• Tidak ada hasil yang ditemukan

Ruang terbuka didefinisikan sebagai bagian peruntukkan penggunaan tanah dalam wilayah kota yang disediakan untuk difungsikan sebagai daerah ruang terbuka yang dapat berupa lahan terbuka hijau, lapangan, pemakaman, tegalan, persawahan dan bentuk-bentuk lainnya (Lawson, 2001).

Ruang terbuka kota pada dasarnya adalah ruang kota yang tidak terbangun, yang berfungsi sebagai penunjang tuntutan akan kenyamanan, keamanan,

peningkatan kualitas lingkungan dan pelestarian alam yang terdiri dari ruang linier atau koridor dan ruang pulau atau oasis sebagai tempat perhentian (Hakim, 2004).

Menurut Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor: 05/PRT/M/2008 Ruang Terbuka Hijau (RTH) tentang Pedoman Penyediaan dan Pemanfaatan RTH di Kawasan Perkotaan, ruang terbuka hijau adalah area memanjang/jalur dan atau mengelompok, yang penggunaannya lebih bersifat terbuka, tempat tumbuh tanaman, baik yang tumbuh tanaman secara alamiah maupun yang sengaja ditanam.

Perencanaan ruang terbuka hijau harus dapat memenuhi keselarasan harmoni antara struktural dan alamnya, bentuknya bukan sekedar taman, lahan kosong untuk rekreasi atau lahan penuh tumbuhan yang tidak dapat dimanfaatkan penduduk kota (Simonds, 2003).

Ruang terbuka hijau dibangun dari kumpulan tumbuhan dan tanaman atau vegetasi yang telah diseleksi dan disesuaikan dengan lokasi serta rencana dan rancangan peruntukkannya. Lokasi yang berbeda (seperti pesisir, pusat kota, kawasan industri, sempadan badan-badan air, dan lain-lain) akan memiliki permasalahan yang jauh berbeda. Untuk keberhasilan rancangan, penanaman dan kelestariannya maka sifat dan ciri serta kriteria arsitektural, hortikutural tanaman dan vegetasi penyusunan RTH harus menjadi bahan pertimbangan dalam menyelidiki jenis-jenis yang akan ditanam (Depdagri, 2007).

Dari beberapa pandangan tersebut dapat disimpulkan bahwa ruang terbuka hijau adalah bagian dari ruang terbuka di suatu kota atau kawasan yang diisi dengan tanaman untuk menjaga keseimbangan ekosistem yang ada dan memberi fungsi ekologis, sosial, budaya, ekonomi, dan estetika. Ruang terbuka hijau dapat digolongkan sesuai dengan kegunaannya seperti jalur hijau, taman, hutan kota, sempadan sungai, pekarangan, perkebunan, pertanian, pemakaman, dan jenis RTH lainnya. Keberadaan RTH dapat berfungsi sebagai penyerap polusi, memberi udara bersih, memberi kenyamanan, dan konservasi.

Menurut Instruksi Menteri Dalam Negeri No. 14 Tahun 1988, tujuan dibentuk atau disediakannya ruang terbuka hijau antara lain :

1. Meningkatkan mutu lingkungan hidup dan sebagai pengaman sarana lingkungan

2. Menciptakan keserasian lingkungan alam dan lingkungan binaan yang berguna bagi kepentingan manusia

Menurut Direktorat Jenderal Penataan Ruang (2006) mengacu pada manfaat RTH tersebut, prinsip penataan RTH diantaranya :

a. Aspek Fungsional

1. Pelestarian ruang terbuka kawasan, 2. Aksesibilitas publik/umum,

3. Keragaman fungsi dan aktivitas,

4. Skala ruang yang manusiawi dan berorientasi bagi pejalan kaki, 5. Sebagai pengikat antara lingkungan dengan bangunan, dan 6. Sebagai pelindung, pengaman dan pembatas lingkungan dengan

bangunan.

b. Aspek Fisik dan Nonfisik

1. Peningkatan estetika, karakter dan citra kawasan, 2. Kualitas fisik, dan

3. Kelengkapan fasilitas penunjang lingkungan. c. Aspek Lingkungan

1. Keseimbangan kawasan perencanaan dengan sekitar, 2. Keseimbangan dengan daya dukung lingkungan, 3. Kelestarian ekologis kawasan, dan

4. Pemberdayan kawasan.

Menurut Leimona (1997) dinyatakan bahwa vegetasi kawasan pesisir yang dapat bertahan dari gempa dan tsunami yaitu Kelapa (Cocos nucifera), Nipah (Nympha friticaus), dan Ketapang (Terminalia catappa). Vegetasi tersebut dapat mengurangi kekuatan gelombang tsunami. Kerapatan vegetasi juga teridentifikasi dapat mengurangi pengaruh kekuatan gelombang dari bencana tersebut. Apabila

pantai memiliki kerapatan vegetasi Nipah yang tinggi, maka pantai tersebut mempunyai resistensi terhadap kekuatan gelombang tsunami yang cukup tinggi.

