• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kendala-Kendala Partisipasi

menjadi kelompok sasaran dalam P P K . O r g a n i s a s i - o r g a n i s a s i perempuan adalah organisasi sosial dengan tingkat inklusi yang l e b i h b e s a r d i b a n d i n g k a n organisasi-organisasi lainnya di desa.

Akan tetapi, partisipasi perempuan masih menyimpan masalah yang sama dengan persoalan partisipasi bagi kelompok miskin.

Secara substansi, partisipasi dapat dipandang sebagai pembukaan akses dan kontrol terhadap sumber daya. Di awal, kita melihat bahwa sumber daya itu sendiri sudah didefinisikan dan definisi tersebut sangat terkait dengan definisi-definisi yang ditentukan oleh sistem ekonomi politik tertentu. D a l a m h a l i n i , P P K t e l a h mendefinisikan sumber daya sebagai sesuatu yang terkait dengan pembangunan prasarana fisik dan ekonomi. Artinya, setiap s i s t e m t e l a h mengkonseptualisasikan makna sumber daya sesuai dengan definisi yang dimiliki atau dipercayai dan mengabaikan definisi sumber daya yang dimaksud dan dibutuhkan menurut versi komunitas. Dengan demikian, pembatasan makna sumber daya menjadi infrastruktur mengarahkan usulan kebutuhan yang justru penting seperti beasiswa bagi anak tidak mampu dan pembelian buku sekolah tidak masuk menjadi usulan untuk d i d a n a i . P a d a a k h i r n y a pembangunan Posyandu yang justru terpilih.

D i t i n g k a t i m p l e m e n t a s i , partisipasi sering diterjemahkan sebagai kemanfaatan publik. Kemanfaatan publik ini yang kemudian menjadi prioritas utama dan digunakan oleh masyarakat untuk menjadi dasar argumen atas u s u l a n y a n g d i b a n g u n . K e m a n f a a t a n p u b l i k diterjemahkan lagi oleh kelompok

implementator atau pelaksana sebagai indikator kemanfaatan dari satu usulan terpilih; dengan kata lain berapa banyak rumah tangga yang mendapatkan manfaat dari usulan tersebut.

Kriteria kemanfaatan publik ini lebih mudah menjadi bahan a r g u m e n k a r e n a d i p a n d a n g s e b a g a i k r i t e r i a y a n g b i s a dikompromikan dan menjadi jalan tengah apabila terjadi perbedaan usulan antardusun. Persoalannya, belum tentu kemanfaatan publik itu sejalan dengan kepentingan kelompok miskin. Sebagai contoh, usulan pompa air minum ditolak d e n g a n a l a s a n h a n y a menguntungkan sebagian kecil rumah tangga sementara Posyandu dianggap menguntungkan semua kelompok perempuan di desa tersebut.

P e n e n t u a n k r i t e r i a - k r i t e r i a tersebut juga didorong oleh sistem

monitoring dan kompetisi. Pada praktiknya di lapangan, gabungan sistem monitoring dan kompetisi ini membentuk sistem kontrol yang kuat terhadap pencegahan korupsi dan kebocoran, dan juga kontrol

terhadap kualitas prasarana dan sarana terbangun. Padahal, mekanisme kompetisi di dalam PPK adalah mekanisme paling m e n o n j o l y a n g s e b e t u l n y a berlawanan dengan partisipasi. Di dalam kompetisi, yang berlaku adalah “market role”, sementara partisipasi justru ingin membuat kelompok-kelompok tertinggal, yang tidak masuk dalam market t e r s e b u t , m a s u k d a l a m pengambilan keputusan.

Implikasi dari sistem monitoring

dan kontrol yang kuat ternyata a d a l a h k e l o m p o k - k e l o m p o k terdorong untuk mengusulkan bentuk kegiatan yang dianggap tidak akan berlawanan dengan kriteria yang membuat usulan tersebut mungkin ditolak. Salah satu kriteria ditolaknya satu usulan adalah kegiatan yang berkaitan dengan pemeliharaan prasarana dan kegiatan ekonomi yang memiliki kemungkinan tinggi menimbulkan kemacetan kredit. O l e h k a r e n a i t u , u s u l a n membangun pompa air ditolak bukan hanya karena alasan kurangnya kemanfaatan publik, tetapi juga karena tidak adanya jaminan terpeliharanya pompa air karena penggunanya adalah kelompok miskin yang tidak memiliki uang untuk menanggung biaya pemeliharaan selanjutnya.

