawasan darat dimana dampak pencemaran dan sedimentasi yang ditimbulkan di sini memberikan dampak di kawasan pesisir.

b. Hutan mangrove: batas terluar sebelah hulu kawasan hutan mangrove.

Untuk batas pesisir ke arah laut yaitu:

1. Ekologis: kawasan laut yang masih dipengaruhi oleh proses-proses alamiah di darat (aliran air sungai, run off, aliran air tanah, dll), atau dampak kegiatan manusia di darat (bahan pencemar, sedimen, dll); atau kawasan laut yang merupakan paparan benua (continental shelf).

2. Administratif: 4 mil, 12 mil, dst., dari garis pantai ke arah laut.

3. Perencanaan: bergantung pada permasalahan atau substansi yang menjadi fokus pengelolaan wilayah pesisir.

a. Pencemaran dan sedimentasi: suatu kawasan laut yang masih di pengaruhi oleh dampak pencemaran dan sedimentasi dari darat. b. Hutan mangrove: kawasan perairan laut yang masih mendapat

pengaruh dari proses dan atribut ekologis mangrove, seperti bahan organik (detritus) yang berasal dari mangrove.

2.6 Ruang Terbuka Hijau Pesisir

Ruang terbuka didefinisikan sebagai bagian peruntukkan penggunaan tanah dalam wilayah kota yang disediakan untuk difungsikan sebagai daerah ruang terbuka yang dapat berupa lahan terbuka hijau, lapangan, pemakaman, tegalan, persawahan dan bentuk-bentuk lainnya (Lawson, 2001).

Ruang terbuka kota pada dasarnya adalah ruang kota yang tidak terbangun, yang berfungsi sebagai penunjang tuntutan akan kenyamanan, keamanan,

peningkatan kualitas lingkungan dan pelestarian alam yang terdiri dari ruang linier atau koridor dan ruang pulau atau oasis sebagai tempat perhentian (Hakim, 2004).

Menurut Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor: 05/PRT/M/2008 Ruang Terbuka Hijau (RTH) tentang Pedoman Penyediaan dan Pemanfaatan RTH di Kawasan Perkotaan, ruang terbuka hijau adalah area memanjang/jalur dan atau mengelompok, yang penggunaannya lebih bersifat terbuka, tempat tumbuh tanaman, baik yang tumbuh tanaman secara alamiah maupun yang sengaja ditanam.

Perencanaan ruang terbuka hijau harus dapat memenuhi keselarasan harmoni antara struktural dan alamnya, bentuknya bukan sekedar taman, lahan kosong untuk rekreasi atau lahan penuh tumbuhan yang tidak dapat dimanfaatkan penduduk kota (Simonds, 2003).

Ruang terbuka hijau dibangun dari kumpulan tumbuhan dan tanaman atau vegetasi yang telah diseleksi dan disesuaikan dengan lokasi serta rencana dan rancangan peruntukkannya. Lokasi yang berbeda (seperti pesisir, pusat kota, kawasan industri, sempadan badan-badan air, dan lain-lain) akan memiliki permasalahan yang jauh berbeda. Untuk keberhasilan rancangan, penanaman dan kelestariannya maka sifat dan ciri serta kriteria arsitektural, hortikutural tanaman dan vegetasi penyusunan RTH harus menjadi bahan pertimbangan dalam menyelidiki jenis-jenis yang akan ditanam (Depdagri, 2007).

Dari beberapa pandangan tersebut dapat disimpulkan bahwa ruang terbuka hijau adalah bagian dari ruang terbuka di suatu kota atau kawasan yang diisi dengan tanaman untuk menjaga keseimbangan ekosistem yang ada dan memberi fungsi ekologis, sosial, budaya, ekonomi, dan estetika. Ruang terbuka hijau dapat digolongkan sesuai dengan kegunaannya seperti jalur hijau, taman, hutan kota, sempadan sungai, pekarangan, perkebunan, pertanian, pemakaman, dan jenis RTH lainnya. Keberadaan RTH dapat berfungsi sebagai penyerap polusi, memberi udara bersih, memberi kenyamanan, dan konservasi.

Menurut Instruksi Menteri Dalam Negeri No. 14 Tahun 1988, tujuan dibentuk atau disediakannya ruang terbuka hijau antara lain :

1. Meningkatkan mutu lingkungan hidup dan sebagai pengaman sarana lingkungan

2. Menciptakan keserasian lingkungan alam dan lingkungan binaan yang berguna bagi kepentingan manusia

Menurut Direktorat Jenderal Penataan Ruang (2006) mengacu pada manfaat RTH tersebut, prinsip penataan RTH diantaranya :

a. Aspek Fungsional

1. Pelestarian ruang terbuka kawasan, 2. Aksesibilitas publik/umum,

3. Keragaman fungsi dan aktivitas,

4. Skala ruang yang manusiawi dan berorientasi bagi pejalan kaki, 5. Sebagai pengikat antara lingkungan dengan bangunan, dan 6. Sebagai pelindung, pengaman dan pembatas lingkungan dengan

bangunan.

