• Tidak ada hasil yang ditemukan

Seri Working Paper 12

Judul:

Dewan Pengupahan: Strategiskah Sebagai Media Perjuangan Buruh?

Penulis:

Popon Anarita & Resmi Setia MS

Abstrak:

Pembahasan mengenai upah tidak dapat dilepaskan dari institusi perumus upah minimum yaitu Dewan Pengupahan. Penelitian mengenai Dewan Pengupahan di provinsi Jawa Barat dan kabupaten Bandung yang dilakukan AKATIGA tahun 2001 menunjukkan bahwa sejak era Orde Baru hingga Otonomi Daerah belum terjadi perubahan yang signifikan. Kondisi ini membuat Dewan Pengupahan belum dapat menjadi media yang strategis bagi buruh untuk memperbaiki kondisinya. Hal ini juga membuat Dewan Pengupahan tidak lebih sebagai alat kontrol pemerintah dalam hal kebijakan pengupahan. Upaya perbaikan sistem dan mekanisme di Dewan Pengupahan harus segera dilakukan agar Dewan Pengupahan dapat dimanfaatkan bagi upaya perbaikan kondisi buruh melalui besaran upah yang dihasilkan.

he present portraits of success have more tendencies to highlight cases of middle-class women, and more specifically cases of success motored by middle-class women. This writing, which is based on the experience of ASPPUK as low-class women's network, intends to portray the success stories of low-class women's movements in fighting for their rights under a small scope, especially before the government. This portrayal of ASPPUK's movement gives more focus on basic economic politics or “belly politics”. Though the movements are mostly small in scale, behind them rest a line of families whose economic live depends on women.

D a l a m s e j a r a h I n d o n e s i a , perjuangan perempuan sudah dimulai sejak abad ke 19, seiring dengan berkembangnya gerakan masyarakat lainnya. Sebut saja, Christina Martha Tiahahu dari Maluku pada tahun 1817-1819; Nyi Ageng Serang dari Jawa Tengah pada sekitar pertengahan abad ke

19; Cut Nyak Dien dan Cut Meutia di dalam perang Aceh tahun 1873-1904; dan juga RA Kartini tahun 1879-1904; Dewi Sartika 1884-1947; Maria Walanda Maramis tahun 1872-1924, Nyi Ahmad Dahlan tahun 1872-1936, Rasuna Said 1901-1965. Namun, masa yang amat penting dan menjadi titik balik dari perjuangan gerakan perempuan adalah pada tahun

(Pengalaman Jaringan Perempuan Usaha Kecil-Mikro)

Abstract

Pendahuluan

M. Firdaus dan Titik Hartini

M. Firdaus, Divisi Program ASPPUK dan anggota presidium Jekora, dan Titik Hartini, Sekretaris Eksekutif Nasional ASPPUK

Ryadi Gunawan. 1993. “Dimensi-Dimensi Perjuangan Kaum Perempuan Indonesia dalam Persepktif Sejarah,” dalam Dinamika Gerakan Perempuan di Indonesia,” Fauzi Ridjal, dkk. Yoyakarta: PT Tiara Wacana. Hlm. 100 1 2 2 1

T

1928, saat diadakan Kongres Perempuan yang pertama di Yogyakarta, dan Soekarno yang kemudian menjadi presiden Republik Indonesia, memberikan kata sambutan.

Kemudian pada tahun 1930 muncul organisasi perempuan lain yang bernama “Istri Sedar”, sebagai reaksi atas ketegangan antara organisasi perempuan dalam isu poligami. Menurut catatan sejarah, organisasi perempuan ini termasuk yang radikal dalam mendukung gerakan nasionalisme. Setelah era tahun 1945, muncul pula organisasi p e r e m p u a n y a n g b e r n a m a Persatuan Perempuan Indonesia (Perwani), yang menggantikan p e r a n F u j i n k a i, o r g a n i s a s i p e r e m p u a n y a n g d i d i r i k a n pemerintah Jepang untuk membela tanah air. Selain itu, pada tahun 1 9 5 4 l a h i r s u a t u g e r a k a n perempuan yang monumental

dalam sejarah Indonesia, yaitu Gerwani (Gerakan Perempuan Indonesia), sebagai perubahan nama dari “Gerakan Perempuan Sadar” (Garwis), yang didirikan pada tahun 1950.

D a r i c o n t o h g e r a k a n d a n

perjuangan perempuan di atas, terlintas catatan kritis dari p e n g a m a t m a s a l a h g e r a k a n perempuan. Di antara catatan tersebut adalah persoalan status

dari sang pejuang perempuan. Kebanyakan pejuang tersebut adalah mereka yang berasal dari “kelas atas”. Pertanyaan yang muncul dalam konteks itu, jika RA Kartini tidak berasal dari kelas atas, mungkinkah perjuangannya bisa muncul dalam tinta sejarah? Karena ada adigium bahwa peristiwa dalam sejarah selalu dibuat oleh orang-orang besar? Dengandemikian, mungkinkah pernah ada gerakan perempuan yang “lebih hebat”, namun tidak tertulis dalam sejarah karena dilakukan oleh perempuan dari “kelas bawah”?