Ironisnya, pada bidang ekonomi, sistem kompetisi dan kontrol ini m e n d o r o n g d i t e t a p k a n n y a kelompok-kelompok yang aman s e b a g a i p e n e r i m a m a n f a a t

pinjaman, yaitu kelompok yang d a p a t m e n j a m i n r e n d a h n y a kemacetan perguliran dana. Pada akhirnya alokasi dana untuk k e g i a t a n e k o n o m i t i d a k menjangkau kelompok miskin yang berisiko tinggi menyebabkan k e m a c e t a n p i n j a m a n .

Implementator PPK, khususnya p e n g u r u s T P K e k o n o m i mengetahui siapa saja kelompok miskin di dalam komunitas, tetapi sistem PPK yang mengutamakan kontrol dan kompetisi membuat mereka mengalokasikan dana pada kelompok-kelompok yang stabil penghasilannya.

Partisipasi memang masih menjadi persoalan besar bagi kelompok perempuan miskin. Pola-pola inklusi yang diharapkan terjadi melalui pembukaan ruang-ruang publik di dalam komunitas, pada akhirnya, justru memunculkan eksklusi (exclusion) yang lebih besar bagi kelompok miskin. Apabila dulu eksklusi datang dari kelompok birokrasi dan negara, maka apa jadinya apabila sekarang eksklusi tersebut justru datang dari kelompok warganya sendiri? Apakah dalam jangka panjang kondisi ini akan melemahkan tindakan kolektif yang justru penting bagi kelompok miskin di dalam menyalurkan kepentingan pada tingkat yang lebih tinggi?

Penutup

Cooke, B. dan Uma Kothari (eds.) 2001. Participation: The New Tyranny?

London: Zed Books. Gibson, S. 1993. “The World Bank and the New Politics of Aid,” The European Journal of Development Research, Vol.5, no.1.

Leftwich, A. 1993. “Governance, Democracy and Development in the Third World,” dalam Third World Quarterly, Vol.14, no.3, 605-624.

1996. “Two Cheers for Democracy,” dalam The Political Quarterly, Vol.67, 334-339.

Kaufman, M. dan H.D. Alfonso. 1997. Community Power and Grassroots Democracy,” London: Zed Books.

Razavi, S. 2000. Gendered Poverty and Well Being. Oxford: Blackwell Publisher.

Sparringa, A.Daniel. 2001. “Good Governance dan Transisi Demokrasi,” dalamForum Inovasi, Capacity Building dan Good Governance. Vol. 1, 18-22.

World Bank. 1992. Governance and Development. WashingtonL World Bank.

Buku Petunjuk Teknis Operasional (PTO), Program Pengembangan Kecamatan, PMD, 1999

Laporan Penelitian PPK “Apakah PPK itu Pro-Poor?”, Akatiga, Bandung, 2003.

Laporan Bulanan (Kumpulan), Program Pengembangan Kecamatan, KM (Konsultan Manajemen) Provinsi Jawa Barat Tahun 2000

Laporan Bulanan (Kumpulan), Program Pengembangan Kecamatan, KM (Konsultan Manajemen) Provinsi Jawa Barat Tahun 2001

Laporan Bulanan (Kumpulan), Program Pengembangan Kecamatan, KM (Konsultan Manajemen) Kabupaten Subang Tahun 2000

Daftar Rujukan

Laporan Bulanan (Kumpulan), Program Pengembangan Kecamatan, KM (Konsultan Manajemen) Kabupaten Subang Tahun 2001

Laporan Bulanan (kumpulan), Fasilitator Kecamatan (FK) Pamanukan, Tahun 2000

Laporan Bulanan (kumpulan), Fasilitator Kecamatan (FK) Pamanukan, Tahun 2001

Potensi Kecamatan, Kecamatan Pamanukan, Tahun 1999, 2000, 2001

Potensi Desa (Podes), Desa Pamanukan Sebrang, Tahun 2000 dan 2001

Laporan Bulanan Unit?? Pengelola Keuangan (UPK-Pamanukan), Tahun 2000 (kumpulan)

Laporan Bulanan Unit?? Pengelola Keuangan (UPK-Pamanukan), Tahun 2001 (kumpulan)

National Management Consultant dan Sekretariat Nasional PPK, 2000, 'Program Pengembangan Kecamatan: Laporan Tahunan Kedua 1999/2000', Jakarta: National Management Consultant dan Sekretariat Nasional PPK.

