• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengorganisasian Diri dalam Kelompok

lancar adalah simpan pinjam. Hal itu menunjukkan bahwa upaya kelompok yang cukup efektif pun serupa dengan upaya individu yang dianggap cukup efektif yaitu b e r u p a y a m e n c a r i b e r b a g a i peluang mengatasi kekurangan pendapatan rumah tangga.

U p a y a y a n g d i l a k u k a n o l e h pendamping yaitu intervensi melalui pengorganisasian diri dalam kelompok cukup banyak dilakukan dalam kasus usaha gula kelapa dan baru dimulai untuk

Pengorganisasian Diri dalam

Kelompok

u s a h a g e n t e n g . D a l a m pengorganisasian diri ini, muncul persoalan lain terkait dengan p e r e m p u a n y a i t u s u l i t n y a mengajak perempuan untuk terlibat dalam kegiatan kelompok yang memungkinkan munculnya partisipasi perempuan dalam pengambilan keputusan berkaitan dengan pengaturan sumber daya ekonomi di tingkat komuniti. Pertanyaan kritisnya adalah seberapa penting partisipasi perempuan dan lebih konkritnya a d a l a h s e b e r a p a p e n t i n g pengorganisasian diri perempuan secara khusus mengingat persoalan yang ada tidak hanya menyangkut perempuan tetapi juga laki-laki sebagai sesama bagian dari kelompok pengusaha mikro.

Wacana tersebut masih menjadi p e r d e b a t a n . S e c a r a u m u m , pembangunan di segala bidang dan tingkatan seringkali dianggap tidak atau kurang berpihak kepada ”perempuan¡±(gender blind). Oleh k a r e n a i t u , m u n c u l w a c a n a perempuan dan pembangunan. Salah satu bentuk dilibatkannya p e r e m p u a n d i d a l a m pembangunan dikaitkan dengan peningkatan peran perempuan dalam wacana pemberdayaan ekonomi dan politik, antara lain dalam bentuk pengorganisasian perempuan untuk mengatasi hambatan-hambatan usaha. Hanya saja, wacana pelibatan perempuan secara ekonomi dan politik di tingkat lokal khususnya yang terkait dengan pengaturan sumber daya ekonomi atau usaha di

perdesaan, masih belum banyak dibahas. Sementara itu, wacana politik yang muncul kebanyakan di seputar kuota perempuan di dalam badan eksekutif dan legislatif yang tidak secara langsung dapat m e n g u b a h k o n d i s i e k o n o m i k e l o m p o k m i s k i n perdesaankhususnya perempuan pengusaha mikro-kecil.

Penelitian bersama ASPPUK ini m e n u n j u k k a n b a h w a pengorganisasian perempuan yang membawa misi peningkatan partisipasi perempuan selama ini masih berputar pada isu-isu yang berkaitan dengan relasi laki-laki dan perempuan di dalam rumah tangga. Upaya untuk memperkuat posisi tawar terhadap pihak-pihak luar yang memiliki kekuatan untuk mengatur sumber daya belum menjadi perhatian kelompok-kelompok perempuan. Disadari bahwa peningkatan kesadaran akan pentingnya perempuan terlibat dalam kelompok usaha untuk memperjuangkan nasibnya sendiri perlu diprioritaskan lebih dulu.

P e n g a l a m a n p e n e l i t i a n d i Banyumas menunjukkan bahwa perempuan tidak bersedia hadir dalam pertemuan kelompok (yang memang diselenggarakan malam hari) dan di lain pihak laki-laki pun tidak bersedia untuk mengganti waktu pertemuan pada jam-jam ketika perempuan bersedia hadir. Alasan utamanya adalah sulitnya mencari waktu yang tepat bagi semua pihak karena ketatnya

pembagian kerja. Akan tetapi, hal yang berbeda ditemukan di Klaten. Internalisasi kesadaran pentingnya partisipasi perempuan dalam pengambilan keputusan di dalam kelompok sudah dimiliki oleh perempuan pengrajin genteng. Bahkan, kelompok perempuanlah y a n g m e n j a d i m o t o r y a n g mengupayakan agar persoalan usaha genteng diatasi melalui kelompok agar posisi tawar pengrajin lebih baik.

Sejauh ini upaya kelompok yang dianggap cukup berhasil adalah upaya kelompok pengrajin gula di D e s a P a g e r a j i , B a n y u m a s . Keberhasilan tersebut dinilai dari kemampuan kelompok untuk m e m b u k a j a l u r p e m a s a r a n alternatif sehingga pengepul yang semula merupakan satu-satunya pemegang kendali atas pemasaran gula kelapa di desa tersebut menjadi tersaingi. Jalur pemasaran yang berhasil ditembus kelompok sebenarnya bukan merupakan jalur pemasaran yang benar-benar baru tetapi masih berada pada rantai pemasaran konvensional melalui pengepul bertingkat, hanya saja kelompok itu berhasil memotong jalur pemasaran tanpa melalui pengepul desa. Perbaikan harga di tingkat kelompok hanya dinikmati oleh anggota kelompok yang menjual gula pada kelompok. Akan tetapi, keberadaan kelompok sebagai pesaing pengepul membuat pengepul tidak lagi menjadi satu-satunya penentu harga sehingga pengepul pun mulai memberikan peningkatan harga pada pengrajin

agar keberadaannya tidak disaingi oleh kelompok. Keberhasilan yang terakhir ini tidak saja dinikmati oleh anggota, tetapi juga oleh semua pengrajin gula di desa tersebut.