Kemudian, bila diamati secara seksama, “protes” yang dilakukan dalam perjuangan perempuan yang tertulis dalam sejarah berkisar pada isu jender, dan kemudian ( 1 9 2 8 ) l e b i h p a d a g e r a k a n kemerdekaan. Hal tersebut terjadi karena memang demikianlah situasi dan kondisi Indonesia saat itu, ketika gaung kemerdekaan menjadi isu semua gerakan yang

a

Wardah Hafidz. 1993. “Gerakan Perempuan Dulu, Sekarang, dan Sumbangannnya kepad Transformasi Bangsa,” “Dinamika Gerakan Perempuan di Indonesia.” Fauzi Ridjal, dkk. Yoyakarta: PT Tiara Wacana.Hlm. 95.

Tita Marlita dan E. Kristi Poerwandari. 2000. “Pergerakan Perempuan Indonesia : 1928-1965”. dalam

“Perempuan Indonesia Dalam Masyarakat Yang Tengah Berubah,” E, Kristi Porwandari dan Rahayu S.H. eds. Jakarta: PSKW-PPUI.Hlm. 87.

Ibid.,

Gunawan,op. cit., hal. 101. 4 4 3 3 5 5 6 6

ada. Namun, isu yang berkaitan dengan peningkatan ekonomi, seperti tuntutan akan “hak hidup” yang layak dari kaum perempuan, serta penanganan kebutuhan dasar perempuan dan anak, kelihatannya kurang terekam dalam sejarah kita. Apalagi bila momen-momen tersebut dilakukan bukan oleh “orang besar” yang selalu membuat “peristiwa besar”. Padahal, bila d i t e n g o k k e d a l a m s e j a r a h perjuangan perempuan di luar negeri, ada sejumlah peristiwa yang dilakukan oleh kaum perempuan seputar hal itu. Sebagai contoh, gerakan yang dilakukan oleh sejumlah perempuan di Inggris dan Perancis pada abad ke 18 dan 19, yang terorganisasi dengan baik untuk memprotes hal-hal yang menyangkut persoalan “kebutuhan dasar hidup”. Begitu pula dengan apa yang terjadi dengan para perempuan di Chili pada tahun 1 9 7 0 y a n g t e r k e n a l d e n g a n “Gerakan Periuk Kosong” (March of The Empty Pots).

Dalam konteks itu, penulis ingin mengulas pengalaman sejumlah perempuan di berbagai daerah yang selama ini bergerak dalam pemenuhan hak ekonominya. Pengalaman tersebut, memang, bukan dilakukan oleh perempuan “kelas atas” dalam kelas sosial,

namun dijalani selama bertahun-tahun oleh perempuan di akar rumput di dalam kehidupannya. Pengalaman tersebut dilakukan oleh para perempuan yang selama ini tergabung dalam kelompok-kelompok kecil di tingkat RT dan RW. Bahkan kini, mereka membuat organisasi yang lebih besar pada tingkat kabupaten yang disebut dengan “Jaringan Perempuan Usaha Kecil (Jarpuk)”.

Keberadaan Jarpuk diawali dengan b e r k u m p u l n y a p a r a u t u s a n kelompok-kelompok perempuan yang selama ini ada pada tingkat RT dan RW. Awal pembentukan kelompok tersebut didorong oleh sejumlah LSM dengan nama yang bervariasi; ada yang berupa KSM (Kelompok Swadaya Masyarakat), atau KWPS (Kelompok Wanita Pengembangan Sumber Daya), dan sebagainya. Namun, kemudian ada p u l a k e l o m p o k - k e l o m p o k - - dipelopori oleh kader lokal -- kelompok yang membentuk kelompok-kelompok perempuan baru. Dalam hal ini, LSM yang mendampingi kelompok-kelompok perempuan ini bergabung dalam satu wadah bernama “ASPPUK”. Guida West, eds. “Women in Grass-Roots Protests for Economic Survival”, dalam Women and Social Protest. New York : Oxford University Press, 1990. Hlm. 37. Di Indonesia, protes yang dilakukan Suara Ibu Peduli, mengenai langkanya susu bagi ibu dan anak-anak bisa menjadi salah satu contohnya. Namun

pendokumentasian seputar kegiatan gerakan perempuan yang mempersoalkan hal yang paling dasar, seperti kebutuhan akan makan dan minum serta yang lainnya, kurang terekam dengan baik.

ASPPUK adalah jaringan LSM yang dahulunya bernama YASPPUK, yang bergerak dalam pemberdayaan perempuan dan penguatan institusi perempuan di akar rumput, dan juga penyadaran akan hak-hak 7

7

8

8

Dari “Kebutuhan Praktis” Ke