Website

http:///www.worldbank.org

111

Seri Working Paper 15

Judul:

Relasi Buruh-Majikan Informal dalam Pola Produksi Subkontrak: Studi Kasus Industri Kecil Tekstil di Majalaya

Penulis:

Shelly Novi Handarini P. & Anne Friday Safaria

Abstrak:

Keterlibatan usaha kecil (subkontraktor) dalam kegiatan produksi usaha menengah atau usaha besar (prinsipal) dalam studi ini dilihat sebagai relasi buruh-majikan dan bukannya relasi kemitraan yang setara. Hubungan jenis ini memiliki dampak yang cukup signifikan bagi kondisi buruh-buruh di sektor tersebut terutama menyangkut aspek jaminan sosial dan potensi pengorganisasiannya.

Studi ini dilakukan di industri kecil tekstil yang merupakan komoditas strategis di Majalaya dan menjadi andalan masyarakatnya. Subkontraktor dan buruh-buruhnya dipilih sebagai unit analisis berlandaskan asumsi: pertama, subkontraktor dan buruh-buruhnya adalah “satu unit buruh” bagi usaha menengah/besar (prinsipal); kedua, subkontraktor dan buruh-buruhnya adalah pihak yang paling dirugikan dalam pola produksi subkontrak. Metode yang digunakan adalah kualitatif dengan wawancara mendalam dan pengamatan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa relasi kerja informal sangat dipengaruhi oleh relasi produksi, relasi sosial, dan regulasi. Relasi produksi seperti jenis hubungan subkontrak, tingkat kemandirian usaha, dan kualitas tenaga kerja “residu” dengan tingkat pendidikan rendah, merupakan faktor-faktor yang menyebabkan rendahnya posisi tawar buruh. Hal ini diperburuk dengan relasi sosial yang bersifat personal antara subkontraktor dan buruh-buruhnya. Hubungan personal seperti kerabat, teman, dan tetangga memungkinkan berbagai “fleksibilitas” dalam hal pengupahan dan jaminan sosial.

Semua kesepakatan kerja yang dilakukan berlandaskan lisan atau “kepercayaan”, baik itu antara prinsipal-subkontraktor maupun antara

subkontraktor-buruh, menghasilkan berbagai konsekuensi yang tidak menguntungkan, seperti: kondisi buruh-buruh yang tidak terlihat (invisible) membuat tidak terjangkaunya mereka oleh regulasi perburuhan; serta perselisihan atau pelanggaran yang dilakukan oleh satu pihak kepada pihak lain dalam kerangka kerja sama, sulit untuk diselesaikan secara hukum. Kebijakan pemerintah pun harus dikaji ulang, menyangkut posisi subkontraktor yang dipandang sebagai usaha kecil mandiri (padahal seharusnya adalah buruh) dan legalisasi perjanjian lisan. Di samping itu ada berbagai dilema dalam upaya pengorganisasian buruh dengan berbagai pertimbangan, yaitu intensitas yang tinggi pada keluar-masuknya buruh yang diakibatkan tidak tentunya order dari prinsipal, adanya sistem shift, dan adanya kenyataan bahwa subkontraktor adalah bawahan prinsipal yang bisa disejajarkan dengan buruh-buruhnya.

his paper addresses some issues regarding participation, power, and feminist research. It starts with a historical sketch of participation as research orientation, which shows from the beginning the link with social emancipation as the main goal of development. Next, the paper problematizes the meanings given to participation as an approach to development planning: some meaning departs away from the original emancipatory and transformatory orientation that should re-constitute power relations in society and contribute to social development. Another problematization comes from feminist critics, who address, despite the inclusive rhetoric of participation, the exclusionary practices in research regarding women as persons as well as the neglect of gender issues. These issues of bias and representation are then echoed in approaches to feminist epistemology. The paper ends with some questions that can lead through the conference on transdisciplinary gender research.

Tulisan ini mengetengahkan persoalan-persoalan partisipasi, kekuasaan, dan penelitian feminis. Dimulai dengan sebuah sketsa s e j a r a h p a r t i s i p a s i s e b a g a i orientasi penelitian, yang sejak awal menunjukkan hubungannya dengan emansipasi/kebebasan sosial sebagai tujuan utama p e m b a n g u n a n . S e l a n j u t n y a ,

tulisan ini mempermasalahkan makna-makna yang diterapkan pada partisipasi sebagai sebuah p e n d e k a t a n p e r e n c a n a a n pembangunan: beberapa makna berangkat dari kebebasan orisinil (original emancipatory) dan o r i e n t a s i p e r u b a h a n y a n g seharusnya membentuk ulang relasi kekuasaan dalam masyarakat

PARTISIPASI, KEKUASAAN DAN