Adapun pertimbangan penanaman vegetasi pada zona pesisir sebagai upaya soft protection berdasarkan klasifikasi resiko bencana adalah sebagai berikut:

1. Zona aman

Merupakan zona yang dialokasikan sebagai kawasan pemukiman penduduk dan akomodasi wisata yang memiliki kegiatan ekonomi penduduk.

2. Zona Bahaya

Zona ini pada prinsipnya tidak memiliki bangunan penduduk pada radius 200 meter dari pantai. Pada radius 200 meter dari pantai ditetapkan menjadi daerah penyangga yang efektif mengurangi kecepatan dan ketinggian gelombang tsunami. Daerah penyangga ini sebaiknya ditanami pepohonan yang dapat meredam kecepatan dan ketinggian gelombang tsunami, tinggi vegetasi antara 10-15 meter. Selain dengan vegetasi, pembuatan penyangga dapat juga dengan membuat tanggul penghambat tsunami, saluran buatan atau kolam sebagai pengendali. Zona bahaya ini dapat diarahkan dengan membangun perlindungan soft structure yang dikombinasikan dengan kegiatan budidaya perikanan dan ekowisata.

Salah satu cara untuk mengurangi dampak tsunami adalah dengan ruang terbuka hijau dalam bentuk hutan pantai atau bentuk lainnya. Efektivitas hutan dalam mengurangi dampak tsunami bergantung pada ketebalan, kerapatan vegetasi, diameter pohon, struktur, dan karakteristik pohon. Pohon dengan diameter 10 cm untuk mitigasi tsunami dengan tinggi gelombang 4,65 m, diameter 34,3 cm untuk tinggi gelombang 7 m, dan diameter 100 cm untuk tinggi gelombang 10 m. Ketebalan hutan yang efektif untuk tinggi gelombang 3 m adalah 20 m, sedangkan untuk tinggi gelombang 6 m ketebalan hutan yang efektif adalah 100 m (Lak, 2006).

Gambar 2. Zonasi Mangrove di Sumatra (Lak, 2006)

Selain itu juga dapat menggunakan mangrove, menurut Sidik dkk (2002) dapat dengan membuat pola zonasi pertumbuhan hutan mangrove yang terbagi atas:

1. Mangrove terbuka: mangrove berada pada bagian yang berhadapan dengan laut.

2. Mangrove tengah: mangrove yang berada di belakang mangrove zone

terbuka.

3. Mangrove payau: mangrove berada di sepanjang sungai berair payau. Menurut Karminarsih (2007) beberapa upaya mengurangi atau meminimalisasi dampak yang ditimbulkan tsunami adalah:

1. Mencegah perkembangan pemukiman di wilayah pesisir, yang berbatasan langsung dengan laut. Berkenaan dengan hal ini maka pemerintah harus mempersiapkan model tata ruang yang memasukkan unsur resiko tsunami. 2. Membuat zona penyangga dengan tanaman mangrove ataupun tanaman

pantai lainnya seperti cemara pantai (Casuarina equisefolia), nyamplung (Calophyllum sp.), dan ketapang (Terminalia catappa).

Hutan mangrove dalam skala ekologis merupakan ekosistem yang sangat penting, terutama karena daya dukungnya bagi stabilitas ekosistem kawasan pesisir. Kestabilan ekosistem mangrove akan mempunyai pengaruh sangat luas terhadap kelestarian wilayah pesisir. Mangrove sebagai ekosistem hutan, memiliki sifat dan ciri yang sangat khas, tumbuh pada pantai berlumpur dan muara sungai. Berdasarkan statusnya, kawasan hutan mangrove Indonesia dibedakan menjadi hutan produksi, taman nasional, suaka margasatwa, cagar alam, dan hutan lindung. Pengelolaannya menjadi tanggung jawab Departemen Kehutanan. Sedangkan yang non kawasan, dimana mangrove berada ataupun ditanam masyarakat di lahan-lahan milik masyarakat dikenal sebagai hutan rakyat,

wewenang dan tanggung jawabnya di tangan pemerintah daerah (Karminarsih, 2007). Pola penanaman mangrove perlu meniru pola zonasi mangrove secara alam (Gambar 3).