b. Aspek Fisik dan Nonfisik

1. Peningkatan estetika, karakter dan citra kawasan, 2. Kualitas fisik, dan

3. Kelengkapan fasilitas penunjang lingkungan. c. Aspek Lingkungan

1. Keseimbangan kawasan perencanaan dengan sekitar, 2. Keseimbangan dengan daya dukung lingkungan, 3. Kelestarian ekologis kawasan, dan

4. Pemberdayan kawasan.

Menurut Leimona (1997) dinyatakan bahwa vegetasi kawasan pesisir yang dapat bertahan dari gempa dan tsunami yaitu Kelapa (Cocos nucifera), Nipah (Nympha friticaus), dan Ketapang (Terminalia catappa). Vegetasi tersebut dapat mengurangi kekuatan gelombang tsunami. Kerapatan vegetasi juga teridentifikasi dapat mengurangi pengaruh kekuatan gelombang dari bencana tersebut. Apabila

pantai memiliki kerapatan vegetasi Nipah yang tinggi, maka pantai tersebut mempunyai resistensi terhadap kekuatan gelombang tsunami yang cukup tinggi.

Adapun pertimbangan penanaman vegetasi pada zona pesisir sebagai upaya soft protection berdasarkan klasifikasi resiko bencana adalah sebagai berikut:

1. Zona aman

Merupakan zona yang dialokasikan sebagai kawasan pemukiman penduduk dan akomodasi wisata yang memiliki kegiatan ekonomi penduduk.

2. Zona Bahaya

Zona ini pada prinsipnya tidak memiliki bangunan penduduk pada radius 200 meter dari pantai. Pada radius 200 meter dari pantai ditetapkan menjadi daerah penyangga yang efektif mengurangi kecepatan dan ketinggian gelombang tsunami. Daerah penyangga ini sebaiknya ditanami pepohonan yang dapat meredam kecepatan dan ketinggian gelombang tsunami, tinggi vegetasi antara 10-15 meter. Selain dengan vegetasi, pembuatan penyangga dapat juga dengan membuat tanggul penghambat tsunami, saluran buatan atau kolam sebagai pengendali. Zona bahaya ini dapat diarahkan dengan membangun perlindungan soft structure yang dikombinasikan dengan kegiatan budidaya perikanan dan ekowisata.

Salah satu cara untuk mengurangi dampak tsunami adalah dengan ruang terbuka hijau dalam bentuk hutan pantai atau bentuk lainnya. Efektivitas hutan dalam mengurangi dampak tsunami bergantung pada ketebalan, kerapatan vegetasi, diameter pohon, struktur, dan karakteristik pohon. Pohon dengan diameter 10 cm untuk mitigasi tsunami dengan tinggi gelombang 4,65 m, diameter 34,3 cm untuk tinggi gelombang 7 m, dan diameter 100 cm untuk tinggi gelombang 10 m. Ketebalan hutan yang efektif untuk tinggi gelombang 3 m adalah 20 m, sedangkan untuk tinggi gelombang 6 m ketebalan hutan yang efektif adalah 100 m (Lak, 2006).

Gambar 2. Zonasi Mangrove di Sumatra (Lak, 2006)

Selain itu juga dapat menggunakan mangrove, menurut Sidik dkk (2002) dapat dengan membuat pola zonasi pertumbuhan hutan mangrove yang terbagi atas:

1. Mangrove terbuka: mangrove berada pada bagian yang berhadapan dengan laut.

2. Mangrove tengah: mangrove yang berada di belakang mangrove zone

terbuka.

3. Mangrove payau: mangrove berada di sepanjang sungai berair payau. Menurut Karminarsih (2007) beberapa upaya mengurangi atau meminimalisasi dampak yang ditimbulkan tsunami adalah:

1. Mencegah perkembangan pemukiman di wilayah pesisir, yang berbatasan langsung dengan laut. Berkenaan dengan hal ini maka pemerintah harus mempersiapkan model tata ruang yang memasukkan unsur resiko tsunami. 2. Membuat zona penyangga dengan tanaman mangrove ataupun tanaman

pantai lainnya seperti cemara pantai (Casuarina equisefolia), nyamplung (Calophyllum sp.), dan ketapang (Terminalia catappa).

Hutan mangrove dalam skala ekologis merupakan ekosistem yang sangat penting, terutama karena daya dukungnya bagi stabilitas ekosistem kawasan pesisir. Kestabilan ekosistem mangrove akan mempunyai pengaruh sangat luas terhadap kelestarian wilayah pesisir. Mangrove sebagai ekosistem hutan, memiliki sifat dan ciri yang sangat khas, tumbuh pada pantai berlumpur dan muara sungai. Berdasarkan statusnya, kawasan hutan mangrove Indonesia dibedakan menjadi hutan produksi, taman nasional, suaka margasatwa, cagar alam, dan hutan lindung. Pengelolaannya menjadi tanggung jawab Departemen Kehutanan. Sedangkan yang non kawasan, dimana mangrove berada ataupun ditanam masyarakat di lahan-lahan milik masyarakat dikenal sebagai hutan rakyat,

wewenang dan tanggung jawabnya di tangan pemerintah daerah (Karminarsih, 2007). Pola penanaman mangrove perlu meniru pola zonasi mangrove secara alam (Gambar 3).