Bagaimana dengan partisipasi p e r e m p u a n ? P e n g a l a m a n kelompok pengrajin gula di Banyumas tersebut menunjukkan b a h w a t u j u a n p e m e c a h a n persoalan melalui kelompok secara bertahap dapat tercapai tetapi m e n g a b a i k a n p a r t i s i p a s i p e r e m p u a n d i d a l a m n y a . Sebaliknya dengan pengalaman kelompok pengrajin genteng di Klaten. Partisipasi perempuan s a n g a t b e s a r d i d a l a m kelompokyang memang khusus perempuandan sudah cukup lama dilakukan yaitu hampir 20 tahun, tetapi pembicaraan mengenai persoalan usaha genteng sebagai usaha andalan anggota kelompok di Desa Beku tersebut baru saja dimulai. Selama ini, kelompok lebih mengupayakan agar perempuan memiliki usaha sendiri dan kurang memperhatikan usaha-usaha keluarga yang sudah dijalankan oleh anggotanyadan memang tidak s e c a r a k h u s u s d i m i l i k i d a n dijalankan oleh perempuan.

Walau bagaimanapun, wacana pelibatan perempuan dalam pengaturan sumber daya di tingkat komuniti sangat penting untuk d i w u j u d k a n s e c a r a k o n k r i t . Perempuan sebagai bagian dari

Kesimpulan

masyarakat memiliki hak yang sama untuk terlibat dalam proses pengambilan keputusan, apalagi berkaitan dengan sumber daya yang penting bagi kehidupannya. D a l a m h a l i n i , p e r a n L S M pendamping sangat penting karena banyak bukti yang menunjukkan bahwa seringkali sulit untuk m e n g a j a k p e r e m p u a n berpartisipasi dan hal itu baru dapat tertembus secara bertahap setelah adanya upaya-upaya pendampingan yang memakan waktu lama. Dalam penelitiannya d i I n d i a , U s h a J u m a n i mendapatkan kesimpulan bahwa o r g a n i s a s i p e r e m p u a n a k a n berjalanwalaupun lambatjika kegiatannya dapat secara langsung m e n a m b a h p e n d a p a t a n perempuan. Di samping itu, rasa solidaritas di antara sesama perempuan sangat penting di d a l a m p e n g o r g a n i s a s i a n perempuan pengusaha (Jumani, 1991).

Wacana pengaturan sumber daya ekonomi lokal belum banyak dibahas, padahal cukup banyak pengalaman pendampingan yang

Beneria, Lourdes. 1979. “Reproduksi, Produksi, dan Pembagian Kerja Seksual.”Cambridge Journal of Economics 3: 203-205.

Dewayanti, R., E.P. Mulyoutami, dan R. Susilowati. 2003. Persoalan Usaha dan Pengorganisasian Perempuan Usaha Kecil. Studi Kasus: Usaha Genteng di Klaten dan Usaha Gula Kelapa di Banyumas. Laporan Penelitian. Bandung: Yayasan AKATIGA.

Daftar Rujukan

telah mengakomodasi isu tersebut. Tujuan kelompok dapat saja tercapai, tetapi jika hal itu m e n g a b a i k a n p a r t i s i p a s i perempuan sebagai sesama pelaku usaha yang memiliki kepentingan yang sama besar, bagaimana dampaknya di masa mendatang? Mungkin saja solusi yang dianggap sebagai keberhasilan kelompok usaha justru merupakan penyebab dari makin terpinggirkannya perempuan dari pembangunan. Misalnya, keberhasilan kelompok untuk memperbaiki posisi tawar terhadap pelaku usaha lainnya ternyata tidak dinikmati sebagai peningkatan kekuatan atau posisi tawar oleh perempuan, dan peran p e r e m p u a n t e t a p s a j a p a d a pelaksana strategi internal rumah t a n g g a b e r u p a p e n g e l o l a a n keuangan rumah tangga. Dalam hal ini, yang penting tidak saja mengatasi masalah usaha, tetapi juga untuk mengajak perempuan menyadari haknya di dalam kontrol dan pengambilan keputusan atas sumber daya yang penting bagi kehidupannya.

Dewayanti, Ratih. 2002. “Strategi Penguatan Perempuan Usaha Kecil: Berangkat dari Persoalan Usaha Kecil.” Makalah Lokakarya

ASPPUK. Bandung: Yayasan AKATIGA.

Jumani, Usha. 1991. Dealing with Poverty: Self Employment for Poor Rural Women. London: Sage Publication Ltd.

Moser, Caroline O.N. 1991. “Gender Planning in the Third World: Meeting Practical and Strategic Gender Needs” dalam T. Wallace dan C. March (eds.) Changing Perceptions: Writings on Gender and Development. Oxford: Oxfam. Hlm. 158-171.

Young, Kate. 1992. “Household Resource Management,” dalam L. Ostergaard (ed.) Gender and Development: A Practical Guide.

91