Gambar 3. Pola Zonasi Hutan Mangrove dari Tepi Laut Menuju ke Arah Daratan

(Sumber: Bengen, 2004)

Pohon bakau memagari kawasan tepian pantai hingga menyusup ke jantung kota melalui bantaran kali untuk mencegah intrusi air laut, menahan abrasi pantai, menahan air pasang, angin dan gelombang besar dari lautan lepas, mencegah pendangkalan dan penyempitan badan air, menyerap limpahan air dari daratan (saat banjir), menetralisasi pencemaran air laut, dan melestarikan habitat tiga ekosistem hutan bakau yang kaya keanekaragaman hayati (Andryana, 2010).

Hutan Lindung, daerah dengan lereng yang curam harus dijadikan kawasan hutan karena rawan longsor. Demikian pula dengan daerah pantai yang rawan akan abrasi air laut (Dahlan, 1992).

Menurut Leimona (1997) vegetasi pantai dengan ketebalan 200 m, kerapatan 30 pohon per 100 m2 dan diameter pohon 15 cm, dapat meredam 50 % energi gelombang. Selain upaya penghijauan pantai, dapat juga dilakukan hard protection, seperti pembangunan pemecah gelombang dengan ketinggian yang disesuaikan dengan karakteristik gelombang atau ketinggian gelombang.

Daerah penyangga pantai dimulai dari vegetasi di tepi air, kemudian vegetasi mangrove di area intertidal dengan jarak antara 300-500 meter, dan daerah yang datar minimal 100 meter yang terdiri dari vegetasi jenis Casuarina,

dapat mengurangi 75% energi gelombang. Perlindungan pantai dari abrasi dengan

soft structure berbeda-beda berdasarkan tipe pantainya (Lak, 2006). 1. Cliff Coast (pantai bertebing)

Gambar 4. Zonasi tanaman untuk Cliff Coast

(Sumber : Lak, 2006)

2. Clayey Bank Coast (pantai dengan tanah liat)

Gambar 5. Zonasi tanaman untuk Clayey Bank Coast

(Sumber : Lak, 2006)

3. Intertidal/muddy coast (pantai berlumpur)

Gambar 6. Zonasi tanaman untuk Muddy Coast

4. Sand Dune Coast

Gambar 7. Zonasi tanaman untuk Sand Dune Coast

(Sumber : Lak, 2006)

5. Sandy Coast (panta berpasir)

Gambar 8. Zonasi tanaman untuk Sandy Coast

(Sumber : Lak, 2006)

Daerah penyangga kawasan pesisir pantai haruslah memenuhi tujuan seperti: 1. Mengkontrol dan menstabilkan garis pantai dengan cara menjerap

sedimen-sedimen, menggunakan sabuk hijau dari mangrove serta cemara, pohon pinus, kelapa, atau palem untuk pantai berpasir,

2. Mereduksi kekuatan badai dan gelombang serta mengurangi dampak tsunami,

3. Menjadi sumber kehidupan dan sumber pendapatan untukmasyarakat lokal,

BAB III METODOLOGI 3.1 Waktu dan Lokasi penelitian

Penelitian ini dilaksanakan dalam rentang waktu 4 bulan, pada bulan Februari sampai dengan bulan Mei 2012. Persiapan dilakukan sejak bulan Maret 2011 hingga Desember 2011. Penelitian ini dilakukan di kawasan pesisir Kabupaten Pesawaran yaitu yang berada di Kecamatan Punduh Pidada. Luas wilayah penelitian ini adalah 22.419 ha. Lokasi penelitian dapat dilihat pada Gambar 10.

Gambar 10. Peta Orientasi Kawasan Pesisir Kecamatan Punduh Pidada Kabupaten Pesawaran (Sumber: Google earth)

Kabupaten Pesawaran sendiri memiliki luas kurang lebih 117.377 (seratus tujuh belas ribu tiga ratus tujuh puluh tujuh) hektar. Batas-batas wilayah kabupaten meliputi:

a. Sebelah Barat berbatasan dengan Kecamatan Pardasuka, Kecamatan Ambarawa, Kecamatan Gadingrejo, Kecamatan Adiluwih (Kabupaten Pringsewu);

b. Sebelah Utara berbatasan dengan Kecamatan Kalirejo, Kecamatan Bangunrejo, Kecamatan Bumi Ratu Nuban, Kecamatan Trimurjo (Kabupaten Lampung Tengah);

c. Sebelah Timur berbatasan dengan Kecamatan Natar (Kabupaten Lampung Selatan) Kecamatan Kemiling, Kecamatan Teluk Betung Barat (Kota Bandar Lampung); dan

d. Sebelah Selatan Berbatasan dengan Teluk Lampung Kecamatan Kelumbayan dan Kecamatan Cukuh Balak Kabupaten Tanggamus

Dokumen terkait