Gambar 3. Pola Zonasi Hutan Mangrove dari Tepi Laut Menuju ke Arah Daratan

(Sumber: Bengen, 2004)

Pohon bakau memagari kawasan tepian pantai hingga menyusup ke jantung kota melalui bantaran kali untuk mencegah intrusi air laut, menahan abrasi pantai, menahan air pasang, angin dan gelombang besar dari lautan lepas, mencegah pendangkalan dan penyempitan badan air, menyerap limpahan air dari daratan (saat banjir), menetralisasi pencemaran air laut, dan melestarikan habitat tiga ekosistem hutan bakau yang kaya keanekaragaman hayati (Andryana, 2010).

Hutan Lindung, daerah dengan lereng yang curam harus dijadikan kawasan hutan karena rawan longsor. Demikian pula dengan daerah pantai yang rawan akan abrasi air laut (Dahlan, 1992).

Menurut Leimona (1997) vegetasi pantai dengan ketebalan 200 m, kerapatan 30 pohon per 100 m2 dan diameter pohon 15 cm, dapat meredam 50 % energi gelombang. Selain upaya penghijauan pantai, dapat juga dilakukan hard protection, seperti pembangunan pemecah gelombang dengan ketinggian yang disesuaikan dengan karakteristik gelombang atau ketinggian gelombang.

Daerah penyangga pantai dimulai dari vegetasi di tepi air, kemudian vegetasi mangrove di area intertidal dengan jarak antara 300-500 meter, dan daerah yang datar minimal 100 meter yang terdiri dari vegetasi jenis Casuarina,

dapat mengurangi 75% energi gelombang. Perlindungan pantai dari abrasi dengan

soft structure berbeda-beda berdasarkan tipe pantainya (Lak, 2006). 1. Cliff Coast (pantai bertebing)

Gambar 4. Zonasi tanaman untuk Cliff Coast

(Sumber : Lak, 2006)

2. Clayey Bank Coast (pantai dengan tanah liat)

Gambar 5. Zonasi tanaman untuk Clayey Bank Coast

(Sumber : Lak, 2006)

3. Intertidal/muddy coast (pantai berlumpur)

Gambar 6. Zonasi tanaman untuk Muddy Coast

4. Sand Dune Coast

Gambar 7. Zonasi tanaman untuk Sand Dune Coast

(Sumber : Lak, 2006)

5. Sandy Coast (panta berpasir)

Gambar 8. Zonasi tanaman untuk Sandy Coast

(Sumber : Lak, 2006)

Daerah penyangga kawasan pesisir pantai haruslah memenuhi tujuan seperti: 1. Mengkontrol dan menstabilkan garis pantai dengan cara menjerap

sedimen-sedimen, menggunakan sabuk hijau dari mangrove serta cemara, pohon pinus, kelapa, atau palem untuk pantai berpasir,

2. Mereduksi kekuatan badai dan gelombang serta mengurangi dampak tsunami,

3. Menjadi sumber kehidupan dan sumber pendapatan untukmasyarakat lokal,

BAB III METODOLOGI 3.1 Waktu dan Lokasi penelitian

Penelitian ini dilaksanakan dalam rentang waktu 4 bulan, pada bulan Februari sampai dengan bulan Mei 2012. Persiapan dilakukan sejak bulan Maret 2011 hingga Desember 2011. Penelitian ini dilakukan di kawasan pesisir Kabupaten Pesawaran yaitu yang berada di Kecamatan Punduh Pidada. Luas wilayah penelitian ini adalah 22.419 ha. Lokasi penelitian dapat dilihat pada Gambar 10.

Gambar 10. Peta Orientasi Kawasan Pesisir Kecamatan Punduh Pidada Kabupaten Pesawaran (Sumber: Google earth)

Kabupaten Pesawaran sendiri memiliki luas kurang lebih 117.377 (seratus tujuh belas ribu tiga ratus tujuh puluh tujuh) hektar. Batas-batas wilayah kabupaten meliputi:

a. Sebelah Barat berbatasan dengan Kecamatan Pardasuka, Kecamatan Ambarawa, Kecamatan Gadingrejo, Kecamatan Adiluwih (Kabupaten Pringsewu);

b. Sebelah Utara berbatasan dengan Kecamatan Kalirejo, Kecamatan Bangunrejo, Kecamatan Bumi Ratu Nuban, Kecamatan Trimurjo (Kabupaten Lampung Tengah);

c. Sebelah Timur berbatasan dengan Kecamatan Natar (Kabupaten Lampung Selatan) Kecamatan Kemiling, Kecamatan Teluk Betung Barat (Kota

Dokumen terkait